Kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara hingga saat ini belum dapat diketahui secara terperinci. Namun, meskipun begitu kehidupan sosial-budaya Kerajaan Tarumanegara dapat diketahui berdasarkan pada temuan-temuan prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang berasal pada masa pemerintahan Raja Purnawarman. Di dalam artikel ini akan dijelaskan secara singkat tentang kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara.
Memahami Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Tarumanegara
Tidak banyak diketahui secara terperinci tentang kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara. Namun, identifikasi tentang kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara dapat diketahui secara singkat berdasarkan pada sumber-sumber prasasti maupun keterangan yang diberikan oleh sumber asing (terutama keterangan yang dijelaskan dalam catatan Fa Hien tentang Kerajaan Tarumanegara).
Apabila merujuk kepada sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara seperti keterangan yang didapatkan pada prasasti Cidanghiang dan Prasasti Tugu menunjukkan terdapat hubungan yang baik antara kalangan istana dengan non-istana dalam upaya saling mendukung pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kerajaan. Kerajaan Tarumanegara yang menggantungkan perekonomiannya pada pertanian tentu saja membutuhkan dukungan masyarakat non-istana untuk dapat melaksanakan keinginannya untuk dapat mengembangkan sektor ini. Pembangunan Sungai Chandrabraga dan Gomati adalah wujud saling mendukung antara kalangan istana dan non-istana.
Keterangan yang diberikan oleh Fa Hien tentang Kerajaan Tarumanegara pada saat dirinya terdampar di Pulau Jawa pun memberikan pandangan yang cukup terang tentang kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara. Menurut Fa Hien bahwa di Tarumanegara sudah terdapat penganut ajaran agama Hindu, sangat sedikit yang menganut ajaran Buddha dan sebagian besar masyarakatnya masih menganut kepercayaan lokal. Meningat ajaran agama Hindu yang eksklusif dan karakter budaya Indonesia yang telah berakar kuat sebelum pra-Indianisasi tentu ajaran agama Hindu dianut oleh sebagian besar kalangan istana atau bahkan seluruh kalangan istana menganut ajaran Hindu. Terkonversinya kepercayaan kalangan istana menjadi penganut ajaran Hindu tentu disebabkan oleh kepentingan mereka akan legitimasi kekuasaan di dalam struktur masyarakat.
Keberadaan ajaran agama Hindu di Tarumanegara tidaklah dapat memastikan apakah struktur sosial ajaran Hindu pun segera dilakukan di kerajaan ini. Perlu dipahami di sini bahwa ajaran Hindu hanya dijadikan sebagai alat legitimasi secara politik bagi kalangan istana bukan merubah tatanan kehidupan sosial budaya Kerajaan Tarumanegara secara menyeluruh. Selain itu, tidak adanya keterangan di dalam prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang memberikan deskripsi tentang pembagian struktur sosial masyarakat memperkuat anggapan umum bahwa struktur sosial ini hanya terbagi menjadi istana dan non-istana. Meskipun begitu, pembagian dalam kelompok-kelompok berdasarkan pekerjaan tentu sudah terjadi menimbang hal ini yang menjadi ciri dari masyarakat pra-aksara sejak era neolitikum dan menjadi semakin kompleks sejak memasuki era perundagian.
Di sisi lain keterangan Fa Hien mengenai masih sedikitnya penganut ajaran Buddha menunjukkan bahwa ajaran agama Buddha pada saat itu masih berkembang sangat sedikit dan hanya berpusat pada kawasan perdagangan saja. Hal ini mengingat para penyebar ajaran agama Buddha yang memang juga mempertahankan hidup mereka dengan menjadi pedagang keliling yang tidak selalu terkait dengan kesatuan politik di mana mereka berasal. Sehingga ajaran agama Buddha tidak dapat berkembang secara masif di Kerajaan Tarumanegara. Meskipun terdapat pemisahan yang berkaitan dengan status sosial, dalam kenyataannya antara kalangan istana dan non-istana tidak benar-benar terpisah sama sekali.
Daftar Bacaan
- Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 4 Parwa 2
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 3 Parwa 2
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Ekajati, Edi S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.