Kebijakan Pembentukan Planning Board
Planning Board – Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia sangatlah menjadi tantangan berat bagi Republik. Untuk itu Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk keluar dari blokade yang dilakukan Belanda, salah satu kebijakan yang ditempuh untuk keluar dari blokade adalah melalui kebijakan Planning Board atau Badan Perancang Ekonomi. Sebelumnya, pemerintah pun juga telah melakukan beberapa upaya untuk mengatasi blokade tersebut diantaranya melakukan Konferensi Ekonomi sejak awal tahun 1946.
Setelah dua kali mengadakan Konferensi Ekonomi, pemerintah tetap terus berupaya untuk mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia, salah satunya melalui Planning Board. Planning Board digagas oleh dr. A. K. Gani selaku Menteri Kemakmuran pada 19 Januari 1947. Planning Board atau Badan Perancang Ekonomi adalah badan yang bertugas membuat rencana pembangunan ekonomi untuk jangka waktu dua sampai dengan tiga tahun.
Perencanaan yang dibentuk adalah untuk melakukan koordinasi dan merasionalisasi semua cabang produksi dalam bentuk badan hukum seperti yang dilakukan pada BPPGN (Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara) dan PPN (Perusahaan Perkebunan Negara). Setelah badan ini melakukan sidangnya, Menteri Kemakmuran, dr. A. K. Gani kemudian mengumumkan rencana pemerintah tentang Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun. Rencana-rencana yang menjadi langkah pertama yang dikemukakan oleh dr. A. K. Gani dalam Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun adalah:
- Semua bangunan umum, perkebunan, dan industri yang sebelum perang menjadi milik negara, jatuh ke tangan pemerintah Republik Indonesia;
- Bangunan Umum vital milik asing akan dinasionalisasi dengan pembayaran ganti rugi;
- Perusahaan milik Jepang akan disita sebagai ganti rugi terhadap Pemerintah Indonesia;
- Perusahaan modal asing lainnya akan dikembalikan kepada yang berhak sesudah diadakan perjanjian antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda.
Menteri Kemakmuran menyatakan bahwa biaya untuk melaksanakan rancangan ini akan diperoleh dari penanaman modal asing, serta pinjaman dari dalam dan luar negeri. Untuk menampung dana-dana pembangunan yang direncanakan, perlu dibentuk Bank Pembangunan. Pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam Badan Perancang Ekonomi ini mendapat tanggapan positif dari pemerintah. Perusahaan Patungan (joint venture) diperkenankan untuk didirikan dengan pengawasan dari negara sedangkan tanah-tanah partikelir dihapuskan.

Pemerintah akan mengerahkan dana-dana masyarakat berupa pinjaman nasional dan tabungan rakyat, pinjaman dari luar negeri untuk membiayai rencana pembangunan ekonomi ini. Di sisi lain, biaya-biaya untuk pembangunan didapatkan dengan mengikutsertakan badan-badan swasta. Namun, rencana pembangunan ini tidak berhasil dilaksanakan karena situasi politik dan militer yang tidak memungkinkan.
Kegagalan Planning Board disebabkan oleh adanya Agresi Militer Belanda I yang mengakibatkan sebagian besar wilayah potensial milik Republik Indonesia jatuh ke tangan Belanda. Wilayah Republik Indonesia hanya tinggal beberapa keresidenan di Jawa dan Sumatra di mana daerah ini tergolong daerah yang dianggap kurang potensial dan berpenduduk padat. Akibatnya, kesulitan ekonomi yang dialami oleh Indonesia semakin memuncak.
Di samping itu, pemerintah harus juga menanggung konsekuensi dari adanya Perundingan Renville, yakni pasukan-pasukan TNI harus ditarik ke wilayah Republik Indonesia dari kanton-kantong perlawanan yang berada di daerah pendudukan Belanda. Itulah yang menjadi penyebab kegagalan Planning Board.