Gerakan Islam Tradisional Pada Masa Pergerakan Nasional
Gerakan Islam Tradisional– Memasuki abad ke-19, di Dunia Islam terjadi pembaruan pola pikir perjuangan dan pemahaman keagamaan yang mencoba menjawab tantangan zaman. Pemikiran-pemikiran tersebut dimunculkan oleh orang-orang yang disebut sebagai mujadid atau orang-orang yang memperbarui pemahaman agama. Maraknya konsep pembaruan ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pemikir dan pembaru Islam, seperti Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi dengan konsep Tahrir al-mar’ah (emansipasi wanita) dan patriotisme, Jamaludin al-Afghani dengan Pan-Islamisme, Muhammad Abduh dengan seruan ijtihad dan liberalisme pemikiran, Rasyid Ridha yang mengemukakan bahwa pandangan salaf membawa dampak positif bagi kebangkitan Islam, serta Maulana Ilyas Kandahlawi dengan konsep pemisahan politik dari kehidupan beragama.

Gagasan-gagasan pembaruan yang muncul mulai abad ke-19 itu terus berkembang dan mengantarkan kondisi awal abad ke-20 yang dapat dikatakan sebagai kesadaran mewujudkan pemikiran-pemikiran yang masih abstrak ke dalam bentuk usaha yang kongkret. Penyebaran pemikiran dan gagasan baru ini pun sampai ke indonesia.
Aktifitas Haji, forum ilmiah, dan surat kabar, menjadi perantara yang membawa gagasan tersebut. Dari beberapa gagasan pembaruan tersebut terdapat beberapa konsep yang menumbuhkan semangat kesadaran politik Islam, namun di lain pihak muncul juga golongan tradisional yang berkhidmat pada mazhab tertentu dan cenderung menutup pintu ijtihad.
Penetrasi pemikiran dari luar wilayah Indonesia masuk melalui interaksi yang dilakukan oleh orang-orang dari Indonesia melalui aktifitas ibadah Haji. Melalui proses perjalanan ibadah haji ini fungsi-fungsi legitimasi, politik, ilmu, dan fungsi sosial muncul. Selanjutnya berbagai pemikiran tersebut ada yang diterima dan mengalami penyesuaian dengan kondisi kultural masyarakat setempat.
Di Indonesia, pergerakan dunia Islam lebih merujuk kepada gerakan moderen dan tradisional. Pada masa pergerakan nasional dimana gejolak rasa nasionalisme menentang eksistensi penjajah Belanda di Indonesia yang mulai menggelora, tentu ummat islam sebagai mayoritas kalangan pribumi Indonesia memiliki peranan yang amat penting. Seperti halnya peranan pemuda, wanita, serta etnis Tionghoa pada masa pergerakan nasional, kalangan moderen dan tradisi Islam tentu juga berperan terutama dalam bidang pendidikan. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang gerakan Islam tradisional pada masa pergerakan nasional di Indonesia.
Gerakan Islam Tradisional
Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris yakni tradition yang diterjemahkan ke dalam bahasa bahasa Indonesia menjadi tradisi. Sedangkan kata tradisi dalam kamus Bahasa Indonesia memiliki arti segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, dan ajaran yang turun temurun dari leluhur. Dalam bahasa Arab kata tradisi adalah salah satu makna dari kata sunnah selain kata norma, aturan, kebiasaan. Selanjutnya kata sunnah menjadi istilah yang mengacu kepada segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan.
Gerakan Islam tradisional adalah gerakan yang membangkitkan tradisi Islam sebagai suatu realitas spiritual ditengah modernisme. Aktifitas yang dilakukan kelompok ini bukan lagi pada tataran pertemuan politis melainkan hati dan pikiran individu yang terkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok gerakan ini beranggapan bahwa kebangkitan dunia Islam harus bersamaan dengan kebangkitan umat Islam itu sendiri.
Gagasan mengenai perubahan bukan merupakan gagasan dari lua yang ingin mengubah dunia namun tidak mengubah manusia itu sendiri. Penekanan gerakan Islam tradisional adalah pada perubahan batin masyarakat Islam secara keseluruhan.
