Hermeneutika dalam eksplanasi sejarah sangatlah menjadi penting keberadaannya sebagai salah satu bentuk upaya melakukan penjelasan sejarah. Istilah hermeneutika apabila diruntut secara etimologis, asal usul kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu herminos yang mengacu pada seorang pendeta bijak Delpich. Kemudian diasosialisasikan pada Dewa Hermes, sebagai dewa penemu bahasa dan tulisan. Dewa Hermes dalam mitologi Yunani kuno dikaitan dengan pembawa pesan takdir.
Hermeneutika sebagai suatu teori banyak menyangkut pada garapan atau bidang teologi, filsafat bahkan sastra. hermeneutika didefinisikan sebagai studi tentang prinsip-prinsip metodologi, interpretasi, dan eksplanasi khususnya studi tentang prinsip-prinsip interpretasi bibel. Hermeneutika merupakan salah satu model dalam eksplanasi sejarah yang tidak boleh diabaikan keberadaannya. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang hermeneutika dalam eksplanasi sejarah.
Dua Bentuk Hermeneutika
Sejarah hermeneutika kita awalkan dengan Friedrich Scheleirmarcher (1768-1834), seorang ahli Theologia Jerman. Selaku seorang Teolog Scheleimarcher tertarik oleh persoalan, bagaimana teks-teks tertentu dari alkitab harus ditafsirkan. Maka dari itu, Scheleimarcher mempergunakan istilah “hermeunetika” (dalam bahasa Yunani “hermeneus” berarti penerjemah). Jalan hermeuneus itu hendaknya ditempuh bila ingin menjelaskan bagian-bagian alkitab yang sepintas kelihatan sukar dan bahkan mustahil untuk dimengerti.
Hermeneutika Dalam Eksplanasi Sejarah
Diterangkan disini perbedaan antara hermeneutika dengan teori-teori modern (misalnya dari A. Naess, seorang filusuf Norwegia). Teori-teori argumentasi pun meneliti percakapan antar manusia, serta proses berjalannya percakapan itu. Namun, berlainan dengan hermeneutika, teori argumentasi mengandalkan bahwa kedua lawan bicara mempunyai titik pangkal atau dasar bersama. Bila lawan bicara tidak dapat lagi saling mengerti, atau komunikasi mulai terganggu, maka lacak dimana itu mulai terjadi, sambil bertitik tolak dari dasar yang sama. Masalah yang dihadapi hermeneutika lebih mendalam, tujuannya ialah menjembatani jurang antara dua titik pangkal yang berbeda-beda.

Adapun proses hermeneutika itu (menghayati arti dari dalam jalan pikiran orang lain), tidak hanya berguna untuk menafsirkan teks-teks atau maksud seorang berbicara. Bermakna sekali menghayati dari dalam jalan pikiran orang lain, kalau kita ingin mengerti, mengapa ia berbuat seperti ini dan itu.
Maka dari itu, istilah hermeneutika dapat dipergunakan dalam dua arti :
a) Menafsirkan teks-teks dimasa silam;
b) Menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah.
Menurut arti pertama, kita melihat suatu kesatuan atau suatu koherensi dalam sebuah teks, sedangkan menurut arti yang kedua kita memberi jawaban terhadap pertanyaan, mengapa seorang pelaku historis berbuat demikian. Dalam interpretasi teks-teks, kita seolah-olah mengatasi masa silam serta bahan sejarah, agar mengambil suatu pendirian dari mana kita dapat melihat kesatuan dan kebertautan. Dalam kasus kedua, kita menggunakan bahan sejarah agar lebih dalam menyelami masa silam.
Hermeneutika Di Dalam Sejarah
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa di Jerman, hermeneutika interpretative menjadi pusat perhatian. Seperti telah kita lihat itu sudah berlaku bagi ahli hermeneutika Jerman terkemuka pada abad ini, ialah H.G. Gadamer. Dalam karya Dilthey. Kita melihat suatu pembauran antara kedua bentuk hermeneutika, sekalipun yang dititik beratkan ialah penafsiran teks. Seorang peneliti sejarah memang harus menafsirkan masa silam dengan menunjukan kesatuan dan koherensi, tanpa keharusan menerima cara kerja seseorang yang menafsirkan teks-teks. Itulah pendirian historisme dan narativisme.
Dalam dua aliran tersebut kita tidak lagi diusahakan masuk ke dalam kulit seorang pengarang atau seorang pelaku sejarah, aupun menimba dari pengalaman hidup sendiri. Selain penghayatan dari dalam dan menimba dari pengalaman hidup sendiri, masih ada dua ide pokok lain dalam hermeneutika yang menyebabkan pendektan ini berbeda dari CLM. Menurut hermeneutika, terdapat satu bidang penelitian ilmiah yang menuntut diterapkannya metode ilmiah-eksak dari CLM di satu pihak dan bidang penelitian yang menuntut pendekatan hermeutis, di lain pihak, yaitu perbuatan manusia seperti diteliti seorang ahli sejarah.
Padahal, menurut para penganut CLM, modul penelitian yang satu dan sama, yaitu CLM, berlaku dan berguna pada semua bidang penelitian. Perbedaan kedua antara hermeneutika dengan CLM, ialah kedudukan si ahli sejarah, selaku subjek yang mengetahui dalam hermeneutika. Dalam CLM, subjek hampir tidak memainkan peranan. Dalam ilmu eksakta, pribadi peneliti bahkan diabaikan. Pada abad ke-16 Francis Bacon sudah berkata “mengenai diri kami sendiri, kami menahan diri”. Dalam hermeneutika, pribadi peneliti penting sekali karena ditimba dari pengalaman hidup peneliti sejarah sendiri.
Hermeneutika di Jerman (Dilthey dan Gadamer)
Tokoh terpenting dalam sejarah hermeneutika adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey ingin berbuat bagi “ilmu-ilmu rohani” (ilmu budaya manusia), khusus bagi sejarah, apa yang dibuat Kant bagi ilmu-ilmu eksakta. Dilthey memusatkan perhatiannya pada pengalaman kita tentang dunia historis. Karya Dilthey yang bagi kita penting ialah buku karyanya pada pada tahun 1911, Der Audbau der geschichtlichen Welt in den Geisteswissenschaften (susunan dunia sejarah menurut ilmu-ilmu budaya).
Karena Dilthey sering mengulagi pendapat- pendapatnya, lagi pula menulis dengan gaya yang tidak jelas, maka buku ini bukan bacaan untuk waktu senggang. Ide-ide Dilthey berkisar pada tiga konsep inti, ialah “Erlebnis”, “Ausdruck”, dan “Verstehen”. Pengalaman mengenai dunia hidupku yang ditentukan oleh prses timbal balik itu, pengalaman dalam arti sejati Dilthey, disebut “Erlebnis”. Dalam analisis Dilthey mengenai “Erlebnis” itu , kita melihat pengaruh interpretasi teks yang merupakan awal hermeneutika (Schleiermacher). “Ausdruck” (ungkapan), selalu merupakan objektivasi mengenai kebertautan atau koherensi dalam erlebnis.
Seorang peneliti sejarah dapat merekonstruksi (Nachbildung) erlebnis-erlebnis seorang pelaku sejarah, bila ia sambil menggunakan pengalaman hidup sendiri. Mengaktualkan kembali keadaan-keadaan yang dahuu meliputi si pelaku sejarah ketika ia berbuat, merasakan emosi-emosi dan sebagainya. Seorang ahli sejarah seolah-olah harus mementaskan kembali, di atas panggung batinnya, pengalaman dan proses-proses psikologis dan intelektual yang dahulu dirasakan seorang pelaku sejarah.
Bila seorang peneliti sejarah telah merekonstruksi kembali, dalam batinnya sendiri pengalaman-pengalaman seorang pelaku sejarah sambil mempergunakan pengalaman hidupnya sendiri, maka ia mampu memahami (verstehen) perbuatan dan pikiran pelaku sejarah itu. Untuk sebagian, seorang peneliti sejarah telah membuat copy atau rekaman mengenai kesatuan dan kebertautan dalam pengalaman yang demikian khasbagi seorang pelaku sejarah. Tidak perlu dijelaskan bahwa proses verstehen itu tidak dapat diterapkan pada bidang ilmu eksakta.
Maka dari itu, Dilthey melawankan “verstehen” yang berlaku dalam ilmu-ilmu budaya dengan “erklaren” (menerangkan) yang berlaku dalam ilmu-ilmu alam, yang berdasarkan pola- pola hukum umum. Erklaren selalu terbatas pada gejala-gejala yang bersifat lahiriah, dapat diamati. Sedangkan seorang peneliti sejarah, mampu menyelami batin kenyataan historis. Bentuk pengetahuan yang diperoleh dari Verstehen lebih lengkap dari pada Erklaren. Verstehen itu baru mungkin, bila bila sebelumnya kita sudah tahu sedikit mengenai dunia pengalaman seorang pelaku sejarah.
Secara singkat, pandangan Dilthey dapat diringkas sebagai berikut: Manusia yang hidup dalam arus sejarah, terbenam dalam dunia penuh arti. Setiap bagian dari dunia sejarah itu, merupakan ungkapan (ausdruck) mengenai pikiran dan perbuatan manusia dan oleh karena itu, menjadi pengemban arti. Hermeneutika Dilthey selalu bergerak antara tiga patokan yaitu: Erlebis, Ausdruck, dan Verstehen.
Hans Georg Gadamer lahir pada tahun 1900 di Heidelberg. Tahun 1960 Gadamer menerbitkan buku Wahrheit und Methode (kebenaran dan metode). Salah satu karya filsafat yang paling monumental abad ke-20. Gadamer secara tegas menolak pendekatan teori pengetahuan atau pendekatan modis. Selaras dengan pandangan Heidegger, Gadamer tidak memandang hermeneutika sebagai salah satu untuk memperoleh sebuah pengetahuan. Melainkan sebagai ciri khas dalam kehidupan manusia dan ekosistemnya.
Gadamer memindahkan bidang penelitian hermeneutika dari kawasan teori pengetahuan ke kawasan ontologi. Maka dari itu, konsep pengalaman harus ditinjau kembali. Dalam bidang sains pengalaman atau empiri dapat didefinisikan sebagai pengalaman mengenai data-data yang ada dalam kenyataan, lalu diungkapkan dalam bahasa.
Gadamer menolak untuk memisahkan dunia dan bahasa. Maka dari itu, bahasa, kenyatan, dan pengalaman menyatu. Pengalaman tidak mencerminkan dunia dalam bidang parallel yang disebut bahasa, melainkan terus-menerus terarah dan terserap oleh terpintalnya dunia dan bahasa. Dalam pengalaman kita mengenai kenyataan sosial historis, pengalaman tak pernah merupakan suatu jepretan seperti dalam ilmu eksakta, melainkan suatu proses yang meliputi waktu tertentu, akibat penyatuan bahasa, kenyataan dan pengalaman. Selama proses itu, bagian-bagian yang relevan dalam pengetahuan, ingatan, harapan, dan emosi kita, diaktifkan menjadi pengalaman. Ontologi hermeneutis, hendaknya menggantikan teori pengetahuan hermeneutis.
Penolakan Gadamer, terhadap teori pengetahuan dan metode agar memberi tempat kepada kepada ontologi, mempunyai konsekuensi penting yang sebetulnya merupakan konsep pokok yang mendasari hermeneutiknya. Setiap analisis yang didukung oleh suatu teori pengetahuan dan/atau suatu metode tertentu yang meneliti bagaimana pengetahuan pada umumnya diperoleh dan pengetahuan sejarah pada khususnya, berdasarkan gagasan, bahwa pengetahuan dapat deperoleh oleh seorang subjek yang tahu, subjek ini pada prinsipnya dapat diganti oleh subjek lain, asal ada suatu metode tertentu untuk meraih suatu pengetahuan yang dapat diterima siapa saja.
Dengan mendasarkan pengalaman hermeneutika tidak pada teori pengetahuan, melainkan pada ontologi, maka gardener sampai pada pendirian, bahwa setiap pemahaman hermeneutis mengenai masa silam, terkait akan dan bertaut dengan individualitas si peneliti. Memahami selalu terjadi dalam cakrawala pemahaman. Unsur revolusioner pandangan ini, ialah praduga seorang peneliti sejarah serta tradisi-tradisi yang diterimanya dengan sadar atau tidak sadar, tidak merupakan penghalang, melainkan justru syarat mutlak agar Verstehen itu berhasil baik. Tidak mengherankan, bahwa penghargaan gadamer bagi tradisi, praduga, serta otorita yang terwujud dalam praduga itu menimbulkan reaksi-reaksi.
Hermeneutika Di Inggris dan Amerika
R.G Collingwood (1889-1943), seorang ahli arkeologi dan filusuf sejarah berkebangsaan Inggris, sebetulnya ironis bahwa Collingwood umum dipandang sebagai juru bicara pendirian hermeneutis yang klasik, karena titik pangkalnya berada dilain tempat.
Hermeneutika yang dikembangkan Collingwood, jelas dan sederhana. Ia mulai menetapkan bahwa perbedaan pokok antara pengkajian sejarah dan ilmu-ilmu eksakta, terletak dalam kenyataan, bahwa seorang peneliti sejarah tidak hanya berurusan dengan kelakuan lahiriah objek penelitiannya, melainkan juga dengan batin kelakuan mereka. Oleh karena itu, Collingwood berpendapat bahwa semua sejarah merupakan sejarah alam pikiran.
Collingwood menggarisbawahi bahwa “re-enactement” itu bukanlah hasil intuisi penelitian sejarah yang tak dapat dikontrol. Peneliti sejarah hendaknya selalu penuh imajinasi, ia harus pandai mengadakan ekstraplorasi dan intraplorasi, menurut pandangannya sendiri, tetapi “re- enactment” itu merupakan suatu proses yang dapat diikuti setapak demi setapakoleh kritik sejarah dan juga dapat dinilainya.
W.H. Dray, seorang filusuf Kanada yang terpengaruh Collingwood. Ini antara lain Nampak dari contoh berikut, bagaimana Dray menerangkan suatu kejadian dalam sejarah. Namun, ada suatu perbedaan pokok antara Collingwood dengan Dray. Yang mutlak perlu bagi Collingwood, ialah pikiran tokoh sejarah dan duplikatnya dalam pikiran peneliti sejarah, tapat sama. Tuntutan itu dilepaskan Dray, ia hanya minta suatu rekonstruksi yang didukung alas an kuat dan bahan bukti mengenai apa yang dapat dipikirkan seorang tokoh sejarah. Dray hanya meminta supaya disebut, apa yang dapat dipandangsebagai alas an bagi seorang tokoh sejarah, supaya ia berbuat begini atau begitu.
Kritik Terhadap Hermeneutika
Kita harus membedakan hermeneutika sebagai penafsiran teks-teks dan hermeneutika sebagai suatu teori guna menerangkan, secara historis, perbuatan seorang pelaku sejarah. Maka dari itu, keneratan-keberatan terhadap hermeneutika, dapat dijadikan dua kategori.
a) Adakah hermeneutika itu berawal dari Descartes? Rene Descartes (1596-1650) seorang filusuf Prancis, berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur yang berbeda-beda, yaitu jiwa dan tubuh, atau seperti yang diungkapkannya sendiri yaitu roh dan keterbentangan. Ternyata, hermeneutika sering jelas sama sekali tidak setuju dengan pandangan Rene Descartes. Dalam butir b pasal ini kita akan berkenalan dengan suatu bentuk hermeneutika yang diilhami oleh teleologi (trarah pada tujuan) yang bahkan membela suatu hubungan logis antara pikiran dan perbuatan antara “segi dalam” dan ”segi luar”.
b) Adakah hermeneutika mengandaikan CLM? Penjelasan hermeneutika berbentuk demikian.
- Dalam keadaan historis k, seorang pelaku sejarah mengembangkan pikiran atau motivasi p.
- Perbuatan b serasi dengan pikiran atau motivasi p.
Nilai hemeneutika terbatas pada heuristic, artinya hanya merupakan sarana agar kita dpat sampai pada suatu dugaan mengenai kenyataan. Jelaslah, bahwa keberatan yang diajukan terhadap hermeneutika dari sudut CLM, juga dapat diajukan terhadap action rationale explanation ala Dray. Ia mengusulkan agar membedakan:
- Usaha membenarkan perbuatan-perbuatan kita (dengan menyebut alasan-alasan kita);
- Melacak alasan yang sebenarnya yang melatar belakangi perbuatan kita.
Pembelaan Dray tidak meyakinkan penganut CLM. Mereka setuju, bahwa kita ingat akan alasan bagi suatu perbuatan, maka pada dasarnya kita hanya menentukan suatu peristiwa dari masa silam dan tidak menerapkan pola-pola hukum umum. Dalam model penjelasan teologis yang pertama-tama diusahakan ialah memberi bentuk yang terinci kepada proses penghayatan hermeneutis. Bila seorang pelaku sejarah memutuskan untuk melakukan sesuatu, maka yang terjadi ialah:
- Ia menetapkan bahwa ia sedang dalam situsai S.
- Keadaan S itu memberinya alas an utuk mengadakan perubahan-perubahan tertentu dalam S (atau memberi reaksi lain kepada S).
- Pelaku sejarah berpendapat, bahwa perbuatan P merupakan sarana yang paling tepat untuk mengadakan perubahan itu dalam S.
Peneliti sejarah menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah dengan memperhatikan tujuan yang diharapkan. Kemiripan antara modul penjelasan teologis dengan hermeneutika, jelaslah sudah. Juga dalam penjelasan teologis, penghayatan dan acuan kepada pengalaman hidup pribadi, akan melatarbelakangi pendapat seorang peneliti sejarah mengenai cara seorang pelaku sejarah mengaitkan tujuan dan sarana.
c) Jangkauan hermeneutika yang terbatas. Keberatan utama yang dapat diajukan terhadap penjelasan hermeneutis ialah jangkauannya yang terbatas. Baik penjelasan hermeneutis maupun penjelasan teologis, memperlihatkan dua kekurangan.
d) Hermeneutika kurang memiliki kesadaran historis. Akhirnya hermeneutika, sama dengan CLM, dapat dipersalahkan karena kurang memiliki kesadaran historis. Penghayatan mengandaikan, bahwa cara seorang peneliti sejarah menanggapi keadaan dalam lingkungannya, pada pokoknya samadengan cara seorang pelaku sejarah bereaksi terhadap lingkungannya. Baru, bila pelaku sejarah mengaitkan keadaan, pikiran dan perbuatan sama
dengan seorang peneliti sejarah maka pendekatan hermeneutis membuka jalan untuk menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah. Tetapi hendaknya kita ingat, bahwa seorang peneliti sejarah justru meneliti masa silam, karena adanya perbedaan antara masa kini dan masa silam. Ini berarti bahwa seoran gpeneliti sejarah, pada prinsipnya, tidak menaruh minat terhadap pikiran dan perbuatan seorang pelaku sejarah.
Masa Silam Sebagai Teks
Yang merupakan ciri khas dari bentuk hermeneutika ialah aksioma, bahwa dunia sosio-historis merupakan sesuatu dunia yang penuh arti. Oleh karena itu, para filusuf sejarah dari tradisi strukturalis, sering menyarankan untuk mempelajari masa silam, seolah-olah itu merupakan suatu teks. Pendekatan ini merupakan suatu bentuk hermeneutika yang serba baru, yang tidak lagi dapat di kritik dengan alasan-alasan yang diajukan dalam pasal diatas tadi.
Karangan H. White, Metahistory (1973), mrupakan suatu usaha yang paling menonjol dalam mengembangkan suatu filsafat sejarah seperti dilukiskan diatas tadi. Bagi White, masa silam merupakan sebuah teks prosa, lagipula sebuah teks yang belum kita mengerti atau mudah sekali keliru mengerti. Adapun tugas seorang ahli sejarah adalah menafsirkan teks (historis), atau menjadi “puisi” penulisan sejarah.
Seorang ahli sejarah harus belajar mengidentifikasikan unsur-unsur masa silam yang berdiri sendiri (leksion) kemudian membuat daftar (gramatika) bagaimana unsur-unsur itu terkait dalam keseluruhan yang lebih luas (sintaksis), sehingga akhirnya dapat mengatakan yang sebenarnya (semantik) dari suatu segi (bagian) dalam masa silam. Adapun menurut White, empat bentuk gaya bahasa yang membuka jalan untuk menerjemahkan prosa menjadi puisi penulisan sejarah, yaitu metafora, sinekdoke, metomini, dan ironi.
Setiap gaya bahasa menyebabkan suatu integrasi atau disintegrasi yang khas, bagi unsur masa silam di dalam penuisan sejarah. Contoh yang diajukan White mengenai penulisan gaya metafora ialah” Kekasihku merupakan sekuntum bunga mawar”. Kemiripan menyangkut hakikat seorang kekasih dan sekuntum bunga mawar, keduanya indah dan elok.
Adapun sinekdoke adalah suatu gaya bahasayang juga ingin mengungkapkan hakikat sesuatu, tapi berbeda dengan metafora, karena tidak menssejajarkan dua hal yang berbeda-beda. Adapun metomini mirip dengan sinekdoke, namun tidak terpusat pada hakikat gajala historis, melainkan pada aspek-aspek kejadian masa silam yang memperlihatkan kebertautan di dalam sebuah struktur yang sekarang kita terapkan pada masa silam. Penulis sejarah ironis, menurut White adalah penulis yang memperlihatkan pengertian, bahwa setiap gambaran yang kita miliki mengenai masa silam, menurut arti tertentu juga menyangkal dirinya.
White menekankan bahwa pilihan seorang sejarawan terhadap salah satu gaya bahasa itu merupakan pilihan yang tidak dapat didukung oleh akal budi. Karena keempat gaya bahasa itu tidak mempunyai dasar yang sama, sehingga secara objektif tidak dapat disbanding- bandingkan. Kedua, di dalam system White, gaya penulisan ironis menimbulkan beberapa kesukaran. Oleh White gaya tulisan ironis disebutnya gaya bahasa meta, artinya dengan gaya ini, kita dapat melihat kemungkinan dan keterbatasan gaya-gaya bahasa lainnya.
Pentingya Hermeneutika Dalam Eksplanasi Sejarah
Hermeneutika adalah studi tentang interpretasi teks atau simbol dalam konteks budaya, bahasa, dan sejarah yang melingkupinya. Oleh karena itu, hermeneutika memainkan peran penting dalam sejarah, terutama dalam menafsirkan dokumen sejarah. Hermeneutika dalam eksplanasi sejarah dapat digunakan untuk menggali makna dari dokumen sejarah seperti naskah kuno, catatan sejarah, dan artefak lainnya. Dalam konteks ini, hermeneutika membantu sejarawan dalam membaca dan memahami makna di balik teks atau simbol yang ada dalam dokumen tersebut.
Selain itu, hermeneutika dalam eksplanasi sejarah juga membantu sejarawan dalam memahami perspektif dan pandangan hidup orang-orang pada masa lampau. Dengan menggunakan hermeneutika dalam eksplanasi sejarah, sejarawan dapat melihat cara pandang dan cara hidup orang-orang di masa lalu, serta bagaimana pandangan hidup tersebut mempengaruhi kejadian dan peristiwa pada masa itu. Namun, perlu diingat bahwa hermeneutika bukanlah satu-satunya metode yang digunakan dalam sejarah. Ada juga pendekatan lain seperti metode kritis dan analisis sosial yang digunakan dalam penelitian sejarah. Demikianlah penjelasan secara singkat tentang hermeneutika dalam eksplanasi sejarah.
Daftar Bacaan
- Berkhoefer, Robert F. Jr. 1969. A Behavioral Approach to Historical Analysis. London: Collier Macmillan Publisher.
- Carr, E. H. 1985. What is History?. Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books.
- Fischer, David Hackett. 1970. Historians’ Fallacies. Toward a logic of Historical Thought. New York & Evanston: Harper & Row Publisher.
- Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.