Integrasi Timor Timur Dengan Indonesia (1975-1976)

Integrasi Timor Timur Dengan Indonesia

Integrasi Timor Timur Dengan IndonesiaIntegrasi Timor Timur dengan Indonesia di awali dari permasalahan Timor Timur yang terjadi pada tahun 1975 disebebkan oleh karena terjadi perubahan politik yang terjadi di Portugal pada tahun 1974. Revolusi Anyelir telah berhasil menumbangkan rezim dictator yang dipimpin oleh Antonio de Olibeire Salazar dan Marcel Caetano. Revolusi itu telah membawa perubahan politik tidak hanya di Portugal, melainkan juga terjadi di daerah koloni-koloni Portugal di beberapa penjuru dunia, salah satunya adalah koloni Portugal di Timor Timur.

Perubahan politik yang terjadi di negeri induk juga berdampak bagi Timor Timur yang masih berada di bawah naungan Portugal. Semenjak bergulingnya pemerintahan yang dikuasai oleh Antonio de Olibeire Salazar dan Marcel Caetano, pemerintah yang baru menginginkan dekolonisasi bagi wilayah kekuasaan Portugal di berbagai wilayah, termasuk di Timor Timur. Kebijakan itu direspon oleh segenap elemen yang terdapat di Timor Timur dengan membentuk partai politik. Partai politik yang muncul diantaranya adalah UDT, Fretilin, Apodeti, Kota dan Trabalista yang masing-masing memiliki pendapatnya sendiri mengenai nasib Timor Timur pasca-dekolonisasi itu.

Proses dekolonisasi Timor Timur secara langsung pada akhirnya menyeret negeri-negeri yang bertetanggan dengan Timor Timur, salah satunya adalah Indonesia. Peran dan andil Indonesia di dalam permasalahan Timor Timur diharapkan dapat menyelesaikan masalah itu sehingga dapatlah terlihat bagaimana peran Indonesia yang sangat aktif di dalam proses dekolonisasi Timor Timur itu. Dibawah ini akan dijelaskan tentang proses dekolonisasi Timor Timur dan proses Integrasi Timor Timur dengan Indonesia.

Kondisi Timor Timur Setelah Revolusi Anyelir 1974

Revolusi Anyelir (Revolucao dos Cravos/Red’s Flower Revolution) merupakan revolusi yang terjadi di Portugal pada tanggal 25 April 1974 dengan tujuan untuk menggulingkan rezim diktator yang berkuasa hampir 50 tahun lamanya. Setelah tumbangnya Presiden Antonio de Oliveire Salazar dan Perdana Menteri Marcel Caetano, pemerintah baru di bawah pimpinan Jenderal Antonio de Spinola segera memenuhi janji untuk mengembalikan hak-hak sipil, termasuk hak-hak berdemokrasi.

Revolusi militer tersebut tidak hanya berdampak pada Portugal, tetapi juga berdampak kepada koloni-koloninya; termasuk diantaranya adalah Timor Timur. Pada 26 April 1974, Presiden Spinola mengeluarkan konsepnya yang berjudul Portugal e Future (Portugal dan Masa Depannya), mengeluarkan amnesti bagi semua tahanan politik yang dipenjarakan atau melarikan diri ke luar negeri semasa pemerintahan otoriter Salazar-Caetano. Hal ini dimanfaatkan oleh berbagai golongan politik dan masyarakat dan tampil sebagai suatu kekuatan sosial-politik. Kekuatan sosial-politik itu antara lain; golongan ekstrim kiri League for Revolutionary Unity (LUAR), Armed Revolution Action (ARA), Movement for Revolution of Party of the Proletariat (MRPP), dan Partai Komunis Partido Communista Portuguese (PCP).

Di antara organisasi-organisasi itu, yang paling berpengaruh ialah MRPP dengan warna politik Maois. Anggota-anggota MRPP aktif dan sangat bergerak militant, serta dengan sangat rajin mencari massa dengan slogan dan aksi-aksinya. MRPP menghasut prajurit-prajurit angkatan bersenjata Portugal agar melakukan disersi dengan membawa senjatanya dan masuk dalam organisasi MRPP. Ternyata tidak sedikit di antara prajurit-prajurit itu yang termakan oleh hasutan-hasutan tersebut.

Presiden Spinola yang anti-golongan ekstrem kiri mencoba mendekati pimpinan Partai Komunis PCP, Alvaro Cunhal agar partainya dapat menghindari aksi-aksi ekstrem. Bagi PCP kesempatan itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan partai sehingga dalam waktu singkat telah menjadi popular dikalangan rakyat. Bahkan telah berhasil pula menerbitkan sebuah surat kabar, Avante serta menciptakan kader-kader yang militant dan berdisiplin. Cunhal menyadari bahwa hanya dengan perebutan kekuasaan, cita-cita PCP dapat tercapai. Akan tetapi, karena situasi dan kondisi belum memungkinkan untuk melakukan hal itu, maka PCP harus bersedia untuk bekerjasama dengan berbagai golongan dan menerima koalisi serta menerima Movimento (kelompok perwira muda yang melakukan kudeta) dengan program-programnya.

Pemerintah Portugal yang telah mengeluarkan kebijakan dekolonisasi, secara tidak langsung memberikan sinyal untuk segera mengakhiri kekuasaan Portugal di berbagai wilayah penjuru dunia, termasuk kekuasaannya atas wilayah Timor Timur. Berdasarkan kebijakan dekolonisasi dan kebijakan baru dari pemerintah Portugal yang baru, rakyat Timor Timur diberikan kelonggaran untuk mendirikan partai politik dalam rangka membicarakan bagaimana dekolonisasi tersebut harus dilakukan.

Integrasi Timor Timur Dengan Indonesia: Timor Timur Menentukan Pilihan

Sebagaimana situasi yang terjadi di negara Portugal, hal yang sama juga terjadi pada koloni-koloni Portugal di berbagai belahan dunia, termasuk Timor Timur. Di Timor Timur dalam merespon kebijakan ini segera muncul tiga partai politik. Partai politik yang pertama kali didirikan adalah Uniao Democratica Timorense (UDT) pada tanggal 11 mei 1974. Partai ini bertujuan untuk memperoleh otonomi yang lebih luas dengan cara memberikan kesempatan yang lebih luas kepada rakyat Timor pada berbagai sektor dan tingkatan di bawah naungan Portugis. Selanjutnya, dibentuklah partai politik kedua yang dinamakan Amiciacao Social Democratica Timorense (ASDT) yang kemudian berubah nama menjadi Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independence (Fretilin) yang dibentuk pada 20 mei 1974. Partai ini bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan dengan berasaskan sosialisme dan demokrasi.

Pada 27 mei 1974, dibentuklah partai ketiga yaitu Associacao Populer Democratica de Timor (Apodeti). Partai ini memiliki tujuan yang berbeda dengan 2 partai sebelumnya, Apodeti menyatakan keinginan untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Selain ketiga partai tersebut, berdiri juga dua partai lainnya yaitu Kota dan Trabalhista. Secara garis besar, kedua partai tersebut juga mendukung tujuan partai Apodeti. Sebagai persiapan integrasi dengan Republik Indonesia, Apodeti mengusulkan bahasa Indonesia diajarkan di sekolah-sekolah di Timor Timur. Karena sasarannya itulah, Apodeti dianggap oleh UDT dan Fretilin sebagai penjual bangsa.

Dalam tujuan menekan perjuangan dari Apodeti, UDT dan Fretilin kemudian berhasil membentuk suatu koalisi. Akan tetapi, dalam perkembangan partai-partai politik itu selanjutnya, Fretilin ternyata semakin bergerak dan condong ke arah komunisme. Sementara itu UDT sangatlah menentang komunisme yang telah dengan sangat jelas menjadi corak bagi Fretilin. Dikarenakan perbedaan latar belakang politik yang mendasari perjuangan mereka, koalisi tersebut tidak dapat dipertahankan sehingga koalisi antara UDT – Fretilin pecah pada 27 Mei 1975.

Di dalam perkembangan selanjutnya, UDT mengubah namanya menjadi Movimento Anti-Comunista (MAC). MAC bersama-sama dengan Apodeti, Kota, dengan Trabalista kemudian melakukan koalisi untuk menghadapi Fretilin. Ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Reis Araujo pada tanggal 31 Agustus 1974 menyatakan bahwa partainya menghendaki Timor Timur bergabung dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa rakyat kedua wilayah itu memiliki persamaan dan hubungan erat baik secara historis, etnik, maupun geografis. Oleh karena itu, integrasi akan menjamin stabilitas di seluruh kawasan tersebut.

Baca Juga  Prasasti Nalanda (860) : Permintaan Raja Sriwijaya Balaputradewa Di Nalanda

Tanggapan Pemerintah Indonesia Terhadap Situasi di Timor Timur

Menanggapi apa yang sedang terjadi di Timor Timur, pemerintah Indonesia mengambil sikap dengan sangat waspada dan berhati-hati. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga pendapat dunia internasional dan jangan sampai ada yang berpikir bahwa Indonesia memiliki keinginan untuk memperluas teritorialnya. Pasalnya, sejak konflik Irian Barat dan kemudian muncul proyek “Ganyang Malaysia”, dunia internasional sempat beranggapan bahwa Indonesia mempunyai ambisi teritorial dan ingin memperluas wilayahnya. Oleh karena itu, Indonesia dan Portugal menyatakan sepakat untuk menjalin kerjasama dalam rangka pelaksanaan dekolonisasi di Timor Timur.

Berdasarkan sidang Dewan Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional pada tanggal 18 Oktober 1974 di Jakarta yang dihadiri oleh Menteri Sebrang Lautan Portugal, Antonio de Almeida Santos dan Presiden Indonesia, Soeharto secara resmi menyatakan sikap dasar Pemerintah Indonesia mengenai masalah Timor Timur secara garis besar berisi :

  1. Indonesia tidak memiliki ambisi territorial
  2. Indonesia menghormati sepenuhnya keputusan rakyat Timor Timur untuk menentukan nasibnya sendiri3. Jika rakyat Timor Timur ingin bergabung dengan Indonesia, tidak mungkin bergabung sebgai negara, melainkan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah resmi menyatakan sikap pemerintah Indonesia terhadap masalah Timor Timur, Presiden Soeharto mengirim utusan pribadinya, Letjen. Ali Murtopo untuk menjelaskan sikap pemerintah Indonesia terhadap Timor Timur kepada pemerintah Portugal di Lisabon. Berdasarkan dari pendekatan itu, dapat dilihat tiga alternatif dalam penyelesaian masalah Timor Timur, yaitu;

  1. Merdeka di bawah naungan Portugal
  2. Bergabung dengan Indonesia
  3. Merdeka penuh.

Menurut penilaian Indonesia, merdeka penuh bagi Timor Timur tidaklah rasional, karena ada dua faktor yang tidak dapat dipenuhi;

  1. Rakyat Timor Timur tidak cukup memiliki tenaga terdidik untuk membentuk suatu pemerintahan yang kapabel.
  2. Negeri itu tidak memiliki sumber-sumber nasional sebagai jaminan untuk berdirinya suatu negara bebas, merdeka dan berdaulat.

Dengan kedua faktor di atas apabila Timor Timur mendapatkan kemerdekaan penuh akan berakibat masuknya suatu kekuataan dari luar. Jika hal itu terjadi, maka akan menciptakan instabilitas di Timor Timur yang mungkin saja akan mempengaruhi kawasan di sekitarnya. Hal seperti itu-lah yang menjadi pertimbangan Indonesia. Di sisi lain, Indonesia juga menganggap bahwa keberadaan Fretilin, yang berhaluan komunis akan dapat membahayakan stabilitas pemerintahan yang sedang tumbuh di bawah kepemimpinan Soeharto dengan Orde Barunya. Hal itu dapat diketahui pula bahwa selama fase awal kemunculan Orde Baru telah terjadi “pembersihan” terhadap hal-hal yang dianggap dan diduga komunis.

Selain Indonesia, tanggapan pun datang dari Portugal sendiri. Apabila Timor Timur mengambil opsi untuk bergabung dengan Portugal untuk menjadi daerah otonominya, tentu keadaan yang ada di Timor Timur hanya memberatkan anggaran belanja Portugal. Opsi kemerdekaan bagi Timor Timur juga dianggap mustahil karena mempertimbangkan kondisi ekonomi dan sumber daya manusia di Timor Timur. Kemerdekaan yang berdiri sendiri untuk Timor Timur dinilai tidak realistis. Karena tentunya kemerdekaan suatu bangsa harus didukung pula dengan sistem ekonomi dan sumber daya manusia yang kuat. Bagaimanapun keputusannya, Indonesia dan Portugal sepakat untuk menghormati dan akan mengambil keputusan sesuai dengan kehendak rakyat Timor Timur.

Sesuai dengan perkembangan politik yang terjadi di Portugal, pada November 1974 pemerintah Portugal mengadakan penggantian gubernur di Timor Timur. Penggantian gubernur dari Fernando Alves Aldeia kepada Kolonel Lemos Pires telah membawa perubahan situasi politik yang cukup besar di Timor Timur. Sejak kehadiran Lemos Pires beserta stafnya, ketiga partai yang telah muncul, UDT, Fretilin, dan Apodeti telah terjadi persaingan yang cukup sengit diantara ketiganya. Kebijakan yang diambil oleh Lemos Pires cenderung menguntungkan UDT, tetapi staf Lemos Pires yang sebagian besar adalah anggota PCP dan MRPP cenderung menguntungkan Fretilin. Mereka ingin menciptakan masa depan Timor Timur dapat menguntungkan bagi gerakan komunis internasional.

Masuknya unsur-unsur gerakan Marxis ke Timor Timur sudah dimulai sejak bulan Agustus 1974 yaitu dengan kedatangan lima orang mahasiswa kader komunis dari Lisabon untuk mengorganisasi Fretilin. Dengan demikian, Fretilin dapat menjadi organisasi dan gerakan Marxis yang lebih unggul dan lebih militan daripada partai-partai lainnya.

Atas permintaan pemerintah Portugal di Lisabon, pada 9 Maret 1975 diadakan pertemuan antara delegasi Portugal dengan Indonesia di London. Di dalam pertemuan itu, pemerintah Portugal masih tetap beranggapan bahwa integrasi dengan Indonesia adalah jalan yang dianggap paling rasional dalam rangka pelaksanaan dekolonisasi Timor Timur. Oleh karena itu, Portugal secara de facto mengakui Indonesia sebagai salah satu faktor kekuatan yang terkait di dalam proses dekolonisasi itu.

Sebagai realisasi dari pembicaraan di London, Indonesia mengirimkan sebuah tim ke Dili untuk mengadakan konsultasi dengan pemerintah setempat dan partai-partai politik di Timor Timur. Pemerintah Portugal pada 26-28 Juni 1975 mengadakan pertemuan pula dengan partai UDT, Fretilin, dan Apodeti di Macao untuk membicarakan pembentukan Consultative Body. Ternyata Fretilin melakukan pemboikotan terhadap pertemuan tersebut sehingga sifat pertemuan berubah menjadi hanya sekedar dengar pendapat mengenai masa depan Timor Timur. Pemerintah Portugal kemudian memutuskan akan menentukan sendiri jadwal dan proses dari dekolonisasi melalui referendum yang direncanakan pada bulan Maret 1975. Akan tetapi, dikarenakan situasi dan kondisi politik yang kurang baik di Portugal, jadwal tersebut berubah menjadi Oktober 1978.

Letak geografis Timor Timur yang berada di tengah-tengah wilayah Indonesia telah mendorong pemerintah Portugal untuk mengadakan pendekatan dengan pemerintah Indonesia. Terutama setelah dalam proses dekolonisasi itu, lahir pula suatu kekuatan politik di kalangan rakyat Timor Timur yang mengemban aspirasi untuk berintegrasi dengan Indonesia. Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Portugal yang terputus sejak 1964, dipulihkan kembali sejak Mei 1975. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama dan diputuskan kembali pada tanggal 7 Desember 1975 oleh pihak Portugal. Indonesia sangat menyesalkan keputusan yang diambil oleh pemerintah Portugal itu.

Sementara itu, perkembangan politik di Timor Timur semakin memanas. Pada pertengahan tahun 1975, Fretilin menguasai jabatan-jabatan penting di Timor Timur. Pada bulan Agustus 1975 perang saudara pecah di Timor Timur ketika UDT berusaha untuk melakukan kudeta terhadap Fretilin dengan dukungan militer Portugal yang berada di wilayah Timor Timur.

Akibat terror yang dilakukan oleh Fretilin, pelarian dari Timor Timur ke Indonesia semakin meningkat, bahkan telah mencapai 50000 orang. Untuk menanggulangi masalah pengungsi tersebut, pada 6 September 1975 dibentuk “Satuan Tugas” yang terdiri dari unsur-unsur beberapa departemen. Hingga akhir Maret 1976, pemerintah Indonesia telah memberikan bantuan biaya kepada Timor Timur sebesar Rp. 1.769.164.000,00 di samping memberikan bantuan pangan, bahan-bahan bangunan dan alat-alat pertanian.

Baca Juga  Pelabuhan Zaman Kerajaan Islam di Indonesia

Jelaslah kiranya bahwa perkembangan situasi politik yang terjadi di Timor Timur telah menunjukkan ketidakmampuan pemerintah Portugal untuk menegakkan kekuasaan dan wibawanya di negeri jajahannya itu. Di sisi lain dapat pula hal ini memang disengaja oleh pemerintah Portugal, sebab sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, jika Timor Timur masuk ke dalam wilayah Portugal maka hanya akan menambah beban anggaran negara saja. Sehingga salah satu cara yang dilakukan adalah melakukan “pembiaran” terhadap situasi yang terjadi di Timor Timur itu.

Proses Penyelesaian

Penyelesaian politik di Timor Timur tidak mungkin dapat ditangani sendiri oleh pemerintah Portugal dan oleh karenanya pemerintah Portugal mengikutsertakan kekuatan lain untuk membantunya, dalam hal ini Indonesia. Pemerintah Portugal dengan bersedia menerima berbagai formula politik yang tidak bertentangan dengan kehendak rakyat Timor Timur dan kepentingan negara-negara di sekitarnya. Pada 5 November 1975 ditandatangani sebuah dokumen berupa Memorandum of Understanding, sebagai hasil pertemuan antara Indonesia dan Portugal yang dilakukan di Kota Roma, Italia. Hasil pertemuan itu mengandung tiga arti penting, yaitu;

  1. Pertama kalinya RI mendapat pengertian secara resmi dari pemerintah Portugal;
  2. Portugal mengakui semua pihak yang ada di Timor Timur,
  3. Akan dilanjutkan kontak-kontak tetap antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Portugal.

Dengan lahirnya Memorandum of Understanding itu, pemerintah Portugal tidak dapat mengakui klaim salah satu partai saja atas wilayah-wilayah yang dinyatakan diduduki mereka karena pemerintah Timor Timur bukan didasarkan atas kekuasaan partai. Memorandum itu sebagai pembuka jalan menuju pelaksanaan dekolonisasi Timor Timur secara wajar, tepat dan lancar.

Akan tetapi, Fretilin yang sudah mulai mengalami kekalahan di hampir semua sector pertempuran mengalihkan perjuangannya dari pertempuran ke jalur diplomasi. Pada 28 November 1975 di Lapangan Dos Bona Ventura, Dili, Komite Sentral Fretilin mengumukan secara sepihak pembentukan Republik Demokrasi Timor Timur. Di samping itu, ditetapkan pula bendera Fretilin dan sebagai Presiden diangkat Xavier Do Amaral.

“Proklamasi” yang dilakukan oleh Fretilin itu sebenarnya hanyalah sebuah taktik untuk menutup-nutupi kekacauan yang terjadi di internal Fretilin sendiri dan menutupi kekejaman terror yang dilakukan oleh Fretilin kepada rakyat Timor Timur. Namun, jelas berakibat mempersulit kedudukan perjuangan koalisi dari Apodeti, UDT, Kota, dan Trabalista di forum politik internasional. Oleh karena itu, untuk mengimbangi manuver Fretilin, gerakan dari koalisi keempat partai menjawab tantangan Fretilin dengan suatu proklamasi tandingan, yaitu suatu pernyataan penggabungan kepada Indonesia. Proklamasi itu diumumkan pada 29 November 1975 dan ditandatangani di Balibo pada 30 November 1975 oleh pimpinan keempat partai (UDT, Apodeti, Kota, dan Trabalista).

Proklamasi yang dilakukan di Balibo tersebut selain merupakan reaksi terhadap tindakan Fretilin, juga dapat diartikan sebagai saat timbulnya suatu lingkungan tata hukum baru di bekas jajahan Portugal itu atau dengan kata lain, proklamasi Balibo menjadi sumber dan landasan hukum baru ditegakkan oleh gerakan koalisi Apodeti, UDT, Kota, dan Trabalista.

Pemerintah Portugal memberikan pernyataan dengan tidak menyetujui sikap secara sepihak yang dilakukan oleh partai-partai itu. Begitu juga Australia, menyatakan tidak dapat mengakui pernyataan yang dilakukan oleh Fretilin. Australia tetap mengakui kedaulatan Portugal atas wilayah Timor Timur dan mendukung penyelesaian dekolonisasi secara damai, di mana rakyat dapat menyatakan kehendaknya. Sementara itu, kedudukan rakyat Indonesia di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan langsung dengan Timor Timur, telah terancam dengan adanya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Fretilin yang tidak lagi mengindahkan tatakarama dan peraturan internasional. Fretilin sering melakukan pelanggaran wilayah dan melakukan perampokan ke wilayah Indonesia.

Pada 4 Desember 1975 pemerintah Indonesia menyambut dengan rasa haru pernyataan penggabungan Timor Timur yang dinyatakan keempat partai di Balibo. Pernyataan Fretilin tidak membawa kemajuan seperti yang diinginkannya. Pembentukan pemerintah distrik dan wilayah-wilayah mengalami kegagalan karena tidak mendapat dukungan dari rakyat. Sejak “proklamasi” hingga jatuhnya kota Dili, tidak ada satu negara pun yang memberikan pengakuan terhadap apa yang dinamakan “Republik Demokrasi Timor Timur”.

integrasi timor timur 1975

Pada 7 Desember 1975 pasukan Indonesia yang tidak terlatih dengan baik dan tidak memiliki pengalaman kecuali hanya dalam operasi keamanan melawan warga sipilnya melakukan penyerangan kepada Timor Timur. Jadi, serangan yang dilakukan Indonesia di Timor Timur dilakukan tidak dengan disiplin militer yang memadai. Seluruh Kota Dili (ibukota Timor Timur), telah dikuasai oleh pasukan gabungan Apodeti, UDT, Kota, dan Trabalista serta didukung oleh sukarelawan dan pasukan dari Indonesia.

Kehadiran sukarelawan Indonesia adalah atas permintaan rakyat Timor Timur dan dengan desakan rakyat Indonesia melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah Indonesia sangat sulit untuk menghalangi sukarelawan tersebut untuk melindungi saudaranya membebaskan diri dari penindasan dan terror Fretilin. Sementara itu, pimpinan Partai Apodeti, Arnaldo Dos Reis Araujo yang ditahan Fretilin, berhasil dibebaskan oleh pasukan gabungan. Araujo pada kesempatan pertama esok harinya melalui radio Dili menyerukan kepada seluruh rakyat Timor Timur untuk mengibarkan bendera merah putih.

Dengan keberhasilan yang dicapai oleh pasukan gabungan Apodeti itu, timbul reaksi dari berbagai negara terhadap Indonesia. Portugal, RRC, dan Australia menuduh Indonesia melakukan invasi atas wilayah Timor Timur. Akan tetapi, sebaliknya Malaysia, Saudi Arabia, dan Filipina menerima dengan baik keputusan Indonesia yang mengizinkan sukarelawan-sukarelawannya masuk ke wilayah Timor Timur untuk membantu memulihkan tegaknya hukum dan ketertiban di wilayah tersebut. Untuk menjelaskan persoalan ini kepada dunia internasional, pada 10 Desember 1975 dikeluarkan keterangan pemerintah yang terdiri dari 10 pasal.

Antara lain disebutkan bahwa kejadian-kejadian di Timor Timur adalah sebagai akibat serangkaian tindakan dan kebijakan yang bersumber pada kealpaan pemerintah Portugal dalam melaksanakan dekolonisasi di Timor Timur. Portugal telah memberikan peluang kepada Fretilin untuk menggunakan pasukan kolonial Tropas untuk menindas lawan-lawan politiknya sehingga timbul pemberontakan rakyat terhadap Fretilin. Pada 12 Desember 1975 terjadi peristiwa penting yang merupakan “miniature” integrasi seluruh Timor Timur ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Daerah Oekussi bekas jajahan Portugal menyatakan dirinya masuk menjadi daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus seluruh penduduknya menjadi warga negara Republik Indonesia.

Beberapa hari setelah Kota Dili direbut, pasukan gabungan Apodeti telah berhasil menguasai Timor Timur. Pada tanggal 17 Desember 1975 partai-partai Apodeti, UDT, Kota, dan Trabalista menyatakan berdirinya Pemerintah Sementara Timor Timur (PSTT) untuk menyelenggarakan tertib pemerintah, tertib administrasi, tertib hukum, dan tertib keamanan. Pernyataan pembentukan PSTT itu ditandatangani oleh pimpinan Partai Apodeti, Arnaldo Dos Reis Araujo dan pimpinan Partai UDT, Fransisco Xavier Lopez da Cruzz. Pemerintahan tersebut didirikan atas kebulatan tekad rakyat Timor Timur untuk menentukan nasibnya sendiri sebagaimana telah diikrarkan dalam proklamasi 30 November 1975 oleh keempat partai itu (Apodeti, UDT, Kota, dan Trabalista).

Baca Juga  John Locke: Biografi, Karya dan Pemikirannya

Setelah dibentuknya PSTT, dibentuk pula DPR wilayah Timor Timur berdasarkan Akta No. 1/AD. 1976. Kedua lembaga tertinggi eksekutif dan legislatif itu dibentuk untuk melengkapi apparat penyelenggaraan dan penyediaan wadah untuk menampung kehendak rakyat secara objektif. Dengan demikian, tuntutan Indonesia agar keinginan rakyat dilegalisasikan lebih dahulu telah dapat dipenuhi, yang sekaligus berarti dapat memenuhi tata karma internasional, yang menghendaki penentuan masa depan Timor Timur didasarkan atas kehendak rakyat di wilayah itu sendiri.

Sementara itu, Portugal mengadukan masalah Timor Timur kepada Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB). Dengan alasan apa yang dinamakan dengan “agresi Indonesia”, Portugal berhasil meminta Dewan Keamanan PBB untuk melakukan siding darurat. Sejak itu sidang-sidang Komisi Dekolonisasi PBB sering membicarakan masalah Timor Timur. Akan tetapi, sidang-sidang tersebut berjalan penuh dengan perdebatan dan ketegangan karena terdapat dua kelompok pendapat yang saling bertentangan.

Kelompok pertama yang bersikap anti-Indonesia, disponsori oleh Mozambique, Guyana, Sierra Leone, Trinidad, Tobago, dan Aljazair. Kelompok kedua disponsori oleh India, Iran, Saudi Arabia, Muang Thai, Malaysia, dan Filipina yang merupakan kelompok Pro-Indonesia. Sekretaris Jenderal PBB kemudian menunjuk Direktur Jenderal PBB di Jenewa, Victorio Winspeare Guicciardi, sebagai utusan khusus ke Timor Timur. Hasil misi peninjauan itu dilaporkan secara tertulis kepada Sekretaris Jenderal PBB pada 29 Februari 1976.

Pada 3 Mei 1976, DPR Timor Timur melangsungkan sidang paripurna terbuka untuk menentukan masa depan negeri itu. Sidang tersebut dihadiri oleh semua anggota DPR lengkap yang berjumlah 30 orang, dan para undangan, kepala dan wakil kepala eksekutif PSTT, perwakilan negara sahabat, serta sejumlah besar rakyat Timor Timur. Acara tunggal sidan itu adalah “Integrasi Timor Timur dengan Republik Indonesia.” Keputusan sidang adalah sebagai berikut;

  1. Untuk mempercepat proses Integrasi Timor Timur dengan Republik Indonesia, perlu disampaikan petisi integrasi, yang kemudian disahkan oleh sidang paripurna tersebut sebagai petisi yang akan disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta. Selain itu, juga perlu membentuk delegasi yang akan menghadap pemerintah Indonesia di Jakarta untuk menyapaikan petisi integrasi.
  2. Usaha membuat rancangan naskah petisi integrasi, diserahkan kapada satu Komisi Khusus dengan mandat penuh dari sidang paripurna terbuka.
  3. Mempercayakan kepada ketua sidang untuk menentukan calon delegasi yang akan menemui pemerintah Republik Indonesia di Jakarta gunya menyampaikan keanggotaan Komisi Khusus. Adapun susunan Komisi Khusus tersebut adalah sebagai berikut:
  4. Guilherme Maria Goncalves, Ketua Sidang/ketua Komisi
  5. J. Hermenegildo da Costa, Anggota Komisi
  6. Ny. Maria Acuncao Osorio Soares, Anggota Komisi
  7. Luis Gonsaga Soares, Anggota Komisi
  8. Joao Pedro Soares, Anggota Komisi

Dengan dibentuknya Komisi Khusus itu, berhasil pula disusun naskah petisi integrasi. Sidang paripurna menyatakan dapat menerima rancangan nasakah dan kemudian ditandatangani oleh ketua DPR Timor Timur, Guilherme Maria Goncalves dan Kepala Eksekutif PSTT, Arnaldo Dos Reis Araujo. Petisi integrasi tersebut ditulis dalam bahasa Portugis dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Selain melalui jalan ini, nyatanya pemerintah Indonesia telah melaksanakan operasi militer yang disebut dengan Operasi Seroja. Operasi Seroja ini merupakan invasi Indonesia atas wilayah Timor Timur pada 7 Desember 1975 dengan dalih anti-kolonialisme telah menyebabkan korban jiwa di kalangan rakyat Timor Timur. Pemerintah Indonesia membantah laporan yang tersiar di radio internasional tentang adanya penyiksaan, pemerasan dan pemerkosaan oleh para pasukannya, yang konon menempatkan etnis Cina sebagai sasaran utama. Di dalam penyerangan itu lima wartawan Australia terbunuh, tetapi pemerintah Indonesia menolak bertanggungjawab atas kematian mereka.

Sementara itu, warga sipil yang menjadi korban diperkirakan mencapai angka 60000 yang merupakan 10% dari jumlah penduduk Timor Timur. Pada bulan April 1976 sebanyak 30000-35000 tentara Indonesia telah ditempatkan di Timor Timur, dan sekitar 500 orang diantaranya telah tewas selama pertempuran. Fretilin yang terdesak kemudian melarikan diri ke bukit-bukit dan pegunungan.

Petisi integrasi yang dibentuk oleh Komite Khusus disampaikan oleh delegasi Timor Timur kepada pemerintah Republik Indonesia pada 7 Juni 1976 petisi diterima oleh Presiden Soeharto di Jakarta dengan harapan agar integrasi tersebut diterima tanpa referendum. Presiden Soeharto atas nama pemerintah Republik Indonesia menjelaskan kepada delegasi bahwa penerimaan petisi pengintegrasian tersebut tidaklah didasarkan atas ambisi territorial dan nafsu untuk menguasai negara lain, tetapi semata-mata atas dasar rasa tanggung jawab terhadap dasar-dasar dan cita-cita kemerdekaan, serta atas dasar rasa tanggung jawab terhadap hati nurani rakyat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, rakyat dan bangsa Indonesia menyambut dengan hangat dan tidak akan mengecewakan hasrat dan keinginan saudara-saudara sekandungnya di Timor Timur.

Pada tanggal 23 Juni 1976 Presiden Soeharto mengirimkan sebuah delegasi pemerintah Republik Indonesia ke Timor Timur. Delegasi berjumlah 36 orang ditambah 11 perwakilan asing dan 40 orang wartawan yang berasal dari dalam dan luar negeri yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud. Amir Machmud mengemukakan bahwa delegasi yang dipimpinnya tidak bermaksud untuk meneliti dan memeriksa ataupun menguji kebenaran petisi PSTT. Delegasi bermaksud dapat menyaksikan dan merasakan sendiri dari hati ke hati secara langsung spontanitas rakyat Timor Timur yang mengingingkan integrasi dengan Republik Indonesia.

Pada tanggal 29 Juli 1976, setelah mendengarkan laporan dari Amir Machmud, Sidang Kabinet Paripurna menyatakan keputusan pemerintah Republik Indonesia untuk menerima keinginan rakyat Timor Timur berintegrasi dengan Republik Indonesia. Sebagai realisasi dari keputusan ini maka pada 17 Juli 1976 ditandatangani UU No. 7 tahun 1976 yang mengesahkan penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pembentukan provinsi/daerah tingkat I Timor Timur. Dengan demikian, Timor Timur secara resmi telah menjadi salah satu daerah Indonesia, dengan menjadi provinsi ke-27. Selanjutnya pada 30 Juli 1976 dikeluarkan Peraturan Pemerintah daerah provinsi daerah provinsi dan kabupaten-kabupatennya.

Negara-negara Barat dan negara-negara tetangga yang mendukung Indonesia lebih memprioritaskan hubungan mereka dengan Indonesia daripada hak rakyat Timor Timur. Mereka mengakui secara de facto penaklukan itu. Australia juga memberikan pengakuan secara de jure. Sedangkan Amerika Serikat tidak ingin menentang penguasaan Indonesia atas wilayah itu, ini dapat dimengerti sebagai bagian rencana Amerika Serikat untuk menekan laju daripada pertumbuhan paham komunis di wilayah Kepulauan Indonesia. Dengan tidak menentangnya Amerika Serikat atas penguasaan ini, sehingga pengakuan PBB bahwa Portugal masih memegang kekuasaan di wilayah Timor Timur sudah tidak berarti lagi. Sebagai hasilnya, IGGI meningkatkan bantuannya kepada Indonesia sebanyak US$ 990 juta dan kredit tambahan lebih dari US$ 1 Miliar.

Daftar Bacaan

  • Nevins, Joseph. 2005. A-not-so Distant Horror : Mass Violence in East Timor. Cornel University Press
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ricklefs, M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
  • van Klinken, Gerry. 2005. “Indonesian Casualities in East Timor, 1975-1999: Analysis of an official list.” Indonesia 80 Oct. 2005: 109-122. Cornell: Cornell University Press.
error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca