Dewawarman VII merupakan putra sulung dari Dewawarman VI dan menggantikan ayahnya untuk memerintah Kerajaan Salakanagara. Saat penobatannya sebagai raja Kerajaan Salakanagara, beliau bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati. Prabu Bima Digwijaya memiliki hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Bakulapura (Kutai, Kalimantan). Kekerabatan ini berdasarkan kakak permaisuri dari Dewawarman VII menikah dengan Atwangga (penguasa Bakulapura). Pernikahan antara kakak ipar Dewawarman dengan raja Bakulapura itu, lahirlah Kudungga (kelak menjadi raja pertama Kerajaan Kutai). Dewawarman VII memiliki putri sulung yang bernama Spatikarnawa Warmandewi.

Masa Pemerintahan Dewawarman VII
Dewawarman VII nampaknya menikmati jerih payah yang telah dibangun oleh Dewawarman VI selama memerintah. Perlu diingat kembali bahwa Dewawarman VI telah menjalin hubungan politik dengan India yang memperkuat posisi Kerajaan Salakanagara. Upaya ini pun nampaknya memang menjadikan iklim yang nyaman dalam kehidupan masyarakat Salakanagara. Hal ini bersesuaian dengan tidak adanya catatan tentang perselisihan antara Kerajaan Salakanagara dengan para bajak laut yang biasanya mengganggu aktivitas kemaritiman di kawasan perairan Salakanagara.
Di sisi lain, hubungan dengan India yang dibangun oleh Dewawarman VI nampaknya menjadi pisau bermata dua bagi Kerajaan Salakanagara. Penetrasi politik India nampak begitu kuat hingga memengaruhi politik istana Salakanagara. Hal ini terjadi ketika Dewawarman VII mangkat pada tahun 340. Ketika Dewawarman VII meninggal dunia, terjadi kemelut yang melanda Kerajaan Salakanagara. Kemelut yang terjadi di Salakanagara disebabkan oleh kedatangan Senapati Krodamaruta dari Calankayana. Senapati Krodamaruta adalah putera dari Gopala Jayangrana (putra ke-4 dari Dewawarman VI yang bertugas sebagai menteri di Kerajaan Calankayana). Senapati Krodamaruta melihat kesempatan bahwa pewaris takhta dari Dewawarman VII adalah seorang perempuan. Sehingga Senapati Krodamaruta merebut takhta Kerajaan Salakanagara dari putri Dewawarman VII yang bernama Spatikarnawa warmandewi.
Daftar Bacaan
- Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 4 Parwa 2
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 3 Parwa 2
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Ekajati, Edi S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.