Homo Soloensis: Manusia Solo (Solo Man)

Homo soloensis

Homo soloensisHomo soloensis (Pitecanthropus soloensis/Homo soloensis) adalah salah satu manusia Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia. Penemu Homo soloensis adalah von Koenigswald, Ter Haar dan Oppernoorth. Di dalam artikel ini akan dijelaskan secara singkat tentang penemuan dan ciri-ciri dari Homo soloensis.

Penemuan Fosil Homo Soloensis

Fosil Homo soloensis ditemukan oleh G.H.R von Koenigswald, Ter Haar, dan Oppenoorth. Lokasi yang dipilih Ter haar, oppenoorth, dan von koenigswald ketika melakukan penelitian manusia praaksara di Indonesia adalah di dua tempat yang berbeda yaitu di Desa Ngandong dan Sangiran, Jawa Tengah sekitar tahun 1931-1933. Nama Homo soloensis dipilih sebagai penamaan atas penemuan fosil itu dan memiliki arti “Manusia kera dari Solo”. Penemuan fosil manusia Homo soloensis ini berupa tengkorak dan juga tulang kering.

Sebelum penemuan Homo soloensis, von Koenigswald telah lebih dulu menemukan fosil Pithecanthropus erectus di Trinil, Ngawi pada tahun 1890-an. Penemuan Homo soloensis ditemukan di daerah Lembah Sungai Bengawan Solo yang sebelumnya telah ditemukan berbagai fosil dari hewan-hewan purba. Sepanjang tahun 1931-1933 di awali di Desa Ngandong, von Koenigswald, Ter Haar dan Oppenoorth memulai penggalian tanah endapan Sungai Bengawan Solo yang sebelumnya memang telah ditemukan berbagai fosil sisa kehidupan di masa lalu. Dari penggalian inilah fosil Homo soloensis berhasil ditemukan.

Ciri-Ciri Fisik

Berdasarkan hasil penemuan fosilnya di Ngandong dan Sangiran, diperkirakan bahwa Homo soloensis memiliki isi tengkorak antara 750-975 cc. Tengkoraknya lonjong, tebal, dan masif, dengan tempat perlekatan yang mencolok. Tonjolan keningnya masih cukup nyata dan tebal, melintang sepanjang pelipis tetapi agak menyusut di tengah-tengah. Dahinya lebih terisi dan tengkoraknya lebih tinggi daripada Pithecanthrophus erectus maupun Pithecanthropus mojokertensis.

Fosil Tempurung dari Tengkorak Homo Soloensis

Berdasarkan pada tengkoraknya, Homo soloensis memiliki hidung yang lebar dan tidak berdagu. Namun, memiliki rahang yang kuat dan gigi geraham yang besar. Apabila diperhatikan dari bentuk tengkoraknya, Homo soloensis memakan hewan buruan dan tumbuh-tumbuhan. Homo soloensis diperkirakan memiliki tinggi badan antara 165-180 cm dengan bobot berat badan sekitar 80-100 Kg dan memiliki bentuk tubuh yang tegap meskipun tidak setegap Meganthropus Paleojavanicus.

homo soloensis

Tempat perlekatan otot tengkuk dari Homo soloensis masih cukup luas. Dasar tengkoraknya relatif utuh pada dua buah tengkorak dan memperlihatkan beberapa ciri khas sebagai Pithecanthrophus, baik untuk Pithecantropus erectus dan Pithecanthropus mojokertensis maupun untuk Homo soloensis. Tengkorak Homo soloensis ini mempunyai panjang terbesar di antara fosil-fosil hominidae yang pernah ditemukan. Walaupun Homo soloensis memperlihatkan persamaan-persamaan dengan Pithecantropus erectus dan Pithecanthropus modjokertensis, persamaannya lebih banyak dengan Pithecanthropus pekinensis dari Chou-kou-tien, Beijing.

Baca Juga  Prasasti Cidanghiang 403 M: Peringatan Purnawarman Bagi Para Bajak Laut!

Berdasarkan perkiraan, Homo soloensis hidup sekitar antara 900.000-300.000 tahun yang lalu. Melihat karakteristik dari Homo soloensis, nampaknya lebih memiliki kedekatan dengan Pithecanthropus mojokertensis dibandingkan dengan Pithecantropus erectus. Berdasarkan ketiga hasil penemuan hominidae; Pithecanthropus mojokertensis , Pithecantropus erectus, dan Homo soloensis, ditaksir usia hidup untuk jenis Pithecanthropus sekitar 75 tahun.

Hasil kebudayaan

Berdasarkan hasil dari penemuan fosil Homo soloensis tidak ditemukan benda-benda yang dianggap sebagai bentuk kebudayaan dari Homo soloensis. Namun, selayaknya jenis Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia Homo soloensis menggunakan benda-benda yang berasal dari alam tanpa adanya ataupun dengan sedikit pengolahan. Benda-benda itu antara lain;

  1. Kapak genggam;
  2. Kapak perimbas;
  3. Kapak penetak;
  4. Alat serpih;
  5. Alat tulang dan kayu.

Kehidupan Homo Soloensis

Homo soloensis hidup secara berkelompok dalam satu keluarga dan hidup berdasarkan prinsip komunal primitif. Namun, beberapa kelompok diantara jenis Homo soloensis ini juga telah melakukan sistem pembagian kerja secara sederhana.

Homo soloensis yang hidup secara nomaden sebagian besar melakukan aktivitas mereka berada di daerah-daerah dengan sumber daya pangan dan air yang berlimpah semisal di daerah aliran sungai maupun tepian pantai. Berdasarkan pada persebaran penemuan fosilnya, Homo soloensis hidup secara nomaden berada disekitar aliran Sungai Bengawan Solo.

Daftar Bacaan

  • Antón, S. C. 2003. “Natural history of Homo erectus”. American Journal of Physical Anthropology. 122 (37): 136–152.
  • Bartstra, G.-J.; Soegondho, S.; van der Wijk, A. 1988. “Ngandong man: age and artifacts”. Journal of Human Evolution. 17 (3): 332–335.
  • Curnoe, D. 2011. “A 150-Year Conundrum: Cranial Robusticity and Its Bearing on the Origin of Aboriginal Australians”. International Journal of Evolutionary Biology. 2011: 2–3.
  • Huffman, O. F.; de Vos, J.; Berkhout, A. W.; Aziz, F. 2010. “Provenience reassessment of the 1931–1933 Ngandong Homo erectus (Java), confirmation of the bone-bed origin reported by the discoverers”. PaleoAnthropology. 2010: 1–60.
  • Hsiao-Pei, Y. 2014. “Evolutionary Asiacentrism, Peking Man, and the Origins of Sinocentric Ethno-Nationalism”. Journal of the History of Biology. 47 (4): 585–625.
  • llen, J. S.; Damasio, H.; Grabowski, T. J. 2002. “Normal neuroanatomical variation in the human brain: an MRI-volumetric study”. American Journal of Physical Anthropology. 118 (4): 351.
  • Jacob, T. 1972. “The Problem of Head-Hunting and Brain-Eating among Pleistocene Men in Indonesia”. Archaeology and Physical Anthropology in Oceania. 7 (2): 86–89.
  • Joordens, J. C. A.; d’Errico, F.; Wesselingh, F. P.; Munro, S.; de Vos, J.; Wallinga, J.; Ankjærgaard, C.; Reimann, T.; Wijbrans, J. R.; Kuiper, K. F.; Mücher, H. J.; Coqueugniot, H.; Prié, V.; Joosten, I.; van Os, B.; Schulp, A. S.; Panuel, M.; van der Haas, V.; Lustenhouwer, W.; Reijmer, J. J. G.; Roebroeks, W. 2015. “Homo erectus at Trinil on Java used shells for tool production and engraving”. Nature. 518 (7538): 228–231.
  • Kaifu, Y.; Aziz, F.; Indriati, E.; Jacob, T.; Kurniawan, I.; Baba, H. 2008. “Cranial morphology of Javanese Homo erectus: New evidence for continuous evolution, specialization, and terminal extinction”. Journal of Human Evolution. 55 (4): 578.
  • Li, H.; Ruan, J.; Xie, Z.; Wang, H.; Liu, W. 2007. “Investigation of the critical geometric characteristics of living human skulls utilising medical image analysis techniques”. International Journal of Vehicle Safety. 2 (4): 345.
  • Louys, J.; Roberts, P. 2020. “Environmental drivers of megafauna and hominin extinction in Southeast Asia”. Nature. 586 (7829): 402–406.
  • Lycett, S. J.; Bae, C. J. 2010. “The Movius Line controversy: the state of the debate”. World Archaeology. 42 (4): 526–531.
  • O’Connell, J. F.; Allen, J.; Williams, M. A. J.; Williams, A. N.; Turney, C. S. M.; Spooner, N. A.; Kamminga, J.; Brown, G.; Cooper, A. (2018). “When did Homo sapiens first reach Southeast Asia and Sahul?”. Proceedings of the National Academy of Sciences. 115 (34): 8482–8490.
  • Oppenoorth, W. F. F. 1932. “Solo Man—A New Fossil Skull”. Scientific American. 147 (3): 154–155.
  • Rizal, Y.; Westaway, K. E.; Zaim, Y.; van den Bergh; Bettis III, E. A.; Morwood, M. J.; Huffman, O. F.; Grün, R.; Joannes-Boyau, R.; Bailey, R. M.; Sidarto; Westaway, M. C.; Kurniawan, I.; Moore, M. W.; Storey, M.; Aziz, F.; Suminto; Zhao, J.; Aswan; Sipola, M. E.; Larick, R.; Zonneveld, J.-P.; Scott, R.; Putt, S.; Ciochon, R. L. 2020. “Last appearance of Homo erectus at Ngandong, Java, 117,000–108,000 years ago”. Nature. 577 (7790): 381–385.
  • Swisher, III, C. C.; Rink, W. J.; Antón, S. C.; Schwarcz, H. P.; Curtis, G. H.; Widiasmoro, A. S. 1996. “Latest Homo erectus of Java: Potential Contemporaneity with Homo sapiens in Southeast Asia”. Science. 274 (5294): 1870–1874
  • Teixeira, J. C.; Jacobs, G. S.; Stringer, C.; Tuke, J.; Hudjashov, G.; Purnomo, G. A.; Sudoyo, H.; Cox, M. P.; Tobler, R.; Turney, C. S. M.; Cooper, A.; Helgen, K. M. 2021. “Widespread Denisovan ancestry in Island Southeast Asia but no evidence of substantial super-archaic hominin admixture”. Nature Ecology and Evolution. 5 (5): 616–624.
  • Tobias, P. V. 1976. “The life and times of Ralph von Koenigswald: Palaeontologist extraordinary”. Journal of Human Evolution. 5 (5): 406–410.
  • Weidenreich, F.; von Koenigswald, G. H. R. 1951. “Morphology of Solo man”. Anthropological Papers of the AMNH. 43. hdl:2246/297
  • Yokoyama, Y.; Falguères, C.; Sémah, F.; Jacob, T. 2008. “Gamma-ray spectrometric dating of late Homo erectus skulls from Ngandong and Sambungmacan, Central Java, Indonesia”. Journal of Human Evolution. 55 (2): 274–277.
  • Zeitoun, V.; Détroit, F.; Grimaud-Hervé, D.; Widianto, H. 2010. “Solo man in question: Convergent views to split Indonesian Homo erectus in two categories”. Quaternary International. 223–224: 288.
error: Content is protected !!