Disintegrasi Yugoslavia
Disintegrasi Yugoslavia – Disintegrasi Yugoslavia (Republik Federal Sosialis Yugoslavia) terjadi sekitar tahun 1990 dan bubar pada tahun 1992. Disintegrasi Yugoslavia dimulai ketika mulai menurunnya tensi dari persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang disebabkan terutama oleh kebijakan Uni Soviet yang dilakukan selama pemerintahan Mikhail Gorbachev yang membawa keruntuhan dari Uni Soviet.
Yugoslavia adalah negara berhaluan sosialis dan berbentuk federasi yang diperintah oleh Liga Komunis Yugoslavia dan terdiri dari enam republik sosialis antara lain; Bosnia dan Herzegovina, Makedonia, Kroasia, Montenegro, Serbia, dan Slovenia serta dua provinsi otonomi yang terdapat di Serbia yakni Kosovo dan Vojvodina. Selama eksis, Yugoslavia beribukota di Begorad. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disintegrasi Yugoslavia.
Latar Belakang Disintegrasi Yugoslavia
Disintegrasi Yugoslavia setidaknya dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah; konflik etnis, krisis ekonomi, krisis kepemimpinan. Di bawah ini akan diberikan penjelasan penyebab dari disintegrasi Yugoslavia:
Konflik Etnis
Sejak daerah Balkan berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani, Serbia-lah paling gencar terlihat melakukan perlawanan. Hal ini dilakukan sebab apabila Serbia berhasil mengalahkan Turki, bangsa-bangsa Slavia Selatan akan dengan mudah dipersatukan oleh Serbia. Semangat nasionalisme Serbia sangat tinggi untuk mempersatukan bangsa-bangsa Slavia Selatan semenjak didengungkannya gerakan Pan-Slavisme.
Gerakan Pan Slavisme muncul sejak 1848. Gerakan ini ditujukan untuk mempersatukan bangsa-bangsa Slavia dan menjunjung tinggi kebudayaan Slavia. Gerakan ini diprakarsai oleh Rusia, Polandia, dan Serbia. Serbia mendapat pengaruh Pan Slavisme dari Rusia yang hendak meluaskan pengaruhnya di Balkan.
Setelah Perang Dunia I wilayah Kekaisaran Austria-Hungaria semakin kecil dan telah menciptakan negara-negara pecahan yang diantaranya adalah Serbia, Kroasia, dan Slovenia. Ketiga negara ini membentuk Kerajaan Serbia, Kroasia dan Slovenia (Kraljevina Srba, Hrvata, I Slovenaca) pada tanggal 1 Desember 1918 oleh Aleksandar Karadordevic. Setelah bangsa-bangsa Slavia Selatan tergabung dalam kerajaan Yugoslavia mulai terlihat dari eksistensi Serbia yang begitu besar dalam federasi yang dibangun bersama negara-negara Slavia Selatan tersebut. Serbia menerapkan sistem sentralisasi dalam pemerintahan kerajaan.
Sejak awal berdirinya kerajaan Yugoslavia pada tahun 1918 oleh Aleksandar Karadordevic, kerajaan Yugoslavia telah diterpa dengan berbagai percekcokan, terutama antara Kroasia dan Serbia. Tahta kerajaan Yugoslavia yang dipegang oleh Aleksander Karadordevic, menerapkan sistem sentralisasi dalam konstitusi kerajaan. Konstitusi tersebut rupanya tidak disetujui oleh Kroasia, terutama oleh Partai Tani Kroasia yang merupakan partai oposisi dan dominan di Kroasia yang dibentuk tahun 1904 oleh Stjepan Radic. Kroasia menginginkan otonomi yang lebih longgar dalam konstitusi kerajaan, namun keinginan tersebut ditolak oleh Serbia dengan berbagai alasan. Silang pendapat antara dua negara bagian ini segera menyulut pertikaian antara Kroasia dan Slovenia dengan Serbia dan Montenegro yang mendapat dukungan Muslim Bosnia.
Pertikaian yang terjadi antara Serbia dengan Kroasia kembali memuncak ketika terjadi pembunuhan tiga pimpinan Partai Tani Kroasia pada tanggal 20 Juni 1928. Kemarahan Kroasia semakin berkobar akibat peristiwa ini. Pada tahun 1929, ketika Aleksandar Karadordevic (Alexander I of Yugoslavia) mencoba untuk menekan konflik antara partai politik Serbia dan Kroasia dengan memberlakukan cara-cara diktator, Ante Pavelic, mantan delegasi parlemen dan pendukung gerakan separatisme Kroasia, melarikan diri ke Italia dan membentuk ustasha.
Ante Pavelic menyatakan tujuan pembentukan ustasha ini adalah untuk mencapai kemerdekaan Kroasia dari Yugoslavia. Ustasha mencontoh gerakan fasisme yang mulai muncul di Italia dan bisa dikatakan bahwa ustasha merupakan gerakan teroris dan nasionalis ekstrim. Untuk memicu krisis politik di Yugoslavia, anggota ustasha berupaya untuk menghasut pemberontakan petani di Dalmatia Utara pada tahun 1932 dan merancang pembunuhan terhadap Aleksandar Karadordevic di Marseille, Prancis pada tahun 1934.
Gerakan ustasha mencapai tujuannya ketika kekuatan Poros berhasil menginvasi Yugoslavia pada bulan April tahun 1941 dengan memanfaatkan perselisihan yang terjadi di Yugoslavia. Keberhasilan kekuatan Poros dalam menginvasi Yugoslavia membuat Ante Pavelic kemudian kembali ke Kroasia dan dengan dukungan dari Italia membentuk pemerintahan negara Kroasia dan akhirnya mendirikan Negara Independen Kroasia atau NDH (Nezavisna Drzava Hrvatska) yang diproklamirkan pada 10 April 1941 dan kaum Muslim Bosnia bergabung dalam organisasi ini.
Wilayah NDH mencakup Kroasia, sebagian Serbia dan seluruh wilayah Bosnia dan Herzegovina. Bosnia dimasukkan ke dalam negara Kroasia dan Islam dinyatakan sebagai agama resmi Kroasia. Negara Independent Kroasia adalah negara boneka bentukan Jerman yang bertahan antara tahun 1941-1945.
Ustasha mewajibkan pasukannya untuk bergabung dengan kekuatan Poros dan melawan gerakan perlawanan yang mulai beroperasi di Yugoslavia. Ante Pavelic mengorganisir Ustasha untuk memusnahkan etnis Serbia, Yahudi dan Gipsi di Kroasia serta di Bosnia. Sekitar 600.000 orang Serbia tewas dalam pembantaian yang dilakukan oleh Ustasha. Pembantaian tersebut menyisakan duka mendalam bagi etnis Serbia dan peristiwa yang merenggut banyak nyawa orang Serbia ini tentu tidak dapat dilupakan begitu saja.
Tragedi pembantaian terhadap Serbia mulai mereda seiring munculnya kaum komunis. Komunis yang selalu berseberangan dengan fasis menjadi salah satu kekuatan oposisi cukup kuat di Kroasia. Masa komunis Kroasia berhasil dikerahkan Josip Broz Tito sebagai pasukan Partisan yang akhirnya mampu mengalahkan kekuatan fasis. Di mana menyebabkan NDH bubar pada bulan Mei 1945 hampir bersamaan dengan runtuhnya kekuatan Jerman yang selama ini melindungi mereka.
Ante Pavelic dan pendukungnya melarikan diri dari Kroasia dari gelombang kekuatan Komunis. Semenjak fasis berhasil dikalahkan oleh Josip Broz Tito, yang notabennya adalah orang Kroasia, harapan Serbia untuk segera meluapkan dendam terhadap Kroasia tampaknya akan sulit diwujudkan.
Meskipun Serbia pernah dibantai oleh Kroasia, di sisi lain Kroasia juga telah melepaskan Yugoslavia dari cengkeraman fasis. Serbia pun terhanyut ke dalam suatu dilema. Selain menyimpan dendam, Serbia juga berhutang budi terhadap Kroasia lantaran perlawanan yang dilakukan Serbia terhadap fasis di bawah pimpinan Draza Mihalilovic mengalami kegagalan dalam mengusir kekuatan fasis. Barangkali hal inilah yang kemudian mengalihkan sasaran balas dendam Serbia menjadi ditujukan kepada Muslim Bosnia.
Pembantaian yang dilakukan Ustasha terhadap etnis Serbia bukanlah satu- satunya konflik etnis yang terjadi di Yugoslavia. Kerusuhan antar etnis juga terjadi antara minoritas etnis Serbia dengan etnis Albania di Kosovo. Ketika memerintah Josip Broz Tito memperkecil wilayah Serbia dengan membentuk dua provinsi otonom yaitu Vojvodina dan Kosovo. Tindakan tersebut merupakan jalan keluar yang diambil Tito terkait keinginan Serbia untuk menggabungkan wilayah Bosnia yang dihuni oleh etnis Serbia ke dalam wilayah Republik Serbia.
Sebelum menjadi daerah otonomi, Kosovo merupakan bagian dari Republik Serbia, namun mayoritas penduduk Kosovo adalah etnis Albania. Kehadiran etnis Albania di Kosovo disebabkan oleh penguasa Turki Utsmani pada abad ke-17 memindahkan penduduk Muslim Albania ke Kosovo guna menekan perkembangan Kristen Ortodoks yang kebanyakan dianut etnis Serbia. Akibatnya etnis Serbia di Kosovo selalu merasa terdeskriditkan.
Etnis Albania di Kosovo terlihat mulai memiliki keberanian untuk memusuhi etnis Serbia semenjak Aleksandar Rankovic. Aleksandar Rankovic adalah pemimpin Partai Komunis Yugoslavia pada tahun 1927. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, Direktur Militer, dan polisi Rahasia. Ia dianggap sebagai orang yang kekuasaannya langsung di bawah Tito. Tahun 1966, Tito memecat Aleksandar Rankovic dari jabatan wakil presiden karena menentang kebijakan liberalisasi yang sedang dijalankan.
Sengketa semakin meningkat dengan adanya diskriminasi politik yang dialami oleh etnis Serbia. Etnis Serbia tidak terima dengan adanya pencopotan birokrat Serbia di Kosovo yang dilakukan oleh orang-orang keturunan Albania. Rivalitas antara keduanya senantiasa terpelihara hingga menimbulkan perselisihan yang berlarut-larut. Sejak 1970, Kosovo tidak pernah berhenti dari pergolakan rasial, bentrokan antara Albania dengan Serbia sering terjadi.
Setelah kerusuhan yang cukup besar terjadi pada tahun 1968, kerusuhan dengan intensitas lebih besar meletus pada tahun 1981. Bulan April tahun 1981, terjadi demonstrasi etnis Albania memprotes kebijakan ekonomi Beograd yang diwarnai sentimen anti Serbia. Pemerintah federal berusaha memadamkan demonstrasi tersebut dengan cara kekerasan. Akibatnya, puluhan korban berjatuhan dalam peristiwa ini.
Kerusuhan yang terjadi di Kosovo merupakan masalah krusial yang perlu diwaspadai, karena memberikan dampak yang luas terhadap kelangsungan politik Yugoslavia. Situasi politik Yugoslavia semakin tidak stabil seiring munculnya Slobodan. Peliknya permasalahan yang melanda Kosovo dimanfaatkan oleh Slobodan Milosevic untuk mengambil langkah dalam mencapai puncak karir politiknya.
Sejak terpilih sebagai ketua Liga Komunis Serbia pada September 1987, Slobodan Milosevic menggunakan retorika nasionalisme etnis Serbia untuk memobilisasi massa pendukungnya sehingga dapat menggeser para pejabat yang terlalu moderat dalam menangani masalah Kosovo. Melalui revolusi antibirokratik tersebut, Slobodan Milosevic berjanji akan memenuhi harapan sosial dan kebangsaan etnis Serbia dengan menegaskan jaminan terhadap integritas Serbia sebagai sebuah bangsa yang mampu menyejahterakan perekonomian rakyat.
Tampak jelas bahwa Slobodan Milosevic berusaha menggantikan nasionalisme Yugoslavia yang didasarkan atas prinsip brotherhood and unity menjadi nasionalisme yang hanya didasarkan atas persamaan etnis yaitu etnis Serbia. Mengingat Yugoslavia adalah negara yang sangat multi etnis, cara tersebut tidak dapat dibenarkan karena akan memunculkan kecemburuan dari etnis lain. Ancaman terhadap integritas Yugoslavia semakin terlihat dengan adanya keterlibatan Kroasia dan Slovenia yang menentang kebijakan Slobodan Milosevic.
Keputusan dua republik tersebut memicu rivalitas yang semakin tinggi antara Kroasia dan Slovenia di satu pihak dengan Serbia dan Motenegro di pihak lain. Kosovo pun menjadi corner-stone yang memberikan andil sangat besar bagi terkoyak-koyaknya Yugoslavia. Penyelesaian yang dilakukan oleh Slobodan Milosevic justru semakin menjauhkan harapan untuk mengakhiri konflik berkepanjangan di Kosovo.
Permasalahan etnis yang muncul setelah tahun 1980 ini merupakan pertanda akan kurangnya rasa nasionalisme sebagai bangsa Yugoslavia. Setiap etnis dari republik bagian Yugoslavia, telah lebih dahulu memiliki kesadaran etnis masing-masing dibandingkan kesadaran nasional sebagai bangsa Yugoslavia. Proporsi dari penduduk yang lebih mengidentifikasi diri sebagai bangsa Yugoslavia daripada identitas etnis masing-masing hanya sekitar 5.4 % dalam sensus tahun 1981. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab utama dari disintegrasi Yugoslavia.
Krisis Ekonomi
Selama menjabat sebagai presiden, Josip Broz Tito memfokuskan pada pertumbuhan perekonomian yang pesat dan pertumbuhan itu dapat terlihat terutama pada tahun 1970-an. Namun, ekspansi ekonomi yang berlebihan itu telah menyebabkan inflasi dan mendorong Yugoslavia ke dalam resesi ekonomi. Masalah utama yang dihadapi oleh Yugoslavia adalah banyaknya utang yang muncul ditengah pesatnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 1970-an. Di mana hutang itu sulit untuk dilunasi pada tahun 1980-an. Krisis ekonomi yang menimpa Yugoslavia sekitar periode 1980-an, merupakan konsekuensi dari masa lalu Yugoslavia. Ketika Josip Broz Tito berkuasa, ia menerapkan sistem ekonomi pasar atau sistem ekonomi swakelola.
Sistem ekonomi yang dibentuk oleh Josip Broz Tito ini dapat dikatakan pada awalnya terlihat keberhasilan. Setelah kenikmatan panjang yang diperoleh dari sistem self-management socialism, suatu hal yang kemudian terjadi adalah Yugoslavia harus menghadapi permasalahan ekonomi yang begitu sulit. Hal ini disebabkan oleh karena perusahaan diberi wewenang lebih besar untuk mengatur dirinya sendiri.
Organisasi-organisasi swakelola didirikan di kalangan petani dan buruh. Harga barang ditetapkan berdasarkan tolok ukur ekonomi, bukan berdasarkan ketetapan pusat. Subsidi sebagian dicabut yang akhirnya republik-republik yang lebih makmur diwajibkan untuk membantu republik yang lebih miskin.
Josip Broz Tito mencoba menggunakan formula baru dalam perekonomian negaranya dengan meninggalkan sosialisme ala Rusia. Di mana alat produksi dimiliki secara langsung oleh kaum buruh secara kolektif. Mereka mengelola dan membagikan keuntungan di antara mereka sendiri. Sehingga dengan sistem ini, Yugoslavia adalah negara komunis pertama yang melaksanakan ekonomi pasar, sebuah konsep ekonomi yang lazimnya tumbuh subur di negara-negara kapitalis.
Perekonomian dalam sistem Sosialisme swakelola yang diterapkan di Yugoslavia pada masa pemerintahan Josip Broz Tito sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sosialisme Rusia. Terutama dalam hal ketidakinginan adanya pengangguran dalam negara. Hal ini menyebabkan setiap perusahaan terpaksa menampung buruh sebanyak mungkin, tanpa memperhitungkan jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk membayar upah para buruh. Lebih parah lagi buruh yang bekerja dalam sistem self management socialism merasa memiliki perusahaan di mana terkadang bahkan seringkali buruh bekerja seenaknya sendiri. Kualitas pekerja yang rendah akan menciptakan produk yang rendah pula sehingga menyebabkan produk tersebut kurang laku di pasaran.
Besarnya biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pendapatan dari setiap perusahaan. Kecilnya pendapatan perusahaan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan untuk membayar upah buruh. Hal ini memaksa perusahaan mencari dana pinjaman dari luar untuk menutup kekurangan dana dari perusahaan. Setiap tahun dana pinjaman yang diperoleh dari luar negeri terus bertambah. Terhitung sejak tahun 1975, hutang luar negeri Yugoslavia mencapai AS$5 milyar dan menjelang akhhir dasawarsa tahun 1970-an menjadi AS$ 6 miliar.
Hutang luar negeri tersebut naik menjadi AS$ 11,2 milyar pada tahun 1982 dan puncaknya hutang tersebut terus meningkat hingga mencapai AS$ 21 milyar pada tahun 1989. Cepatnya pertambahan aliran dana pinjaman luar negeri membuat Yugoslavia harus menanggung hutang dalam jumlah yang sangat besar pasca kepemimpinan Josip Broz Tito.
Jumlah hutang yang semakin meningkat akibat pengeluaran perusahaan lebih besar dari pada pendapatan menimbulkan jumlah uang yang beredar terus bertambah dan inflasi mulai tumbuh subur di Yugoslavia. Angka-angka inflasi yang dihadapi Yugoslavia telah mencapai angka 90% pada tahun 1986. Pada tahun 1987 Yugoslavia harus menerima kenyataan pahit ketika terungkapnya korupsi Agrokomerc.
Kasus Agrokomerc merupakan kasus korupsi akibat otonomi republik bagian Yugoslavia dalam mengelola perusahaan di daerahnya. Skandal itu menyangkut penerbitan prome-note (nota yang dapat diuangkan) kosong senilai AS$ 865 juta. Dana yang terhimpun ternyata sebagian besar dipergunakan untuk membengun proyek-proyek mercusuar yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan aktivitas perusahaan. Perusahaan Agrokomerc di Bosnia ternyata menjadi pusat dari hubungan korupsi yang luas diseluruh Yugoslavia dan ketika perusahaan ini bangkrut, negara dipaksa untuk bertanggungjawab dan melunasi hutang yang dibuat oleh Agrokomerc.
Skandal penggelapan dana terbesar Agrokomerc terjadi di wilayah Bosnia-Herzegovina. Hamdija Pozderac yang menjabat sebagai wakil presiden Yugoslavia serta Fadil Hodza, salah satu anggota Dewan Kepresidenan Federal adalah dalang dari kasus korupsi Agrokomerc. Keduanya beserta sejumlah pejabat lain yang terlibat dalam kasus tersebut kemudian diberhentikan dari jabatannya.
Kasus lain yang tak kalah mengundang perhatian masyarakat adalah skandal Neum. Skandal Neum adalah penyalahgunaan kredit berjumah ratusan dolar. Kredit tersebut disediakan pemerintah untuk membantu program pengadaan perumahan bagi masyarakat tingkat bawah dengan suku bunga serta jangka waktu 20 tahun. Kredit tersebut ternyata dimanfaatkan sekitar 500 orang pejabat dan tokoh Yugoslavia untuk membangun vila-vila mewah di Neum, salah satu tempat peristirahatan kenamaan di pantai Adriatik.
Skandal ini juga melibatkan sejumlah pejabat penting Bosnia- Herzegovina antara lain Milanko Renovica seorang mantan ketua partai, Nikola Stajonoivic yang menjabat sebagai sekretaris partai, Mato Andric menjabat sebagai Presiden Bosnia-Herzegovina, dan Hvorje Istuk adalan ketua Aliansi Sosialis Yugoslavia cabang Bosnia-Herzegovina. Setelah kasus ini terkuak keempat pejabat tersebut dicopot dari posisinya masing-masing. Akibat dua kasus korupsi ini, negara menderita kerugian besar dan perekonomian Yugoslavia semakin memprihatinkan.
Kondisi ekonomi Yugoslavia yang terus memburuk membuat pemerintah federal kewalahan. Ketika beberapa pinjaman telah jatuh tempo pemerintah tidak sanggup melunasinya. Sementara itu, taraf hidup rakyat di beberapa republik semakin rendah. Para pegawai negeri tidak lagi menerima gaji sebagaimana mestinya. Jumlah pengangguran pun meningkat tajam akibat adanya pemberhentian pekerja secara besar-besaran yang dilakukan sejumlah peruasahaan. Hal ini terpaksa dilakukan karena perusahaan-perusahaan tersebut sudah tidak mampu lagi membayar gaji untuk para buruh.
Gelombang pemogokan mulai berkembang antara tahun 1987-1988 di mana para pekerja menuntut upah yang lebih tinggi akibat dari inflasi yang terjadi. Selain pemberhentian besar-besaran di tahun 1987 inflasi di Yugoslavia telah naik menjadi 140% dan pada tahun 1988 inflasi naik lagi menjadi 250%. Inflasi tersebut masih mengalami kenaikan hingga mencapai 2.665% pada tahun 1989 Sebuah kenaikan yang amat mengerikan dan ini menandakan bahwa perekonomian Yugoslavia dalam keadaan kritis.
Ketegangan antara wilayah-wilayah Republik Federal Yugoslavia pun mulai terjadi. Kroasia dan Slovenia merupakan negara bagian yang kaya dituntut untuk memberikan anggaran yang lebih besar untuk membantu republik-republik yang dirasa kurang, seperti Serbia. Serbia menuntut sentralisasi dengan memaksa Kroasia dan Slovenia memberikan lebih banyak anggarannya ke dalam keuangan negara Republik Federasi Yugoslavia.
Setiap pemerintahan yang mendapat giliran untuk memimpin federasi selalu mencanangkan perbaikan ekonomi sebagai program utamanya, namun upaya tersebut tidak pernah berhasil. Kegagalan tersebut terjadi lantaran pemerintah tidak memiliki keberanian untuk mereformasi sistem perekonomian Yugoslavia secara radikal. Kegagalan partai komunis untuk mengatasi buruknya perekonomian memicu lahirnya tuntutan untuk demokratisasi, pluralisme, dan penghargaan pada hak asasi manusia. Partai komunis Yugoslavia kemudian mengalami perpecahan, terutama antara pusat dengan republik-republik bagian.
Situasi ekonomi yang kacau dimanfaatkan Kroasia dan Slovenia sebagai alasan untuk semakin memperjelas rivalitasnya dengan Serbia. Kroasia dan Slovenia terlihat paling menunjukkan ketidakuasannya terhadap kebijakan ekonomi Ante Markovic (Ante Markovic adalah Perdana Menteri terakhir dari Federasi Yugoslavia yang menjabat pada periode 1989-1991. Dia telah memperkenalkan pasar pada kalangan masyarakat kelas bawah serta mereformasi politik Yugoslavia).
Sebagai republik dengan tingkat kekayaan lebih, keduanya merasa dirugikan ketika harus menutupi kekurangan-kekurangan finansial yang dialami republik lain. Kedua republik ini secara terang-terangan menyatakan penolakannya untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sebagai akibatnya, kedua republik tersebut tak henti-hentinya terlibat perselisihan dengan Serbia dalam berbagai kepentingan. Jika sebelumnya konflik hanya sebatas perang mulut, maka sejak pertengahan tahun 1990 kontak fisik mulai terjadi.
Perselisihan antara Kroasia dan Slovenia dengan pemerintah federal akibat krisis ekonomi berujung pada tuntutan kelonggaran dalam pemerintahan oleh dua republik tersebut. Bagi Kroasia dan Slovenia tentu tidak menjadi masalah ketika harus membangun pemerintahan tanpa ada campur tangan pemerintahan federal. Bahkan keduanya merasa akan bernasib lebih baik jika terlepas dari federasi, meskipun hal itu tidak sepenuhnya benar.
Kekhawatiran justru muncul pada pemerintah federal karena akan kehilangan cukup besar dari pendapatan yang semula diperoleh dari Kroasia dan Slovenia. Perselisihan antara Kroasia dan Slovenia dengan pemerintah pusat mengenai tuntutan status kemerdekaan dua republik tersebut semakin sulit diatasi. Prahara ini mengindikasikan, krisis politik akan timbul seiring terjadinya krisis ekonomi dalam suatu negara.
Krisis Kepemimpinan
Perlu disadari bahwa Federasi Yugoslavia dibangun atas kerja keras lima tokoh penting, yakni Joseph Broz Tito dari Kroasia, Edward Kardelj dari Slovenia, Alexander Rankovic dari Serbia, Milovan Djilas dari Montenegro, dan Mosa Pijade seorang keturunan Yahudi. Kelima tokoh komunis ini merupakan cerminan dari cita-cita dari terbentuknya Yugoslavia, yaitu dengan mempersatukan seluruh bangsa Slavia Selatan dalam satu negara. Masa lalu Yugoslavia yang selalu dipenuhi dengan konflik antar etnis, kini hal tersebut bukan lagi menjadi penghalang untuk mempererat hubungan antar bangsa- bangsa Slavia Selatan. Kelima tokoh pendiri ini, terutama Joseph Broz Tito sangat meyakini bahwa Yugoslavia akan memiliki masa depan gemilang dalam kendali mereka.
Sejak Josip Broz Tito menjadi presiden Yugoslavia, keempat tokoh komunis lainnya memiliki nasib yang berbeda dalam Federasi Yugoslavia; Alexander Rankovic menjabat wakil presiden yang menangani urusan keanggotaan partai dan polisi rahasia. Edward Kardelj adalah pemimpin Slovenia yang juga menjabat sebagai kepala departemen ideologi LKY (Liga Komunis Yugoslavia). Sementara Milovan Djilas, sejak awal telah memiliki pemikiran yang cenderung berseberangan dengan Tito sehingga membuatnya dicopot dari keanggotaan partai. Mosa Pijade sendiri tidak terlalu banyak diketahui mengenai dirinya. Mosa Pijade lebih banyak dikenal sebagai artis dan pelukis yang aktif dalam gerakan komunis pimpinan Josip Broz Tito.
Josip Broz Tito sebagai tokoh utama dalam federasi tersebut telah menciptakan suatu pemandangan baru dalam pemerintahan Yugoslavia. Perdamaian antar bangsa Slavia mulai terpelihara dan luka akibat perang antar etnis perlahan-lahan mulai hilang. Josip Broz Tito juga berhasil menjaga keseimbangan perlakuan terhadap masing-masing etnis maupun negara bagian Federasi Yugoslavia, sehingga selama kepemimpinan Josip Broz Tito tidak pernah terjadi kerusuhan dalam skala besar. Dapat dikatakan Yugoslavia berada pada puncak kejayaan selama diperintah oleh Josip Broz Tito.
Pada tanggal 4 Mei 1980, kematian Josip Broz Tito diumumkan melalui siaran-siaran di Yugoslavia. Kematian Josip Broz Tito yang dianggap sebagai pemersatu utama Yugoslavia dapat mengancam terjadinya disintegrasi Yugoslavia. Krisis yang muncul di Yugoslavia terkait pula dengan melemahnya kekuatan negara-negara komunis menjelang berakhirnya Perang Dingin. Di Yugoslavia, Liga Komunis Yugoslavia mulai kehilangan arah ideologisnya sebagai sebuah partai.
Pada tahun 1986 Serbian Academy of Sciences and Arts (SANU) memberikan kontribusi yang besar terhadap kebangkitan sentiment nasionalis, sebab dalam Memorandum SANU yang dianggap kontroversial itu telah memprotes melemahnya pemerintahan pusat Serbia. Pada tahun 1987 Slobodan Milosevic ditugaskan untuk menghentikan protes yang disebabkan oleh Memorandum SANU. Slobodan Milosevic menanggap segala bentuk nasionalisme sebagai bagian dari bentuk pengkhianatan dan mengutuk apa yang disebutkan dalam Memorandum SANU.
Permasalahan yang terdapat di provinsi otonom Serbia SAP Kosovo antara etnis Serbia dan Albania mulai kembali muncul kepermukaan. Hal ini ditambah dengan permasalahan ekonomi yang terjadi di Kosovo dan Serbia yang menyebabkan orang Albania Kosovo menuntut status republik pada awal 1980-an dan tuntutan ini memuncak pada tahun 1981. Serbia memandang apabila pemisahan Kosovo terealisasi maka akan merugikan bagi Serbia. Oleh karena itu, terjadilah penindasan terhadap penduduk Albania Kosovo. Sementara itu, republic yang lebih makmur, SR Slovenia dan SR Kroasia mulai mengambil langkah-langkah menuju desentralisasi dan demokrasi.
Sepeninggal Josip Broz Tito, kebijakan yang diambil untuk mendapatkan pemimpin bagi federasi ini adalah menggunakan sistem kepemimpinan kolektif yang disebut Dewan Kepresidenan Federal (DKF). Sistem ini digunakan dengan tujuan untuk menghindari dominasi salah satu republik di dalam federasi. Masing-masing republik bagian beserta dua provinsi otonom mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi ketua DKF atau presiden Yugoslavia. Jabatan presiden diberikan secara rotasi setiap tahun dari perwakilan republik dan provinsi otonom untuk menghindari terjadinya perebutan kekuasaan.
Selama beberapa tahun pertama, pelaksanaan pemerintahan kolektif tidak ada masalah serius selain masalah perekonomian nasional. Akan tetapi, keadaan mulai berubah semenjak kemunculan Slobodan Milosevic. Jabatan presiden yang telah diperoleh, akan menjadi jalan bagi Slobodan Milosevic dalam meraih ambisi-ambisi politik berikutnya yaitu menjadi orang terkuat di Yugoslavia sepeninggal Josip Broz Tito.
Slobodan Milosevic berhasil menjadi orang terkuat di Serbia setelah mengalahkan Ivan Stambolic pada 22 September 1987. Slobodan Milosevic juga bermaksud untuk membangun kembali kebesaran tradisional, kehormatan, dan keagungan etnik Serbia dengan menggagaskan perwujudan Serbia Raya (Greater Serbia). Sejak itu eksistensi Serbia dalam pemerintahan Federasi Yugoslavia semakin dominan.
Slobodan Milosevic kemudian berusaha untuk mengalahkan pesainganya dengan memaksakan pengaruhnya terhadap dua republik, Serbia dan Montenegro dan dua daerah otonomi yaitu Kosovo dan Vojvodina. Slobodan Milosevic merancang pergeseran pemerintah di Montenegro, Kosovo dan Vojvodina dan digantikan dengan orang-orang yang dianggap sebagai sekutu bagi Slobodan Milosevic.
Dominasi Serbia dalam pemerintahaan pusat berdampak buruk pada proses perputaran ketua DKF. Ketua DKF yang ketika itu diduduki oleh Borisav Jovic, wakil dari Serbia telah habis masa jabatannya dan yang mendapat giliran untuk menggantikan posisi Jovic adalah Stipe Mesic, wakil dari Kroasia. Pencalonan Mesic sebagai ketua DKF selanjutnya, ternyata mendapat penolakan dari pihak Serbia.
Penolakan Serbia atas Stipe Mesic ini adalah salah satu bentuk campur tangan yang dilakukan oleh Slobodan Milosevic yang ingin mengendalikan seluruh Yugoslavia. Stipe Mesic dituduh sebagai tokoh nasionalis yang dapat menyebabkan disintegrasi Yugoslavia. Sementara itu, pihak Kroasia menganggap tindakan Serbia tersebut yang justru akan menyebabkan disintegrasi Yugoslavia.
Penolakan Serbia atas Stipe Mesic tersebut akhirnya menimbulkan perdebatan antara Kroasia dengan Serbia. Perselisihan yang terjadi antara keduanya kembali memanas dan bahkan akan terus meninggi. Pihak Kroasia tidak terima dengan perlakuan Serbia karena berdasarkan peraturan pemerintahan federal, ketua DKF harus diganti tiap tahunnya. Sedangkan Serbia sendiri tetap bersikeras dengan pendiriannya untuk menolak Stipe Mesic dan menginginkan jabatan ketua DKF Yugoslavia tetap dipegang oleh Borisav Jovic, wakil dari republiknya.
Menjelang Borisav Jovic harus meletakkan jabatannya, pemerintah federal tidak juga berhasil mencapai kesepakatan karena keduanya tetap bersikeras pada keinginannya masing- masing. Kroasia mengancam akan mengambil tindakan yang lebih jauh apabila Serbia tetap tidak bersedia menerima pencalonan Stipe Mesic. Ketegangan antara Serbia dan Kroasia ini juga menjadi penyebab disintegrasi Yugoslavia.
Pengaruh Kemunduran Negara-Negara Eropa Timur
Baik Uni Soviet maupun Yugoslavia juga mengalami keruntuhan dalam waktu yang hampir sama. Uni Soviet runtuh pada 31 Desember 1990 dan pada tahun-tahun berikutnya satu per satu republik bagian Yugoslavia memisahkan diri dari federasi Yugoslavia. Bubarnya Uni Soviet merupakan dampak dari adanya pembaruan politik yang dilakukan presiden Mikhail Gorbachev. Gebrakan pembaruan Gorbachev melalui Glasnost (keterbukaan), Perestroika (restrukturisasi), dan Demokratizatsiya (demokratisasi) yang telah membuka jalan reformasi sistem politik di Uni Soviet dan negara-negara satelitnya yang lambat laun juga mempengaruhi kondisi di Yugoslavia.
Mikhail Gorbachev telah mewarisi kebobrokan dari para pendahulunya, sehingga ia mencoba melancarkan berbagai pembaruan. Sebenarnya, upaya pembaruan juga telah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin Uni Soviet sebelum era kepemimpinan Mikhail Gorbachev. Seperti para pendahulunya, Mikhail Gorbachev melakukan pembaruan yang dimaksudkan untuk menyehatkan dan merevitalisasi ideologi komunis dan juga ekonomi dengan harapan agar masyarakat lebih berinisiatif, kreatif, dan bekerja keras guna mengejar ketertinggalannya yang makin jauh dari sejumlah negara lain, terutama negara- negara barat.
Realitas yang berkembang memperlihatkan bahwa gerakan pembaruan itu justru menyalakan api krisis ideologi yang melumpuhkan komunisme sebagai ideologi resmi negara-negara di Eropa Timur. Setelah memasuki jangka waktu yang cukup panjang, glasnost dan perestroika menghasilkan perubahan nyata dalam bidang politik yang juga membawa pengaruh dalam bidang ekonomi.
Pembaruan di negara-negara Eropa Timur anggota Pakta Warsawa telah berkembang menuju terbongkarnya sistem monopoli partai komunis yang hendak menerapkan sistem multi partai sebagai gantinya. Partai- partai oposisi mulai tumbuh dan berkembang dan bahkan mampu mengungguli partai komunis. Akibatnya, partai komunis melemah dan akhirnya runtuh di seluruh Eropa Timur.
Konsep Glasnost juga telah menyadarkan negara-negara Eropa Timur bahwa pemerintahan yang tersentralisasi secara ketat dan tertutup yang didasarkan pada ideologi komunis telah melemahkan kreatifitas bangsanya sehingga tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Kesadaran tersebut segera diikuti tindakan dengan melepaskan status sebagai satelit Uni Soviet dan memilih untuk menjadi negara sendiri.
Melihat kecenderungan di Uni Soviet, republik-republik bagian Yugoslavia memutuskan untuk mengambil tindakan serupa. Republik-republik bagian Yugoslavia memilih untuk melepaskan diri dari federasi Yugoslavia sebagai reaksi terhadap sistem pemerintahan yang sentralistik. Mereka merasa akan jauh lebih berkembang ketika mereka dengan bebas mengatur pemerintahan mereka sendiri tanpa mengikuti prinsip komunisme.
Runtuhnya Uni Soviet menandakan bahwa Perang Dingin telah berakhir. Amerika tidak perlu lagi menghadapi ancaman komunis yang merupakan musuh utama Amerika. Pada era Perang Dingin, Amerika memanfaatkan keberadaan Yugoslavia sebagai negara tetangga Uni Soviet sebagai daerah penengah dalam pertikaian antara Amerika dengan Uni Soviet. Yugoslavia merupakan negara komunis yang tidak terlibat dalam Pakta Warsawa. Yugoslavia memutuskan untuk bersikap netral dan menyatakan diri sebagai negara non-blok terkait perselisihan antara Blok Barat dan Blok Timur.
Posisinya yang netral, membuat Amerika memiliki banyak kepentingan di Yugoslavia selama Perang Dingin. Hal ini membuat Yugoslavia memperoleh cukup banyak keuntungan dengan adanya berbagai bantuan yang diperoleh dari kerjasamanya dengan Amerika. Semenjak Uni Soviet runtuh, Amerika tidak lagi memiliki kepentingan di Yugoslavia. Berbagai bantuan, terutama dalam bidang ekonomi tidak lagi diperoleh. akibatnya, Yugoslavia mengalami kesulitan ekonomi yang menjadi salah satu pemicu disintegrasi Yugoslavia.
Negara-negara komunis di Eropa Timur umumnya memiliki pola pikir yang sama dalam hal merebut atau memenangkan kekuasaan. Pola umum tersebut ternyata juga berlaku untuk keruntuhan rezim komunis di Eropa Timur. Konsep glasnost yang bertolak belakang dengan prinsip utama komunis telah membuka jalan bagi masuknya perkembangan dan informasi dari luar. Bangsa-bangsa Eropa Timur mulai memahami bahwa ideologi komunis adalah ideologi yang rapuh dan tidak mampu memberi kepuasan. Hal ini memicu terjadinya krisis umum komunisme.
Krisis umum komunisme ini ditandai dengan terus-menerus membelotnya negara-negara baru dari model yang sebelumnya berada di bawah pengaruh oleh Uni Soviet, melemahnya posisi negera-negara tersebut dalam persaingan ekonomi dengan demokrasi-demokrasi usaha bebas yang telah maju, terjadinya monopoli partai, dan disintegrasi blok Soviet. Secara kumulatif, faktor-faktor operasional, institusional, dan filosofis ini memberikan sumbangan kebijakan-kebijakan yang akhirnya tidak hanya mengakibatkan krisis umum komunisme, tetapi juga menyebabkan tumbuhnya ketidakastian terhadap hari depannya. Ketidakpastian yang telah membawa disintegrasi Yugoslavia dan kini nama Yugoslavia hanya tercatat dalam buku sejarah.
Daftar Bacaan
Brown, Cynthia; Karim, Farhad. 1995. Playing the “Communal Card”: Communal Violence and Human Rights. New York City: Human Rights Watch.
Cohen, Philip J. 1996. Serbia’s Secret War: Propaganda and the Deceit of History. Texas: A&M University Press.
Crampton, R.J. 1997. A Concise History of Bulgaria. Cambridge: Cambridge University Press.
Denitch, Bogdan Denis. 1996. Ethnic nationalism: The tragic death of Yugoslavia. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Lukic, Reneo; Lynch, Allen. 1996. Europe from the Balkans to the Urals: The Disintegration of Yugoslavia and the Soviet Union. Oxford: Oxford University Press.
Trbovich, Ana S. 2008. A Legal Geography of Yugoslavia’s Disintegration. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-533343-5.
Wachtel, Andrew. 1998. Making a Nation, Breaking a Nation: Literature and Cultural Politics in Yugoslavia. Stanford: Stanford University Press.