Peristiwa Bandung Lautan Api atau pertempuran Bandung Lautan Api merupakan upaya yang dilakukan oleh TRI sebagai strategi menghadapi Sekutu yang ingin menegakkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia setelah Perang Dunia II berakhir.
Sebelum kedatangan tentara Inggris di Bandung, beberapa tokoh pimpinan di Bandung yang antara lain : Arji Kartawinata, Suriadarma, Omon Abdurahman, Hidayat dan lain-lainya menyambut seruan Presiden Soekarno untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di daerah. Sehingga mereka pun juga membentuk BKR di Kota Bandung yang terdiri dari para pemuda-pemuda bekas PETA, Heiho dan KNIL.
Sementara itu diluar organ BKR, di Kota Bandung juga telah terbentuk laskar-laskar perjuangan yang ingin menyumbangkan tenaganya demi mempertahankan Republik Indonesia yang baru saja lahir. Beberapa laskar-laskar yang terbentuk antara lain; Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Hisbullah, Angkatan Pemuda Indonesia, Laskar Pangeran Fak-fak .
Dengan banyaknya jumlah pasukan yang ditambah dengan kehadiran laskar-laskar perjuangan di daerah Bandung dan sekitarnya (Priangan), maka pada tanggal 15 September 1945 di Bandung dibentuk sebuah badan koordinasi yang dinamakan Majelis Dewan Perjuangan Priangan (MDPP) di bawah komando pimpinan Letnan Kolonel Sutoko dengan tujuan untuk mengkoordinasikan semua unsur kekuatan pasukan dan laskar-laskar perjuangan yang ada, sehingga terjadi kesatuan komando dalam perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Setelah terbentuknya Majelis Dewan Perjuangan Priangan, maka dimulailah gerakan untuk merebut tempat-tempat strategis di Kota Bandung yang masih berada secara de facto ditangan kekuasaan Tentara Jepang. Pada tanggal 27 September 1945 jam 11.00 pasukan Angkatan Muda PTT dipimpin pleh Sutoko dan Nawawi Alif melakukan perebutan Kantor Pusat Telepon Telegraf (PTT) yang berada di jalan Moh. Toha dengan bersenjatakan bambu runcing dan berhasil menguasai kantor PTT. Pada keesokan harinya tanggal 28 September 1945, Pemuda-pemuda Jawatan Kereta Api (JKA) dibawah pimpinan Ir. Juanda berhasil menguasai Kantor Jawatan Kereta Api, merebut dan menguasai Kantor Pertambangan, Kota Praja, Karesidenan dan obyek-obyek militer di Gudang Utara.
Upaya untuk merebut tempat-tempat strategis di Kota Bandung terus berlanjut. Pada tanggal 9 Oktober 1945 para pemuda di bawah pimpinan Ki Cokro berhasil mengambil alih Pabrik Senjata Kiaracondong ACW. Bentrokan antara para pemuda dengan tentara Jepang yang secara de facto masih memegang senjata meskipun sudah kalah dari Sekutu terus terjadi seperti yang terjadi di Markas Kempetai Jepang di Jalan Heetjanweg dan dilanjutkan dengan serangan pada malam hari tanggal 11 Oktober 1945 yang dipimpin langsung oleh Walikota Bandung Atmawinata.
Penyerangan itu berhasil melumpuhkan kekuatan tentara Jepang di Tegalega. Selanjutnya pasukan yang dipimpin oleh Ali Hanifiah berhasil merebut Gudang DKA (Djawatan Kereta Api) dan kemudian juga Pasukan Abdullah Sajad berhasil merampas persenjataan Batalyon 10 Jepang di Jalan Manado, Bandung. Di tengah-tengah perampasan dan pembersihan terhadap tentara Jepang di Bandung, Tentara Sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mac Donald tiba dari Jakarta di Kota Bandung dengan naik Kereta Api.
Latar Belakang Peristiwa Bandung Lautan Api
Pasukan Sekutu yang dipelopori oleh tentara Inggris tiba di Kota Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945 dipimpin oleh Brigadir Jenderal MacDonald. Sejak awal mula kedatangan tentara Inggris di Bandung sudah terjadi ketegangan antara mereka dengan pemerintah Republik Indonesia yang berada di Kota Bandung. Hal ini disebabkan oleh sesaatnya tiba di Bandung, Sekutu menuntut agar semua senjata api yang dipegang oleh penduduk, kecuali TKR dan polisi harus diserahkan kepada Sekutu.
Selain itu, orang-orang Belanda yang baru saja dibebaskan dari kamp-kamp tahanan mulai melakukan aksi teror yang mengganggu keamanan dan kenyamanan Kota Bandung. Tindakan ini tentu saja memancing keributan dengan bentrokan bersenjata antara TKR dan tentara Inggris. Pada tanggal 24 November 1945, TKR dan laskar-laskar melakukan penyerangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris yang berada di utara Kota Bandung pada malam hari, termasuk diantaranya Hotel Homan dan Hotel Preanger yang digunakan oleh tentara Sekutu sebagai markas mereka.
Pada tanggal 25 November 1945 telah terjadi sabotase yang dilakukan oleh agen-agen NICA dengan menjebol pintu air Cikapundung, Dago yang terletak di Bandung Utara. Sabotase ini telah menyebabkan terendamnya daerah Lengkong Besar, Sasak Gantung, Banceuy dan Balubur serta telah menelan ratusan korban jiwa. Hal ini tentu membawa malapetaka bagi rakyat Bandung.
Pada tanggal 27 November 1945 MacDonald memberikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat, Mr. Datuk Djamin agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata. Ultimatum itu haruslah dilaksanakan paling lambat pada 29 November 1945 pukul 12.00. Apabila sampai batas waktu yang ditentukan tidak ditaata maka Sekutu akan menangkap setiap orang-orang yang ditemui dan menembak mati setiap orang Indonesia yang memegang senjata. Berdasarkan ultimatum itulah, Inggris kemudian membagi Kota Bandung menjadi bagian utara yang berada di bawah kekuasaan Inggris dan Bandung bagian selatan yang berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia.
Ultimatum yang dikeluarkan oleh Brigjend. MacDonald dijawab oleh TKR dengan mendirikan pos-pos gerilya di berbagai tempat seperti di Rumah Sakit Boromeus, Sekeloa dan Sadang Serang. Sedangkan penduduk Bandung Utara mulai berpindah ke Bandung Selatan. Setelah batas waktu ultimatum telah habis, Sekutu membagi Bandung menjadi dua bagian di mana bagian utara dikuasai oleh Sekutu sedangkan bagian selatan adalah daerah Republik Indonesia.
Setelah pembagian secara sepihak itu, Sekutu menembaki pemukiman penduduk yang masih bertahan di sebelah utara rel kereta api dan berusaha menguasai Gedung Sate yang sebenarnya adalah wilayah Republik Indonesia. Para pemuda berusaha untuk mempertahankan serbuan dan gempuran Sekutu dengan senjata seadanya. Selama lebih kurang 4 hari sejak 29 November-3 Desember 1945 Gedung Sate dapat dipertahankan hingga akhirnya berhasil direbut oleh Inggris sedangkan para pemuda yang mempertahankan Gedung Sate itu semuanya tewas. Para pemuda yang mempertahankan Gedung Sate dari serangan Sekutu diantaranya adalah Didi Kamarga, Malhatarudin, Subengat, Suryono, Suhado, Rana dan Susilo.
Setelah dikuasainya Gedung Sate, pada 6 Desember 1945 Sekutu melanjutkan pertempuran menghadapi para pejuang Republik di Cihaurgelis, Viaduc, Pasir Kaliki, Ciatel dan Lengkong. Pertempuran di Ciatel berhasil dimenangkan oleh Sekutu dengan dibebaskannya para interniran Belanda yang di tahan di Ciatel.
Setelah pertempuran pada 6 Desember 1945, Sekutu melakukan pengeboman terhadap daerah Cicadas pada 14 Desember 1945. Cicadas sendiri merupakan jalur perlintasan yang dianggap sering digunakan oleh para Republiken dari Bandung Selatan ke Daerah Bandung Utara. Selain itu, ini merupakan jalur menuju gudang senjata Bojong Koneng yang pada saat itu masih terdapat tentara Jepang.
Di sisi lain, pada tanggal 14 Desember 1945 Majelis Dewan Perjuangan Priangan (MDPP) diubah menjadi Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) yang terdiri dari semua pasukan-pasukan, laskar-laskar, jawatan-jawatan Sipil dan perwakilan TKR. Hal ini tentu untuk memudahkan pergerakan di bawah satu komando tempur. Pertempuran-pertempuran pun masih tetap dilakukan antara TKR, laskar-laskar maupun para pemuda yang berjuang mempertahankan daerah demarkasi sepanjang Viaduct-Cikudapateuh.
Pada tanggal 20 Maret 1946 tentara Inggris melancarkan serangan udaranya dengan membombardir daerah Tegalega dan sekitarnya dengan mengerahkan 2 Pesawat pembom B-25. Tegalega dijadikan target serangan Sekutu karena di daerah tersebut terletak Markas TRI Batalyon Sumarsono, Anggota Pasukan Istimewa dan Studio Radio Republik Indonesia Bandung sehingga banyak jatuh korban di pihak kita terutama para penduduk yang tidak berdosa, sehingga kejadian ini mendapatkan protes dari walikota Bandung Samsurizal tetapi dijawab oleh Inggris bahwa pemboman-pemboman yang dilakukan sekutu adalah sebagai pembalasan terhadap pihak TRI yang telah melepaskan tembakan mortir ke arah kedudukan Inggris di Utara jalan rel kereta api sehingga banyak wanita dan anak-anak yang menjadi korban.
Bandung Menjadi Lautan Api
Menghadapi perlawanan TRI, laskar dan para pemuda yang semakin gencar, Inggris mengalami kekurangan pasukan sehingga perlu mendatangkan bala bantuan dari Jakarta di mana markas pusat Sekutu berada. Menghadapi situasi tersebut, TRI bersama para pemuda dan laskar-laskar perjuangan mulai mengadakan persiapan untuk mengadakan penghadangan terhadap konvoi Sekutu yang akan memasuki Kota Bandung. Dibawah kendali pimpinan Mayor Sumarsono, Komandan Batalion II Resimen Kota Bandung siap melakukan penghadangan terhadap pasukan Sekutu di Jalan Foker.
Tidak berapa lama iring-iringan konvoi sekutu berdatangan memasuki kota Bandung dari arah Cimahi. Iring-iringan tersebut cukup panjang diperkirakan berkekuatan 1000 orang diperkuat dengan kendaraan-kendaraan Power Wagon, Tank, Jeep dan lain-lainnya. Setelah iring-iringan konvoi memasuki Jalan Foker, iring-iringan tentara Sekutu yang hendak memasuki Kota Bandung segera mendapatkan serangan secara mendadak dari batalion TRI yang dipimpin oleh Sumarsono sehingga mereka tidak sempat menghindar atau berlindung.
Akibat hadangan dan serangan mendadak itu, Inggris akhirnya mendatangkan bala bantuan pasukan dari Andir yang sebagian besar adalah pasukan Gurkha. Akibatnya pasukan TRI dan laskar terdesak dan mulai merubah pola penyerangan menjadi bersifat seporadis. Dalam suasana pertempuran tersebut, seorang Kapten Ghurka yang bernama Mirza bersama dengan sebagian anak buahnya menyeberang ke pihak Republik bersama dengan kendaraan Power Wagon beserta persenjataan dan munisinya. Kapten Mirza kemudian bergabung dengan Batalion TRI yang dipimpin oleh Sumarsono.
Menjelang Maghrib pasukan TRI yang sudah berhasil mengadakan penghadangan terhadap konvoi Sekutu di Jalan Foker, mundur kedaerah Situ Aksan. Hasil dari penghadangan tersebut antara lain pasukan TRI berhasil merebut sebagian perbekalan musuh, senjata dan sebuah pemancar radio. Setelah penghadangan yang dilakukan oleh TRI terhadap Sekutu juga dilanjutkan dengan pelbagai pertempuran yang terjadi antara kedua belah pihak dan berlarut-larut.

Pada tanggal 17 Maret 1946 panglima tertinggi AFNEI di Jakarta, Letnan Jenderal Montagu Stophord mengeluarkan ultimatum kepada Perdana Menteri Sutan Syahrir supaya memerintahkan pasukan bersenjata Republik Indonesia meninggalkan Bandung Selatan sejauh 11 km dari pusat Kota Bandung. Hanya pemerintah sipil, polisi dan penduduk sipil yang diperbolehkan tinggal di dalam kota. Ultimatum kedua ini dikeluarkan oleh Panglima AFNEI oleh karena ultimatum pertama yang dikeluarkan oleh Brigjend. MacDonald sama sekali tidak digubris dan justru mendapatkan perlawanan sengit dari TRI. Batas ultimatum ini adalah pada 24 Maret 1946 pukul 24.00. Apabila tidak dilaksanakan maka Inggris akan membombardir Bandung Selatan.
Pada tanggal 22 Maret 1946 pukul 13.30 pimpinan Sekutu di Bandung mendapatkan pesan bahwa Mayjend. Didi Karta Sasmita dan Wakil Perdana Menteri Mr. Syafrudin Prawiranegara telah tiba di Bandung untuk menyampaikan amanat Perdana Menteri Republik Indonesia, Sutan Syahrir. Setelah menyampaikan amanat Perdana Menteri Sutan Syahrir, Mayjend. Didi Kartasasmita sebagai Komandan Komandemen I Jawa Barat kembali ke Jakarta pada 23 Maret 1946 di dampingi oleh Komandan TRI Divisi III, Kolonel A. H. Nasution.
Keesokan harinya, 24 Maret 1946 Kol. A.H. Nasution kembali ke Bandung dan memberikan penjelasan kepada perangkat pemerintahan sipil di Bandung, polisi, Badan Pekerja KNI Priangan dan badan-badan perjuangan tentang hasil pertemuannya di Jakarta dengan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Kol. A.H. Nasution menyampaikan pesan dari Perdana Menteri bahwa semua orang dan pasukan bersenjata selambat-lambatnya tanggal 24 Maret 1946 harus meninggalkan kota Bandung hingga jarak 11 kilometer dan tidak diperbolehkan melakukan pembakaran-pembakaran atau pengrusakan pengrusakan. Karena pendirian Pemerintah Pusat tetap seperti keputusan semula akhirnya dengan berat hati patuh atas keputusan Pemerintah Pusat.
TRI minta pengunduran waktu sampai 10 hari karena perlu persiapan, tetapi ditolak oleh pihak Inggris. Dilain pihak, Walikota Bandung, R. Syamsurizal bersieras untuk tetap tinggal di dalam Kota Bandung bersama masyarakat Kota Bandung. Menanggapi hal ini, pada tanggal 24 Maret 1946 pukul 16.00 Komandan Divisi III, Kol. A.H. Nasution mengirimkan pesan supaya pemerintah Kota Bandung pada pukul 22.00 harus meninggalkan kota sebab seluruh kota akan dibakar dihancurkan.
Perintah yang dikeluarkan oleh Kol. A.H. Nasution selaku Komandan Divisi III untuk mengosongkan Kota Bandung sebelum pukul 22.00, menyebabkan seluruh instansi dan jawatan Republik Indonesia serta penduduk Kota Bandung sibuk mempersiapkan diri untuk mengungsi keluar kota Bandung menuju ke arah selatan Kota Bandung. Di tengah-tengah persiapan untuk mengungsi sebagaimana yang diamanatkan oleh pemerintah pusat di Jakarta, tiba lah instruksi yang keluar dari Markas Tertinggi TRI di Yogyakarta kepada TRI di Jawa Barat yang berisikan jangan menyerahkan Kota Bandung begitu saja kepada Sekutu.
Sebagai upaya untuk mentaati dua perintah atasan; pemerintah pusat dan Markas Tertinggi TKR, Kol. A.H. Nasution memerintahkan kepada pasukan TRI untuk melakukan serangan umum dan pembumihangusan Kota Bandung untuk kemudian mundur dan menyusun kekuatan baru. Rencana sebelumnya pembumihangusan akan dilaksanakan pada 24 Maret 1946 tepat pukul 24.00, namun pada pukul 20.00 terdengarlah ledakan pertama yang disusul oleh ledakan-ledakan selanjutnya diseluruh penjuru Kota Bandung.
Akibat ledakan-ledakan ini, maka langit Kota Bandung mulai merah menyala sehingga dinginnya udara di Kota Bandung menjadi tidak terasa lagi. Kobaran-kobaran api mulai menyala menjalar ke pelbagai tempat yang menyerupai riak gelombang lautan, pada malam itu Kota Bandung telah menjadi lautan api.
Pasukan TRI, laskar, dan penduduk Kota Bandung mulai mundur ke arah bandung Selatan dan bermarkas di daerah Kulalet yang terletak di seberang Sungai Citarum dan beberapa diantara rombongan pengungsi juga ada yang menyingkir ke Ciparay. Selain kedua tempat itu, ada pula yang memilih untuk mundur ke daerah barat maupun timur Kota Bandung. Di Bandung Selatan disusun strategi untuk merebut kembali Kota Bandung dengan melakukan serangan-serangan secara seporadis. Strategi yang diterapkan adalah strategi perang gerilya.
Asal-Usul Istilah Bandung Lautan Api
Istilah Bandung Lautan Api dapat diketahui dari keterangan yang diberikan oleh A.H. Nasution. Dirinya teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (kini Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Perdana Menteri Sutan Syahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang hendak dilakukan terhadap Kota Bandung setelah mendapatkan ultimatum kedua dari Inggris. Berikut adalah pernyataan A.H. Nasution;
“Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah berbicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah. Disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, ‘Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api’. Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air. Pada saat pertemuan itu, memang muncul usulan untuk meledakkan “Sang Hyang Tikoro”, terowongan Sungai Citarum di daerah Rajamandala, agar kota Bandung kembali menjadi danau.”
Istilah “Bandung Lautan Api” muncul pula di Harian “Suara Merdeka” tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit itu, Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi. Pemandangan yang sama yang dilihat oleh A.H Nasution bersama Rukana dari daerah Ciparay.
Setelah pembakaran dan peledakan dinamit di mana-mana di Kota Bandung, A.H. Nasution memberikan penjelasan;
“Jadi dengan ledakan itu, saya dengan Rukana naik ke atas, di tempat listrik. Melihat betul-betul dari Cimahi sampai Ujungberung sudah api semua itu.”
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman segera menulis berita dan memberi judul “Bandung Jadi Lautan Api”. Namun, karena kurangnya ruang untuk tulisan judul tersebut, maka judul berita diperpendek menjadi “Bandung Lautan Api”, istilah “Bandung Lautan Api” menjadi semakin terkenal di kalangan penduduk dan juga para pejuang Bandung Selatan.
Dampak Pertempuran
Terdapat beberapa dampak Peristiwa Bandung Lautan Api terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Dampak ini tidak hanya terhadap kota Bandung, tetapi juga terhadap politik diplomasi tingkat nasional.
Dampak lain dari pengosongan kota Bandung adalah terjadinya pengambilalihan tanah dan rumah penduduk yang ditinggalkan ketika mengungsi oleh pihak lain, khususnya oleh antek-antek NICA. Kebanyakan, para “perampas” tersebut dari kalangan entik Cina. Akibatnya, sering terjadi konflik antara pengungsi yang kembali ke kota Bandung dan “perampas” tanah rakyat tersebut. Dampak selanjutnya, menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan, yaitu berupa sikap anti-Cina.
Salah satu aspek penting yang harus di catat dalam Peristiwa Bandung Lautan Api adalah kerelaan penduduk Kota Bandung mengorbankan harta bendanya, keluar meninggalkan kota. Hal itu merupakan sebuah pengorbanan yang tidak ternilai harganya, demi tegaknya kehormatan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.