Gambaran mengenai Islam tradisional sendiri dapat dipahami melalui jalan pikirannya terhadap berbagai bidang dalam Islam. Islam tradisional menerima Al-Qur’an sebagai perkataan Tuhan, dalam bentuk isi secara utuh dan sebagai bentuk penjelmaan perkataan abadi Tuhan yang tanpa permulan waktu. Islam tadisional melindungi syari’ah seutuhnya sebagai hukum Tuhan, dan Islam tradisional menganggap sufisme sebagai sebuah dimensi terdalam dari titik kebangkitan Islam.
Aktifitas gerakan Islam tradisional dapat dijumpai diberbagai negara. Di India kelompok muslim tradisional menentang kaum modernis dan nasionalis dalam bidang politik. Agar lebih memperkokoh sosialisasi tradisionalis yang ada pada gerakannya, maka kelompok tradisional India mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan pengetahuan agama, dan tidak mau bekerja sama dengan puhak asing seperti Inggris, yang pada saat itu menjajah India.
Karakteristik yang telah dijelaskan diatas adalah aspek-aspek yang menjadi ciri dari gerakan Islam tradisional di dunia Islam secara umum. Pada gerakan Islam tradisional di Indonesia juga muncul beberapa karakteristik seperti aktifitas gerakan yang yang terfokus pada perbaikan individu, aspek kebatinan yang berhubungan dengan sufisme, dan kesinambungan pola pendidikan tradisional pada masa kontemporer.
Menurut Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1924 memberikan definisi golongan tradisi adalah orang-orang yang masih mempertahankan tradisi sebagai bagian dari aktifitas keagamaannya. Golongan tradisi lebih banyak menghiraukan soal-soal agama, din atau ibadah belaka.
Bagi mereka sekana-akan Islam sama dengan fiqih, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Banyak pula yang memberikan perhatian pada tasawuf. Walaupun golongan ini mengaku menjadi pengikut mazhab, umumnya Asy-Syafi’i, mereka umumnya tidak mengikuti ajaran pendiri mazhab itu. Golongan tersebut lebih banyak mengikuti fatwa yang telah ada, dan bukan cara mengambil fatwa itu.
Dalam rangka tasawuf banyak dari golongan ini jatuh pada perbuatan yang termasuk syirik, memperserikatkan Tuhan dengan benda-benda. Mereka menghormati keramat, memberikan saji-sajian, mengadakan selametan atau kenduri sebagai sedekah kepada arwah, dan memakai azimat, jimat, tangkal penolak bala untuk melindungi diri, semuanya dengan akibat mengaburkan ajaran tauhid.
Dalam sistem pendidikan golongan tradisi, posisi kiyai amatlah penting, sistem pendidikan di pesantren lebih mengutamakan hafalan daripada pemahaman. Umumnya tidak memiliki organisasi, atau sedikit organisasinya, tidak ada sistem kelas, tidak ada kurikulum yang teratur, tidak ada batas-batas pelajaran untuk masa tertentu. Disebabkan oleh perhatian yang semata-mata pada masalah agama, golongan tradisi umumnya tidak turut dalam masalah politik, namun ini bukan berarti mereka senang dengan penjajahan.
Golongan tradisi menolak pembaruan dan mempertahankan tradisi pada kondisi kebudayaan tertentu, yang telah terakulturasi dengan nilai-nilai daerah tertentu dan dianggap sebagai bagian dari konsep keagamaan selain itu juga mengenai tertutupnya pintu ijtihad bagi umat Islam yang menurut golongan tradisional sebagai konsekuensi dari tidak adanya sosok pembaharu yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad (mujtahid). Pada beberapa gerakan Islam tradisional di Indoenesia, pengaruh kebudayaan lokal cukup kuat dalam implementasi ritual keagamaan masyarakat di daerah tersebut.
Gerakan Islam Tradisional di Indonesia
Kalangan Islam tradisionalis atau gerakan Islam tradisional di Indonesia lebih merujuk kepada organisasi Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama). Organisasi ini didirikan pada tahun 1926 di Surabaya. Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) dipandang sebagai pelembagaan tradisi keagamaan yang sudah mengakar di wilayah Jawa. Kultur masyarakat Jawa sebagai tempat kelahiran NU ini memberikan banyak pengaruh pada karakteristik gerakan dakwah NU selanjutnya. Peleburan antara tradisi lokal dengan praktek keagamaan adalah salah satu karakteristik yang menjadi ciri khas masyarakat NU.
NU lahir dari kultur masyarakat penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah. Upaya untuk melembagakan kulturnya didorong oleh situasi kolonialisme yang melahirkan gerakan sosial politik. Pelembagaan kultur NU yang menjadi salah satu upaya untuk pembelaan kalangan Islam tradisional di Jawa terhadap arus pembaharuan yang mulai masuk ke Indonesia.
Munculnya organisasi Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari suhu politik serta pengaruh dunia Islam yang bergejolak pada saat itu. Di Indonesia sendiri terjadi benturan antara pemahaman yang dibawa oleh kalangan pembaharu (dalam hal ini merujuk kepada organisasi Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dll) dengan kalangan yang masih mempertahankan keagamaan berdasarkan tradisi (dalam hal ini merujuk kepada organisasi Nahdlatul Ulama). Terjadinya perseteruan antara golongan pembaharu dan golongan tradisionalis membuat tokoh Sarekat Islam H.O.S Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim menyerukan persatuan umat Islam.
Tjokroaminoto dan Agus Salim berupaya menumbuhkan kembali persatuan dan kerjasama antar-organisasi Islam dalam mengaplikasi ajaran agama. Untuk kepentingan ini maka diadakan Al-Islam Congress Pertama di Cirebon 31 Oktober – 2 November 1922, yang dilanjutkan dengan Al-Islam Congress kedua di Garut 19-21 Mei 1924 yang bertujuan untuk memperkuat tuntutan politik dan penyelesaian masalah perbedaan penafsiran ajaran Islam antara Ulama dari Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persatuan Islam di satu pihak dengan Ulama Tradisi dari Taswirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Perserikatan Ulama dan Matlaul Anwar.
Akan tetapi, dalam kongres tersebut pihak Taswirul Afkar, dkk tidak bisa hadir. Hal ini disebabkan telah berkembang berita bahwa Al-Islam Congress di Garut didominasi oleh ulama dari Muhammadiyah. Sebenarnya kongres ini juga membicarakan masalah khalifah setelah runtuhnya Kesultanan Turki oleh Kemal Pasha. Rencananya akan ditegakkan kembali khalifah dibawah Kerajaan Arabia dipimpin Raja Hussein dan Raja Ali.
Memasuki bulan Agustus 1924, Partai Sarekat Islam disibukkan dengan acara National Congress Sarekat Islam yang dilangsungkan pada 8-11 Agustus 1924 di Surabaya. Kongres memutuskan untuk bersikap non-kooperasi terhadap Volksraad. Tiga bulan kemudian 24-26 Desember 1924, Partai Sarekat Islam menyelenggarakan Al-Islam Congres Loear Biasa di Surabaya. Kongres ini membicarakan tentang utusan yang akan menghadiri Muktamar Khalifah di Kairo, Mesir yang rencananya akan diselenggarakan pada Maret 1925. Kongres ini memutuskan akan memberangkatkan tiga utusan:
- Haji Fakhruddin dari Muhammadiyah;
- Soerjopranoto dari Komisaris Partai Sarekat Islam;
- Haji Wahab Chasboellah dari Organisasi Ulama Surabaya;
Namun Muktamar Khalifah di Kairo Mesir ini mengalami kegagalan, tersiar kabar bahwa Raja Ibnu Saud akan menyelenggarakan Muktamar Al-Islam Sedunia di Mekkah pada 1 Januari 1926. Untuk menjawab Muktamar Al-Islam Sedunia, Al-Islam Congress mengubah status keorganisasiannya menjadi Moektamar Al-Islam Sedunia Tjabang Hindia Timur. Selain itu diputuskan pula utusan yang akan menghadiri Muktamar Al-Islam Sedunia tersebut, yaitu:
- Oemar Said Tjokroaminoto dari Partai Sarekat Islam
- Haji Mas Mansoer dari Muhammadiyah
Keputusan ini tidak menyertakan Kyai Wahab Chasboellah, seperti keputusan Kongres Khalifah di Mesir. Walaupun Muktamar Al-Islam Sedunia ini batal juga, hal ini menjadi sebab lahirnya Nahdlatul Ulama.
Nahdhatul Ulama lahir pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Dipimpin oleh K.H Hasjim Asy’ari yang memiliki pondok pesantren Tebu Ireng yang berada di Jombang, Jawa Timur. Keberadaan pesantren Tebu Ireng bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan santri terhadap pengukuhan kekuatan ekonomi politik Belanda. Pesantren itu dibangun tak jauh dari pabrik gula cukir, simbol ekonomi Belanda, sikap pesantren menunjukkan tindakan penolakan terhadap kolonialis.
Nama Nahdhatul Ulama merupakan kelanjutan dari nama gerakan dan nama sekolah yang pernah didirikan Nahdhatul Wathan tahun 1916 di Surabaya. Nahdlatul Ulama merupakan kelanjutan dari perluasan Komite Hijaz yang dibangun dengan dua maksud:
- Untuk mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaharu;
- Untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan agama secara tradisi dapat diteruskan. Seperti membangun kuburan , membaca doa seperti dalail al khairaat, ajaran mazhab dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya termasuk Mekkah dan Madinah.
Untuk melegalkan pergerakannya maka atas usul K.H Said bin Shaleh pada 5 September 1929, keluarlah Surat Keputusan Gubernur Jenderal yang mengesahkan berdirinya Nahdhaltul Ulama di Surabaya pada 6 Februari 1930. Kehadiran Nahdhatul Ulama pada periode kebangkitan kesadaran nasional mempunyai kesamaan dengan organisasi Islam yang sezaman. Nahdhatul Ulama berjuang ingin menegakkan kembali kedaulatan ummat Islam sebagai mayoritas. Nahdhatul Ulama ingin pula menegakkan syariah Islam. Kebangkitan Nahdhatul Ulama merupakan jawaban terhadap politik kristenisasi penjajah pemerintah kolonial Belanda yang berusaha menegakkan hukum Barat.
Organisasi ini bermaksud memperkuat ikatan kepada salah satu dari empat mazhab serta untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk anggota, sesuai dengan Islam. Kegiatan ini meliputi usaha untuk memperkuat persatuan di antara para ulama yang masih berpegang kepada mazhab, pengawasan kepada pemakaian kitab-kitab di pesantren, penyebaran Islam seperti yang diajarkan oleh mazhab yang empat, perluasan jumlah madrasah serta perbaikan organisasinya, bantuan kepada masjid, langgar dan pesantren, dan juga pemeliharaan anak yatim serta fakir miskin. Maksud lain yang penting pula adalah memajukan usaha para anggota Nahdhatul Ulama.
Peranan Golongan Tradisionalis (NU) Dalam Masa Pergerakan Nasional
Berbicara mengenai golongan Islam tradisional di Indonesia tentu tidak bisa terlepas dari eksistensi pondok pesantren yang telah lama ada di Indonesia. Pesantren tak bisa dilepaskan dari sosok ulama. Ulama pada masa pergerakan nasional sangat menentang eksistensi penjajah di Indonesia. Dalam ceramah-ceramahnya ulama atau kyai selalu menyerukan untuk menentang para penjajah Belanda. Sosok ulama yang kharismatik tentu dapat dengan mudah didengar oleh pengikutnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh pendiri Indische Partij, Douwes Dekker saat Revolusi Kemerdekaan 17 Agustus 1945;
“Jika tidak karena sikap kaum pesantren , maka gerakan patriotisme kita tidak sehebat seperti sekarang”
Lebih spesifik mengenai peranan Nahdlatul Ulama, Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke 2 di Banjarmasin pada tahun 1936.Pada saat itu ditetapkan kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar Al-Salam, yang menegaskan keterkaitan Nahdlatul Ulama dengan nusa bangsa.
Pada awal pendiriannya Nahdlatul Ulama sangat menentang segala kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Misalnya: NU menolak berpartisipasi dalam Milisi (wajib militer), menentang undang-undang perkawinan, masuk dalam lembaga semu Volksraad, Kegiatan Nahdlatul Ulama yang sedikit banyaknya telah berperan dalam masa pergerakan nasional adalah;
1) Memperkuat persatuan antara sesama ulama yang masih setia pada empat mazhab;
2) Memberi bimbingan tentang kitab-kitab yang diajarkan pada lembaga pendidikan Islam;
3) Menyebarkan ajaran-ajaran Islam;
4) Menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan empat mazhab;
5) Memperluas jumlah madrasah dan membantu organisasinya;
6) Membantu pembangunan masjid, langgar dan pondok pesantren;
7) Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin serta mendirikan badan-badan usaha untuk memajukan kehidupan ekonomi anggota.
Sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama, apa yang dilakukan oleh Hasyim Asy’ari selama kurun waktu masa pergerakan nasional adalah membenahi diri dan memperkuat kaum Islam tradisional yang tersebar di pelosok desa dalam gerakan Islam tradisonalnya, Nahdatul Ulama. Hasyim Asy’ari berusaha memelihara kekuatan kebangkitan Islam dengan basis kaum Islam tradisonal dimasa pergerakan nasional sebagai kekuatan potensial pergerakan Islam. Kendati tidak tampak, kaum Islam tradisional yang terdiri dari kyai dan santri ini seolah menjadi kekuatan menakutkan bagi pemerintah kolonial dimasa pergerakan dan sebelumnya. Peran kelompok Islam tradisional dalam pergerakan nasional seolah tertutupi dalam lembaran sejarah bangsa ini.
Pada perkembangan selanjutnya, tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama mulai terlibat secara aktif dalam dunia politik. Hal ini terlihat pada saat tokoh-tokoh Nahdlatul ulama ikut memprakarsai lahirnya majelis islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang kemudian dipimpin oleh K.H Abdul Wachid Hasyim.
MIAI pada dasarnya bergerak di bidang keagamaan, namun dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik. Pada masa penjajahan Belanda sikap Nahdlatul Ulama jelas, yaitu menerapkan politik non-cooperation (tidak mau kerjasama) dengan belanda. Untuk menanamkan rasa benci kepada penjajah. Para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau belanda, sehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajahan. Hal ini terlihat ketika Nahdlatul Ulama menolak mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (DPR masa belanda). Disamping itu para ulama Nahdlatul Ulama juga memberikan fatwa kepada umat islam untuk tidak meniru pakaian model belanda, seperti celana panjang atau pakaian berdasi, dengan sebuah landasan (qaul).
MIAI merupakan wadah bagi bersatunya golongan moderen dengan golongan tradisi, berdiri pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya sebagai organisasi federasi yang diprakarsai oleh K.H. Mas Mansur, K.H. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), K.H. Wahab Hasbullah (NU) dan Wondoamiseno (PSII). Tujuan didirikan MIAI ini adalah agar semua umat Islam mempunyai wadah tempat membicarakan dan memutuskan semua soal yang dianggap penting bagi kemaslahatan umat dan agama Islam. Keputusan yang diambil MIAI harus dilaksanakan oleh semua organisasi yang menjadi anggotanya. Pembentukan MIAI mendapat sambutan dari berbagai organisasi Islam di Indonesia seperti PSII, Muhammadiyah, dan NU.
Munculnya golongan pembaharu di Indoenesia yang membentuk sebuah lembaga seperti Muhammadiyah, membuat golongan Islam tradisi merespon gerakan ini dengan melembagakan Islam tradisi dalam organisasi Nahdlatul Ulama. NU lahir dari kultur masyarakat penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah. Upaya untuk melembagakan kulturnya didorong oleh situasi kolonialisme yang melahirkan gerakan sosial politik. Pelembagaan kultur NU yang menjadi salah satu upaya untuk pembelaan kalangan Islam tradisional di Jawa terhadap arus pembaharuan yang mulai masuk ke Indonesia.
Peranan NU pada masa pergerakan nasional lebih menitikberatkan pada gerakan sosial berupa pendidikan agama, pembangunan masjid, sekolah-sekolah, bantuan kepada faqir miskin dan penentangan secara tegas terhadap eksistensi penjajah Belanda. Pada perkembangan selanjutnya NU mulai masuk kedalam kancah politik dan bergabung dengan kalangan Islam modern lainnya demi menyerukan persatuan.
Daftar Bacaan
- Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
- Suryanegara, Ahmad Mansur. 2012. Api Sejarah. Bandung: Salamadani.
- Syafi’i Ma’arif, dkk. 2010. Menggugat Sejarah. Bandung: Sega Arsy.
- Zuhri, Saifudin. 1976. Menghidupkan Nilai-nilai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Praktik. Jakarta: PP IPNU.