Apa Guna Sejarah – Pengertian sejarah yang dipahami sebagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, memiliki kegunaan yang menyebabkan kita perlu mempelajarinya. Menurut Kuntowijoyo sejarah itu berguna secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik sebagai pengetahuan. Seandainya saja sejarah tidak ada gunanya secara ekstrinsik, yang berarti tidak ada sumbangannya di luar dirinya, cukuplah dengan nilai-nilai intrinsiknya. Akan tetapi, disadari atau tidak, ternyata sejarah ada dimana-mana. Di dalam artikel ini akan dideskripsikan tentang apa guna sejarah baik secara intrinsik maupun ekstrinsik.
Apa Guna Sejarah Secara Intrinsik Dan Ekstrinsik?
Apa guna sejarah?. Sejarah memiliki dua kegunaan yang diklasifikasikan oleh Kuntowijoyo, yakni guna secara intrinsik dan guna secara ekstrinsik:
Guna Intrinsik
Setidaknya ada empat guna sejarah secara intrinsik; (1) sejarah sebagai ilmu, (2) sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, (3) sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan (4) sejarah sebagai profesi.
Sejarah Sebagai Ilmu
Banyak contoh sejarawan bukanlah orang yang memang terdidik untuk menjadi sejarawan, tetapi penulis sejarah dapat datang dari mana saja. Wartawan, guru, politisi, sastrawan, maupun pendeta boleh saja menulis sejarah. Jikalau dokter atau insinyur harus datang dari orang yang memang dididik dalam ilmunya, tidak demikian seorang sejarawan. Sejarah adalah ilmu yang terbuka. Kenyataan bahwa sejarah menggunakan bahasa sehari-hari, tidak menggunakan istilah-istilah teknis, memperkuat keterbukaan itu. Keterbukaan itu membuat siapa pun dapat mengaku sebagai sejarawan secara sah, asal hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagai ilmu.

Sejarah sebagai ilmu dapat berkembang dengan berbagai cara; (1) perkembangan dalam filsafat, (2) perkembangan dalam teori sejarah, (3) perkembangan dalam ilmu-ilmu lain, dan (4) perkembangan dalam metode sejarah. Perkembangan dalam sejarah selalu berarti bahwa sejarah selalu responsif terhadap kebutuhan masyarakat akan informasi. Di bawah ini akan diuraikan maksud dari poin-poin di atas:
- Perkembangan dalam filsafat, ditunjukkan ketika filsafat sejarah pada Abad Pertengahan Eropa didominasi oleh filsafat sejarah Kristen, maka penulisan yang menonjolkan peran orang-oran suci juga tampak. Riwayat penyebaran Kristen di Irlandia misalnya, yang dilakukan oleh Saint Patrick pada abad ke-5 M masih diperingati sebagai suatu hal yang sangat penting hingga sekarang.
- Perkembangan dalam teori sejarah, ditunjukkan ketika dalam Seminar Sejarah I di Yogyakarta yang diberlangsungkan pada tahun 1957 telah dicanangkan perlunya nasionalisme di dalam penulisan sejarah, yaitu sejarah yang menunjukkan peran orang Indonesia (Indonesia-sentrisme) untuk menggantikan peran dari peran para penjajah Belanda (Neerlando-sentrisme).
- Perkembangan dalam ilmu-ilmu lain juga berpengaruh pada perkembangan sejarah. Semisal yang sangat erat dengan sejarah adalah ilmu sosiologi. Ketika sosiologi menjadikan kota sebagai bahan kajiannya, maka sejarah pun muncul dengan kajian sejarah kota.
- Perkembangan dalam metode juga sangat berpengaruh. Ketika dalam sejarah muncul metode kuantitatif, maka di Ameraka dan Eropa muncul sejarah kuantitatif, karena di tempat-tempat itu sumber sejarah lama sangat memungkinkan untuk dikuantifikasikan. Demikian pula kegiatan-kegiatan penerbitan sumber. Penerbitan Arsip Nasional tentang Sarekat Islam Lokal pun telah mendorong banyak penelitian.
Sejarah Sebagai Cara Mengetahui Masa Lampau
Bersamaan dengan mitos, sejarah adalah cara untuk mengetahui peristiwa di masa lampau. Bangsa yang belum mengenal tulisan mengandalkan mitos, dan yang sudah mengenal tulisan pada umumnya mengandalkan sejarah untuk mengetahui peristiwa yang terjadi di masa lampau. Ada setidaknya dua sikap terhadap sejarah setelah orang mengetahui hal-hal yang terjadi di masa lampau (1) melestarikan, (2) menolak. Di bawah ini akan diuraikan maksud dari kedua sikap tersebut.
- Melestarikan masa lampau, orang akan melestarikan hal-hal yang terjadi di masa lampau karena menganggap masa lampau itu penuh dengan makna. Para pengumpul benda-benda kuno yang melestarikan masa lampau untuk masa lampau disebut dengan antikuarian. Termasuk antikuarianisme, ialah mereka yang mengambil air dari air bersihan kereta kepunyuaan keraton di Yogyakarta.
Demikian juga dengan masyarakat Surakarta yang setiap tahuan akan mengarak kerbau Sunan. Hal ini tentu berbeda dengan pekerjaan Direktorat Suaka Purbakala dan Peninggalan Sejarah yang melakukannya dengan tanggungjawab sejarah. Untuk kepentingan politik dan pariwisata, beberapa daerah kerap kali menghidupkan kembali upacara-upacara lama.
- Menolak masa lampau, dalam kasus ini dapat diambil dari peristiwa sesudah proklamasi kemerdekaan 1945, di mana terdapat daerah yang berusaha menolak kehadiran kerajaan. Di antaranya adalah yang terjadi di wilayah Surakarta dan Mangkunegara. Di Surakarta muncul gerakan pemuda untuk meruntuhkan kerajaan, sekalipun usaha itu mendapat tantangan dari Pakasa (Pakempalan Kawula Surakarta) yang mendukung eksistensi dari keraton.
Meskipun gerakan itu sudah dimulai oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, setidaknya dimulai pada abad ke-19 dengan menghapuskan kerajaan-kerajaan dalam usaha pemerintah colonial untuk melakukan konsolidasi politik, tetapi usaha menghapuskan kerajaan adalah suatu perkara yang sulit.
Sejarah Sebagai Pernyataan Pendapat
Banyak penulis sejarah yang menggunakan ilmunya untuk menyatakan pendapat. Sebagai contoh adalah di dalam penulisan sejarah Amerika, meskipun di tempat lain penggunaan sejarah untuk menyatakan pendapat selalu terjadi. Di Amerika ada dua aliran yang sama-sama menggunakan sejarah: (1) konsensus (2) konflik. Disebut konsensus, karena mereka berpendapat bahwa dalam masyarakat selalu ada konsensus, dan para sejarawan selalu bersifat konformistis: sebaliknya disebut konflik karena menekankan solah-olah dalam masyarakat selalu terjadi pertentangan dan menganjurkan supaya orang bersikap kritis dalam berpikir tentang sejarah.
- Aliran yang menekankan konsensus diantaranya terdapat dalam tesis garis depan dan tesis tentang individualisme. Tesis garis depan (frontier thesis) mengatakan bahwa Amerika selalu menghadapi garis depan. Sejak kedatangannya di tempat baru, yang terjadi ialah masyarakat yang selalu memperluas daerahnya. Demikianlah, kepergian orang-orang Amerika ke seluruh dunia hanyalah kelanjutan dari garis depan itu.
Hal yang terjadi dengan individualisme juga demikian. Sejak dulu kedatangan orang Amerika di daerah baru adalah untuk memperoleh kemerdekaan individual. Mula-mula individualism Amerika berupa kemerdekaan beragama. Kalau kemerdekaan individual kemudian berarti kebebasan berusaha, hal itu hanyalah bentuk lain dari individualisme Juga kalau kemudian Amerika jadi pembela Dunia Merdeka.
- Aliran yang menekankan konflik biasanya mengajukan tesis persekongkolan (conspiracy). Demikianlah, misalnya, Perang Saudara di Amerika adalah hasil persekongkolan kaum industrialis dan kaum politisi. Semboyan “free soil, free labor” adalah dalih kaum industrialis untuk mendapatkan tenaga. Perang itu terjadi karena pihak Utara melakukan provokasi.
Hal lainnya semisal yang terjadi juga pada persekongkolan dalam Perang Dunia II. Amerika memasuki kancah Perang Dunia II adalah akibat dari “military industrial complex”, yang merupakan hasil persekongkolan kaum industrialis dan kaum militer. Menjelang meletusnya Perang Dunia II sebenarnya Amerika Hawai tidak dalam bahaya (no clear and present danger), sehingga sebenarnya tidak ada alasan untuk berperang.
Sejarah Sebagai Profesi
Tidak semua lulusan sejarah dapat tertampung dalam profesi kesejarahan. Ada lulusan sejarah yang jadi karyawan dari suatu bidang usaha seperti tekstil, garmen, farmasi dan tidak sedikit yang menjadi guru diluar keilmuannya. Semua tempat itu tentu saja memerlukan orang yang dapat menulis sejarah, tetapi kita tidak dapat mengharapkan semua orang untuk memiliki idealisme.
Guna Ekstrinsik
Sejarah dapat digunakan sebagai liberal education untuk mempersiapkan mahasiswa supaya mereka siap secara filosofis, tidak saja untuk yang akan belajar di jurusan sejarah. Di Indonesia sejarah selain diajarkan dari tingkat sekolah dasar hingga atas bahkan sampai perguruan tinggi, terutama pada era Orde Baru juga diajarkan lewat penataran-penataran P-4.
Selanjutnya secara umum sejarah mempunyai fungsi pendidikan, yaitu sebagai pendidikan (1) moral, (2) penalaran, (3) politik, (4) kebijakan, (5) perubahan, (6) masa depan, (7) keindahan, dan (8) ilmu bantu. Selain sebagai pendidikan, sejarah juga berfungsi sebagai (9) latar belakang, (10) rujukan, dan (11) bukti.
Sejarah Sebagai Pendidikan Moral
Sejarah yang diajarkan melalui pengajaran kewarganegaraan di sekolah maupun pada masa Orde Baru melalui penataran P-4 pada masyarakat memiliki maksud agar Pancasila menjadi tolok ukur benar-salah, baik-buruk, berhak-tidak, merdeka-terjajah, cinta-benci, dermawan-pelit, serta berani-takut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan mental, seperti benar-takut, rupannya juga turut dimasukkan di dalam pendidikan ini.
Pada masa pergerakan nasional banyak memberikan contoh tentang benar-salah, baik-buruk, cinta-benci, berhak-tidak, serta merdeka-terjajah. Demikian pula perjuangan selama revolusi akan mengungkapkan bahwa masyarakat di desa ternyata dermawan pada masa yang sulit dan para pejuang kemerdekaan telah melakukan perbuatan yang berani. Semua itu, baik para perintis, orang-orang desa, maupun para prajurit adalah exemplary center yang amat diperlukan dalam dunia pendidikan.
Akan tetapi, sejarah tidaklah boleh bersikap hitam-putih seperti itu. Kalau pendidikan moral harus berbicara benar-salah, dan sastra hanya tergantung pada imajinasi pengarang, maka sejarah harus berbicara dengan fakta. Tanpa fakta, sejarah tidak boleh bersuara. Indonesia-sentrisme tidak menjadikan pengkhianat tanpa fakta.
Benarkah secara historis bahwa semua bupati bangsa terjajah itu baik? Sebaliknya, benarkah semua residen sebagai bangsa penjajah itu buruk perlakuan mereka terhadap pribumi?. Hal-hal seperti itulah kiranya yang menjadi tema novel Multatuli, yang pada abad ke-19 menjadi seorang asisten-residen di Banten. Oleh karena itu, biarlah terjadi dialog dinamis antara pendidikan moral, sastra dan juga sejarah.
Sejarah Sebagai Pendidikan Penalaran
Seseorang yang belajar sejarah tidak akan berpikir monokausal, pikiran yang menyatakan bahwa sebab terjadinya peristiwa itu hanya dilatar belakangi oleh satu sebab. Semisal, orang-orang komunis selalu menjadikan ekonomi untuk menjelaskan segala fenomena yang terjadi. Orang-orang Nazi yang selalu menjadikan faktor ras sebagai penyebab.
Mereka, orang-orang yang seperti itu berpandangan sempit, mereka hanya menjelaskan suatu sebab dari satu dimensi saja, suatu hal yang dikatakan sebagai penyusutan besar-besaran nilai manusia. Mereka yang seperti itu diantaranya menafikan kesadaran manusia. Itu bukanlah watak mereka yang terdidik dalam sejarah. Sejarah harus berpikir plurikausal, yang menjadi penyebab berasal dari berbagai faktor. Dengan berpikir demikian maka seseorang akan melihat segala sesuatu mempunyai banyak segi. Dengan kata lain, sejarawan haruslah berpikir secara multidimensi.
Menjadi sejarawan juga memaksa orang menjadi penyabar. Persitiwa sejarah itu tidak dapat dipaksakan, atau sebaliknya ditolak, semuanya harus sabar menunggu. Sejarah memaksa orang memperhitungkan waktu. Berpikir secara sejarah berarti berpikir berdasarkan perkembangan. Orang haruslah memperhitungkan masa lalu untuk dapat membicarakan fenomena yang terjadi di masa kini, dan masa kini untuk masa depan. Sejarah dapat menjadi ilmu manajemen perkembangan.
Sejarah tentu saja dapat dipercaya atau diperlambat, jikalau prasyaratnya dipenuhi. Sekalipun demikian, “mengatur” perkembangan itu sangatlah sesuatu hal yang sulit, bahkan hampir dapat dikatakan tidak mungkin, karena perkembangan itu sendiri bersifat multidimensi.
Sejarah Sebagai Pendidikan Politik
Setiap pemerintah selalu melakukan pendidikan kewarganegaraan untuk warga negaranya. Pada masa pendudukan militerisme Jepang dengan maksud untuk memobilisasikan penduduk, bahkan para penghulu yang sehari-harinya hanya mengurusi soal pernikahan, talak, dan rujuk diharuskan-lah mengikuti latihan dan pendidikan kewarganegaraan. Baru pertama kali itulah para penghulu, yang kebanyakan terdiri dari kiai, mendapatkan pendidikan politik secara resmi. Pada masa Orde Lama ada indoktrinisasi. Indoktrinisasi itu dilakukan pada organisasi-organisasi dan juga melalui sekolah.
Tujuan dari pendidikan politik itu ialah berupa dukungan atas politik kekuasaan dengan mendorong perbuatan-perbuatan revolusioner dan menyingkirkan kaum kontra-revolusi. Pada zaman Orde Baru dapatlah dilihat dari kegiatan penataran-penataran, tetapi dengan tujuan lain yaitu untuk tujuan pembangunan. Tentu saja tujuan, intensitas, dan materi berbeda-beda, tetapi itu semua dapat dimasukkan dalam pendidikan politik. Pendidikan semacam itu sudah semestinya dipakai untuk mengenalkan ideologi negara serta hak dan kewajiban warga negara.
Pendidikan politik juga dilakukan oleh ormas-ormas, seringkali melalui training, kadang secara bertingkat. Memang adalah dapat dikatakan aib kalua anggota suatu ormas tidak dikenalkan dengan cita-cita, orang-orang yang telah lalu, dan sepak terjang organisasi. Dengan kata lain, kepada setiap kader diperlukan sejarah organisasi. Bahan-bahan itu kebanyakan tertulis sehingga kita dapat menulis sejarah pendidikan politik di Indonesia.
Sejarah Sebagai Pendidikan Kebijakan
Sejarah semacam ini diperlukan oleh semua lembaga penelitian. Untuk menentukan suatu kebijakan dibutuhkan suatu pandangan tentang lingkunang alam, masyarakat dan sejarah. Sementara lingkungan alam dapat dipenuhi oleh ilmu-ilmu lingkungan dan masyarakat oleh ekonomi, sosiologi, antropologi dan politik, maka pandangan berdasarkan waktu hanya dapat dipenuhi oleh sejarah.
Sudah sepatutnya mungkin harus belajar dari negara lain tentang ekonomi perpajakan pada waktu penanaman modal asing. Demikianlah, semestinya kita hampir tidak bisa membayangkan suatu kebijakan perpajakan diambil tanpa mengetahui sejarah ekonomi, khususnya kebijakan fiskal di masa lalu. Bagaimana seharusnya pajak ditarik pada waktu ada kebijakan indonesianisasi atas usaha-usaha asing. Kalau keadaan serupa terjadi di masa kini, bagaimanakah kebijakan pajak yang semestinya diambil atau dikerjakan?
Beberapa waktu ini ada kegiatan penulisan sejarah di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Kita juga tidak dapat membayangkan bagaimana perundangan dan peraturan pemerintahan dibuat tanpa mengetahui latar belakang sejarah. Misalnya, orang akan membuat peraturan tentang otonomi daerah. Kita tidak tahu hasilnya andaikata undang-undang tentang otonomi dibuat tanpa mengetahui kebijakan serupa di masa lalu.
Sejarah Sebagai Pendidikan Perubahan
Pendidikan perubahan diperlukan oleh polisi, ormas-ormas, usaha-usaha, bahkan pribadi-pribadi. Di dalam dunia yang semakin sempit ini, tidak ada yang lebih cepat daripada perubahan. Kaum politisi yang tidak dapat mengantisipasi gelagat perubahan akan ketinggalan. Untuk dapat melestarikan kepemimpinan, perlu diketahui perubahan apa yang sedang dialami oleh para pengikut.
Di dalam hal ini sosiologi dan antropologi dapat membantu orang. Akan tetapi, sejarah yang salah satu definisinya ialah ilmu tentang perubahan akan banyak membantu. Sepanjang sejarah tidak mempelajari waktu yang terlalu jauh, sejarah dapat relevan dengan perubahan. Semisal seorang politisi yang mengurusi kota, tentu semestinya mencatat bahwa perubahan itu disebabkan oleh dampak kemajuan. Dengan melihat masa lalu kota lain yang lebih besar, tentu dapatlah diketahui apa yang sedang terjadi.
Ormas-ormas juga perlu mengenalkan kepada anggotanya tentang perlunya pengelolaan perubahan dengan maksud agar anggotanya itu terhindari dari sifat konservatisme atu radikalisme, di mana dua hal inilah yang dapat merusak organisasi. Demikian juga halnya dengan badan-badan usaha. Maju-mundurnya perusahaan, keberanian atau ketakutan ekspansi sangat tergantung pada kelihaian pimpinannya dalam membaca perubahan.
Sejarah Sebagai Pendidikan Masa Depan
Di beberapa universitas negara maju, seperti Amerika, History of the Future sudah diajarkan. Sebagai negara yang mengalami industrialisasi belakangan, Indonesia mempunyai keuntungan, karena dapat belajar dari negara industrial dan negara pasca-industrial.
Di Inggris dan Amerika Serikat, dua negara yang mengalami industrialisasi lebih awal, menurut beberapa pengamat, lingkungan sosial dan fisik sudah menjadi masalah. Itu harus menjadi agenda yang serius untuk Indonesia. Dari negara-negara yang sudah memasuki masa pasca-industrial, yang diantaranya ditandai dengan semakin banyaknya jaminan sosial dan hilangnya proletariat, Indonesia dapat belajar dalam pengelolaan masyarakat.
Sejarah Sebagai Pendidikan Keindahan
Reruntuhan istana, benteng-benteng, bahkan monument pertempuran atau membaca buku sejarah akan membawa kita seolah merasa sedang dalam momen-momen di mana kita diajak ke masa itu. Suatu pengalaman estetik akan datang melalui mata waktu kita ke peninggalan-peninggalan sejarah. Peninggalan-peninggalan tersebut sebagian besar tersimpan dengan baik di museum-museum.
Semisal saja kita akan mudah melihat masa lalu di Indonesia melalui museum-museum. Namun, di Indonesia ternyat masih ketinggalam dalam pendidikan untuk mencintai tanah air lewat keindahan sejarah. Bahkan kerap kali terdapat tidakan vandalism terhadap bangunan-bangunan sejarah.
Sejarah Sebagai Ilmu Bantu
Tidak dapat dibayangkan pendidikan para calon diplomat tanpa pengetahuan yang cukup tentang sejarah negara yang akan dituju. Sejarah sebagai ilmu antar-bidang yang paripurna, the ultimate interdisciplinarian, akan dapat memenuhi tugas itu dengan baik. Seseorang yang belajar sosiologi atau antropologi yang tidak belajar sejarah, akan terheran-heran mengapa begitu banyak Tionghoa kaya di Indonesia. Demikian pula mengapa kebanyakan keturunan Arab, kalau bukan professional, pasti jadi pedagang. Semua kenyataan sosial itu hanya dapat dipelajari lewat kedatangan mereka di Indonesia.
Belajar sejarah sangat penting terutama bagi kelimuan yang dekat dengan sejarah, seperti arkeologi, antropologi, sosiologi, ekonomi maupun politik. Pun begitu sejarah juga penting untuk ilmu-ilmu seperti kehutanan, arsitektur, kedokteran dan perencanaan kota. Untuk dapat mengelola hutan dengan baik, perlu kiranya dipelajari sejarah pengelolaan hutan di masa lampau, di samping belajar konsep-konsep baru seperti hutan sosial. Banyak bangunan lama dicantumkan dalam arsip di bawah judul “bangunan sipil”.
Demikian juga untuk kedokteran masyarakat, penanggulangan epidemic di masa lalu penting untuk diketahui. Untuk perencanaan kota, bukan saja bentuk kota lama yang perlu diketahui, tetapi perlu juga diketahui tentang pengendalian banjir, bagaimana parit-parit dibangun, dan bagaimana selokan bawah tanah dibuat. Sejarah dapat mengantarkan orang secara baik, karena sejarah memberikan bantuan untuk berbagai macam disiplin ilmu.
Sejarah Sebagai Latar Belakang
Pertimbangan historis wilayah perlu diketahui oleh seorang agen inovasi. Seorang yang akan mengenalkan padi bibit unggul perlu tahu apa saja yang telah ditanam orang. Tentu saja semakin kompleks permasalahnnya jika, misalnya, menyangkut inovasi partai politik. Selain harus tahu latar belakang partainya, seseorang harus tahu ihwal partai di wilayahnya, pelapisan sosialnya, peran tokoh formal dan informal dan kekuatan-kekuatan social.
Meskipun tidak semua pengalaman dapat digantikan, misalnya kalah-menang, lika-liku kongres, dan kasak-kusuk, namun sebagian pengalaman setidaknya dapat digantikan oleh pembacaan. Sejarah juga perlu untuk seni. Kebangkitan novel sejarah pada abad ke-19 tidak dapat terjadi tanpa kemajuan dalam penulisan sejarah.
Sejarah Sebagai Rujukan
Semasa hidupnya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX selalu menyebut nama Sultan Agung dan Pangeran Diponegoro sebagai pemberi semangat. Memang kedua nama itu terkenal sebagai tokoh yang melawan Belanda. Barangkali, yang tidak memerlukan referensi hanya orang-orang jenius dan yang terburu-buru. Demikianlah Soeharto yang relatif pendidikannya rendah, mampu memimpin selama lebih dari tiga dasawarsa. Komandan pasukan di medan tempur pastilah tidak memiliki waktu untuk membaca buku hanya untuk mengetahui bagaimana tentara Sekutu mengalahkan Jerman di Arnhem.
Para pemimpin politik berdasar agama perlu belajar bagaimana partai-partai sosial demokrat keagamaan dapat tumbuh di Eropa yang sekuler. Ide dan isu apa yang perlu dimunculkan tentu akan dating bersamaan dengan pembacaan itu. Untuk mengetahui kecenderungan reaksi kelompok social tertentu terhadap inovasi, para perencana pembangunan dapat banyak belajar dari sejarah pembangunan di tempat lain.
Sejarah Sebagai Bukti
Sejarah selalu dipakai untuk membenarkan perbuatan Jepang dan Cina selalu berselisih pendapat mengenai pendudukan Jepang, begitu pula dengan Indonesia. Di mata jepang pendudukan itu baik, sedangkan bagi negara yang pernah diduduki menganggap bahwa hal tersebut adalah sesuatu hal yang buruk. Dewasa ini ada kecenderungan untuk mencari hari jadi. Hampir setiap kabupaten/kota di Indonesia mempunyai hari jadi. Semakin tua hari jadi itu maka dianggap semakin baik, seolah menjadi bukti keberadaan (eksistensi) daerah itu.
Daftar Bacaan
- Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana