Homo Pekinensis
Homo pekinensis – Homo pekinensis atau Manusia Peking atau yang juga biasa disebut dengan Sinanthropus pekinensis (kini Homo erectus pekinensis), adalah suatu sub-spesies dari jenis Homo erectus. Sinanthropus Pekinensis/Homo Erectus Pekinensis adalah salah satu jenis manusia purba asia yang termasuk ke dalam jenis Homo erectus. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang manusia purba jenis Homo pekinensis yang juga lebih akrab dengan sebutan Manusia Peking sebagai salah satu spesies manusia purba Asia.
Penemuan Fosil Homo Pekinensis
Pada tahun 1921, di dekat kota Beijing (Peking),seorang arkeolog berkebangsaan Swedia yang bernama Johan Gunnar Andersson mengajarkan cara melakukan penggalian di situs Chi Ku Shan (Chicken Bone Hill) dekat Desa Zhoukoudian kepada Paleontolog Austria yang bernama Otto Zdansky dan seorang arkeolog Amerika Serikat yang bernama Walter Granger. Di saat penggalian itu, mereka disarankan oleh penambang lokal untuk melakukan penggalian di lokasi dekat Longgushan (Dragon Bone Hill). Penggalian di Longgushan ini, Otto Zdansky menemukan satu gigi manusia, tetapi penemuannya pada tahun 1921 ini baru dilaporkannya pada tahun 1926. Pada tahun 1927, mahasiswa arkeologi asal Swedia, Bergir Bohlin berhasil menemukan gigi lainnya.
Setelah penemuan gigi di Longgushan oleh Bergir Bohlin pada tahun 1927, di tahun yang sama, seorang ahli geologi Cina yang bernama Weng Wenhao membuat kesepakatan dengan semua ilmuwan Zhoukoudian agar sisa-sisa peninggalan di situs Zhoukoudian tetap berada di Cina. Pada tahun 1928, pemerintah Cina juga melarang keluarnya berbagai artefak dari Cina dan benda-benda arkeologi lainnya ke Barat meskipun untuk dipelajari, karena hal ini dipandang sebagai serangan imperialis di mana ilmuwan-ilmuwan asing diberikan kesempatan untuk melakukan penelitian tehadap benda-benda arkeologis yang terdapat di Cina.
Pada tahun 1929, seorang paleoantropolog asal Kanada yang bernama Davidson Black membujuk Peking Union Medical College (perusahaannya sendiri), Geological Survey of China (yang dipimpin oleh Weng Wenhao), dan Yayasan Rockefeller untuk mendirikan dan mendanai Cenozoic Research Laboratory dan melanjutkan penggalian di situs Zhoukoudian.
Memasuki akhir tahun 1929, antropolog asal Cina, Pei Wenzhong menemukan kubah tengkorak yang sangat lengkap. Dengan penemuan ini meyakinkan bahwa Zhoukoudian terbukti sebagai situs yang berharga. Di mana selanjutnya berhasil ditemukan lebih banyak peninggalan-peninggalan fosil manusia, perkakas batu, dan bukti dari awal penggunaan api. Zhoukoudian kemudian menjadi situs dari penemuan Homo erectus yang paling produktif di dunia. Pada tahun 1934 Davidson Black meninggal, seorang ahli anatomi bangsa Yahudi Franz Weidenreich, yang berhasil melarikan diri dari Nazi Jerman , kemudian melanjutkan studi Black tentang situs Zhoukoudian.
Penemuan empat kubah tengkorak yang agak lengkap kemudian ditemukan pada tahun 1936, tiga kubah tengkorak di antaranya digali pada bulan November 1936 yang diawasi oleh ahli paleoantropologi Cina, Jia Lanpo. Penggalian di situs Zhoukoudian ini kemudian mempekerjakan 10 hingga lebih dari 100 pekerja lokal tergantung pada tahapan penggaliannya. Situs Zhoukoudian kemudian juga mulai mempekerjakan beberapa ahli yang berasal dari keilmuan geologi, paleontologi, paleoantropologi, dan arkeologi Barat dan Cina.
Pada tahun 1941 ketika pecah perang Sino-Japan kedua, telah berhasil ditemukan fosil yang merepresentasikan sebanyak empat puluh individu yang berbeda dari situs Zhoukoudian. Untuk menyelamatkan mereka dari peperangan, fosil-fosil ini kemudian diangkut oleh kapal perang marinir Amerika Serikat. Namun, di dalam perjalanan kapal marinir Amerika Serikat ini diserang oleh kapal perang Jepang dan tenggelam. Sehingga tidak diketahui lagi bagaimana nasib dari fosil-fosil itu. Yang tersisa hanyalah empat buah gigi yang ditemukan selama ekskavasi awal dan disimpan di Museum Paleontologi Uppsala University di Swedia.
Penggalian terhadap situs Zhoukoudian dihentikan dari tahun 1941 sampai berakhirnya Perang Saudara Tiongkok dan pembentukan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949 di bawah kepemimpinan Mao Zedong. Penggalian kemudian dilanjutkan pada tahun 1949, 1951, 1958-1960, 1966, dan 1978-1981.
Selama masa kepemimpinan Mao Zedong, terutama pada tahun 1950 dan 1951, fosil-fosil Zhoukoudian yang kemudian dikenal dengan nama Manusia Peking mengambil peran sentral dalam restrukturisasi identitas masyarakat Tiongkok di bawah pemerintahan baru, khususnya untuk menghubungkan ideologi sosialis dengan evolusi manusia. Eksistensi dari Manusia Peking mulai diajarkan dalam buku-buku pendidikan untuk semua tingkatan, majalah dan artikel sains, museum, dan kuliah-kuliah, termasuk juga di pabrik-pabrik.
Kampanye tentang Manusia Peking ini terutama untuk memperkenalkan Marxisme kepada masyarakat umum (termasuk mereka yang tidak berpendidikan tinggi), serta untuk membalikkan takhayul, tradisi, dan mitos penciptaan yang telah tersebar luas. Meskipun demikian, penelitian terhadap Manusia Peking dibatasi karena para ilmuwan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan penemuan-penemuan baru yang berada dalam bingkai komunisme.
Pada tahun 1960, laboratorium diubah menjadi organisasi independen dengan nama Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology (IVPP), sebagai sebuah divisi dari Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok, dan dipimpin oleh Pei, Jia, dan seorang ahli paleoantropologi Tiongkok, Yang Zhongjian.
Selama Revolusi Kebudayaan yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1976, semua intelektual, termasuk ilmuwan, mengalami banyak penindasan, dan antara lain diwajibkan menjadi pekerja kasar sebagai bagian dari kampanye untuk mengubah “intelektual menjadi buruh dan buruh menjadi intelektual”, yang mana hal ini tentunya menghambat jalannya penelitian. Meskipun paleoantropologi masih dapat dilanjutkan, bidang ini menjadi kurang penting bagi pemerintah Cina dengan tekad barunya untuk menjadi mandiri secara ekonomi, dan topik sains populer beralih dari evolusi manusia ke hal-hal yang terkait dengan produksi.
Sebagai kebijakan Revolusi setelah 1970, paleoantropologi dan para akademisi bangkit kembali, terutama dengan munculnya Deng Xiaoping pada tahun 1978. Situs Zhoukoudian sendiri telah diancam beberapa kali oleh adanya aktivitas pertambangan terdekat maupun adanya hujan asam dari polusi udara. Dengan kembali produktivnya situs Zhoukoudian memunculkan minat paleoantropologis yang kuat di Tiongkok, di mana 14 situs lainnya telah ditemukan di seluruh negeri sejak tahun 2016 diantaranya adalah: Yuanmou, Tiandong, Jianshi, Yunxian, Lantian, Luonan, Yiyuan, Nanzhao, Nanjing, Hexian, Shangchen dan Dongzhi.
Pada saat ini, Zhoukoudian berada pada posisi 128 m di atas permukaan laut dengan lapisan sediman yang mengandung fosil terbagi menjadi 27 lapisan. Di lokasi pertama, di Dragon Bone Skull penggalian ini telah mencapai kedalaman 40 m (130 kaki) yang dibagi menjadi 17 lapisan. Fosil dari Manusia Peking berada pada lapisan 10-3. Sedangkan alat-alat yang terbuat dari batu dapat ditemukan di lapisan 3-4 dan 8-10. Selain fosil Manusia Peking dan alat-alat yang digunakan juga terdapat fosil-fosil hewan yang menunjukkan bahwa fosil-fosil ini berasal dari masa Pleistosen Tengah.
Sejak akhir tahun 1970 telah banyak upaya untuk menyempurnakan penanggalan setiap lapisan dari situs Zhoukoudian. Pada tahun 1985, seorang ilmuwan Cina, Zhao Shusen mengusulkan usia 700.000 tahun untuk lapisan 13, 500.000 tahun untuk lapisan 10 dan 230.000 tahun untuk lapisan 3. Sedangkan Shen Chengde berpendapat bahwa untuk lapisan 3 berkisar 400.000-500.000 tahun dan lapisan 10 berkisar 600.000-800.000 tahun. Namun, berdasarkan penggalian fosil jenis Homo erectus di situs Yuanmou yang dianggap sebagai fosil tertua Homo erectus di Cina, Homo erectus mulai hidup di Cina sekitar 1,7 juta tahun yang lalu. Meskipun begitu, penemuan di situs Shangchen yang berupa perkakas-perkakas batu yang dianggap sebagai peninggalan Homo Erectus, menimbulkan anggapan bahwa kemungkinan Homo erectus hidup di Cina sejak 2, 12 juta tahun yang lalu.
Ciri-Ciri Homo Pekinensis

Ciri-Ciri Homo pekinensis dapat diketahui berdasarkan pada 13 tengkorak dan fragmen tengkorak, 15 rahang bawah (tulang rahang bawah), 157 gigi, sebuah atlas (vertebra leher pertama), klavikula, 3 humeri (tulang lengan atas), 2 fragmen iliaka (pinggul), 7 femora, tibia (tulang kering), dan tulang bulan sabit (tulang pergelangan tangan). Berdasarkan pada penemuan-penemuan fosil ini maka dapat diketahui ciri-ciri Manusia Peking adalah:
- Memiliki tengkorak yang hampir mirip dengan kera;
- Memiliki hidung yang pesek;
- Memiliki tulang alis yang besar;
- Rahangnya agak maju yang menyebabkan mulutnya agak sedikit maju;
- Bentuk kaki dan tangannya mirip dengan manusia modern;
- Memiliki tinggi badan sekitar 165-180 cm;
- Memiliki bentuk geraham yang besar dengan rahang yang sangat kuat;
- Memiliki bagian belakang kepala tampak menonjol;
- Volume otak kurang lebih 850-1225 cc dengan rata-rata memiliki volume otak sekitar 1000 cc.
Kehidupan Homo pekinensis
Manusia jenis Homo pekinensis hidup di gua-gua terutama di daerah di mana fosil mereka ditemukan, Zhoukoudian. Berdasarkan temuan di Zhoukoudian yang dibarengi dengan temuan-temuan perkakas batu yang merupakan peralatan dari Homo pekinensis memberikan petunjuk bahwa Homo pekinensis menerapkan kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan. Sebagaimana ciri umum yang terdapat dalam kelompok Homo erectus, Homo pekinensis juga hidup dalam sebuah kelompok dan mereka telah mampu mengolah peralatan untuk menunjang kehidupan mereka serta telah mampu menggunakan api untuk mengolah makanan mereka.
Daftar Bacaan
- Aczel, Amir D. 2007. The Jesuit and the Skull: Teilhard de Chardin, Evolution, and the Search for Peking Man. Riverhead Books.
- Boaz, N. T., Ciochon, R. L., Xu, Q., Liu, J. 2004. “Mapping and taphonomic analysis of the Homo erectus loci at Locality 1 Zhoukoudian, China”. Journal of Human Evolution. 46 (5): 519–549.
- Carroll, Owen 1981. The Religious Implications of the Choukoutien Lower Cave. James Press.
- Frangsmyr, Tore (2012). “Peking Man: New Light on an Old Discovery”. In Buchwald, Jed Z. (ed.). A Master of Science History: Essays in Honor of Charles Coulston Gillispie. Springer. pp. 49–62.
- Jia, Lanpo., Huang, Weiwen. 1990. The Story of Peking Man: From Archaeology to Mystery. Oxford: Oxford University Press.
- Rightmire, G. P. 2004. “Brain size and encephalization in early to Mid-Pleistocene Homo”. American Journal of Physical Anthropology. 124 (2): 109–123.
- Schmalzer, Sigrid. 2008. The People’s Peking Man: Popular Science and Human Identity in Twentieth-Century China. Chicago: University of Chicago Press.
- Wang, Q., Sun, L. 2000. “Eightieth year of Peking Man: Current status of Peking Man and the Zhoukoudian site”. Anthropological Review. 63.
- Weidenreich, F. 1941. The Extremity Bones of Sinanthropus pekinensis. Geological survey of China.
- Weidenreich, F. 1943. The Skull of Sinanthropus pekinensis; A Comparative Study on a Primitive Hominid Skull. Geological Survey of China.