Intervensi NATO di Kosovo

Intervensi NATO di Kosovo

Intervensi Nato di Kosovo – Kosovo adalah salah satu provinsi yang terletak di selatan Serbia. Pada masa pemerintahan Josip Broz Tito, Kosovo diberikan keistimewaan berupa status otonomi khusus melalui Konstitusi 1974. Setelah terjadi pengklaiman Serbia atas resentralisasi wilayah Kosovo pada 1981, Kosovo masih diberikan status otonomi khusus hingga tahun 1989. Namun ketika Serbia berada dibawah kepemimpinan Slobodan Milosevic sejak 1987, kekhawatiran muncul apabila Kosovo yang mayoritas penduduknya etnis Albania menuntut status republik penuh. Di dalam artikel ini akan diberikan penjelasan tentang intervensi NATO di Kosovo.

Latar Belakang Intervensi NATO Di Kosovo

Ketika Serbia berada di bawah kepemimpinan Slobodan Milosevic, Intervensi NATO di Kosovo dimulai. Pada masa kepemimpinan Slobodan Milosevic status otonomi khusus yang telah diberikan untuk Kosovo dicabut pada tahun 1989. Slobodan Milosevic menghapus status otonomi untuk Kosovo sehingga daerah itu berada dibawah pengawasan langsung Belgrade yang merupakan ibukota Serbia.

Sejak saat itu, masyarakat etnis Albania di Kosovo mengalami diskriminasi. Serbia mengambil kontrol penuh atas perbankan, yudisial dan sistem pendidikan, begitupula dengan kepolisian Kosovo. Media massa Albania dilarang, sekolah bahasa Albania dan unversitasnya ditutup. Lebih dari 120.000 etnis Albania dipecat dari pekerjaannya. Penggunaan bahasa Albania dilarang.

Pelanggaran hak asasi manusia yang serius juga ditunjukan dari kebrutalan Special Forces of the Serbian Police terhadap etnis Albania berupa pembunuhan, kekerasan, penangkapan, penggusuran paksa, penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap tahanan dan diskriminasi dalam administrasi peradilan. Hal inilah yang menjadi pemicu konflik pada tahun 1996 dan konflik etnis yang sudah berlangsung ini pun berlanjut hingga tahun 1999 dimana dalam konflik tersebut terdapat keterlibatan pihak asing yaitu North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan terutama sekali Amerika Serikat sebagai pemeran utama yang melakukan intervensi militer di Kosovo.

Intervensi NATO di Kosovo

Di bawah ini akan dijelaskan tentang intervensi NATO di Kosovo yang mana konflik ini terjadi setelah disintegrasi Republik Sosialis Federasi Yugoslavia dan telah membawa instabilisasi di bidang politik, ekonomi dan keamanan bagi kawasan Eropa timur. Kompleksnya permasalahan internal di bekas wilayah Yugoslavia terus mengalami perkembangan hingga mencapai puncaknya yaitu dengan adanya tuntutan kemerdekaan yang dilakukan oleh kelompok etnis Albania Kosovo dari rezim Beograd. Tuntutan kemerdekaan ini telah mendorong terjadinya peperangan antara etnis Albania Kosovo yang menamakan diri mereka Khosovo Liberation Army (KLA) melawan pasukan Yugoslavia yang ingin mencegah Kosovo untuk memisahkan diri.

Hal yang menjadi menarik di sini adalah keterlibatan Amerika Serikat yang sangat aktif dalam penanganan konflik Kosovo. Kosovo yang menginginkan kemerdekaan atas Serbia membutuhkan dukungan dari Negara lain untuk melawan sikap keras atas penolakan Serbia. Bagi Amerika Serikat, posisi yang diduduki oleh Kosovo tersebut memiliki arti yang penting, baik itu sebagai posisi untuk melakukan pengawasan terhadap Semenanjung Balkan maupun untuk memperluas pengaruhnya di wilayah Eropa.

