Indische Partij adalah salah satu organisasi pendukung gagasan revolusioner yang didirikan pada 25 Desember 1912. Indische Partij adalah organisasi yang ingin menggantikan organisasi Indische Bond. Perumus gagasan berdirinya Indische Partij adalah E.F.E. Douwes Dekker (Danudirdja Setyabudi). Douwes Dekker adalah seorang Indo yang mana ia menemui beberapa kejanggalan yang ada di dalam masyarakat kolonial khususnya adalah menyoal diskriminasi antara keturunan Belanda totok dengan kaum Indo.
Pengamatan yang dilakukan oleh Douwes Dekker lebih daripada hanya sekedar membatasi pandangan dan kepentingan golongan kecil masyarakat Indo. Namun, Douwes Dekker meluaskan pandangannya terhadap masyarakat Hindia-Belanda (Indonesia) pada umumnya, yang masih tetap hidup di dalam situasi kolonial di mana situasi itu sangatlah memprihatinkan.
Perlu diketahui bahwa nasib para Indo (keturanan Belanda-Hindia) tidak ditentukan oleh pemerintah kolonial, tetapi terletak di dalam bentuk kerja sama dengan penduduk Indonesia lainnya. Bahkan menurut Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), ia tidak mengenal supremasi golongan Indo di atas penduduk bumiputera, malah ia menghendaki hilangnya golongan Indo dengan jalan peleburan ke dalam masyarakat bumiputra.
Melalui karangan-karangan di dalam Het Tijdschrift kemudian dilanjutkan ke dalam De Express, propagandanya meliputi: pelaksanaan suatu program “Hindia” untuk setiap gerakan politik yang sehat dengan tujuan menghapuskan perhubungan kolonial; menyadarkan golongan Indo dan penduduk bumiputra, bahwa masa depan mereka terancam oleh bahaya yang sama, yaitu bahaya eksploitasi kolonial. Alat untuk melancarkan aksi-aksi perlawanan ialah dengan membentuk suatu partij yakni Indische Partij.
Sebagai upaya untuk persiapan pendirian Indische Partij, Douwes Dekker mengadakan propaganda di Pulau Jawa yang mana hal ini dimulai pada tanggal 15 September 1912 dan berakhir pada tanggal 3 Oktober 1912. Di dalam perjalanan inilah Douwes Dekker bertemu dengan Tjipto Mangunkusumo.
Pertemuan antara Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo segera bertukar pemikiran mengenai soal-soal yang berkaitan dengan pembinaan partai yang bercorak nasional. Selain itu, ketika sampai di Bandung propaganda yang dilakukan oleh Douwes Dekker juga mendapatkan dukungan dari Suwardi Suryaningrat dan Abdul Muis yang pada waktu itu telah menjadi tokoh-tokoh dan pemimpin Sarekat Islam cabang Bandung.
Di Yogyakarta propaganda Douwes Dekker juga mendapat sambutan dari pengurus Budi Utomo. Redaktur-redaktur surat kabar Jawa Tengah di Semarang dan Tjahaya Timoer di Malang juga memberikan dukungannya untuk mendorong berdirinya Indische Partij. Secara umum, baik di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, propaganda Douwes Dekker juga mendapatkan dukungan.
Dukungan yang diberikan kepada propaganda Douwes Dekker terbukti dengan berhasil didirikannya 30 cabang dari Indische Partij dengan anggota sejumlah 7.300 orang, di mana sebagian besar anggotanya adalah dari golongan Indo sedangkan jumlah anggota dari kalangan bumiputera sebanyak 1.500 orang.
Memanglah dapat dikatakan bahwa aksi yang dilakukan oleh Douwes Dekker berkeliling Jawa sangatlah emosional dan dengan cepat menarik perhatian berbagai kalangan. Hal ini memang disadari bahwa beberapa orang yang tertarik dengan organisasi pergerakan yang telah muncul terutama tidak puas dengan langkah-langkah yang telah diambil oleh Budi Utomo, sehingga golongan progresif mencari kepuasan politik dengan menggabungkan diri dengan Sarekat Islam.
Sedangkan perlu kiranya disadari bahwa pada tahun 1912 Sarekat Islam belum menunjukkan gerakan yang revolusioner. Oleh karena itu, gagasan perlunya suatu partai pelopor dengan berdasarkan konsepsi nasional yang luas tentu mendapatkan sambutan dari mereka (orang-orang yang berpikiran progresif-revolusioner).
Tiga Tokoh Pendiri Indische Partij
Tiga serangkai adalah nama yang disematkan kepada mereka (Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat) sebagai pendiri Indische Partij. Douwes Dekker berusaha memerjuangkan pemikiran dan pengamatannya itu dengan mendirikan Indische Partij (Partai Hindia). Dukungan utama bagi upaya ini datang dari Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat.
Latar belakang dari ketiga tokoh Indische Partij ini mencerminkan inti dari pemikiran Indische Partij itu sendiri. Organisasi ini menginginkan kebangsaan Hindia bagi semua penduduk Hindia tanpa melihat perbedan keturunan, golongan, dan agama. Tjipto adalah wakil dari golongan abangan Jawa yang pernah menjadi anggota Budi Utomo. Suwardi adalah seorang ningrat bekas anggota Sarekat Islam. Keduanya bergabung ke Indische Partij karena mereka kecewa dengan Budi Utomo dan Sarekat Islam yang saat itu belum menunjukkan sikap revolusioner. Oleh karena itu, mereka menyambut baik gagasan yang dilontarkan oleh Douwes Dekker tentang perlunya partai pelopor yang bersifat nasional.
Latar Belakang Berdirinya Indische Partij
Latar belakang Indische Partij diawali setelah permusyawaratan wakil-wakil Indische Partij daerah di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912. Di dalam pertemuan di Bandung ini tersusunlah anggaran dasar Indische Partij. Program revolusioner yang bersifat nasional dapat diketahui dalam pasal-pasal anggarannya, yang ada di dalam bahasa indonesianya:
“Tujuan Indische Partij ialah untuk membangunkan patriotism semua Indiers (kaum pribumi yang tinggal di Indonesia maupun dalam berbagai suku) terhadap tanah air, yang telah memberi lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air “Hindia” dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka”.
Indische Partij berdiri di atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan (HIndia) Indonesia. Hindia sebagai “national home” semua orang keturunan bumiputera, Belanda, Cina, Arab, dan sebagainya, yang mengakui Hindia sebagai Tanah Air dan kebangsaannya. Paham ini pada waktu dahulu dikenal sebagai Indisch Nationalisme (Nasionalisme Hindia), yang kemudian hari melalui Perhimpunan Indonesia (PI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) berubah menjadi Indonesich Nationalisme (Nasionalisme Indonesia).
Pasal-pasal itulah yang menyatakan bahwa Indische Partij sebagai partai politik yang pertama di Indonesia. Bahwa Indische Partij adalah suatu partai yang radikal juga, hal ini dinyatakan Douwes Dekker, didirikan partai ini (Indische Partij) merupakan:
“penantang perang dari pihak budak koloni yang membayar lasting kepada kerajaan penjajah, pemungut pajak”.
E.F.E. Douwes Dekker
Perkembangan Organisasi
E.F.E. Douwes Dekker berpendapat bahwa hanya melalui kesatuan aksi melawan koloni, bangsa Indonesia dapat mengubah sistem yang berlaku, juga keadilan bagi sesama suku bangsa yang merupakan keharusan dalam pemerintahan. Pada waktu itu terdapat Antitesis (pengungkapan gagasan yang bertentangan dalam susunan kata yang sejajar, seperti semboyan “Merdeka atau mati”) antara penjajah dan terjajah, penguasa dan yang dikuasai.
Douwes Dekker berpendapat, setiap gerakan politik haruslah menjadikan kemerdekaan yang merupakan tujuan akhir. Pendapatnya itu disalurkan melalui majalah Het Tijdschrift dan surat kabar De Express. Douwes Dekker juga banyak berhubungan dengan para pelajar STOVIA di Jakarta, dan menjadi redaktur Bataviaasch Nieuwsblad maka tidak mengherankan kalau Douwes Dekker banyak berkenalan dan member kesempatan kepada penulis- penulis muda dalam surat kabar. Menurut Suwardi Suryaningrat, meskipun pendiri Indische Partij adalah orang indo, tetapi tidak mengenal supremasi indo atas bumi putera, bahkan menghendaki hilangnya golongan indo dengan meleburkan diri dalam masyarakat bumi putera.
Karakter dinamis yang ditunjukkan oleh Douwes Dekker diawali ketika melakukan propaganda ke seluruh Jawa dari tanggal 15 September 1912 sampai dengan 3 Oktober 1912. Perjalanan itu di pergunakan untuk melakukan rapat-rapat dengan golongan elit lokal seperti di Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Surabaya, Semarang, Tegal, Pekalongan, dan Cirebon. Douwes Dekker disambut hangat oleh pengurus Budi Utomo di Yogyakarta.
Mereka (pengurus Budi Utomo) diajak untuk membangkitkan semangat golongan Indiers sebagai kekuatan politik untuk menentang penjajah. Perjalanan yang dilakukan oleh Douwes Dekker itu menghasilkan tanggapan baik dan akhirnya membawa keberhasilan bagi didirikannya 30 cabang Indische Partij.
Konsep kebangsaan Hindia disebarluaskan oleh E.F.E. Douwes Dekker. Douwes Dekker berpendapat bahwa Hindia dalam koloni Nederlandshe Indie harus disadarkan dan dibebaskan dari belenggu penjajah. Dari anggaran dasar organisasi Indische Partij dapat disimpulkan bahwa tujuannya adalah untuk membangun lapangan hidup dan menganjurkan kerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan guna memajukan tanah air Hindia-Belanda dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.
Hal ini berarti secara tidak langsung Indische Partij menolak kehadiran orang belanda asli belanda sebagai penguasa dan sekaligus melahirkan perasaan kebangsaan yang pertama karena mengalami Indonesia sebagai tanah airnya. Oleh karena itu, Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang menampung semua suku bangsa di Hindia-Belanda untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Berkat propaganda yang dilakukan dengan cermat baik melalui persuratkabaran, surat edaran, selebaran, maupun segala macam pertemuan dan rapat-rapat, Indische Partij mengalami kemajuan yang demikian pesat. Kemajuan yang demikian pesat itu merupakan ancaman yang membahayakan bagi praktik kolonialisme dan imperialisme Belanda. Itulah sebabnya dengan berbagai upaya ditempuh oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda untuk menghalang-halangi lajunya pertumbuhan organisasi pergerakan tersebut. Persuratkabaran Belanda seperti Preanger, Mataram, Soerabajaasch Handelsblod, dan Semarang Handelsblod melancarkan serangkaian aksi dengan komentar-komentar yang sangat merugikan Indische Partij.
Walaupun usia dari Indische Partij sangat singkat, tetapi semangat yang ditunjukkan dari Tjipto Mangkusumo dan Suwardi Suryaningrat sangat besar berpengaruh bagi para pemimpin pergerakan waktu itu. Terlebih lagi Indische Partij menunjukan garis politiknya secara jelas dan tegas serta menginginkan agar rakyat Indonesia dapat merupakan satu kesatuan penduduk yang multirasial, dan tujuannya dari partai ini adalah benar-benar revolusioner karena berkeinginan untuk mendobrak kenyataan politik rasial yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
Tindakan ini terlihat nyata pada tahun 1913, Pemerintah Kerajaan Belanda akan mengadakan upacara peringatan 100 tahun bebasnya negeri belanda dari jajahan Perancis (Napoleon), dengan cara memungut dana dari rakyat Indonesia. Bentuk kritik ditunjukkan oleh Indische Partij dengan membentuk “Komite Bumi Putera” di Bandung. Komite tersebut bermaksud hendak mengirimkan telegram kepada ratu Belanda yang isinya mengandung permintaan pencabutan pasal III R.R (Reglement op het beleid der Regeering), dibentuknya majelis perwakilan rakyat yang sejati dan ketegasan adanya kebebasan berpendapat didaerah jajahan.
Salah seorang pemimpin komite ini, Suwardi Suryaningrat menulis sebuah risalah yang berjudul “Als ik een Nederlander was”, yang isinya sindiran tajam atas ketidakadilan didaerah jajahan. Karena tidaklah elok kiranya merayakan kemerdekaan dengan memungut dana dari negeri yang mereka jajah.
Kecaman-kecaman yang semakin keras menentang pemerintah Belanda menyebabkan ketiga tokoh dari Indische Partij ditangkap tatun 1913 yang menyebabkan mereka diasingkan ke Belanda. Namun pada tahun 1914 Tjipto Mangunkusumo dikembalikan ke Hindia-Belanda karena sakit, sedangkan Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker baru di kembalikan ke Hindia-Belanda pada tahun 1919.
Setelah kembali ke Hindia-Belanda, Douwes Dekker tetap terjun dalam bidang politik, sedangkan Suwardi Suryaningrat terjun di bidang pendidikan. Meskipun Indische Partij tenggelam dan sudah tidak eksis lagi, ketiganya tetap memperjuangkan bangsa Hindia. Telah lama pula Tjipto Mangunkusumo mempunyai cita-cita tentang wawasan kebangsaan yang luas dan tegas. Hal itu terlihat secara jelas ketika Tjipto Mangunkusumo masih menjadi anggota dari Budi Utomo, pada tanggal 9 September 1909.
Tjipto Mangunkusumo pernah mengusulkan agar Budi Utomo memperluas keanggotaannya, membuka pintu untuk semua Hindia Putera; bagi semua yang lahir, hidup, dan mati di tanah Hindia. Apa yang diusulkannya itu tegas. Sayang keinginannya itu harus kandas, karena ditolak oleh Kongres Budi Utomo yang nyaris mayoritas terdiri dari golongan tua. Itulah sebabnya dalam Indische Partij apa yang dicita-citakan itu memperoleh tempat penyalurannya.
Dengan masuknya kedua tokoh nasionalis tersebut (Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat) ke dalam tubuh Indische Partij yang baru berdiri itu, maka aktivitas politiknya menjadi lebih tegas dan keras. Dengan tambahnya tokoh-tokoh itu maka lahirlah “tiga serangkai” yang memiliki cara pandang dan arah berpikir yang sama.
Pada waktu itu pula Tjipto Mangunkusumo memperkenalkan semboyan “Indie los van Holland” yang berarti Hindia lepas dari negeri Belanda. Itulah tujuan yang sebenarnya, dimana saja Tjipto Mangunkusumo berbicara, itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya, yaitu Hindia lepas dari Nederland. Pada waktu itu apa yang diucapkan Tjipto Mangunkusumo tersebut merupakan kata yang membuat pemerintah kolonial menjadi geram.
Tujuan Indische Partij
Melalui karangan-karangan yang termuat di dalam Het Tijdschrift maka diketahuilah bahwa tujuan dari Indische Partij yang kemudian dilanjutkan di dalam De Express, propagandanya meliputi, Pelaksanaan suatu program “Hindia “ untuk setiap gerakan politik yang sehat dengan tujuan menghapuskan perhubungan kolonial, Menyadari golongan Indo dan penduduk bumi putera, bahwa masa depan meraka terancam oleh bahaya yang sama yaitu bahaya daripada eksploitasi kolonial.
Alat untuk melancarkan aksi-aksi perlawanan ialah dengan membentuk suatu Partij yakni Indische Partij. “Tujuan Indische Partij ialah untuk membangunkan patriotisme semua Indiers terhadap kepada tanah air, yang telah memberi lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air “Hindia” dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka”.
Jika melihat pada gerakan dan sikap dari Douwes Dekker sebagai pendiri Indische Partij, meskipun Douwes Dekker termasuk keturunan Belanda (Indo), namun dalam perjuangan yang ditunjukkannya, dirinya merasa satu dengan orang-orang kelahiran Hindia-Belanda asli atau pribumi atau bumiputera. Dalam perjuangan untuk kepentingan tanah air tidak ada perbedaan antar Indo maupun Pribumi. Dia merasa hidup di tanah airnya sendiri dan tidak senang melihat kehidupan di masyarakat yang sangat membedakan ras, derajat, maupun perlakuan.
Duowes Dekker berjuang untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal-pasal dalam anggaran dasar Indische Partij, yang diantaranya sebagai berikut:
- Memelihara nasionalisme Hindia dengan meresapkan cita-cita kesatuan kebangsaan semua Indiers, meluaskan pengetahuan umum tentang sejarah budaya Hindia, mengasosiasikan intelek secara bertingkat kedalam suku dan antar suku yang masih hidup berdampingan pada mada ini, menghidupkan kesadaran diri dan kepercayaan kepada diri sendiri;
- Memberantas rasa kesombongan rasial dan keistimewaan ras baik dalam bidang ketatanegaraan maupun bidang kemasyarakatan;
- Memberantas usaha-usaha untuk membangkitkan kebencian agama dan sektarisme yang bisa mengakibatkan Indiers asing sama lain, sehingga dapat memupuk kerjasama atas dasar nasional;
- Memperkuat daya tahan rakyat Hindia dengan memperkembangkan individu ke arah aktivitas yang lebih besar secara teknis dan memperkuat kekuatan batin dalam soal kesusilaan;
- Berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia;
- Memperkuat daya rakyat Hindia untuk dapat mempertahankan tanah air dari serangan asing;
- Mengadakan unifikasi, perluasan, pendalaman, dan meng-Hindia-kan pengajaran, yang di dalam semua hal terus ditujukan kepada kepentingan ekonomi Hindia, dimana tidak diperbolehkan adanya perbedaan perlakuan karena ras, seks atau kasta dan harus dilaksanakan sampai tingkat yang setinggi-tingginya yang bisa di capai;
- Memperbesar pengaruh pro-Hindia di dalam pemerintahan; dan,
- Memperbaiki keadaan ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
- Jadi, jelas bahwa pergerakan dari Indische Partij ialah terjun dalam bidang politik. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan tentunya apabila tokoh-tokohnya mendapat pengawasan secara ketat dari Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Pergerakan dalam bidang politik pada saat itu memang masih sangat berbahaya. Organisasi yang tampak bergerak dalam bidang poitik, sudah pasti mendapat tuduhan pemerintah kolonial Hindia-Belanda, bahwa organisasi tersebut akan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah.
Hal ini dapat dirasakan Indische Partij pada saat mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 4 Maret 1913, agar organisasi ini mendapat pengakuan sebagai badan hukum, ternyata ditolak. Alasan penolakannya karena organisasi ini berdasarkan politik dan mengancam hendak merusak keamanan umum.
Walaupun sudah jelas kegiatan Indische Partij mendapat pengawasan secara ketat, namun pendirinya, Douwes Dekker tetap meneruskan perjuangannya. Dia berusaha menghadap kepada Gubernur Jenderal dengan tujuan ingin menjelaskan dan bersedia mengubah pasal-pasal dan anggaran dasar Indische Partij, apabila dianggap membahayakan pemerintah.
Akan tetapi usaha Douwes Dekker ini sia-sia saja, karena pada tanggal 11 Maret 1913 Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda mengeluarkan peringatan kepada Indische Partij dan organisasi ini tetap dinyatakan sebagai partai terlarang. Peringatan itu juga ditujukan kepada partai-partai lain. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda mengundang respon dari Douwes Dekker yang memberikan tanggapannya sebagai berikut:
“Bahwa pengertian “Pemerintah Hindia” haruslah dipandang sebagai salah satu daripada partai yang bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan. Pemerintah yang berkuasa disuatu tanah jajahan, bukanlah pemimpin melainkan namanya adalah penindasan, dan penindasan itu adalah musuh yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat”.
Adapun perkataan “Pemerintah Hindia” yang dimaksudkan adalah pemerintahan bagi rakyat di negeri jajahan, apabila memang nantinya telah berhasil perjuangannya untuk mencapai kemerdekaan bangsanya. Jadi, bukan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang biasa disebut dengan “Pemerintah Hindia-Belanda (Nederlandsch Indie)”.
Jadi, perjuangan rakyat di Hindia Belanda itu bertujuan untuk mencapai mencapai negara merdeka, yang nantinya disebut “Pemerintah Hindia”. Inilah yang menjadi tujuan utama dari Indische Partij. Oleh karena itu, Indische Partij dapat dikatakan sebagai organisasi pergerakan nasional pertama yang bergerak dalam bidang politik. Berbeda dengan Budi Utomo dan Sarekat Dagang Islam, dimana organisasi tersebut bergerak sangat hati-hati, sehingga sampai tahun 1912 belum tampak radikal.
Bagi anggota-anggotanya yang menghendaki pergerakan radikal, menyatakan keluar dari Budi Utomo, yaitu Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Sedangkan untuk organisasi Sarekat Dagang Islam, baru berubah kearah pergerakan politik pada tahun 1913, setelah organisasi berubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI).
Pergerakan Indische Partij setelah Suwardi Suryaningrat dan Tjipto Mangunkusumo ditangkap, Douwes Dekker terus mengadakan pembelaannya. Di dalam makalah dan harian Indische Partij, Douwes Dekker menulis pembelaan itu dengan judul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat (Pahlawan kita: Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat).
Setelah tulisan tersebut diketahui oleh pihak pemerintah kolonial Belanda, maka Douwes Dekker ditangkap oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun yang sama, yaitu tahun 1913. Dengan ditangkapnya Douwes Dekker, maka berakhirlah nasib dari Indische Partij. Jadi, umur Indische Partij sangat singkat, kurang lebih hanya satu tahun saja (1912-1913). Namun, perlu digaris bawahi bahwa apa yang dicita-citakan Indische Partij, nampaknya mulai tertanam dalam benak masyarakat Indiers.
Setelah ketiganya ditangkap, sebelum dibuang ke Belanda, sebelumnya ketiga pemimpin Indische Partij tersebut ditawari dibuang didalam negeri di mana Douwes Dekker ke Timor (Kupang), Tjipto Mangunkusumo ke Banda, dan Suwardi Suryaningrat ke Bangka. Namun ketiga-tiganya memilih untuk dibuang ke luar negeri saja, yakni ke negeri Belanda. Dengan pertimbangan, kalau dibuang ke luar negeri di perlakukan hukum internasional. Sifat hukum internasional adalah liberal dan demokrasi, sehingga masih dapat untuk mempelajari masalah-masalah perjuangan di negara-negara lain.
Pilihan ketiganya memang benar dan ternyata setelah sampai di negeri Belanda, mereka dapat bertemu dengan para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di negeri tersebut. Pada saat itu para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda juga sedang giat-giatnya berorganisasi, yaitu dengan membentuk Indische Vereniging. Dengan demikian para tokoh Indische Partij tersebut dapat bergabung dalam organisasi tersebut. Bahkan Suwardi Suryaningrat sempat duduk menjadi ketua Indische Vereniging.
Kedatangan ketiganya telah membawa semangat dan iklim baru bagi para mahasiswa Hindia yang ada di negeri Belanda. Cita-cita nasional yang tidak berhasil diperjuangkan ditanah air, diteruskan di negari Belanda. Indische Vereniging yang sebelumnya hanya bergerak dalam bidang sosial, kini mulai berubah kearah bidang politik untuk mencapai cita-cita nasional.
Di dalam upaya untuk menyampaikan gagasannya, agar diketahui oleh sesama kawan dalam perjuangan baik yang ada di negeri Belanda maupun di tanah air, maka sejak tahun 1918 Indische Vereniging mendirikan “Kantor Berita” yang diberi nama National Persbureau (Kantor Berita Nasional). Pemimpin kantor berita ini adalah Suwardi Suryaningrat dan telah menerbitkan majalah yang di beri nama “Hindia Putera”.
Pada tahun 1919, nama majalah dan nama organisasi diusulkan oleh Ahmad Soebardjo, agar diganti nama yang mengarah kepada kepentingan nasional. Nama organisasi diusulkan menjadi Indonesische Vereniging. Jadi, ada perubahan dari Indische menjadi Indonesische kemudian nama majalah “Hindia Putera” agar diganti menjadi “Indonesia Merdeka”.
Atas usul yang diberikan oleh Ahmad Soebardjo tersebut pada prinsipnya disetujui, namun untuk memasyarakatkan secara luas, masih harus dipertimbangkan secara matang. Baru pada tahun 1922 nama itu diperkenalkan ke masyarakat dan secara resmi, yaitu pada tahun 1925 kata-kata yang berbau kolonial tidak boleh dipakai lagi dan nama Indonesische Vereniging harus diterjemahkan menjadi “Perhimpunan Indonesia”.
Nasib Indische Partij
Setelah kepergian ketiga tokoh Indische Partij ke Belanda, keadaan organisasi Indische Partij semakin lama semakin mundur. Mundurnya Indische Partij bukan hanya dikarenakan ditinggalkan oleh ketiga tokoh pendirinya, melainkan karena adanya larangan dari pihak pemerintah kolonial Belanda bagi Indische Partij. Akibatnya hampir setiap langkah geraknya tertutup, walaupun penerus Indische Partij berusaha mengubah nama organisasi, yaitu dari Indische Partij menjadi “Partai Insulinde”. Namun, pihak pemerintah tetap curiga terhadap organisasi yang baru ini. Dari program partainya masih tampak sebagai penerus dari Indische Partij yang telah dilarang itu. Antara lain menyebutkan sebagai berikut:
“Mendidik suatu Nasionalisme Hindia dengan memperkuat cita-cita persatuan bangsa.”
Sementara itu juga disebabkan oleh pengaruh Sarekat Islam yang semakin kuat dikalangan masyarakat, sebagaimana di tahun ini (1913) Sarekat Islam sedang mekar-mekarnya, maka banyak para penerus Indische Partij yang bergabung dan mengikuti jejak Sarekat Islam. Dengan demikian, Indische Partij semakin lemah dan mati dengan sendirinya.
Meskipun kelak ketika Douwes Dekker sekembalinya dari negeri Belanda pada tahun 1918, masih berusaha untuk menghidupkan kembali kegiatan Indische Partij, namun usahanya sia-sia belaka. Usaha Douwes Dekker itu antara lain dengan mengubah nama Indische Partij menjadi National Indische Partij (NIP) pada tahun 1919. Oleh karena pemerintah colonial telah menandai organisasi Indische Partij sebagai organisasi yang berbahaya dan terlarang serta mengancam pemerintah, maka dalam bentuk apapun Indische Partij tetap dilarang. Sehingga NIP tidak pernah mempunyai pengaruh kepada rakyat banyak bahkan akhirnya hanya merupakan perkumpulan orang-orang terpelajar.
Oleh karena apapun bentuk dari Indische Partij dan gerakan-gerakan yang berkaitan dengan politik dilarang, maka yang masih dapat diharapkan adalah melalui bidang pendidikan. Hal ini ditunjukkan oleh Suwardi Suryaningrat pada tanggal 3 Juli 1922 dengan mendirikan sekolah “Taman Siswa” yang bergerak dalam bidang pendidikan, sehingga banyak berdiri “Sekolah-sekolah Taman Siswa” hampir di seluruh Indonesia dan yang pertama kali berdiri adalah Sekolah Taman Siswa di Yogyakarta.
Mengikuti jejak Suwardi Suryaningrat, pada tahun yang sama Douwes Dekker juga mendirikan sekolah di Cigelereng, Bandung dengan nama Ksatrian School. Pada tahun 1926 sekolah ini maju pesat, dan Douwes Dekker berhasil mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama “Yayasan Ksatria Institut”. Demikian juga dilakukan oleh Tjipto Mangunkusumo yang mendirikan sekolah “Kartini Club”, tetapi karena kekurangan dana, sehingga tidak dapat berkembang dan akhirnya sekolah ini bubar.
Berdasarkan pada anggaran dasarnya dapat diketahui bahwa program-program Indische Partij menunjukkan sifat-sifat yang revolusioner. Tujuan utama Indische Partij adalah membangunkan patriotisme semua “Indiers” terhadap tanah air, yang telah memberikan lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air “Hindia” dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.
Daftar Bacaan
- Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
- Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Grafiti.
- Neil, Robert van. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. (terj.) Zahara Deliar Noer. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia-Belanda. Jakarta: Balai Pustaka
- Rachman, Darsjaf. 1975. Kilasan petikan Sejarah Budi Utomo. Jakarta: Yayasan Idayu.
- Sagimun, M. D. 1989. Peranan Pemuda dari Sumpah Pemuda sampai Proklamasi. Jakarta: Bina Aksara
- Scharer, Savitri Prastiti. 2012. Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priyayi-Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Depok: Komunitas Bambu.