Homo Soloensis: Manusia Solo (Solo Man)

Homo soloensis (Pitecanthropus soloensis/Homo soloensis/Homo erectus soloensis) adalah salah satu manusia purba yang ditemukan di Indonesia. Penemuan Homo soloensis pertama kali dilakukan pada ekskavasi tahun 1931-1933 di bawah pimpinan Willem Frederik Florus Oppenoorth, Carel ter Haar, dan Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald. Manusia Solo (Homo erectus soloensis) adalah subspesies Homo erectus yang hidup di sepanjang Sungai Solo di Jawa, Indonesia. Homo soloensis hidup di Pulau Jawa sekitar 1,51 juta – 930.000 tahun yang lalu dan berakhir sekitar 117.000 hingga 108.000 tahun yang lalu pada zaman Pleistosen Akhir.

Penemuan Fosil Homo Soloensis

Sebelum penemuan Homo soloensis, von Koenigswald telah lebih dulu menemukan fosil Pithecanthropus erectus di Trinil, Ngawi pada tahun 1890-an. Penemuan Homo soloensis ditemukan di daerah Lembah Sungai Bengawan Solo yang sebelumnya telah ditemukan berbagai fosil dari hewan-hewan purba. Fosil Homo soloensis ditemukan oleh G.H.R von Koenigswald, Ter Haar, dan Oppenoorth saat melakukan ekskavasi sepanjang tahun 1931-1933. Lokasi yang dipilih Ter haar, oppenoorth, dan von koenigswald ketika melakukan penelitian manusia praaksara di Indonesia adalah di dua tempat yang berbeda yaitu di Desa Ngandong dan Sangiran, Jawa Tengah sekitar tahun 1931-1933. Dari ekskavasi ini berhasil ditemukan 12 potongan tengkorak (salah satu kubah tengkorak ditemukan dalam kondisi yang baik) dan dua buah tulang kering (salah satu tulang kering masih dalam kondisi lengkap).

Pada tahun 1933, saat penggalian belum selesai, Oppenoorth pensiun dan kembali ke Belanda. Posisinya dalam ekskavasi digantikan oleh geolog Polandia Jozef Zwierzycki. Dikarenakan pada tahun yang sama terjadi Depresi Besar (Great Depression), maka ekskavasi dialihkan untuk hal-hal yang bersifat ekonomi, terutama mencari cadangan minyak bumi. Dengan demikian, ekskavasi yang dilakukan di Ngandong dihentikan.

Pada tahun 1936, Carel ter Haar kembali ke Belanda dan meninggal dunia setelah tertular penyakit tuberkulosis. Namun, pada tahun 1934 ia telah menerbitkan ringkasan penting dari ekskavasi yang dilakukan di Ngandong. Sedangkan Ralph von Koenigswald yang bertugas untuk mempelajari mamalia Jawa mengalami pemecatan pada tahun yang sama (1934). Josef Zwierzycki akhirnya mencari sponsor untuk tetap dapat melanjutkan ekskavasi di Ngandong dan berhasil menerima dana dari Carnegie Institution for Science pada tahun 1937. Zwierzycki kembali mengajak von Koenigswald untuk melanjutkan ekskavasi di Ngandong, namun sayangnya ia terlalu sibuk dengan Situs Sangiran.

Kelanjutan ekskavasi di Ngandong pun dapat dikatakan mangkrak dikarenakan kesibukan von Koenigswald di Sangiran. Hal ini ditambah pula dengan adanya pendudukan Jepang sepanjang tahun 1942-1945 yang menyebabkan pula von Koenigswald dipenjarakan. Pada tahun 1945 von Koenigswald dibebaskan dari tahanan, namun revolusi kemerdekaan Indonesia meletus yang menyebabkan ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya di Jawa. Berkat antropolog Jerman, Franz Weidenreich bersama dengan Rockefeller Foundation dan The Viking Fund mengatur kepindahan von Koenigswald, istrinya yang bernama Luitgrade dan sisa-sisa manusia Jawa dan manusia Solo dipindahkan ke New York.

Di New York, Ralph von Koenigswald bersama Franz Weidenreich kemudian mempelajari kembali sisa-sisa fosil itu di American Museum of Natural History hingga kematian Weidenreich tahun 1948. Pada tahun 1951 diterbitkan monografi tentang Manusia Solo berdasarkan apa yang dipelajari oleh Koenigswald dan Weidenreich. Pada tahun 1956, Koenigswald menerbitkan buku yang berjudul Meeting Prehistoric Men yang mencatat pula beberapa hasil dari ekskavasi Ngandong. Sisa-sisa fosil yang diteliti di American Museum of Natural History kemudian dipindahkan ke Univeristas Utretch, Belanda.

Pada tahun 1967, von Koenigswald menyerahkan fosil tersebut kepada Teuku Jakob. Teuku Jakob kemudian yang melanjutkan ekskavasi di Ngandong dari tahun 1976-1978 dan berhasil menemukan dua spesimen tengkorak lainnya dan sebuah pecahan panggul. Pada tahun 1978, von Koenigswald kembali menyerahkan fosil-fosil tersebut ke Indonesia. Beberapa fosil tersebut antara lain;

  1. Tengkorak I, kopiah yang hampir lengkap mungkin milik seorang wanita tua;
  2. Tengkorak II, tulang depan yang mungkin milik anak berusia tiga sampai tujuh tahun;
  3. Tengkorak III, kopiah melengkung yang mungkin milik orang lanjut usia;
  4. Tengkorak IV, kopiah yang mungkin milik wanita paruh baya;
  5. Tengkorak V, kemungkinan kopiah jantan—ditunjukkan dengan panjangnya 221 mm (8,7 in);
  6. Tengkorak VI, kopiah yang hampir lengkap kemungkinan milik seorang wanita dewasa;
  7. Tengkorak VII, fragmen tulang parietal kanan yang kemungkinan milik individu muda, kemungkinan perempuan;
  8. Tengkorak VIII, kedua tulang parietal (terpisah) kemungkinan milik laki-laki muda;
  9. Tengkorak IX, kopiah yang tidak ada alasnya kemungkinan milik orang lanjut usia (ukurannya kecil sesuai dengan perempuan, tetapi beratnya sesuai dengan laki-laki);
  10. Skull X, kopiah yang pecah mungkin milik seorang wanita tua yang tegap;
  11. Tengkorak XI, kopiah yang hampir lengkap;
  12. Tibia A, beberapa pecahan batang, berukuran diameter 101 mm (4,0 in) di bagian tengah batang, kemungkinan milik jantan dewasa;
  13. Tibia B, tibia kanan yang hampir lengkap berukuran panjang 365 mm (14,4 in) dan diameter 86 mm (3,4 in) di bagian tengah, kemungkinan milik wanita dewasa;
  14. Ngandong 15, kopiah sebagian;
  15. Ngandong 16, fragmen parietal kiri; dan
  16. Ngandong 17, acetabulum kiri berukuran 4 cm × 6 cm (1,6 inci × 2,4 inci) (di panggul yang merupakan bagian dari sendi panggul).
Baca Juga  Peradaban Yunani Kuno (1050 SM - 330 M)

Ciri-Ciri Fisik

Berdasarkan hasil penemuan fosilnya di Ngandong dan Sangiran, diperkirakan bahwa Homo soloensis memiliki ukuran tengkorak sekitar 202 mm × 152 mm (8,0 inci × 6,0 inci) untuk laki-laki dan ukuran 221 mm (8,7 inci). (6,7 inci × 5,5 inci) untuk perempuan. Volume otak enam spesimen Ngandong yang metriknya dapat dihitung berkisar antara 1.013 hingga 1.251 cm3. Dengan demikian perkiraan volume otak Homo soloensis sekitar 1000-1250 cc. Tengkoraknya lonjong, tebal, dan masif, dengan tempat perlekatan yang mencolok. Tonjolan keningnya masih cukup nyata dan tebal, melintang sepanjang pelipis tetapi agak menyusut di tengah-tengah. Dahinya lebih terisi dan tengkoraknya lebih tinggi daripada Pithecanthrophus erectus maupun Pithecanthropus mojokertensis.

homo soloensis
Rekonstruksi Homo soloensis oleh Franz Weidenreich

Berdasarkan pada tengkoraknya, Homo soloensis memiliki hidung yang lebar dan tidak berdagu. Namun, memiliki rahang yang kuat dan gigi geraham yang besar. Apabila diperhatikan dari bentuk tengkoraknya, Homo soloensis memakan hewan buruan dan tumbuh-tumbuhan. Homo soloensis diperkirakan memiliki tinggi badan antara 165-180 cm dengan bobot berat badan sekitar 80-100 Kg dan memiliki bentuk tubuh yang tegap meskipun tidak setegap Meganthropus Paleojavanicus.

Tempat perlekatan otot tengkuk dari Homo soloensis masih cukup luas. Dasar tengkoraknya relatif utuh pada dua buah tengkorak dan memperlihatkan beberapa ciri khas sebagai Pithecanthrophus, baik untuk Pithecantropus erectus dan Pithecanthropus mojokertensis maupun untuk Homo soloensis. Tengkorak Homo soloensis ini mempunyai panjang terbesar di antara fosil-fosil hominidae yang pernah ditemukan. Walaupun Homo soloensis memperlihatkan persamaan-persamaan dengan Pithecantropus erectus dan Pithecanthropus modjokertensis, persamaannya lebih banyak dengan Pithecanthropus pekinensis dari Chou-kou-tien, Beijing.

Berdasarkan perkiraan, Homo soloensis hidup sekitar antara 900.000-300.000 tahun yang lalu. Melihat karakteristik dari Homo soloensis, nampaknya lebih memiliki kedekatan dengan Pithecanthropus mojokertensis dibandingkan dengan Pithecantropus erectus. Berdasarkan ketiga hasil penemuan hominidae; Pithecanthropus mojokertensis , Pithecantropus erectus, dan Homo soloensis, ditaksir usia hidup untuk jenis Pithecanthropus sekitar 75 tahun.

Hasil kebudayaan

Pada tahun 1936, saat mempelajari foto yang diambil oleh arkeolog Belanda Pieter Vincent van Stein Callenfels, Oppenoorth mencatat beberapa sisa tulang hewan yang patah, terutama kerusakan pada tengkorak harimau besar dan beberapa tanduk rusa, yang dianggapnya sebagai bukti teknologi tulang. Pada tahun 1951, Weidenreich dengan skeptos menyatakan bawha tulang-tulang tersebut rusak oleh sungai, dan mungkin juga oleh buaya dan proses alam lainnya. Skeptisme Weidenreich ini dengan alasan bahwa tidak ada satu pun tulang yang terlihat menunjukkan adanya bukti modifikasi yang dilakukan oleh manusia.

Oppenoorth lebih lanjut menyarankan sepotong tulang panjang yang diukir dengan pola bergelombang di kedua sisinya digunakan sebagai tombak, mirip dengan tombak yang diproduksi di Magdalenian di Eropa, tetapi Weidenreich menafsirkannya sebagai ujung tombak. Weidenreich mencatat adanya anomali ikan pari pedalaman di Ngandong, yang menurutnya dikumpulkan oleh Manusia Solo untuk digunakan sebagai belati atau mata panah, serupa dengan yang dilakukan masyarakat Pasifik Selatan saat ini. Tidak jelas apakah teknologi tulang yang terlihat ini dapat dikaitkan dengan Manusia Solo atau aktivitas manusia modern selanjutnya. Meskipun berdasarkan temuan di Trinil Populasi Homo erectus tampaknya telah beraktifitas dengan menggunakan bahan tersebut, membuat pengikis dari cangkang Pseudodon dan mungkin membuka cangkang ini dengan gigi hiu.

Oppenoorth juga mengidentifikasi bola batu andesit berbentuk bulat sempurna dari Ngandong, yang umum terdapat di Lembah Solo, dengan diameter berkisar antara 67 hingga 92 mm (2,6 hingga 3,6 in). Selain itu, bola batu serupa telah diidentifikasi di situs Mousterian Eropa dan Zaman Batu Tengah Afrika yang hidup pada masa yang sama dan lebih muda, sama kunonya dengan situs Acheulean Afrika (terutama Olorgesailie, Kenya).

Di Jawa, mereka ditemukan di Watualang (sezaman dengan Ngandong) dan Sangiran. Secara tradisional, ini diartikan sebagai bolas (diikat menjadi dua atau tiga dan dilemparkan sebagai senjata berburu), tetapi juga proyektil yang dilempar secara individu, kepala gada, atau alat pemrosesan tanaman atau pemecah tulang. Pada tahun 1993, arkeolog Amerika Kathy Schick dan Nicholas Toth menunjukkan bahwa bentuk bola dapat direproduksi hanya jika batu tersebut digunakan sebagai palu dalam jangka waktu yang lama.

Baca Juga  Sejarah Perkembangan Ajaran Tarekat di Indonesia

Pada tahun 1938, von Koenigswald kembali ke situs Ngandong bersama dengan arkeolog Helmut de Terra, Hallam L. Movius dan Pierre Teilhard de Chardin untuk mengumpulkan inti dan serpihan litik (yaitu perkakas batu). Karena keausan yang disebabkan oleh sungai, sulit untuk mengidentifikasi dengan pasti bahwa beberapa batu tersebut adalah peralatan yang sebenarnya. Bentuknya kecil dan sederhana, biasanya lebih kecil dari 5 cm (2 inci) dan paling sering terbuat dari kalsedon (tetapi juga rijang dan jasper) yang tersapu oleh sungai. Beberapa batuan vulkanik dan pecahan kayu tampaknya telah dimodifikasi menjadi alat pemotong yang kuat.

Pada tahun 1973, di dekat situs Sambungmacan, ditemukan sebuah alat pencacah (dan juga serpihan) yang terbuat dari andesit. Karena sedikitnya alat yang berhasil ditemukan, mustahil untuk mengkategorikan Manusia Solo ke dalam industri batu tertentu. Seperti banyak situs Asia Tenggara lainnya yang mendahului manusia modern, situs Ngandong tidak memiliki alat pemotong, kapak tangan, atau alat pemotong rumit lainnya yang merupakan ciri khas situs Acheulean di Eurasia Barat dan Afrika.

Pada tahun 1944, Movius menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh kesenjangan teknologi yang besar antara H. erectus bagian barat dan timur (“Garis Movius”) yang disebabkan oleh perbedaan besar dalam habitat (area terbuka vs. hutan hujan tropis), sebagaimana penafsiran alat pemotong secara umum. sebagai bukti perburuan hewan besar, yang dia yakini hanya mungkin terjadi jika manusia menyebar ke dataran terbuka.

Berdasarkan hasil dari penemuan fosil Homo soloensis tidak ditemukan benda-benda yang dianggap sebagai bentuk kebudayaan dari Homo soloensis. Namun, secara umum Homo soloensis menggunakan benda-benda yang berasal dari alam tanpa adanya ataupun dengan sedikit pengolahan. Benda-benda itu antara lain;

  1. Kapak genggam;
  2. Kapak perimbas;
  3. Kapak penetak;
  4. Alat serpih;
  5. Alat tulang dan kayu.

Kehidupan Homo Soloensis

Homo soloensis hidup secara berkelompok dalam satu keluarga dan hidup berdasarkan prinsip komunal primitif. Namun, beberapa kelompok diantara jenis Homo soloensis ini juga telah melakukan sistem pembagian kerja secara sederhana. Homo soloensis yang hidup secara nomaden sebagian besar melakukan aktivitas mereka berada di daerah-daerah dengan sumber daya pangan dan air yang berlimpah semisal di daerah aliran sungai maupun tepian pantai. Berdasarkan pada persebaran penemuan fosilnya, Homo soloensis hidup secara nomaden berada disekitar aliran Sungai Bengawan Solo.

Berdasarkan pada tingkat temuan yang diklasifikasikan dengan fauna Ngandong, Homo soloensis hidup pada hutan terbuka dan hidup berdampingan dengan spesies-spesies seperti harimau, kuda nil, stegodon dan lain-lain. Sebagaimana klasifikasinya sebagai bagian dari Homo erectus, Homo soloensis jelaslah spesies yang mahir hidup di hutan dan sabana. Homo erectus soloensis ini memulai kehidupannya di Pulau Jawa sekitar 1,51 juta – 930.000 tahun yang lalu berdasarkan temuan di Sangiran. Sedangkan temuan di Trinil sekitar sekitar 540.000 – 340.000 tahun yang lalu dan berakhir di Ngandong sekitar 117.000-108.000 tahun yang lalu. Berdasarkan temuan di Ngandong, diperkirakan populasi Homo soloensis kemungkinan sangat besar dan mengalami kepunahan akibat adanya letusan gunung berapi.

Hipotesa lain dari penyebab kepunahan dari Homo soloensis adalah kanibalisme. Pada tahun 1951, Franz Weidenreich dan von Koenigswald mencatat adanya luka parah pada Tengkorak IV dan VI, yang mereka yakini disebabkan oleh alat pemotong dan alat tumpul. Mereka menunjukkan bukti peradangan dan penyembuhan, sehingga orang-orang tersebut mungkin selamat dari adanya pertengkaran.

Weidenreich dan von Koenigswald mencatat bahwa hanya kopiah yang ditemukan, bahkan tidak ada gigi, yang mana hal ini sangat tidak biasa. Jadi, mereka menafsirkan setidaknya Tengkorak IV dan VI sebagai korban dari “serangan yang tidak berhasil”, dan tengkorak-tengkorak lain yang pangkalannya pecah “sebagai hasil dari upaya yang lebih berhasil untuk membunuh para korban”, dengan asumsi bahwa hal ini dilakukan oleh manusia lain untuk membunuh korban. Selanjutnya dengan mengakses dan mengkonsumsi otak dari korban. Mereka tidak yakin apakah hal ini dilakukan oleh sesama Homo soloensis atau “oleh manusia yang lebih maju yang akan memberikan bukti budaya ‘unggul’ mereka dengan membunuh yang lebih primitif”. Meskipun demikian, Weidenreich dan von Koenigswald mengakui bahwa beberapa cedera mungkin terkait dengan letusan gunung berapi.

Baca Juga  Sejarah Perang Padri (1803-1838)

Daftar Bacaan

  • Anton, S. C. 2003. “Natural history of Homo erectus”. American Journal of Physical Anthropology. 122 (37): 136–152.
  • Bartstra, G.-J.; Soegondho, S.; van der Wijk, A. 1988. “Ngandong man: age and artifacts”. Journal of Human Evolution. 17 (3): 332–335.
  • Curnoe, D. 2011. “A 150-Year Conundrum: Cranial Robusticity and Its Bearing on the Origin of Aboriginal Australians”. International Journal of Evolutionary Biology. 2011: 2–3.
  • Huffman, O. F.; de Vos, J.; Berkhout, A. W.; Aziz, F. 2010. “Provenience reassessment of the 1931–1933 Ngandong Homo erectus (Java), confirmation of the bone-bed origin reported by the discoverers”. PaleoAnthropology. 2010: 1–60.
  • Hsiao-Pei, Y. 2014. “Evolutionary Asiacentrism, Peking Man, and the Origins of Sinocentric Ethno-Nationalism”. Journal of the History of Biology. 47 (4): 585–625.
  • llen, J. S.; Damasio, H.; Grabowski, T. J. 2002. “Normal neuroanatomical variation in the human brain: an MRI-volumetric study”. American Journal of Physical Anthropology. 118 (4): 351.
  • Jacob, T. 1972. “The Problem of Head-Hunting and Brain-Eating among Pleistocene Men in Indonesia”. Archaeology and Physical Anthropology in Oceania. 7 (2): 86–89.
  • Joordens, J. C. A.; d’Errico, F.; Wesselingh, F. P.; Munro, S.; de Vos, J.; Wallinga, J.; Ankjærgaard, C.; Reimann, T.; Wijbrans, J. R.; Kuiper, K. F.; Mücher, H. J.; Coqueugniot, H.; Prié, V.; Joosten, I.; van Os, B.; Schulp, A. S.; Panuel, M.; van der Haas, V.; Lustenhouwer, W.; Reijmer, J. J. G.; Roebroeks, W. 2015. “Homo erectus at Trinil on Java used shells for tool production and engraving”. Nature. 518 (7538): 228–231.
  • Kaifu, Y.; Aziz, F.; Indriati, E.; Jacob, T.; Kurniawan, I.; Baba, H. 2008. “Cranial morphology of Javanese Homo erectus: New evidence for continuous evolution, specialization, and terminal extinction”. Journal of Human Evolution. 55 (4): 578.
  • Li, H.; Ruan, J.; Xie, Z.; Wang, H.; Liu, W. 2007. “Investigation of the critical geometric characteristics of living human skulls utilising medical image analysis techniques”. International Journal of Vehicle Safety. 2 (4): 345.
  • Louys, J.; Roberts, P. 2020. “Environmental drivers of megafauna and hominin extinction in Southeast Asia”. Nature. 586 (7829): 402–406.
  • Lycett, S. J.; Bae, C. J. 2010. “The Movius Line controversy: the state of the debate”. World Archaeology. 42 (4): 526–531.
  • O’Connell, J. F.; Allen, J.; Williams, M. A. J.; Williams, A. N.; Turney, C. S. M.; Spooner, N. A.; Kamminga, J.; Brown, G.; Cooper, A. (2018). “When did Homo sapiens first reach Southeast Asia and Sahul?”. Proceedings of the National Academy of Sciences. 115 (34): 8482–8490.
  • Oppenoorth, W. F. F. 1932. “Solo Man—A New Fossil Skull”. Scientific American. 147 (3): 154–155.
  • Rizal, Y.; Westaway, K. E.; Zaim, Y.; van den Bergh; Bettis III, E. A.; Morwood, M. J.; Huffman, O. F.; Grün, R.; Joannes-Boyau, R.; Bailey, R. M.; Sidarto; Westaway, M. C.; Kurniawan, I.; Moore, M. W.; Storey, M.; Aziz, F.; Suminto; Zhao, J.; Aswan; Sipola, M. E.; Larick, R.; Zonneveld, J.-P.; Scott, R.; Putt, S.; Ciochon, R. L. 2020. “Last appearance of Homo erectus at Ngandong, Java, 117,000–108,000 years ago”. Nature. 577 (7790): 381–385.
  • Swisher, III, C. C.; Rink, W. J.; Antón, S. C.; Schwarcz, H. P.; Curtis, G. H.; Widiasmoro, A. S. 1996. “Latest Homo erectus of Java: Potential Contemporaneity with Homo sapiens in Southeast Asia”. Science. 274 (5294): 1870–1874
  • Teixeira, J. C.; Jacobs, G. S.; Stringer, C.; Tuke, J.; Hudjashov, G.; Purnomo, G. A.; Sudoyo, H.; Cox, M. P.; Tobler, R.; Turney, C. S. M.; Cooper, A.; Helgen, K. M. 2021. “Widespread Denisovan ancestry in Island Southeast Asia but no evidence of substantial super-archaic hominin admixture”. Nature Ecology and Evolution. 5 (5): 616–624.
  • Tobias, P. V. 1976. “The life and times of Ralph von Koenigswald: Palaeontologist extraordinary”. Journal of Human Evolution. 5 (5): 406–410.
  • Weidenreich, F.; von Koenigswald, G. H. R. 1951. “Morphology of Solo man”. Anthropological Papers of the AMNH. 43. hdl:2246/297
  • Yokoyama, Y.; Falguères, C.; Sémah, F.; Jacob, T. 2008. “Gamma-ray spectrometric dating of late Homo erectus skulls from Ngandong and Sambungmacan, Central Java, Indonesia”. Journal of Human Evolution. 55 (2): 274–277.
  • Zeitoun, V.; Détroit, F.; Grimaud-Hervé, D.; Widianto, H. 2010. “Solo man in question: Convergent views to split Indonesian Homo erectus in two categories”. Quaternary International. 223–224: 288.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca