Interpretasi Sejarah

Interpretasi Sejarah Interpretasi sejarah adalah tahapan selanjutnya dalam penelitian sejarah setelah sejarawan maupun penulis sejarah melakukan kritik sumber sejarah. Interpretasi sejarah adalah proses menafsirkan dan memahami peristiwa sejarah dengan menggunakan sumber-sumber sejarah yang tersedia. Interpretasi sejarah dapat dilakukan oleh sejarawan atau individu lain yang tertarik pada sejarah.

Di dalam interpretasi sejarah, sejarawan dan pembaca harus menyadari bahwa setiap interpretasi bersifat subjektif, dan dapat dipengaruhi oleh sudut pandang, nilai, dan pengalaman individu. Oleh karena itu, interpretasi sejarah harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan sumber-sumber yang terverifikasi secara akurat dan obyektif. Di dalam artikel ini akan dijelaskan secara singkat tentang interpretasi sejarah.

Pengertian Interpretasi Sejarah

Di dalam penulisan sejarah, digunakan secara bersamaan tiga bentuk teknis dasar tulis-menulis yaitu deskrpisi, narasi dan analisis. Ketika seorang sejarawan maupun penulis sejarah menulis, sebenarnya merupakan keinginannya untuk menjelaskan (eksplanasi) sejarah. Di mana dalam hal ini ada dua dorongan utama yang menggerakkannya yaitu mencipta ulang (re-create) dan menafsirkan (interpret).

Dorongan pertama menuntut deskripsi dan narasi, sedangkan dorongan kedua menuntut analisis. Sejarawan yang berorientasi pada sumber-sumber sejarah saja, akan menggunakan porsi deskripsi dan narasi yang lebih banyak, sedangkan sejarawan yang berorientasi kepada problema, selain menggunakan deskripsi dan narasi, akan lebih mengutamakan analisis. Akan tetapi apapun cara yang dipergunakannya, semua akan bermuara pada sintesis.

Sehubungan dengan teknik deskripsi, narasi dan analisis di atas, sebenarnya sebagian terbesar sejarawan dalam karya-karya mereka itu “bercerita”. Akan tetapi sejarah yang diceritakan oleh para sejarawan itu, menurut Arthur C. Danto adalah “cerita-cerita yang sebenarnya.” Mereka berusaha sebaik-baiknya untuk menceriterakan cerita-cerita sebenarnya menurut topik-topik atau masalah-masalah yang mereka pilih. Hanya saja teknik deskripsi-narasi ini sering di kaitkan dengan bentuk atau model “sejarah lama” (old history), sedangkan teknik analisis dikaitkan dengan bentuk atau model “sejarah baru” (new history) yang ilmiah (scientific).

Meskipun sebagian besar dapat dikatakan benar, bahwa Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektivitas, tetapi sebagian lagi salah. Tanpa adanya penafsiran yang dilakukan oleh sejarawan, data atau sumber sejarah tidak dapat berbicara. Sejarawan yang jujur akan mencantumkan data dan keterangan dari mana data itu diperoleh. Orang lain dapat melihat kembali dan menafsirkan ulang. Itulah sebabnya, subjektivitas penulisan sejarah diakui, tetapi untuk dihindari. Perlu diketahui, jenis interpretasi terdapat dua macam, yaitu analisis dan sintesis. Di bawah ini akan dijelaskan dua jenis dari interpretasi sejarah itu.

Analisis

Berdasarkan etimologi katanya, analisis berarti menguraikan. Perlu dipahami bahwa terkadang sebuah sumber mengandung beberapa kemungkinan. Misalnya, ditemukan daftar pengurus suatu organisasi masyarakat (ormas) di sebuah kota. Dari kelompok sosialnya, dapat di baca di sumber itu ada petani bertanah, pedagang, pegawai negeri, petani tak bertanah, orang swasta, guru, tukang, mandor. Dari keterangan ini mungkin kita dapat menyimpulkan bahwa ormas itu terbuka untuk semua orang. Jadi, bukan khusus untuk petani bertanah, tetapi juga untuk petani tak bertanah, pedagang, guru, pegawai negeri dan sebagainya.

Mungkin soal petani bertanah dan tak bertanah harus kita cari dengan cara lain, sebab dalam daftar pengurus tidak mungkin dicantumkan kekayaan, yang ada kemungkinan hanyalah dicantumkan jenis pekerjaan. Setelah melakukan analisis itu dapatlah ditemukan fakta bahwa pada tahun tertentu ormas tertentu bersifat terbuka, berdasarkan data yang kita peroleh dan kita cantumkan.

Mengenai kenaikan naiknya harga tanah, dapat ditemukan dari data-data yang diperoleh dari kecamatan maupun dari kota. Setelah melalui analisis statistik, atau melalui presentase biasa, ditemukan fakta bahwa harga tanah di dalam kota mengalami kenaikan. Di dalam demografi pun dapat ditemukan bahwa secara total terjadi integrasi. Hal ini sesuai dengan data dari kecamatan di dalam kota yang menunjukkan semakin banyaknya pendatang berasal dari luar daerah.

Sintesis

Berdasarkan pada etimologi katanya, sintesis berarti menyatukan. Setelah ada data tentang pertempuran, rapat-rapat, mobilisasi massa, penggantian pejabat, pembunuhan, orang-orang yang mengungsi, penurunan dan pengibaran bendera, dapatlah ditemukan fakta bahwa telah terjadi suatu revolusi. Jadi revolusi adalah hasil interpretasi kita setelah data-data kita kelompokkan menjadi satu. “Mengelompokkan” data itu hanya memungkinkan apabila kita memiliki konsep. Revolusi adalah generalisasi konseptual yang kita peroleh dari pembacaan. Dalam interpretasi baik itu analisis maupun sintesis, orang bisa saja berbeda pendapat. Dan perlu diketahui, bahwa perbedaan interpretasi itu sah, meskipun menggunakan data yang sama.

Contoh lainnya, dari pembacaan data misalnya diketahui bahwa ada anggota sebuah laskar yang kemudian tidak menjadi tentara, di mana proses ini disebut demobilisasi. Dari data yang terkumpul, ternyata ada ketegangan antara profesionalisme dan amatirisme. Dari data yang berhasil kita kumpulkan tentang kriminalitas, ada jenis kriminalitas, yaitu organised crime, mungkin ini kelanjutan dari yang sebelumnya disebut grayak. Dari data yang terkumpul tentang pertumbuhan pasar, dapat kita temukan fakta bahwa ada perluasan kota.

Terkadang perbedaan antara analisis dan sintesis itu dapat kita lupakan, sekalipun dua hal itu penting untuk proses berpikir. Kita menyebutnya dengan interpretasi, suatu analisis sejarah, tidak pernah kita dengar “sintesis sejarah”. Sama halnya, kita selalu mengatakan analisis statistik untuk analisis dan sintesis.

Kadang-kadang antara data danfakta hanya ada perbedaan bertingkat. Jadi, tidak perbedaan kategoris. Seperti dalam pekerjaan detektif, kalau yang dicari adalah sebab kematian, data tentang pisau yang berdarah sudah sangat dekat dengan fakta. Kalau keingintahuan itu dilanjutkan dengan pertanyaan: siapa pembunuhnya? apa motifnya? Jika yang dicari semua sudah tersedia. itulah fakta yang dapat disidangkan. Demikian juga bagi sejarawan, kalau yang dicari adanya rapat dan bukan revolusi, maka data berupa notulen rapat sudah sangat dekat dengan fakta.

Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Interpretasi Sejarah

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi interpretasi sejarah meliputi:

  1. Sudut pandang: Setiap individu memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap peristiwa sejarah, tergantung pada latar belakang budaya, agama, dan sosial yang berbeda-beda.
  2. Sumber-sumber sejarah: Sumber-sumber sejarah dapat memiliki kekurangan, bias, atau tidak lengkap. Oleh karena itu, interpretasi sejarah harus didasarkan pada sumber-sumber yang terverifikasi secara akurat dan obyektif.
  3. Konteks sejarah: Peristiwa sejarah harus dilihat dalam konteks historis yang tepat, termasuk kondisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya pada waktu itu.
  4. Pengaruh masa kini: Interpretasi sejarah dapat dipengaruhi oleh pandangan dan kepentingan masa kini, yang dapat mempengaruhi interpretasi terhadap peristiwa sejarah.

Dalam melakukan interpretasi sejarah, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor di atas dan menghindari kesimpulan yang didasarkan pada prasangka atau kepentingan pribadi. Interpretasi sejarah yang baik harus didasarkan pada sumber-sumber yang terverifikasi secara akurat dan obyektif, dan dapat menjelaskan peristiwa sejarah secara tepat dan komprehensif.

Ketika para sejarawan menulis, disadari atau tidak, diakui atau tidak, dinyatakan secara eksplisit atau implisit, mereka berpegang pada salah satu atau kombinasi beberapa filsafat sejarah tertentu yang menjadi dasar penafsirannya. Bagi sejarawan yang enggan menggunakan isitilah filsafat sejarah, mungkin akan menyebut “acuan kerja” (frame of reference), perhatian (interest) atau tekanan (emphasis).

Adapun sebenarnya filsafat sejarah bertujuan untuk memberikan arti atau makna kepada seluruh sejarah kegiatan manusia, kepada pola keseragaman (uniformity) dan keragaman (variety) dari gerak-gerak kegiatan manusia pada masa lalu seperti misalnya bagaimana muncul dan berkembangnya suatu peradaban atau bangsa serta bagaimana pasang surutnya. Ini merupakan suatu upaya pencarian dan pemahaman terhadap faktor-faktor, tenaga-tenaga tetap dan mendasar (sebab-sebab dan kondisi-kondisi) di balik kesinambungan (continuity) dan perubahan (change) dalam sejarah manusia itu. Dengan demikian maka filsafat sejarah itu merupakan:

  1. Suatu petunjuk (guide) bagi suatu penafsiran yang valid dari materi sejarah;
  2. Suatu pemahaman mengenai penyebab dan keberartian (signifikansi) dari peristiwa-peristiwa dan lembaga-lembaga yang dicatat dalam materi sejarah.
Baca Juga  Sejarah Sebagai Humaniora

Faktor-Faktor, Tenaga-Tenaga Tetap dan Mendasar Dalam Sejarah Manusia

Adapun yang dianggap sebagai faktor-faktor, tenaga-tenaga tetap dan mendasar dalam sejarah manusia ialah manusia itu sendiri, geografi, kebudayaan, dan supernatural atau metafisik. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai faktor-faktor, tersebut silahkan membacanya di bawah ini:

Manusia Sebagai Tenaga-Tenaga Tetap dan Mendasar Dalam Sejarah Manusia

Sejarah adalah kajian tentang kegiatan-kegiatan manusia di masa lalu yang merupakan manifestasi dari pikiran, perasaan, dan perbuatannya. Dengan demikian manusia menjadi faktor dan pemegang peranan utama. Manusia bertanggung jawab atas kesinambungan dan perubahan sejarah. Manusia menentukan jalannya peristiwa-peristiwa. Akan tetapi selain menentukan dengan adanya tenaga dan kemauan yang ada di dalam dirinya, manusia juga ditentukan oleh tenaga-tenaga yang ada di luar dirinya sendiri.

Sehubungan dengan kedudukan dan peran manusia ini, misalnya di dalam ajaran agama Islam dijelaskan bahwa manusia merupakan khalifah Tuhan di muka bumi, yang diberikan tanggung jawab untuk memimpin, mengelola, dan memanfaatkan bumi beserta isinya sebagai hamba Tuhan, yang pada akhirnya harus mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dilakukannya di muka bumi ini kelak diakhirat. Keinginan bebas (free will) serta kebebasan (free determination) manusia dalam Islam bergerak dalam batas-batas “koridor” yang telah ditetapkan atau ditakdirkan baginya oleh Tuhan.

Geografi Sebagai Tenaga-Tenaga Tetap Dan Mendasar Dalam Sejarah Manusia

Bumi yang merupakan dunia fisik di mana manusia hidup dan sejarah berlangsung: bumi atau dunia seringkali diumpamakan sebagai panggung sejarah dan manusia sebagai pemegang peran utamanya. Hanya peranan manusia dipengaruhi dan dibatasi oleh dunia fisik yang berada di luar dirinya seperti faktor-faktor geografis, iklim, tanah, sumber-sumber alam dari dalam bumi.

Sebagai bagian dari dunia fisik, manusia mempunyai garis-garis keturunan yang disebut ras seperti, misalnya, pengelompokan yang sudah klasik seperti Eropide (kulit putih), Mongoloid (kulit kuning), Negride (kulit hitam).

Permasalahan faktor-faktor geografis atau ras yang mana yang berperan dalam kegiatan manusia? Dalam contoh yang lebih khusus, sejarawan Belanda Jan Romein mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan mengapa bangsa Eropa dapat menduduki Amerika, Australia, bahkan mendominasi Asia dan seluruh Afrika antara kira-kira tahun 1600-1900? Apakah karena faktor-faktor geografi (letak Eropa di muka bumi, luas daerah, iklim), demografi (jumlah penduduk, etnis atau ras Eropide), atau jiwa Eropa (agama Kristen, mentalitas kerja keras, penghargaan pada waktu dan uang sebagai sikap “penyucian kerja”, yakni kerja keras sebagai suatu kewajiban)?.

Meskipun jawaban yang diperoleh Jan Romein itu negatif, artinya bukan karena faktor-faktor di atas melainkan pada faktor “Sejarah Eropa”, namun faktor-faktor di luar diri manusia itu tetap perlu juga menjadi perhatian para sejarawan ketika menulis.

Kebudayaan Sebagai Tenaga-Tenaga Tetap Dan Mendasar Dalam Sejarah Manusia

Lingkungan kultural di mana manusia hidup di dalamnya. Manusia sebagai makhluk pada umumnya memerlukan kebutuahn-kebutuhan primer maupun sekunder supaya dapat bertahan hidup dan meningkatkan taraf hidup.

Sebagai makhluk sosial dan politik, manusia diatur dalam tata kehidupan sosial dan politik. Manusia dipengaruhi oleh masyarakat di mana ia hidup: iklim intelektual, kehidupan ekonomi, sikap moral, dan agama dari generasi dan komunitasnya. Jadi intra-aksi manusia (individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok komunitas atau masyarakat) dalam ruang lingkup sosial budaya tertentu cukup mempunyai dampak yang perlu diperhatikan.

Supernatural Atau Metafisik Sebagai Tenaga-Tenaga Tetap Dan Mendasar Dalam Sejarah Manusia

Karena manusia adalah makhluk Tuhan, asal-usul dan tujuan hidupnya ditentukan oleh Tuhan, maka bagi manusia yang percaya, Tuhan mempunyai kepentingan di dunia ini pada manusia dan kegiatannya. Bagi sejarawan atau ahli sains yang tidak percaya akan peranan Tuhan sebagai faktor yang perlu diperhitungkan dalam sejarah atau ilmu pengetahuan lainnya (ilmu alam atau ilmu sosial), akan mencoba mencari faktor-faktor lain di luar tenaga supernatural atau metafisika ini.

Terutama para ahli ilmu alam dan ilmu sosial lainnya, mereka bukan tidak percaya akan eksistensi Tuhan, akan tetapi karena alasan bahwa penjelasan supernatural atau metafisika itu tidak dapat ditest. Sains hanya menaruh perhatian kepada gejala-gejala yang dapat diamati, dicoba ulang dalam eksperimen, dan ditest.

Keempat faktor di atas dianggap sebagai penyebab atau tenaga-tenaga yang terkondisi dalam sejarah manusia. Oleh sebab itu, para sejarawan mengangkat filsafat sejarah dari keempat faktor itu, terutama manusia sebagai titik tolaknya. Akan tetapi, jika faktor-faktor atau tenaga-tenaga yang dianggap penyebab ini tidak berasal dari kemauan bebas (free will) dan/atau keputusan merdeka (free ditermination) dari manusia sendiri melainkan berasal dari luar dirinya, maka hasilnya melahirkan filsafat sejarah yang deterministik.

Deterministik Di Dalam Sejarah

Filsafat sejarah deterministik menolak semua penyebab yang berdasarkan kebebasan manusia dalam menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan menjadikan manusia semacam robot; manusia ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya. Tenaga-tenaga yang berada di luar diri manusia berasal dari dunia fisik seperti faktor-faktor geografi (luas daerah, letak daerah, iklim), etnologi (faktor keturunan, fisik biologis yang rasial), faktor-faktor dalam lingkungan budaya manusia seperti sistem ekonomi dan sosial.

Sehubungan dengan persoalan di atas, misalnya ada seorang sejarawan yang menerima Darwinisme sosial (social darwinism) dan menulis sejarah menurut pegangannya ini. Darwinisme sosial ini merujuk kepada penerapan prinsip evolusi organik (biologis) kepada fenomena sosial. Tokoh utamanya adalah Herbert Spencer, seorang ahli filsafat sosial Inggris. Herbert Spencer mencoba menggunakan teori Darwin pada masyarakat. Menurutnya perubahan sosial sebenarnya hanya semata-mata suatu kelanjutan dari evolusi biologi; bahwa konflik dan pergulatan adalah baik dan sinonim dengan kemajuan.

Di kalangan sejarawan karena keinginan menjadikan sejarah menjadi ilmu fisik, sejarah akan sama dengan biologi. Sejarawan dari aliran ini tidak segan-segan menggunakan istilah-istilah biologis. Metodologi dan terminologi ilmu-ilmu alam dibawa kepada ilmu-ilmu sosial dan pada gilirannya dari ilmu-ilmu sosial bisa juga kepada sejarah.

Demikian terdapat dua macam cara penafsiran yang ada kaitannya dengan faktor-faktor atau tenaga-tenaga pendorong sejarah yaitu determinisme dan kemauan bebas manusia serta kebebasan manusia dalam mengambil keputusan. Fislafat sejarah yang deterministik menekankan faktor keturunan (fisik-biologis-rasial) dan lingkungan fisik (geografis). Di antara bentuk-bentuk penafsiran deterministik itu ialah:

Determinisme Yang Mengurangi Peranan Manusia Sebagai Pelaku Sejarah

Penafsiran deterministik yang mengurangi peranan manusia sebagai pelaku sejarah diantaranya adalah determinisme rasial, geografis dan ekonomis. Di bawah ini akan diberikan penjelasan dari jenis penafsiran tersebut.

Determenisme Rasial

Para sejarawan yang menggunakan prinsip-prinsip pendekatan Darwinisme sosial bermaksud menciutkan sejarah menjadi suatu ilmu fisik dengan memilih sesuatu yang bersifat fisik pada diri manusia (enologis, keturunan, ras) sebagai faktor pengontrol dalam sejarah manusia. Sejarawan menerima teori evolusi Darwin dan menerima “survival of the fittest” dalam sejarah masyarakat dan bangsa-bangsa.

Menurut Herbert Spencer, persaingan antara individu, perusahaan, bangsa-bangsa, menjamin “survival of the fittest” dan penindasan atau penyingkiran yang “tidak cocok atau kuat” (unfit), kecuali jika dihambat oleh kendala-kendala buatan tertentu pada proses “seleksi alam” (natural selection). Ternyata sampai akhir abad ke-19 iklim intelektual diwarnai oleh Darwinisme sosial yang mendukung ekspansi bangsa-bangsa Eropa ke Asia dan Afrika. Argumentasi Herbert Spencer mengenai “survival of the fittest” digunakan oleh para pendukung imperialisme dalam pergulatan memperebutkan koloni-koloni.

Ungkapan Darwinisme Sosial misalnya dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt, mengenai istilah “The White Man’s Burden”, sebenarnya merefleksikan sikap tinggi hati orang kulit putih terhadap ras-ras berwarna lain. Begitu pula missionaris Kristen berdasarkan kepercayaan lama akan keunggulan moral dan budaya irang-orang Eropa atau Barat terhadap orang-orang Asia dan Afrika.

Ternyata akar-akar rasisme dan etnosentrisme Eropa ini berpengaruh juga pada para sejarawan yang berpendapat bahwa faktor etnis atau ras menentukan jalannya sejarah, penggerak peristiwa-peristiwa sejarah. Semua sejarah adalah rangkaian konflik antara kelompok-kelompok etnis: manusia superior dan progresif yang berdarah Anglo-Saxon (inggris) atau kemudian Arya (Jerman, Nazi) berhadapan dengan manusia-manusia inferior dan retrogresif dari keturunan ras atau etnis lain. Pada akhirnya manusia superior dan progresif yang dapat bertahan (survive) karena mereka ditakdirkan menguasai dunia.

Di Amerika Serikat gerakan WASP (White Anglo-Saxon Protestant) menjadikan orang-orang kulit putih dari Anglo Saxon yang beragama Kristen Protestan merasa paling berhak untuk berkuasa dalam berhadapan dengan orang-orang kulit putih lain non-Anglo Saxon non-Protestan atau kulit berwarna lain non-Kristen. Jadi, dari beberapa contoh ini menjadi filsafat pembimbing dalam penulisan sejarah pada paruh kedua abad ke-19.

Perlu dipahami, ternyata penafsiran rasial yang deterministik ini mempunyai kelemahan-kelemahan. Seperti keterangan Jan Romein yang menunjukkan bahwa dominasi bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang bersifat sementara itu bukanlah karena faktor-faktor etnologi atau demografi Eropa melainkan pada “Sejarah Eropa”. Adapun substansi dari sejarah Eropa yang menyebabkan terjadinya hegemoni Eropa itu unsur-unsurnya terdapat dan berakar pada bangsa-bangsa Yunani, Romawi, agama Kristen, bangsa-bangsa Jermania, Slavia, prinsip kapitalisme, teknologi Barat, rasionalisme, pencerahan (Aufklarung), Revolusi Industri, Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis.

Baca Juga  Konsep Perubahan Dan Keberlanjutan Dalam Sejarah

Penafsiran Geografis

Kelompok sejarawan yang deterministik geografis melihat dari segi fisik sebagai pembuat sejarah dan dengan demikian mengecilkan peranan dari manusia. Mereka mencari kunci sejarah dalam lingkungan fisik di luar manusia, seperti faktor-faktor geografis; iklim, tanah, persebaran flora dan fauna, sumber-sumber alam, bentuk tanah, dianggap sebagai pengontrol sejarah.

Sejarawan Henry Thomas Buckle dari Inggris menekankan pengaruh lingkungan geografis pada orang-orang dan watak bangsa-bangsa. Menurutnya, manusia hanyalah bagian dari alam dan oleh karena itu hukum-hukum perkembangan sejarah dapat diciutkan ke dalam hukum-hukum alam. Di antaranya apa yang disebut hukum fisik (physical laws) yang berhubungan dengan pengaruh tanah, iklim, kemakmuran, dan aspek-aspek alam terhadap manusia. Henry menyimpulkan bahwa pengaruh-pengaruh geografis ini berlaku dalam rasio sebaliknya terhadap pertumbuhan intelegensi: terkuat pada masyarakat primitif dan terlemah pada masyarakat yang jauh beradab.

Pengaruh geografi sendiri sebenarnya memang terdapat di dalam sejarah sebab kondisi fisik ini perlu untuk eksistensi dan bertahan hidup manusia. Manusia tidak dapat bertahan hidup pada kondisi panas atau dingin yang ekstrim. Akan tetapi, faktor-faktor geografis ini adalah kondisi-kondisi yang meskipun diperlukan tetapi bukan pengontrol satu-satunya dan tidak merupakan penyebab utama kegiatan manusia.

Di dalam sejarah manusia, pengaruh geografis ini dapat dilihat pada peradaban-peradaban pertama seperti di Sungai Nil, Sungai Eufrat dan Tigris, Emporium Romawi di sekitar Laut Tengah; pemindahan pusat perdagangan dari Laut Tengah ke Lautan Atlantik; Inggris di pulau terasing di ujung Eropa yang kemudian menjadi kekuatan laut yang besar. Analogi dengan posisi Inggris terhadap benua Eropa, begitu juga Kepulauan Jepang terhadap Benua Asia yang menunjukkan kemiripan sifat-sifat konservatif sekaligus modern dari kedua bangsa ini.

Di dalam batas-batas tertentu faktor-faktor geografis dapat membantu menjelaskan garis-garis besar sejarah bangsa. Isolasi Amerika Serikat pada abad ke-19, misalnya membuatnya melakukan isolasi politik. Akan tetapi dengan adanya kemajuan yang pesat dari perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi faktor geografi tidak lagi berperan banyak. Begitu pula Indonesia yang secara geografis “rapuh” karena merupakan negara kepulauan yang terletak di antara dua benua dapat mempertahankan integrasinya antara lain berkat pemanfaatan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi.

Interpretasi Ekonomi

Filsafat sejarah lain yang juga deterministik ialah cara produksi (mode of production) dalam kehidupan ekonomi suatu bangsa menentukan karakter umum sejarah bangsa itu seperti pola-pola politik, sosial, agama, kebudayaan. Meskipun diakui juga adanya faktor-faktor non-ekonomi dalam politik, moral, sosial, dan intelektual, tetapi semua faktor non-ekonomi ini adalah hasil atau diperintah oleh faktor ekonomi.

Segala ide, pandangan politik dan lembaga, teori-teori sosial dan nilai-nilai moral, ditentukan oleh kondisi-kondisi ekonomi masyarakat itu, dalam metode memnuhi kebutuhan hidup, dalam cara produksinya. Filsafat sejarah yang materialistik dan deterministik ini dikenal juga dengan sebutan materialisme dialektika yang dirumuskan oleh Karl Marx.

Doktrin yang berpengaruh pada ideologi komunis dan juga sosialis, pada gilirannya juga mempengaruhi filsafat sejarah yang disebut juga interpretasi ekonomi dalam sejarah. Di dunia hanya ada materi, materi menjadi sumber segala sesuatu. Sebagai salah satu contoh karya Charles A. Beard (1913) An Economic Interpretation of The Constitution (1913). Motif ekonomi sebagai fakta pengontrol dalam penyusunan dan ratifikasi Konstitusi Amerika Serikat. Peranan manusia diperkecil dalam tafsiran determinis ini.

Seperti halnya terhadap penafsiran determinisme ras dan geografis, penolakan terhadap determinisme ekonomi dalam sejarah tidak berarti penolakan terhadap faktor ekonomi. Faktor ekonomi juga penting tetapi bukan seluruhnya atau satu-satunya penyebab sejarah.

Demikianlah, di antara kelemahan utama dari penafsiran determinisme rasial, geografis dan ekonomis, ialah mengurangi peranan manusia sebagai pelaku sejarah sedangkan manusia mempunyai kemauan bebas (free will) atau mempunyai kebebasan dalam menentukan jalannya sejarah (free determination).

Determinisme Manusia Sebagai Pelaku Utama Sejarah

Terdapat beberapa penafsiran sejarah yang menempatkan manusia sebagai pelaku utama sejarah, secara langsung maupun tidak langsung, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Penafsiran sejarah itu antara lain adalah; penafsiran teori “orang besar”, penafsiran spiritual atau idealistik, penafsiran ilmu dan teknologi, penafsiran sosiologis dan penafsiran sintesis. Di bawah ini akan diberikan penjelasan dari masing-masing bentuk penafsiran tersebut.

Penafsiran [Teori] “Orang Besar”

Para sejarawan dari keliompok romantis seperti Thomas Carlyle dan James A. Froude yang berpendapat bahwa yang menjadi faktor penyebab utama dalam perkembangan sejarah ialah tokoh-tokoh orang besar (Great Men Theory). Sejarah bagi mereka adalah “biografi kolektif”. Di dalam penafsiran ini, yang dimaksud dengan tokoh-tokoh besar misalnya adalah negarawan, kaisar, raja, panglima perang, tokoh agama (nabi) dan sebagainya.

Penafsiran Spiritual atau Idealistik

Penafsiran ini erat hubungannya dengan peran jiwa (soul, spirit) ide (cita-cita) manusia dalam perkembangan sejarah. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh G.W.F. Hegel bahwa ungkapan kesadaran diri yang merdeka dalam jiwa manusia. Dengan mengambil contoh sejarah Jerman, orang-orang Jerman sesudah Reformasi Gereja diciptakan Tuhan dengan tugas suci membawakan kemerdekaan kepada kemanusiaan.

Penafsiran Ilmu dan Teknologi

Penafsiran ini mencoba melihat kemajuan manusia mempunyai hubungan langsung dengan kemajuan ilmu alam dan teknologi. Ilmu pengetahuan dengan tafsiran teknologinya ini pada gilirannya menentukan kehidupan dan kegiatan ekonomi manusia. Dalam penafsiran ini tentu saja tetap menjadikan manusia sebagai “pencipta” ilmu pengetahuan dan pemakai teknologi sebagai pemeran utama.

Penafsiran Sosiologis

Penafsiran sosiologis mencoba melihat asal-usul, struktur dan kegiatan masyarakat manusia dalam interaksinya dengan lingkungan fisiknya; masyarakat dan lingkungan fisik bersama-sama maju dalam suatu proses evolusi. Sosiologi (bersama-sama dengan antropologi budaya) mencoba menjelaskan pengulangan dan keseragaman dalam kausalitas sejarah.

Penafsiran Sintesis

Penafsiran sintesis mencoba menggabungkan semua faktor atau tenaga sebagai penggerak sejarah. Menurut penafsiran ini, tidak ada satu kategori “sebab-sebab” tunggal yang cukup untuk menjelaskan semua fase dan periode perkembangan sejarah. Artinya perkembangan dan jalannya sejarah digerakkan oleh berbagai faktor dan tenaga bersama-sama dan manusia tetap sebagai pemeran utama. Sebagai contoh gabungan tiga aliran filsafat deterministik di atas. Sejarawan Amerika, Frederick Jackson Turner dalam interpretasi baru mengenai sejarah Amerika yang disebut dengan “teori perbatasan” (frontier theory) sebenarnya telah mencoba mengkombinasikan (sintesis) tiga aliran filsafat di mana ditekankan aspek-aspek rasial, geografis, dan ekonomi.

Perbatasan (frontier) adalah daerah geografis yang selalu bergerak maju ke arah barat benua Amerika, dan manusia dibentuk oleh lingkungan fisik (alam) dalam gerak mereka ke barat itu. Perbatasan ini juga mencakup aspek-aspek kekuatan ekonomi yaitu suatu perjuangan manusia kulit putih menundukkan alam dan kulit merah (Indian) yang berakhir dengan kemenangan kulit putih.

Kemungkinan “Kekeliruan” (Fallacies)

Di dalam penulisan dan penafsiran, sejarawan kerap mendapatkan kritik karena telah melakukan semacam atau beberapa macam “kekeliruan” karena alasan argumentasi yang salah dalam karya-karya mereka. Pada pihaknya tentu saja tidak semua sejarawan dapat menerima kritik-kritik itu dengan alasan-alasan yang tentunya selalu bisa diperdebatkan. Akan tetapi, setidak-tidaknya “kekeliruan” ini adalah semacam rambu-rambu yang perlu diingat oleh para sejarawan. D.H. Fischer mengumpulkan sejumlah kemungkinan “kekeliruan” atau “kesalahan” yang disebutnya “fallacies“. Adapun beberapa contoh “kekeliruan” itu antara lain:

Kekeliruan Anakronisme (The Fallacy of Anachronism)

Ketika seorang sejarawan membuat deskripsi, narasi, atau analisis serta pertimbangan mengenai suatu peristiwa, tidak jarang disebutkan seolah-olah terjadi pada suatu waktu yang lain daripada yang sebenarnya. Jika suatu peristiwa itu disebutkan lebih awal daripada yang sesungguhnya, maka disebut “prokronisme” (prochronism), misalnya, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia disebut tanggal 16 Agustus 1945. Sebaliknya jika disebutkan tanggal 18 Agustus 1945 maka disebut dengan “metakronisme” (metachronism).

Anakronisme itu dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Kesalahan penempatan tanggal adalah anakronisme, begitu juga penempatan objek misalnya foto abad ke-12 (di mana foto belum ditemukan pada periode ini) kesalahan dalam penempatan objek misalnya Agresi Militer Belanda II ditukar menjadi Agresi Militer Belanda I atau kata-kata serta istilah-istilah.

Kekeliruan Presentisme (The Fallacy of presentism)

Presentisme yang disebut juga “present-mindedness”, merupakan suatu bentuk anakronisme yang lebih kompleks. Dalam rangkaian narasi, dilakukan pembalikan: sebab (antecedent) dijadikan atau ditafsirkan sebagai akibat (consequent), dan akibat dijadikan atau ditafsirkan sebagai sebab. Ini disebut juga nun pro tunc. Pada presentisme ini kita umpamakan saja baju masa kini (present) seolah dipaksakan dikenakan kepada tubuh masa lalu (past), atau tubuh dari masa lalu harus diseuaikan dengan baju dari masa kini.

Baca Juga  Masalah Objektivitas dan Subjektivitas Sejarah

Singkatnya materi sejarah masa lalu digunakan untuk kepentingan masa sekarang. Keberatan utamanya terletak pada ekses-ekses menjadikan sumber sejarah masa lalu itu untuk kepentingan ideologi politik tertentu, misalnya sebagai alat propaganda, sedangkan propaganda bukanlah sejarah yang baik. Sebagai salah satu contoh, sejarawan Nazi Jerman pada masa Hitler, atau sejarawan Komunis Uni Soviet pada masa Stalin.

Sebenarnya bagi para sejarawan sendiri presentisme ini merupakan suatu manifestasi dari kepedulian yang wajar kepada asal-usul perkembangan dunia modern sekarang; suatu reaksi positif terhadap relevansi sosialnya karena bertujuan untuk kemajuan sosial dan/atau politik. Tetapi resikonya juga cukup besar karena materi sejarah yang digunakan dapat dibuat-buat atau didistorsi. Evidensi sejarah tidak diteliti dan digunakan dengan cermat sebagaimana yang seharusnya, begitu pula konstruksi cerita sebenarnya dari masa lalu tidak dilakukan karena hasilnya telah ditentukan sebelumnya (pre-determined) berdasarkan atas standar yang diyakini yang diproyeksikan sejarawan ke masa lalu. Hasilnya bukan sejarah, atau paling kurang suatu pseudo-histori.

Kekeliruan Antikuarian (The Antiquarian Fallacy)

Kekeliruan antikuarian hampir kebalikan dari presentisme. Seorang antikuarian ialah pengumpul benda-benda atau fakta-fakta mati yang disimpannya dengan cermat di tempat yang aman. Secara material ia mampu dan koleksi benda-benda “antik” itu sebagai suatu hobi, tetapi ia sama sekali terasing dari masa sekarang. Kesalahan antikuarian ini juga bisa dilakukan oleh sejarawan. Jika sejarawan profesional dengan sengaja memutuskan sama sekali hubungannya dengan masa ketika ia hidup dengan maksud semata-mata hanya untuk mempelajari masa yang lain, maka ia melakukan kesalahan yang sama.

Kekeliruan Sejarah Terowongan (The Fallacy of Tunnel History)

Bentuk-bentuk sejarah tematis oleh J.H. Hexter dinamai “sejarah terowongan” karena visinya ibaratkan sebuah terowongan. Para sejarawan memilih tema-tema dengan membagi-bagi masa lalu dalam serangkaian terowongan-terowongan. Masing-masing berdiri sendiri, ditulis sejarah yang dimulai dari masa lalu yang amat jauh sampai dengan masa sekarang sebagai dalam satu garis linear. Karena terpisah-pisah maka praktis tidak ada yang tahu apa yang terjadi di terowongan-terowongan lain.

Proliferasi tema ini menimbulkan apa yang disebut sejarah diplomasi, sejarah politik, sejarah lembaga, sejarah agama, sejarah intelektual, sejarah militer, sejarah ekonomi, sejarah hukum, sejarah administrasi, sejarah seni, psikohistori, prosopografi, sejarah kolonial, sejarah lokal, sejarah agraria, sejarah pedesaan, sejarah petani, sejarah sains, sejarah perempuan, sejarah kulit hitam, sejarah budaya rakyat, sejarah etnis, sejarah dunia ketiga dan sebagainya.

Alasan dari proliferasi tema ini adalah sebagai cara yang termudah untuk mempelajari masa lalu. Memang begitu luas kegiatan hidup manusia di masa lalu sehingga terpaksa ditulis sejarah menurut tema-tema yang disukai oleh para sejarawan. Hanya kelemahan jika menggunakan “visi terowongan” semacam ini masing-masing sejarawan tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh sejarawan lain atau karena satu tema lalu menjadi “deterministik”. Oleh sebab itu, di samping tema sentral (politik, ekonomi, sosial atau budaya), dalam deskripsi, narasi atau analisis perlu pendekatan ilmu-ilmu sosial atau menggunakan metode komparatif.

Kekeliruan Periodesasi (The Fallacy of False Periodization)

Sejarah adalah sautu proses dalam kehidupan manusia yang dapat diibaratkan sebuah poros yang terus berputar dalam waktu yang bergulir linear terus-menerus. Proses yang bergerak dalam waktu ini tentu saja tidak dapat dihentikan tetapi untuk dapat memahami arah, kecenderungan pola, ciri, karakteristik yang sudah berlangsung dan pada akhirnya memahami makna perjalanan sejarah sejauh ini, poros waktu itu “dihentikan sementara”, lalu dipenggal-penggal dan dikerat-kerat dalam babakan-babakan atau periode-periode. Untuk sejarah setiap bangsa atau negara tentu saja pembabakannya tidak sama.

Pembabakan orang-orang Eropa yang membagi-bagi sejarah mereka atas Zaman Kuno, Abad Pertengahan, Zaman Modern, misalnya tidak akan sama dengan sejarah Afrika, Asia, Amerika atau Australia. Pembabakan sejarah Indonesia sesudah Proklamasi tahun 1945 menurut “praktik demokrasi” atas Demokrasi Liberal (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Demokrasi Pancasila (1966), umpamanya tidak berlaku dalam sejarah Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar dan Vietnam dalam suatu waktu yang sama.

Sehubungan dengan ini para sejarawan acap kali menetapkan batas-batas temporal yang tidak tepat pada masalah-masalah sejarah sehingga ada yang menegaskan karena skeptis bahwa semua periodesasi adalah palsu dan dibuat-buat. Akan tetapi, suka atau tidak suka, periodesasi itu perlu dilakukan oleh para sejarawan karena dari penggalan-penggalan waktu dapat dilihat corak warna, pola, serta karakteristik zaman. Hanya memang harus diakui tidak jarang sejarawan membuat “kesalahan-kesalahan” karena sifatnya yang “subjektif”.

Periodesasi yang umum salah disebut hektohistori (hectohistory) yaitu jika sejarah dipenggal-penggal dengan rapi ke dalam “Periode Procrustean” yaitu masing-masing misalnya: tiap seratus tahun, setengah abad, seperempat abad, sepuluh tahun. Jadi ada awal abad ke-20, pertengahan abad ke-20, akhir abad ke-20, paruh pertama dan paruh kedua abad ke-20, seperempat pertama, seperempat kedua abad ke-20, dasawarsa pertama abad ke-20 dan sebagainya.

Kekeliruan Teleskopik (The Telescopic Fallacy)

Kekeliruan teleskopik adalah membuat cerita (deskripsi, narasi, atau analisis) panjang menjadi singkat. Sejarawan terdorong untuk mempersingkat apa yang seharusnya ditulis dengan panjang lebar. Karena ada bagian-bagian yang dihilangkan, hasilnya ialah historiografi yang tidak utuh.

Kekeliruan Berkepanjangan (The Interminable Fallacy)

Kekeliruan berkepanjangan adalah kebalikan dari kekeliruan teleskopik, membuat sebuah cerita yang seharusnya pendek menjadi panjang. Hasilnya berupa tulisan yang berkepanjangan dan bertele-tele. Salah satu kemungkinan penyebabnya karena sumber materi sejarah yang kurang.

Kekeliruan Kronik (The Chronic Fallacy)

Sejarawan memaksakan ceritanya menurut urutan waktu kronologis yang kaku dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sejarah menjadi semacam kronik, waktu demi waktu dari peristiwa-peristiwa secara berurutan mengalir seperti tidak putus-putusnya. Akibatnya dalam penjelasan dari proses sejarah itu, misalnya, tidak kelihatan kecenderungan, pola, atau ciri-ciri khas zamannya.

Bagaimanapun juga sejarah tidak dapat melepaskan diri dari faktor waktu karena ini ciri khas yang membedakannya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Akan tetapi, sejarawan tidak perlu terlalu kaku terikat pada tirani waktu (the tyranny of time) seperti penulis kronik. Oleh sebab itu, perlu dicari cara lain untuk mengatasinya. Sejarawan harus mencari pola perubahan dalam masalahnya dan mengorganisasi narasinya sekitar masalah itu, daripada menulis menurut urutan kalender.

Kekeliruan Didaktik (The Didactic Fallacy)

Meskipun tidak persis sama dengan presentisme atau “present-mindness”, di sini sejarawan terlalu “menggurui”. Sejarawan menulis dengan maksud untuk menarik “pelajaran-pelajaran” tertentu dari sejarah, dan menerapkan secara harfiah sebagai kebijakan yang perlu dicontoh untuk mengatasi problema sekarang tanpa menghiraukan perubahan-perubahan yang menyela di antaranya. Ada beberapa tipe khusus dari “kesalahan” ini yang dimaksudkan mungkin untuk:

  1. Menghidupkan kembali ajaran-ajaran moral, atau kepercayaan, atau aturan-aturan dari masa lalu untuk “memurnikan” masa sekarang;
  2. Mengulan kembali keberhasilan politik masa lalu dengan cara meniru program-program dari para politikus yang pernah berhasil;
  3. Menerapkan hasil kajian sesuatu masalah yang dianggap pernah berhasil kepada masalah lain, meskipun kedua masalah itu sama sekali tidak sama, baik karena waktu maupun tempatnya berbeda.

Sebenarnya kemungkinan kesalahan ini bukan dimaksudkan untuk membantah bahwa kajian sejarah itu sendiri tidak berguna atau berbahaya. Mengenai nilai guna sejarah ini telah dinyatakan lama dan usianya hampir sama tuanya dengan sejarah sendiri. Sejarawan Yunani, Tuchydides yang menulis sejarah tentan “Peloponnesian War (431-404 BC) mengharapkan sejarah “dapat dianggap bermanfaat bagi mereka yang ingin mendapatkan pengetahuan yang tepat mengenai masa lalu sebagai bantuan untuk menafsirkan masa yang akan datang karena masalah yang dihadapi umat manusia mirip kalau tidak dapat dikatakan duplikasi dari masa lalu”; orang yang menjadi paham dari belajar sejarah.

Apa yang diungkapkan oleh Tuchydides juga diungkapkan oleh sejarawan Romawi, Tacitus yang disebut “sejarawan moralis” terkenal dengan ucapannya “Fungsi tertinggi sejarah ialah untuk menjamin bahwa perubatan-perbuatan yang luhur mulia tidak dibiarkan tidak dicatat dan bahwa segala kata dan perbuatan buruk selalu diingat sebagai yang dikutuk oleh generasi yang akan datang”. Dan yang sering dikutip ucapan negarawan Romawi, Cicero “historia magistra vitae” (sejarah guru kehidupan).

Tentu saja tidak semua orang sependapat dengan kutipan-kutipan di atas. Misalnya Hegel mengatakan “Hanya satu hal orang belajar dari sejarah ialah tidak seorangpun pernah belajar apa-apa dari sejarah.” (only one thing one learns from history is that nobody ever learns anything from history). Di antara kedua pendapat ekstrim ini sebenarnya terletak pada rambu-rambu bahwa sejarawan dapat menulis sejarah sebagai “guru kehidupan” tetapi tidak sampai terlalu jauh “menggurui”. dua hal yang memang nampak sulit untuk dilakukan.

Daftar Bacaan

  • Barnes, Harry Elmer. 1962. A History of Historical Writing. New York: Dover Publications, Inc
  • Blum, et al. 1966. The European World: A History. Boston: Little, Brown & Company.
  • Conkin, Paul K & Stromberg, Roland N. 1971. The Heritage and Challenge of History. New York: Dodd, Mead & Company.
  • Gilbert, Felix & Graubard, Stephen R. (ed.). 1972. Historical Studies Today. New York: W.W. Norton
  • Fischer, David Hackett. 1970. Historians’ Fallacies. Toward a logic of Historical Thought. New York & Evanston: Harper & Row Publisher.
  • Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Kerlinger, Fred N. 1986. Foundations of Behavioral Research. New York: Holt, Rinehart and Winston
  • Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
  • Lucey, William Leo. 1984. History: Methods and Interpretation. New York & London: Garland Publishing Inc.
  • Romein, Jan. 1956. Aera-Eropa: Peradaban Eropa Sebagai Penjimpangan Dari Pola Umum. Bandung: Ganaco N.V.
  • Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
  • Tosh, John. 1984. The Pursuit of History, Aims, Methods and New Directions in the Study of Modern History. London and New York: Longman.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

Releated Posts

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca