BPUPKI
BPUPKI – Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau yang biasa disebut dengan BPUPKI, adalah suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintahan Militerisme Jepang di Indonesia untuk merealisasikan kebijakan dari Perdana Menteri Koiso yang menjanjikan akan kemerdekaan Indonesia kelak dikemudian hari. BPUPKI dalam prosesnya merumuskan dan memperbincangkan tentang pembentukan dasar negara bagi negara Indonesia merdeka. Di mana hasil dari kinerja BPUPKI inilah yang kelak memberikan salah satu modal utama bagi terbentuknya sebuah negara, yaitu dasar negara. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang latar belakang dibentuknya BPUPKI sebagai realisasi janji Perdana Menteri Koiso hingga keputusan final dari kerja BPUPKI yakni merumuskan dasar negara yang dikenal dengan Pancasila.
BPUPKI : Janji Perdana Menteri Koiso
Di Jepang, telah terjadi suatu perubahan politik yang menyebabkan perubahan kebijakan politik pula di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Jepang, termasuk Hindia Timur (Indonesia). Perubahan politik itu terjadi pada tanggal 7 September 1944 di dalam sidang istimewa ke-85 Taikoku Ginkai atau parlemen Jepang yang berada di Tokyo, Perdana Menteri Koiso yang menggantikan Perdana Menteri Hideki Tojo mengumumkan tentang pendirian pemerintah Kemaharajaan Jepang, bahwa daerah Hindia Timur atau Indonesia diperkenankan mendapatkan kemerdekaan kelak di kemudian hari.
Hal yang menyebabkan terjadinya pernyataan Perdana Menteri tersebut adalah karena semakin terjepitnya Angkatan Perang Jepang dalam situasi Perang Dunia II. Memasuki bulan Juli tahun 1944, Kepulauan Saipan yang letaknya sudah teramat dekat dengan Kepulauan Jepang telah jatuh ke tangan sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Pendudukan Saipan ini telah menyebabkan kegelisahan dan bagi masyarakat Jepang.
Situasi Jepang yang semakin memburuk memasuki bulan Agustus tahun 1944, telah menyebabkan penurunan semangat masyarakat Jepang di dalam menghadapi Perang Dunia ini. Hal itu, ditambah oleh karena produksi persenjataan untuk kepentingan perang semakin mengalami kemerosotan sehingga menyebabkan terjadinya situasi di mana pasukan Jepang mulai mengalami kekurangan persediaan persenjataan dan juga amunisi, serta ditambah oleh adanya permasalahan logistik yang dikarenakan telah hilangnya sejumlah besar kapal angkut dan kapal perang Jepang.
Faktor-faktor itulah yang menyebabkan jatuhnya kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Hideki Tojo pada tanggal 17 Juli 1944 dan menyebabkan diangkatnya jenderal Kuniaki Koiso sebagai pengganti Hideki Tojo untuk membentuk kabinet. Kebijakan pertama yang diambil oleh Koiso sebagai perdana menteri adalah untuk mempertahankan pengaruh Jepang diantara penduduk negeri-negeri yang telah didudukinya selama periode Perang Dunia II dan salah satunya adalah Hindia Timur atau Indonesia dengan cara mengeluarkan pernyataan mengenai “janji kemerdekaan Indonesia di kemudian hari”. Melalui kebijakan inilah Jepang berharap bahwa kedatangan sekutu ke dalam wilayah Hindia Timur (Indonesia) akan disambut oleh rakyat bukan sebagai pembebas rakyat akan tetapi dianggap sebagai penyerbu ke negara yang telah merdeka.
Dibentuknya BPUPKI
Selama periode 1944 dan ditambah dengan jatuhnya Saipan serta dipukul mundurnya angkatan Perang Jepang oleh angkatan perang Sekutu di Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Kepulauan Marshall, telah menyebabkan seluruh garis pertahanan di daerah Pasifik mulai berhasil ditembus oleh sekutu yang juga sebagai pertanda bahwa kekalahan Jepang sudah di depan mata. Di Hindia Timur, Jepang juga mengalami serangan udara sekutu yang dilakukan di Ambon, Makassar, Manado dan Surabaya; selain itu, tentara sekutu juga telah berhasil mendarat di daerah-daerah penghasil minyak seperti di Tarakan dan Balikpapan.
Di dalam upaya untuk menghadapi situasi itu, maka pemerintah pendudukan Jepang di Jawa yang berada di bawah pimpinan Letnan Jenderal Kumakichi Harada, pada tanggal 1 Maret 1945 mengumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan atau Dokuritsu junbi Cosakai. Tindakan yang diambil ini merupakan langkah konkrit yang pertama bagi pelaksanaan janji Koiso tentang ” kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari”. Tujuan dari pembentukan badan ini adalah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berhubungan dengan pembentukan negara Indonesia merdeka.
Susunan dari kepengurusan BPUPKI terdiri atas sebuah badan perundingan dan kantor tata usaha. Dimana badan perundingan terdiri dari seorang Kaico (ketua), dua orang Fuku Kaico (ketua muda), 60 orang Lin (anggota), termasuk empat orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda atau Indo. Di samping itu, terdapat pula 7 orang Jepang yang duduk sebagai anggota, di mana mereka duduk dalam pengurus istimewa yang akan menghadiri setiap sidang tetapi tidak memiliki hak suara.
Pengangkatan tokoh-tokoh yang mengisi jabatan-jabatan dalam BPUPKI diumumkan pada tanggal 29 April 1945. Tokoh yang diangkat sebagai ketua adalah dokter K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. Pengangkatan dokter Radjiman ini dinilai oleh Soekarno sebagai kesempatan bagi dirinya untuk dapat terlibat aktif di dalam diskusi-diskusi yang akan dilaksanakan oleh BPUPKI. Sedangkan jabatan ketua muda dijabat oleh Ichibangase dan R. P. Suroso yang Suroso diangkat pula sebagai kepala sekretariat BPUPKIdan dibantu oleh Toyohito Masuda dan Mr. A. G. Pringgodigdo.
Adapun nama-nama anggota BPUPKI yang merupakan orang Indonesia adalah sebagai berikut:
- Abdul Kaffar
- Abdul Kahar Muzakir
- Agus Muhsin Dasaad
- A. R. Baswedan
- Bandoro Pangeran Hario Purobojo
- Bendoro Kanjeng Pangeran Ario Suryohamijoyo
- Bendoro Pangeran Hario Bintoro
- Dr. Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Wedyodiningrat
- Dr. Raden Buntaran Martoatmojo
- Dr. Raden Suleiman Effendi Kusumaatmaja
- Dr. Samsi Sastrawidagda
- Dr. Sukiman Wiryosanjoyo
- Drs. Kanjeng Raden Mas Hario Sosrodiningrat
- Drs. Muhammad Hatta
- K. H. A. Ahmad Sanusi
- Haji Abdul Wahid Hasyim
- Haji Agus Salim
- Ir. Pangeran Muhammad Nur
- Ir. Raden Ashar Sutejo Munandar
- Ir. Raden Mas Panji Surahman Cokroadisuryo
- Ir. Raden Ruseno Suryohadikusumo
- Ir. Soekarno
- K.H. Abdul Halim Majalengka
- Kanjeng Raden Mas Tumenggung Ario Wuryaningrat
- Ki Bagus Hadikusumo
- Ki Hajar Dewantara
- Kiai Haji Abdul Fatah Hasan
- Kiai Haji Mas Mansoer
- Kiai Haji Masjkur
- Liem Koen Hian
- Mas Aris
- Mas Sutarjo Kartohadikusumo
- Mr. A. A. Maramis
- Mr. Kanjeng Raden Mas Tumenggung Wongsonagoro
- Mr. Mas Besar Martokusumo
- Mr. Mas Susanto Tirtoprojo
- Mr. Muhammad Yamin
- Mr. Raden Ahmad Subarjo
- Mr. Raden Hindromartono
- Mr. Raden Mas Sartono
- Mr. Raden Panji Singgih
- Mr. Raden Syamsudin
- Mr. Raden Suwandi
- Mr. Raden Sastromulyono
- Mr. Yohanes Latuharhary
- Ny. Mr. Raden Ayu Maria Ulfah Santoso
- Ny. Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito
- Oey Tiang Tjoei
- Oey Tjong Hauw
- P.F. Dahler
- Parada Harahap
- Prof. Dr. Mr. Raden Supomo
- Prof. Dr. Pangeran Ario Husein Jayadiningrat
- Prof. Dr Raden Jenal Asikin Wijaya Kusuma
- Raden Abdul Kadir
- Raden Abdulrahim Pratalykrama
- Raden Abikusno Cokrosuyoso
- Raden Adipati Ario Purbonegoro Sumitro Kolopaking
- Raden Adipati Wiranatakoesoema V
- Raden Asikin Natanegara
- Raden Mas Margono Joyohadikusumo
- Raden Mas Tumenggung Ario Suryo
- Raden Oto Iskandardinata
- Raden Panji Suroso
- Raden Ruslan Wongsokusumo
- Raden Sudirman
- Raden Sukarjo Wiryopranoto
- Tan Eng Hoa
Sedangkan anggota BPUPKI yang merupakan orang Jepang ada tujuh, yaitu
- Matuura Mitukiyo
- Miyano Syoozoo
- Tanaka Minoru
- Tokonami Tokuzi
- Itagaki Masumitu
- Masuda Toyohiko
- Ide Teitiroo
Tujuan Dibentuknya BPUPKI
Sebagai sebuah organisasi BPUPKI memiliki dua tujuan utama yang mana sebetulnya tujuan utama dari pembentukan BPUPKI cenderung lebih berpihak kepada kepentingan Jepang karena jelas kiranya pembentukan BPUPKI ini adalah keinginan dari Perdana Menteri Koiso sebagai formatur kabinet yang baru dalam pemerintahan kemaharajaan Jepang dalam upaya untuk mempertahankan pengaruh Jepang di wilayah-wilayah yang telah berhasil diduduki Jepang selama Perang Dunia II dan dalam konteks ini adalah Indonesia.
Di bawah ini adalah dua tujuan dari pembentukan BPUPKI yaitu:
- BPUPKI dibentuk dengan tujuan agar dapat menarik simpati dari rakyat Indonesia sehingga rakyat Indonesia tetap mau membantu Jepang dalam peperangan menghadapi sekutu.
- BPUPKI dibentuk untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan mengenai Pembentukan suatu negara indonesia yang merdeka beserta dengan perangkat atau tata pemerintahannya.
BPUPKI kemudian melakukan upacara peresmiannya pada tanggal 28 Mei 1945 yang bertempat di gedung Chuo Sangi In, yang terletak di Jalan Pejambon, Jakarta (sekarang). Peresmian ini juga dihadiri oleh Jenderal Itagaki (panglima tentara wilayah ke-7 yang bermarkas di Singapura dan membawahi tentara-tentara di Indonesia) dan Letnan Jenderal Nagano (panglima tentara ke-16 yang baru di Jawa). Di dalam peresmian itu dikibarkan bendera Jepang oleh Mr. A. G. Pringgodigdo yang kemudian disusul pula dengan pengibaran bendera merah putih oleh Toyohiko Masuda.
Sidang Pertama BPUPKI: Perumusan Dasar Negara

Pada tanggal 29 Mei 1945 BPUPKI mengadakan sidang yang pertama yang bertujuan untuk merumuskan undang-undang yang mana hal ini dimulai dengan persoalan-persoalan bagi negara Indonesia merdeka. Dalam kalimat pembukaannya, ketua BPUPKI, dokter Radjiman meminta kepada para anggota untuk memberikan pandangannya atau pendapatnya mengenai dasar negara Indonesia merdeka yang akan mereka bentuk itu. Adapun tokoh-tokoh utama yang turut mengemukakan gagasannya dalam persidangan ini diantaranya Muh. Yamin (29 Mei 1945), Prof. Supomo (31 Mei 1945), dan Ir. Soekarno (1 Juni 1945).
Muh. Yamin mengusulkan rumusan dasar negara yang terdiri dari:
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri Ketuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
Sementara itu, Prof. Supomo juga mengusulkan gagasannya terkait dasar negara Indonesia adalah sebagai berikut:
- Persatuan
- Kekeluargaan
- Keseimbangan lahir dan batin
- Musyawarah
- Keadilan Sosial
Soekarno juga mengajukan lima sila yang mana terdiri dari:
- kebangsaan Indonesia,
- internasionalisme atau peri kemanusiaan,
- mufakat atau demokrasi,
- kesejahteraan sosial, serta
- keTuhanan Yang Maha Esa.
Di dalam persidangan ini Soekarno memberikan pernyataannya terhadap ke-5 sila itu dengan nama Pancasila.
Pada tanggal 1 Juni 1945 itu berakhirlah rapat atau persidangan pertama dari BPUPKI yang mana sidang itu belum menghasilkan suatu kesimpulan ataupun sebuah perumusan mengenai dasar negara. Selama persidangan itu berlangsung para anggota hanya mendengarkan pandangan-pandangan umum dari anggota-anggota iya memberikan usulannya tentang rumusan negara bagi Indonesia merdeka.
Panitia Kecil Atau Panitia Delapan
Setelah persidangan pada tanggal 1 Juni 1945, BPUPKI membentuk sebuah panitia kecil yang berada di bawah pimpinan Soekarno dan anggota lainnya yaitu;
- Moh. Hatta
- Sutardjo kartohadikusumo
- KH. Wahid Hasyim
- Otto Iskandardinata
- Mr. Muh. Yamin
- Ki Bagus Hadikusumo dan
- Mr. A. A. Maramis
Mereka bertugas untuk menampung saran-saran, usul-usul, dan konsepsi-konsepsi para anggota yang oleh ketua telah diminta untuk diserahkan melalui sekretariat.
Pada tanggal 10 Juni 1945 soekarno memberikan laporannya kepada ketua BPUPKI bahwasanya panitia kecil pada tanggal 22 Juni 1945 memprakarsai untuk mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI, yang sebagian diantaranya sedang menghadiri pula sidang Chuo Sangi In. Pertemuan itu oleh Soekarno ditegaskan sebagai “rapat pertemuan antara panitia kecil dengan anggota-anggota BPUPKI”. Hasil dari pada pertemuan itu adalah telah berhasil di kampungnya suara-suara dan secara lisan dari pihak anggota badan penyelidik.
Pembentukan Panitia Sembilan
Di dalam pertemuan itu dibentuk sebuah panitia kecil lain yang anggotanya berjumlah 9 orang. Kesembilan anggota itu untuk menyusun rumusan dasar negara berdasarkan pemandangan umum dari para anggota dan kemudian terkenal dengan sebutan Panitia Sembilan yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Mohammad Yamin, KH. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Abikusno Cokrosuyoso, H. Agus Salim, serta Mr. Alexander Andries Maramis.
Panitia Sembilan itu pada akhirnya telah menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan negara dari Indonesia merdeka, yang mana Hasil keputusan atau rumusan yang telah mereka capai bersama diterima dengan suara bulat dan ditandatangani. Rumusan dari hasil Panitia Sembilan itu oleh Muhammad Yamin kemudian diberi nama Jakarta Charter atau piagam Jakarta. Rumusan kolektif daripada Dasar Negara Indonesia merdeka tersebut yang tertuang di dalam Jakarta Charter adalah sebagai berikut:
- Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
- (serta dengan mewujudkan suatu) Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Perumusan terakhir dari draft dasar negara dilakukan pada persidangan kedua yang dimulai pada tanggal 10 Juli 1945. Dimana dalam kesempatan itu dibahas tentang wilayah negara, persiapan rancangan undang-undang, pembentukan panitia perancang undang-undang, pembelaan tanah air, serta keuangan dan juga perekonomian. Panitia perancang undang-undang dasar diketuai sendiri oleh Soekarno yang dibantu oleh 18 orang anggota yaitu;
- Mr. A. A. Maramis
- Oto Iskandar Dinata
- H. Agus Salim
- Poeroebojo
- Mr. Ahmad Subardjo
- Prof. Dr. Mr. Supomo
- Mr. Maria Ulfah Santoso
- K. H. Wachid Hasjim
- Mr. Johannes Latuharhary
- Parada Harahap
- Mr. Susanto Tirtoprodjo
- Mr. Wongsonegoro
- Mr. Sartono
- Wuryaningrat
- Mr. R. P. Singgih
- Tan Eng Hoat
- dr. Sukiman, dan
- Dr. P. A. Hoesein Djajadiningrat.
Berdasarkan rapat pada tanggal 11 Juli 1945, panitia perancang undang-undang dasar dengan suara bulat menyetujui isi preambule yang diambil dari Piagam Jakarta. Panitia tersebut kemudian membentuk sebuah “panitia kecil perancang undang-undang” yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo dengan anggota-anggotanya antara lain Mr. Wongsonegoro, Mr. A. A. Maramis, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. R. P. Singgih, H. Agus Salim dan dr. Sukiman. Pada rapat yang dilaksanakan pada tanggal 13 Juli 1945 telah diputuskan hasil perumusan dari panitia kecil yang disempurnakan bahasanya oleh sebuah “panitia penghalus bahasa” yang terdiri dari Hoesein Djajadiningrat, Agus Salim, dan Soepomo. Panitia penghalus bahasa itu juga memiliki tugas untuk menyempurnakan dan menyusun kembali rancangan undang-undang yang telah dibahas itu.
Sidang BPUPKI Kedua 14 Juli 1945
Persidangan kedua dari BPUPKI dilanjutkan pada tanggal 14 Juli 1945 untuk menerima laporan panitia perancang undang-undang dasar. Soekarno selaku ketua panitia melaporkan tiga hasil kesepakatan panitia, yakni:
- Pernyataan Indonesia merdeka.
- Pembukaan undang-undang dasar.
- Undang-undang dasarnya sendiri (Batang Tubuhnya)
Adapun konsep dari pernyataan Indonesia merdeka disusun dengan mengambil 3 alinea pertama dari Piagam Jakarta dengan sisipan yang cukup panjang terutama di antara alinea pertama dan alinea kedua. Konsep pembukaan undang-undang dasar hampir seluruhnya diambil dari alinea ke-4 dan terakhir Piagam Jakarta. Kedua konsep itu kemudian diterima oleh sidang setelah terjadi diskusi di antara panitia.
Sidang kedua badan penyelidik dilanjutkan dengan rapat besar tanggal 15 Juli 1945 dengan acara pembahasan lanjutan rancangan undang-undang dasar. Dalam laporannya kepada sidang, Soekarno menyatakan:
“… Kita rancangan undang-undang kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan individu. Kedaulatan rakyat sekali lagi, bukan kedaulatan individu. Inilah menurut paham panitia perancang undang-undang dasar, satu-satunya jaminan bahwa dengan Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian hari. Jadikan paham kita ini pun dipakai oleh bangsa-bangsa lain, itu akan memberi jaminan akan perdamaian dunia kekal dan abadi… Marilah kita menunjukkan keberanian kita dalam menjunjung hak kedaulatan bangsa kita.”
Soekarno
Pada sidang kedua rapat yang terjadi pada tanggal 16 Juli 1945 ketua sidang dokter Radjiman sebelum menutup sidang memastikan bahwa semua anggota setuju bulat-bulatnya pada hasil perumusan dasar negara.
Daftar Bacaan
- Evita, Andi Lili. Paeni, Mukhlis; Sastrodinomo, Kasijanto, ed. Gubernur Pertama Di Indonesia. 2017 Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Kusuma, A.B.; Elson, R.E. 2011. “A note on the sources for the 1945 constitutional debates in Indonesia” , Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 167 (2–3): 196–197.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
- Yunarti, Dorothea Rini. 2003. BPUPKI, PPKI, proklamasi kemerdekaan RI. Michigan: University of Michigan Press.