Gerakan Non Blok
Gerakan Non Blok – Gerakan Non Blok (GNB) atau Non Align Movement (NAM) adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh negara-negara dunia ketiga yang berusaha untuk menjalankan kebijakan luar negeri yang tidak memihak dan beraliansi dengan dua poros kekuatan dunia, yaitu diantara Blok Barat maupun Blok Timur. Gerakan Non Blok telah berhasil merepresentasikan 55 % penduduk dunia dan hampir 2/3 keanggotaan PBB. Mayoritas negara-negara anggota Gerakan Non Blok adalah negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaannya setelah berakhirnya Perang Dunia II, dan secara geografis terletak di Benua Asia, Afrika dan Amerika Latin. Di dalam artikel ini akan diberikan penjelasan tentang sejarah terbentuknya Gerakan Non Blok yang didirikan pada tahun 1961 di Beograd, Yugoslavia.
Latar Belakang Berdirinya Gerakan Non Blok
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya di era sekitar tahun 1950-an negara-negara di dunia terpolarisasi ke dalam dua blok, yaitu Blok Barat yang berada di bawah pengaruh dari Amerika Serikat dan Blok Timur yang berada di bawah pengaruh Uni Soviet. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, kedua negara ini terlibat dalam persaingan yang dikenal dengan era Perang Dingin (Cold War) hingga memasuki tahun 1989. Persaingan antara kedua blok merupakan upaya untuk memperluas sphere of interest and sphere of influence. Dengan sasaran utamanya adalah perebutan dan penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di seluruh dunia.
Di dalam persaingan untuk memperebutkan pengaruh ini, negara-negara dunia ketiga (Asia, Afrika, dan Amerika Latin) yang mayoritas sebagai negara baru dianggap sebagai wilayah yang memberikan daya tarik bagi kedua blok untuk menyebarluaskan pengaruhnya. Akibat dari persaingan kedua blok tersebut, tak pelak lagi muncuk beberapa konflik seperti yang terlihat di Asia, muncul konflik Vietnam dan juga konflik Korea. Di dalam kondisi seperti inilah, telah memunculkan kesadaran yang kuat dari para pemimpin dunia ketiga pada saat itu untuk tidak terseret ke dalam persaingan yang terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Konferensi Asia-Afrika 1955
Indonesia dapat dikatakan memiliki peranan yang sangat penting dalam proses lahirnya organisasi ini. lahirnya organisasi Gerakan Non Blok dilatarbelakangi oleh kekhawatiran para pemimpin negara-negara dunia ketiga terutama dari Asia dan Afrika terhadap ketegangan politik dunia antara Blok Barat dan Blok Timur.
Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung dianggap sebagai suatu proses awal bagi lahirnya Gerakan Non Blok (GNB). Tujuan dari KAA adalah untuk mengidentifikasi dan mendalami pelbagai masalah dunia waktu itu dan berusaha untuk memformulasikan kebijakan bersama negara-negara yang baru merdeka tersebut dalam tataran hubungan internasional. Maka, sejak saat itulah proses pendirian Gerakan Non Blok semakin mendekati realisasinya, dan di dalam proses ini terdapat tokoh-tokoh yang memegang peranan kunci sejak awal proses pendiriannya yaitu; Gamal Abdul Naseer (Mesir), Jawaharlal Nehru (India), Soekarno (Indonesia), Josep Broz Tito (Yugoslavia), dan Kwame Nkumah (Ghana). Kelima tokoh inilah yang kemudian dikenal sebagai para pendiri Gerakan Non Blok.
Adanya ketegangan dunia yang semakin meningkat akibat persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur, yang dimulai dari pecahnya perang Vietnam, perang Korea dan insiden Teluk Babi di Kuba yang kalau-kalau kedua pihak tidak menahan diri maka dapat memicu terjadinya Perang Dunia III, mendorong para pemimpin negara-negara dunia ketiga untuk membentuk sebuah organisasi yang diharapkan dapat berperan mengurangi ketegangan politik dunia internasional pada saat itu.
Pembentukan Organisasi Gerakan Non Blok
Pembentukan organisasi Gerakan Non Blok direncanakan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di Beograd, Yugoslavia pada 1-6 September 1961 yang dihadiri oleh dua puluh lima negara yang sebagian besar berasal dari Asia dan Afrika. Diantara negara-negara yang hadir adalah: Afghanistan, Kongo, Kuba, Cyprus, Mesir, Srilanka, Algeria, Yaman, Burma, Kamboja, Mesir, Ethiopia, Ghana, India, Guinea, Indonesia, Irak, Libanon, Maroko, Mali, Nepal, Arab Saudi, Sudan, Somalia, Tunisia, Suria, dan Yugoslavia. Di samping itu ada tiga negara peninjau, yaitu Brazil, Ekuador dan Bolivia.

Di dalam KTT I tersebut, negara-negara pendiri Gerakan Non Blok ini mencapai ketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama di antara mereka. Non Blok atau Non Alignment pada dasarnya berarti bahwa negara-negara yang baru merdeka dan sedang berkembang tidak secara mutlak dan “a priori” memihak pada salah satu kekuatan dunia pada waktu itu, Amerika Serikat maupun Uni Soviet. Non Blok juga berarti kekuatan negara-negara yang mendambakan perdamaian dan tidak membentuk blok baru. Karena bentuk kerjasamanya adalah gerakan, bukan suatu organisasi, maka keanggotaan suatu negara dalam Gerakan Non Blok tidak sedikitpun mengurangi kebebasannya dalam meenentukan arah dari kebijakan politik luar negeri dari masing-masing negara.
Prinsip-prinsip dasar dari Gerakan Non Blok tidak melarang suat negara anggota untuk bersahabat dengan salah satu atau beberapa negara besar demi kepentingan nasionalnya, karena urusan bilateral suatu negara adalah urusan dalam negerinya masing-masing. Namun dekatnya hubungan suatu negara Non Blok dengan salah satu negara besar tidak boleh dibawa dan mempengaruhi Gerakan Non Blok itu sendiri, apalagi untuk mengubah haluan.
Secara garis besar, prinsip-prinsip yang dijadikan dasar pegangan Gerakan Non Blok adalah;
- Koeksistensi damai antara semua negara di dunia sehingga tidak terjadi pertarungan dan peperangan yang akan merugikan semua pihak,
- Menghormati kemerdekaan dan kedaulatan setiap negara,
- Semua bangsa mempunyai hak menentukan arah perkembangannya sendiri dalam setiap bidang,
- Mengusahakan peniadaan semua sarana dan kemungkinan yang dapat mengancam perdamaian dunia, itulah sebabnya harus diadakan perlucutan senjata, khususnya persenjataan nuklir.
Prinsip-prinsip itu bisa juga ditemui dari pidato-pidato yang dikemukakan dalam KTT Beograd, maupun dari deklarasi yang dihasilkan di dalam KTT itu. Dalam pidato-pidato para pemimpin Gerakan Non Blok pada pembukaan KTT terdapat adanya penekanan yang berbeda dalam mengedepankan prinsip-prinsip tersebut.
Presiden Soekarno dari Indonesia lebih menekankan prinsip kedua dan ketiga. Soekarno mengatakan, bahwa akar ketegangan dunia internasional adalah imperialisme dan kolonialisme. Sejarah membuktikan, bahwa sistem-sistem sosial yang berbeda dapat berkoeksistensi antara kemerdekaan di satu pihak dengan imperialisme dan kolonialisme di pihak lain. Ketegangan yang terjadi di Jerman, menurut Soekarno, akan dapat dikurangi dengan mengakui adanya dua negara Jerman, dan menarik muncur semua campur tangan asing, dan membiarkan bangsa Jerman yang menentukan masa depan mereka sendiri.
Perdana Menteri Jawaharlal Nehru, dari India lebih menyoroti hal-hal yang berkaitan dengan prinsip pertama. Nehru menekankan bahwa situasi internasional yang sedang mereka hadapi ialah yang paling berbahaya sejak berakhirnya Perang Dunia II. Menurut Nehru, masalah perang dan damai harus mendapat prioritas untuk ditangani. Presiden Gamal Abdul Naser, dari Mesir memberikan penekananpada prinsip keempat. Menurut Naser ketegangan Berlin (yang pada waktu itu sedang memuncak) adalah akibat terjadinya perlombaan persenjataan, dan gagalnya negara-negara besar mencapai persetujuan mengenai perlucutan senjata. Naseer menyerukan agar negara-negara Gerakan Non Blok dengan segenap tenaga berusaha untuk menegakkan perdamaian, di samping memusatkan kegiatannya untuk melenyapkan praktik kolonialisme.
Sedangkan Josep Broz Tito, Presiden Yugoslavia yang menjadi tuan rumah KTT, terutama menyoroti prinsip pertama, yang dikaitkan dengan terjadinya pembentukan blok-blok yang saling bermusuhan. Tito menekankan bahwa KTT Beograd tidak dimaksudkan untuk membentuk blok baru. Kepada negara-negara besar, Tito memperingatkan, bahwa nasib dunia ini tidak dapat hanya mereka yang menentukannya.
Deklarasi KTT yang terdiri atas 27 pasal adalah sejalan dengan pidato tokoh-tokoh di atas, dengan menyoroti akan permasalahan yang hangat pada saat itu. Terutama sekali adalah seruan kepada Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk segera mengadakan perundingan damai. Pada KTT I juga ditegaskan pula bahwa Gerakan Non Blok tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam kancah politik internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri secara independen yang merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.
Perkembangan Gerakan Non Blok
Peran aktif negara-negara Gerakan Non Blok dalam menjaga perdamaian dunia diperinci dengan lebih jelas dan tegas dalam Deklarasi KTT Non Blok ke-II di Kairo, Mesir (5-10 Oktober 1964). Dikemukakan sebagai prinsip sentral dalam deklarasi itu adalah Peaceful co-existence atau “koeksistensi damai”, yang dalam pendahuluan deklarasi ditambah kata sifat active, sehingga menjadi active Peaceful co-existence. Dengan penambahan kata “aktif” itu menjadi lebih jelas bahwa koeksistensi damai dalam hubungan antar bangsa mengandung pula amanat pengembangan kerjasama yang saling menguntungkan. Kerjasama ekonomi juga ditegaskan dalam rangka active Peaceful co-existence.
Tujuan Gerakan Non Blok mencakup dua hal, yaitu ke dalam dan ke luar. Tujuan ke dalam yaitu mengusahakan kemajuan dan pengembangan ekonomi, sosial, dan politik yang jauh tertinggal dari negara maju. Tujuan ke luar, yaitu berusaha meredakan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur menuju perdamaian dan keamanan dunia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara-negara Non Blok menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Pokok pembicaraan utama adalah membahas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tujuan Non Blok dan ikut mencari solusi terbaik terhadap peristiwa-peristiwa internasional yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.
Di dalam perkembangannya Gerakan Non Blok tidak hanya memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah kolonialisme dan ketegangan dunia, namun mulai juga membahas masalah-masalah ekonomi dan pembangunan negara-negara dunia ketiga. Kerjasama-kerjasama di bidang ekonomi pun juga menjadi perbincangan di dalam Gerakan Non Blok. Hal ini terlihat pada KTT ke-II di Kairo, Mesir pada 1964, Gerakan Non Blok mulai membahas kemungkinan-kemungkinan kerjasama diantara mereka khususnya pada bidang pembangunan, perdagangan, dan kerjasama teknik internasional. Arah dan perhatian terhadap masalah pembangunan kerjasama ekonomi ini dilanjutkan pada KTT Non Blok ke-III di Lusaka pada tahun 1970 yang bertemakan “Hubungan-hubungan internasional Swa sembada dan kerjasama ekonomi diantara negara-negara Non Blok” KTT Lusaka dapat dikatakan telah meletakkan dasar-dasar gerakan Non Blok di bidang ekonomi.
Hal terpenting lagi di dalam KTT Non Blok adalah KTT ke-IV di Aljazair pada September 1973. Pada KTT ini negara-negara Non Blok memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah ekonomi dunia yang saat itu sangat dipengaruhi oleh adanya krisis moneter yang bermula di tahun 1971 dan krisis energi yang mulai mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi dunia.
Dalam perjalanan sejarahnya, KTT I di Beograd tahun 1961 , Gerakan Non Blok telah 16 kali menyelenggarakan KTT, dan yang terakhir adalah KTT XVI yang berlangsung di Teheran, Iran pada bulan Agustus 2012. Di dalam perkembangan selanjutnya setelah KTT Beograd, Gerakan Non Blok semakin bertambah jumlah anggotanya. Dengan bertambahnya anggota, maka semakin kompleks pula permasalahan yang harus dihadapi.
Pada KTT GNB ke-VI di Havana, Kuba yang berlangsung pada 3-9 September 1979 jumlah anggota Gerakan Non Blok telah mencapai 95 negara. Dalam KTT ini, Gerakan Non Blok mulai menghadapi permasalahn terkait prinsip “tidak memihak”-nya. Kuba sebagai tuan rumah konferensi yang memang menjalankan ideologi sosialis yang dekat dengan Uni Soviet ingin membawa Gerakan Non Blok mengikuti arah satu blok. Terkait akan hal itu, Indonesia sebagai salah satu pendiri Gerakan Non Blok khawatir mengenai kemungkinan terjadinya pembelokan arah itu. Adam Malik sebagai ketua delegasi Indonesia, merasa perlu untuk menegaskan kembali prinsip Non Blok yaitu politik tidak memihak kepada satu blok manapun. Keinginan Kuba itu juga mendapat tantangan dari negara pendiri lainnya seperti Yugoslavia dan India, juga sejumlah negara Afrika.
Daftar Bacaan
- Kusumaatmadja, Mochtar. 1983. Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa ini: Kumpulan Karangan dan pidato Mochtar Kusumaatmadja. (ed.) Edy Damian. Bandung: Alumni.
- Mackie, Jamie. 2005. Bandung 1955: Non-Aligment Movement and Afro-Asian Solidarity. Singapore: Didier Millet.