Amerika Serikat memandang Kosovo sebagai kawasan yang sangat strategis bagi pergerakan Amerika Serikat di kawasan negara negara eks Yugoslavia. Amerika Serikat ingin menjauhkan negara negara eks Yugoslavia dari pegaruh komunis Rusia dengan cara mengukuhkan pengaruh demokrasi di negara negaraeks Yugoslvia dengan mulai melakukan program demokratisasi di wilayah eks Yugoslavia. Dengan masuknya Amerika Serikat di wilayah Kosovo, maka akan memudahkan langkah Amerika Serikat dalam menyebarkan ajaran demokrasi bagi negara-negara eks Yugoslavia.

Pada tanggal 30 Januari 1992, Kongres Amerika Serikat telah mengeluarkan undang undang yang mendukung liberalisasi sebagai pijakan utama politik luar negeri Amerika Serikat terhadap negara negara luar lainnya termasuk Eropa Timur. Termasuk Baltik, dan Balkan yang juga menjadi fokus Rusia dalam meperluas pengaruhnya. Para pengambil kebijakan Amerika Serikat yang berasal dari partai Republik maupun partai Demokrat menggunakan undang-undang ini sebagai pijakan dalam melakukan politik luar negeri Amerika Serikat terhadap negara-negara lainnya yang bertujuan untuk mendukung tersebarluaskannya kebebasan dan demokrasi di negara-negara ini, dan membuka pasar-pasar bagi perusahaan Amerika Serikat.

Selain itu, kebijakan ini juga guna mengurangi manuver yang dilakukan Rusia dalam melancarkan pengaruhnya di wilayah Eropa Timur yang mana Amerika Serikat juga memiliki kepentingan dalam menyebarkan pengaruhnya pada wilayah yang sama. Bentuk dari politik ini antara lain mengatur terjadinya konflik Yugoslavia, membagi Bosnia, dan melalukan intervensi di Kosovo yang pada akhirnya melakukan intervensi dan serangan udara kepada wilayah Serbia.

Menurut keterangan yang diberikan oleh Menteri luar negeri Jerman, Joschka Fischer, manuver yang dilakukan oleh Rusia didasarkan atas motif Rusia dalam mendukung Serbia untuk menolak kemerdekaan Kosovo. Hal ini dikarenakan Rusia ingin mengembalikan kejayaannya pada masa lalu di wilayah Balkan dan Eropa Timur melalui tangan Serbia. Oleh karena itu Russia telah melakukan kerjasama bilateral dengan Serbia. Russia juga memiliki peran besar dalam memainkan peranannya di tengah konflik Kosovo dalam merundingkan perdamaian di Yugoslavia.

Baca Juga  Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara (abad ke-7 M)

Perkembangan Awal Konflik Kosovo

Konflik Kosovo dipicu oleh tuntutan etnis Albania akan kedaulatan politiknya yang dimulai sejak 1989 akibat dari perlakuan diskriminasi atas etnis Albania di Serbia telah mengundang ancaman bagi negara-negara di sekitar wilayah konflik seperti Macedonia dan Italia. Hal ini dikarenakan letak negara- negara tersebut secara geografis berdekatan. Oleh karena itu, NATO segera mengambil tindakan untuk mencegah peningkatan krisis yang mana dalam tindakan itu NATO menghadapi tiga masalah utama, yaitu;

a. Melibatkan pertikaian tentang perbatasan yang dianggap tidak adil oleh salah satu pihak, dan dianggap adil oleh pihak lainnya.
b. Isu tumpang tindih antara pertikaian antar perbatasan dengan isu kemerdekaan bagi suatu etnis.
c. Implikasi pertikaian etnis.

Kasus Kosovo telah mendapat perhatian khusus dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1992 dan mulai menjadi perhatian NATO setelah penandatanganan Kesepakatan Dayton pada 21 November 1995 di Ohio antara Republik Bosnia-Herzegovina, Republik Kroasia, dan Republik Federasi Yugoslavia, yang diharapkan dapat mengakhiri konflik Bosnia. Dalam hal ini keberadaan NATO sebagai pasukan keamanan di Bosnia tidak membuat pihak Serbia memperkecil intervensinya terhadap Kosovo.

Saat situasi di Bosnia mulai relatif stabil, dengan adanya misi Implementation Force (IFOR) dan Stabilization Force (SFOR), intensitas konflik di Kosovo justru semakin meningkat. Konflik bersenjata antara angkatan bersenjata dan polisi Serbia dengan KLA menimbulkan korban di kedua belah pihak, termasuk juga korban sipil. Oleh karena itu, PBB mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1160 tanggal 31 Maret 1998. Melalui resolusi ini, DK PBB memberlakukan embargo senjata dan sanksi ekonomi terhadap Republik Federal Yugoslavia, dengan harapan mengakhiri penggunaan pasukan yang melakukan kekerasan terhadap demonstran dan KLA.

Resolusi ini memberikan kewenangan terhadap organisasi internasional yang bertujuan untuk mencari fakta tentang konflik di Kosovo. Organisasi Internasional yang ditunjuk PBB melalui resolusi tersebut adalah NATO dan Organization for Security and Cooperation for Europa (OSCE) sebagai observer dan Misi Verifikasi Kosovo. Resolusi DK PBB ini menyerukan kepada KLA dan Serbia untuk menghentikan penggunaan kekuatan senjata dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Kosovo.

Intervensi NATO Menghentikan Konflik Di Kosovo

Langkah selanjutnya yang ditempuh oleh NATO untuk menghentikan konflik di Kosovo adalah dengan melakukan Pembicaraan Informasi Tingkat Menteri Luar Negeri NATO di Luxemburg pada 28 Mei 1998. Tujuan pertemuan ini adalah untuk mengakomodir aspirasi komunitas internasional untuk mencari resolusi perdamaian serta mendukung stabilitas keamanan wilayah sekitar terjadinya konflik; Albania, Macedonia, dan Italia, dengan mengamankan daerah perbatasan.

Upaya pencarian solusi politik disepakati bahwa pihak internasional harus menghormati daerah integral kedaulatan Yugoslavia dan melindungi hak-hak warga sipil. NATO menyarankan agar Slobodan Milosevic selaku Presiden Yugoslavia segera melakukan upaya konstruktif melalui pembicaraan damai. Akan tetapi, sikap non-koorperatif yang ditunjukkan oleh Yugoslavia menghambat akses observasi organisasi internasional untuk memberikan bantuan kemanusiaan dalam konflik ini dan sangat mempengaruhi lambatnya proses pencairan konflik yang terjadi.

Akibat dari tidak ditemukannya titik terang dari pertemuan di Luxemburg pada 28 Mei 1998, NATO melaksanakan Pertemuan Tingkat Menteri Pertahanan NATO di Brussel, pada 11 Juni 1998. Pada bulan Juni 1998 KLA menguasai 40 persen wilayah Kosovo, namun keadaan tersebut tidak berlangsung lama karena pasukan militer Serbia segera melancarkan serangan balasan. Melihat keadaan ini, muncul kekhawatiran indikasi naiknya level konflik antara etnis Albania dan Serbia. NATO mengutuk bentuk penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik, baik yang dilakukan oleh pihak Beograd maupun Kosovo. Hal tersebut berkaitan dengan makin banyaknya korban sipil yang berjatuhan dari kedua belah pihak. Dalam pertemuan ini, NATO mengeluarkan beberapa putusan, yaitu:

a. Kewenangan militer NATO untuk memperhitungkan kemungkinan dilakukannya operasi militer.
b. Mendukung upaya badan internasional, OSCE dan PBB untuk memantau perkembangan situasi Kosovo.
c. Melakukan pertemuan dengan Rusia untuk membicarakan langkah- langkah yang akan ditempuh selanjutnya.

Intervensi NATO di Kosovo ini dilakukan secara bertahap. Diawali dengan operasi Exercised Determined Falcon yang berupa peringatan melalui latihan militer udara NATO di bawah Allied Europe Command Structure pada tanggal 15 Juni 1998 di atas wilayah Albania dan Macedonia yang dilakukan setelah terjadinya konflik antara Serbia dan KLA pada pertempuran di Drenica (Februari-Maret 1998). Sejak saat itu para petinggi NATO memikirkan strateginya untuk membentuk serangkaian operasi, mulai dari tindakan preventif, sampai dengan melakukan serangan darat. Dalam konflik di Kosovo ini pihak Amerika Serikat sebagai aktor utama NATO mulai melakukan perundingan-perundingan perdamaian dengan pihak Serbia maupun dengan Albania-Kosovo.

Baca Juga  Kandiawan (597-612)

DK PBB setelah kejadian ini segera melakukan sidang untuk membahas pertempuran di Kosovo dan khususnya penggunaan kekuatan militer yang tidak pandang bulu oleh pasukan keamanan Serbia dan tentara Yugoslavia, yang mengakibatkan pengungsian sebanyak 230.000 orang menurut Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan. Para pengungsi Kosovo ini telah melarikan diri ke Albania utara, Bosnia dan Herzegovina dan negara-negara Eropa lainnya. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) memperkirakan bahwa sekitar 50.000 orang dari jumlah pengungsi itu tidak memiliki kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian dan obat-obatan.

Berdasarkan pernyataan di atas sehingga menegaskan kembali hak semua pengungsi dari Kosovo untuk kembali ke daerahnya dan mencatat bahwa terdapat bencana kemanusiaan yang terjadi di Kosovo dan pelanggaran hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional. Pada saat yang sama, berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak manapun dikutuk dan juga mengutuk tindakan terorisme. Selain itu, Dewan menegaskan kembali status Kosovo yang harus memiliki otonomi dan pemerintahannya sendiri.

Pada pertengahan September 1998, tekanan internasional mulai meningkat agar Slobodan Milosevic menghentikan serangan tersebut. Namun, pada saat itu, pemerintah Yugoslavia hampir berhasil menghancurkan semua kota dan permukiman di mana terdapat KLA, dan mendorong KLA ke dalam hutan. Kampanye yang dilakukan oleh tentara Serbia masih belum selesai di satu area penting: Drenica tengah, di mana pertempuran paling sengit antara KLA dan pasukan pemerintah Yugoslavia terjadi.

Desa Gornje Obrinje terletak di kota Drenica menjadi saksi penumpasan yang dilakukan oleh Pemerintah Yugoslavia. Selama bulan September, pasukan pemerintah melancarkan serangan di wilayah Drenica, dalam upaya mengusir KLA dari kota itu. Polisi dan tentara menyerang dari arah kota Klina, barat daya Glogovac, serta dari pegunungan Cicavica di timur, dan dengan begitu dapat secara efektif mengepung pasukan KLA di kawasan perbukitan Obrinje.

Di dalam pengepungan itu pasukan Yugoslavia menghadapi perlawanan keras dari KLA di daerah Likovac-Obrinje dan di Desa Obrinje inilah terjadi pembantaian yang dilakukan oleh tentara dan polisi Yugoslavia terhadap KLA dan penduduk sipil.

Di dalam upaya menghentikan penumpasan yang dilakukan oleh pimpinan Serbia (Slobodan Milosevic), terhadap separatis KLA dan warga sipil Albania di Kosovo, pada tanggal 23 September 1998 Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan Resolusi 1199 untuk menuntut pihak Albania-Kosovo dan Serbia untuk mengakhiri permusuhan dan melakukan gencatan senjata, penarikan kekuatan militer, akses penuh terhadap organisasi kemanusiaan dan kerjasama dalam pencarian fakta serta kejahatan perang di Kosovo. Pada 24 September 1998 dilaksanakan penandatanganan Resolusi DK PBB No.1160 dan No.1199.

Tindakan NATO selanjutnya ialah menekankan pemerintahan di Beograd untuk mencari solusi politik dengan negoisasi, begitu juga sebaliknya dari pihak Kosovo dan mengambil langkah komprehensif untuk mengurangi tragedi kemanusiaan akibat dari konflik di Kosovo. Pada 24 Oktober 1998 DK PBB menuntut agar Republik Federal Yugoslavia (Serbia dan Montenegro) menaati resolusi-resolusi DK PBB sebelumnya (1160 dan 1199) dan bekerja sama dengan NATO dan OSCE di Kosovo.

Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic menyetujui penarikan dari sebagian kekuatan militer pasukannya di Kosovo. Situasi di Kosovo mereda setelah dilakukan penarikan kekuatan militer oleh Slobodan Milosevic, namun beberapa perselisihan yang terjadi antara Yugoslavia dan KLA masih terus berlangsung di beberapa tempat. Melihat hal tersebut, NATO terpaksa melakukan tindakan untuk menghentikan konflik tersebut. NATO menganggap resolusi yang dikeluarkan DK PBB sebagai izin untuk masuk ke dalam wilayah Yugoslavia.

Setelah berhasil masuk ke dalam wilayah Yugoslavia, NATO mengeluarkan ultimatum Activation Order (ACTORD) yang merupakan ultimatum tertinggi NATO mengenai persiapan militer untuk meluncurkan operasi yang hanya memerlukan keputusan politik bagi pelaksanaannya dengan mengunakan upaya kekerasan.

Pada tanggal 24 Februari 1999 di Chateau de Rambouillet di Selatan Prancis, diupayakan proses peace-making dengan tujuan untuk mencapai penyelesaian komprehensif untuk mengembalikan perdamaian, dan mendorong terbentuknya pemerintahan sendiri di Kosovo. Perundingan tersebut (The Rambouillet Accords, 1 Maret 1999) menghasilkan pokok-pokok kesepakatan sebagai berikut:

  1. Terbentuknya pemerintahan demokratis, termasuk dalam bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan ekonomi, dan sistem pemerintahan yang mandiri bagi Kosovo.
  2. Tentara internasional dan polisi lokal dapat membantu memulihkan stabilitas keamanan pasca konflik.
  3. Mekanisme keputusan berikutnya dapat ditentukan setelah tiga bulan diberlakukannya kesepakatan perundingan perdamaian.

Pada perkembangannya, jalur diplomasi lewat perundingan Rambouillet tersebut mengalami jalan buntu. Hal ini dikarenakan Serbia tidak mau menandatangani butir-butir perundingan itu. Oleh karena Serbia melakukan penolakan atas perundingan itu dan terjadi peningkatan kekerasan terhadap penduduk sipil, hal tersebut memicu NATO melakukan serangan udara untuk melumpuhkan kekuatan militer Yugoslavia, tanpa bermaksud mencederai penduduk sipil di Yugoslavia.

Pada tanggal 24 Maret 1999 hingga tanggal 5 Juni 1999 NATO mulai mengintervensi konflik di Kosovo dengan melakukan serangan udara menggunakan depleted uranium dan cluster munition. NATO mengerahkan 730 United States Air Force dan 325 pesawat terbang, misi dari penyerangan ini terkonsentrasi pada tentara Yugoslavia dan Special Forces of the Serbian Police. Kampanye NATO melalui pengeboman ini dilakukan selama 78 hari. Selama krisis ini berlangsung, NATO juga mengerahkan salah satu pasukan internasionalnya, ACE Mobile Force (Land) sebagai Albania Force (AFOR) yang bertujuan untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi yang berasal dari Kosovo.

Baca Juga  Perjanjian Versailles 28 Juni 1919

Pengeboman yang dilakukan oleh NATO melalui Operation Allied Force melakukan 37.000 serangan udara di wilayah Serbia dengan menjatuhkan 20.000 roket dan bom. NATO telah membom kota, desa, sekolah, rumah sakit, jembatan, depot minyak, dan kantor pemerintah. Serangan NATO tersebut menewaskan sekitar 5.000 prajurit Yugoslavia dan Special Forces of the Serbian Police.

Pengeboman yang dilakukan oleh NATO ini pun mendapat kritik dari dunia internasional dikarenakan tingginya korban di pihak sipil yang diperkirakan antara 1200 hingga 7500 sipil menjadi korban. Bom NATO juga jatuh di pabrik kimia dan pupuk yang berakibat sejumlah besar zat beracun mengalir ke sungai, udara, dan tanah yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Serangan udara yang dilakukan NATO dapat dinilai sebagai tindakan yang dilakukan tanpa menunggu izin dari DK-PBB. Intervensi NATO tanpa otorisasi DK-PBB dianggap tindakan ilegal, karena di dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1160, No. 1199 dan No. 1203 tidak disebutkan upaya pemberhentian konflik dengan menggunakan kekuatan senjata.

Dengan dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1160, No.1199 dan No.1203 menunjukkan bahwa Dewan Keamanan PBB menyadari dan telah memastikan adanya ancaman terhadap perdamaian atas konflik Kosovo. Namun, ketentuan dalam Pasal 42 Piagam PBB yang menyebutkan bahwa DK PBB mengizinkan adanya operasi angkatan bersenjata dengan persetujuan dari DK PBB apabila upaya diplomatik tidak dapat menghentikan ancaman, gangguan, atau tindakan agresi tidak dapat dipenuhi. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1160, No. 1199 dan No. 1203 merupakan upaya PBB untuk menyelesaikan konflik Kosovo dengan cara- cara diplomatik, bukan dengan kekuatan militer. Oleh karena itu negara-negara anggota PBB seharusnya tidak dapat menyimpulkan begitu saja resolusi-resolusi dari DK PBB merupakan izin kewenangan untuk melakukan tindakan kekerasan.

Setelah mendapatkan berbagai desakan dari dunia internasional dan operasi-operasi militer yang dilakukan oleh NATO, Slobodan Milosevic akhirnya menerima persyaratan untuk melakukan rencana perdamaian internasional pada 3 Juni 1999, yang mengakhiri Perang Kosovo. Pada tanggal 11 Juni 1999, Slobodan Milosevic selanjutnya menerima Resolusi PBB 1244, di bawah mandat PBB yang kemudian dibantu oleh NATO untuk membentuk pasukan penjaga perdamaian KFOR (Kosovo Force).

Selama konflik ini hampir satu juta pengungsi telah melarikan diri dari Kosovo, dan bagian dari mandate PBB untuk KFOR adalah untuk melakukan dan melindungi misi kemanusiaan, dan mencegah terjadinya kekerasan. Pada bulan Agustus–September 2001, aliansi tersebut juga melakukan Operation Essential Harvest, sebuah misi untuk melucuti senjata milisi etnis Albania di Republik Macedonia. Per 1 Desember 2013, 4.882 tentara KFOR, mewakili 31 negara, tetap terus beroperasi di wilayah tersebut.

Kemerdekaan Kosovo dipandang Amerika Serikat sebagai kebijakan politik yang sangat strategis. Selain kemerdekaan Kosovo dipandang sebagai upaya mengurangi peran regional komunis Rusia di wilayah eks Yugoslavia, kemerdekaan Kosovo juga akan menjauhkan wilayah ini dari pengaruh pemerintahan Serbia. Hal ini berkesinambungan mengingat pemimpin pemimpin lokal Kosovo yang telah dengan mudah dikendalikan oleh Amerika Serikat karena sedikit banyak peran Amerika Serikat bagi kemerdekaan Kosovo.

Daftar Bacaan

  • Adam, Robert. 1999. “NATO”s Humanitarian War Over Kosovo”. The International Institute For strategic Studies, Vol. 41.
  • Borgen, Christoper. J. 2010. “Kosovo’s Declaration of Independence: Self-Determination, Secession and Recognition”. American Society of International Law: Asil Insight.
  • Clark, Gen Wes. 1999. When forces is Necessary: NATO’s Military Response to the Kosovo Crisis. NATO. Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations 1970.
  • Kumbaro, Dajena. 2001. The Kosovo Crisis in a International Law Perspectiv:Self determination, Territorian Integrity and the NATO Intervention. NATO: NATO office of International Press.
  • Latawski, Paul dan Martin A. Smith. 2003. The Kosovo Crisis: The Evolution of Post Cold War European Security. Manchester: Manchester University Press.
  • Lellio, Anna Di (2006). The case for Kosova: passage to independence. Anthem Press.
  • Mocthar Kusumaatmadja. 2009. Pengantar Hukum Internasional Indonesia. Jakarta: Prenhallindo.
  • Nye, Joseph.S. Jr. 1993. Understanding International Conflict: An Introduction to Theory and History. New York: Harpers-Collins College Publishers.
  • Ritsiotis, Dino (2000). “The Kosovo Crisis and Nato’s Application of Armed Force Against the Federal Republic of Yugoslavia”. International and Comparative Law Quarterly. Cambridge University Press.
  • Sharp, Walter Gary. 1999. ”Operation Allied Force: Reviewing the Lawfulness of NATO’s Use of Military Force to Defend Kosovo”. Md. Journal of International Law & Trade Vol. 23
  • Spiegel, Steven.L. 1995. World Politics in A New Era. New Jersey:Harcout Brace College Publishers.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca