Kemaritiman Kerajaan Majapahit – Kerajaan Majapahit adalah kerajaan bercorak agraris dan maritim terbesar yang pernah ada di Kepulauan Indonesia. Kerajaan Majapahit mulai menunjukkan eksistensinya sejak akhir abad ke-13 dan bertahan hingga mencapai keruntuhannya hingga akhir abad ke-15. Sebagai kerajaan besar tentu Kerajaan Majapahit sangat memperhatikan aspek kemaritimannya. Hal ini dilakukan selain untuk menjaga kedaulatan wilayahnya, aktivitas kemaritiman banyak memberikan keuntungan bagi perekonomian kerajaan. Di bawah ini akan dijelaskan tentang kemaritiman Kerajaan Majapahit berdasarkan prasasti maupun sumber-sumber lokal dan berita asing.
Bukti Kemaritiman Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit melakukan perdagangan untuk memberikan keuntungan bagi perekonomian kerajaan. Perdagangan yang dilakukan tidaklah secara bebas. Kerajaan Majapahit mengatur ritme perdagangan begitu juga pajaknya, dalam birokrasi kerajaan seorang rakryan kanuruhan yang bertugas mengurus para pedagang asing atau saudagar-saudagar yang datang dari pulau-pulau lain di Indonesia.
Upaya Memperkuat Jaringan Perdagangan
Rakryan Kanuruhan diwajibkan menerima pedagang-pedagang itu dengan penuh hormat layaknya sebagai seorang tamu raja. Menampung mereka, memberi makan, dan mengusahakan segala keperluan mereka. Karena pentingnya komunikasi dalam tugas itu, maka seorang rakryan kanuruhan harus mengetahui semua bahasa. Dari sinilah bermula jabatan syahbandar, jabatan yang kemudian digunakan oleh kerajaan-kerajaan bercorak Islam pada periode selanjutnya.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Negarakrtagama, terdapat setidaknya 98 kantor dagang yang sangat bergantung pada Kerajaan Majapahit beberapa diantaranya adalah: Melayu, Jambi, Palembang, Minangkabau, Siak, Kampar, daerah Batak, Samudra, Lamuri, Lampung, Barus, Kutai, Pasir, Baritu, Kota Waringin, Lawai, Kapuhas, Sambas, Buruneng, Pahang, Lengkasuka, Kalanten, Tringgano, Tumasik, Kelang, Keda, Bali, Lombok, Bhima, Sumba, Luwuk, Makassar, Butun, Salaya, Gurun, Seram, Ambwan, Maloko, Timor dan Wwanin (Onin).
Kantor-kantor dagang itu tidaklah diurus secara langsung oleh orang-orang dari Kerajaan Majapahit, namun sesungguhnya mereka hanyalah suatu jaringan perdagangan. Daerah-daerah yang disebutkan di atas mengirimkan hasil buminya secara rutin, apabila terdapat salah satu diantara daerah itu yang memberontak kepada Kerajaan Majapahit, maka Kerajaan Majapahit akan mengirimkan ekspedisi militer untuk menaklukannya.

Sebagai upaya untuk memperkuat jaringan dagangnya, Kerajaan Majapahit menjalin hubungan dengan Cina terutama Dinasti Ming yang berlangsung sejak tahun 1370 sampai dengan akhir abad ke-15. Dalam catatan Sejarah Dinasti Ming menyebutkan setidaknya 43 utusan yang dikirimkan ke Cina. Pada tahun 1381 dikirimkan 300 orang budak hitam, pada tahun selanjutnya dikirmkan 100 budak, delapan mutiara besar dan 75.000 pon lada. Sebaliknya Cina mengekspor beragam keramik, barang-barang porselin, minyak kesturi, kain sutra dan mutiara kaca serta tembaga.
Pada tahun 1410 Dinasti Ming secara resmi memihak Kerajaan Majapahit melawan Kesultanan Malaka yang menuntut kedaulatan atas Palembang. Ketika Cina memulangkan utusan-utusan dari Kalikut, Samudra, Kcin, Aden, Hormuz dan Kamboja, Kaisar Zhengtong juga meminta Kerajaan Majapahit untuk menjaga dengan baik semua utusan itu dan mengurus pemulangan mereka ke negeri masing-masing. Selain hal itu, orang-orang Cina yang berasal dari Kanton, Zhangzhou, dan Quanzhoe juga menetap di pelabuhan-pelabuhan pesisir sebelah timur Pulau Jawa.
Seorang pendeta, Odoric of Pordemone yang berkunjung ke Pulau Jawa pada tahun 1321 menggambarkan betapa luar biasanya kekayaan Kerajaan Majapahit. Tangga istana Kerajaan Majapahit dilapisi oleh emas dan perak, lantainya dari ubin emas dan perak, bagian dalam istana dilapisi emas. Genteng-genteng istananya terbuat dari emas murni. Kekayaan itu diperoleh dari hasil perdagangan rempah-rempah.
Pelabuhan penting lainnya yang cukup penting adalah Bubat. Pelabuhan Bubat terletak di utara kota pada tepi Sungai Brantas, namun masih di daerah pedalaman. Di pelabuhan ini tinggal para pedagang yang berasal dari India, Cina, Vietnam, Thailand, dan daerah-daerah lainnya yang masih berada dalam pengaruh Kerajaan Majapahit. Keberadaan pelabuhan Bubat sangat penting sebagai lalu lintas pelayaran sungai dan komunikasi antar penduduk yang berada di pedalaman dan pesisir. Selain itu, aliran Sungai Brantas juga menjadi pemasok kebutuhan air bagi lahan pertanian yang ada di Jawa Timur.
Peran penguasa lokal dalam perdagangan Kerajaan Majapahit sangat kuat, terutama dalam melakukan kontrol terhadap produk-produk lokal. Para penguasa lokal mendorong agar setiap penduduk meningkatkan hasil produksi, khususnya pada sektor pertanian terutama adalah beras. Di sisi lain, untuk menjamin kelangsungan produksi dan ketenangan penduduk, negara bertanggungjawab untuk menjaga keamanan dalam negeri.
Selain meningkatkan keamanan dalam negeri, negara juga dengan giat melakukan perluasan jaringan pemasaran, mengembangkan jaringan lalu lintas perdagangan antara daerah pedalaman dan peisir, meningkatkan perhatian terhadap masyarakat non-agraris seperti pedagang dan seniman di pusat kota, dan meningkatkan permintaan luar negeri atas rempah-rempah yang berasal dari timur Kepulauan Indonesia. Langkah-langkah tersebut bertujuan untuk meningkatkan permintaan komoditi niaga utama Jawa, yakni beras dalam perdagangan maritim.
Pengelolaan Pelabuhan
Aktivitas perdagangan dipusatkan di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan. Sebagian besar barang-barang impor disalurkan ke dalam negeri melalui sebuah jaringan sirkulasi pasar yang padat. Pasar-pasar ini secara berkala berpindah lokasi di setiap kelompok pedesaan dan diadakan di setiap desa selama tiga atau lima hari. Pasar-pasar di pedesaan dipasok oleh para pedagan profesional yang terorganisir dalam organisasi-organisasi dagang, seperti banigrama dan kebayangan.
Hubungan antara organisasi tersebut sangat dipengaruhi oleh aktivitas pedagang perantara (bakul) yang secara bersamaan menjual barang-barang impor secara eceran kepada anggota komunitas banigrama maupun kebayangan. Barang-barang lokal yang dibeli dari komunitas petani secara borongan kemudian dijual kembali ke pasar lain oleh pedagang perantara. Hal ini terjadi secara terus-menerus, sirkulasi barang dagang di Kerajaan Majapahit dikendalikan oleh pedagang perantara. Meskipun begitu, sistem ini dibatasi oleh aturan kantong-kantong dagang Sima.
Keberadaan kantong-kantong dagang Sima berfungsi untuk mengatur perdagangan dimana pedagang perantara yang merupakan seorang profesional di bidangnya diperbolehkan melakukan perdagangan dalam volume tertentu, sebelum ia dikenakan pajak-pajak tambahan. Pengenaan pajak bertujuan untuk mencegah terbentuknya pasar yang besar, karena dapat mengurangi kompetisi, serta memastikan perdagangan dilakukan secara profesional di seluruh negeri.
Di daerah-daerah pelabuhan, administrasi Kerajaan Majapahit mengandalkan para pengumpul pajak dari saudagar lokal dan asing. Para pegawai administrasi ini tidak menjadi bagian dari administrasi kerajaan. Sehingga dalam perkembangannya, mereka dapat menjadi kelas kaya dan otonom yang terlepas dari pengaruh istana. Keberadaan mereka di kemduian hari-lah yang juga membawa malapetaka bagi Kerajaan Majapahit di akhir abad ke-15.
Pada tahun 1225 Chou Ju Kuan, seorang komisioner perdagangan luar negeri Cina mengatakan bahwa loga telah digunakan di Jawa. Mata uang dengan campuran perak, timah, dan tembaga telah digunakan sebagai alat transaksi. Banyak orang-orang Cina yang membeli lada di Jawa. Emas dan perak memainkan peranan penting dalam perdagangan sebagai komoditas, bukan sebagai alat tukar.
Dalam periode ini berbagai hasil bumi yang berasal dari Jawa maupun dari luar Jawa telah mempengaruhi perkembangan pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Jawa dan kegiatan dagangnya. Negara hanya bertanggungjawab untuk melindungi kegiatan ekonomi pada skala yang lebih tinggi dan juga pada pajak perdagangan.
Pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa merupakan pangkalan bagi para pelaut. Ditempat itulah para pelaut membeli perbekalan, khususnya adalah beras dan air tawar yang digunakan untuk pelayaran menggunakan perahu dalam waktu yang berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan lamanya. Melimpahnya persediaan beras dan kesuburan tanah membuat kedudukan daerah pesisir menjadi sangat penting.
Kemakmuran pelabuhan-pelabuhan itu sangat bergantung pada persediaan beras yang dapat mereka tawarkan. Kaum bangsawan lokal dan pegawai istana yang berwenang mengurusi penyerahan beras para petani di daerah pedalaman merupakan kelompok yang harus dihubungi oleh pedagang dari seberang lautan untuk menyelesaikan urusan-urusan mereka terkait dengan perbekalan dan perdagangan.
Di pelabuhan-pelabuhan pesisir terjadi penimbunan rempah-rempah. barang-barang yang sangat laku dikumpulak di pelabuhan untuk kemudian ditawarkan kepada para pedagang yang berasal dari negeri seberang ketika mereka datang. Kegiatan itu dilakukan oleh pedagang yang menetap di sana. Sehingga dalam hal ini telah terkalin hubungan yang baik antara pedagang asing dengan para pelaut tersebut maupun dengan atasan para pedagang dari negeri asing.
Pada perkembangan selanjutnya antara pedagang dari negeri asing dan para pelaut di pelabuhan membentuk golongan pedagang yang kaya dan sering melakukan perkawinan campur antara keluarga pedagang dengan bangsawan lokal dan pegawai istana dan bahkan anggota keluarga raja.
Sebagai upaya untuk mengontrol kegiatan perdagangan, dalam strukrur birokrasi Kerajaan Majapahit terdapat mandala sarwajala yakni seorang pangloma tertinggi angkatan laut yang bekerja berdasarkan perintah dari seorang Rakryan Tumenggung (Panglima Pasukan Kerajaan) yang umumnya seorang Rakrya Tumenggung adalah pimpinan pengawal istana. Selat Sunda yang menghubungkan antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatra merupakan kawasan laut strategis yang menjadi fokus penguasaan yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit. Pelayaran dan perdangan melalui Selat Sunda dan Laut Jawa berada di bawah pengawasan langsung kerajaan.
Selain menjadi tempat penimbunan komoditas perdagangang dan persediaan kebutuhan pelayaran. pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa juga merupakan tempat kedudukan para pengusaha, pemilik, dan pembuat kapal yang menyediakan kapal-kapal laut untuk perdagangan dengan daerah di seberang lautan. Untuk melakukan itu, diperlukan modal yang sangat besar. Karena itu, perlu adanya kerjasama antara pedagang yang bermodal kuat dari kalangan pedagang untuk menyelenggarakan usaha pelayaran dan perdagangan maritim.
Keterlibatan para bangsawan dan pegawai istana memudahkan bagi nahkoda terutama dalam mendapatkan kepercayaan untuk melakukan tindakan kekerasan apabila diperlukan demi menjami keamanan dan kelangsungan aktivitas itu. Dengan cara itu, nahkoda dapat meminta untuk dibuatkan kapal-kapal yang dibiayai dari masyarakat setempat, dan juga diperlengkapi dengan logistik untuk melawan ancaman (bajak laut) di seberang lautan.
Para pemimpin kapal terdiri dari anggota kelas pedagang. Tidak jaran pula nahkoda kapal sendiri juga adalah pemilik seluruh atau sebagian kapal beserta dengan muatannya. Terkadang yang memimpin pelayaran adalah seorang bangsawan. Sedangkan awak kapal diambil dari abdi yang tidak terikat pada tuan-tuan besar itu. Orang luar, pedagang-pedagang dan orang asing diizinkan untuk berlayar, dengan syarat tertentu oleh nahkoda atau pemilik kapal. Diantara para penumpang kapal iutu serit terdapat orang dari berbagai tempat, dengan bahasa yang juga berbeda-beda, yang mana sebagian dari hidup mereka adalah melakukan perjalanan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain.
Teknologi Perkapalan
Kapal-kapal Majapahit terbuat dari kayu yang sangat tebal dan menggunakan empat tiang layar. Layar dan talinya terbuat dari osier. Ketika bagian-bagian kapal mulai lapuk, mereka memperbaikinya dengan papan-papan baru, di mana papan-papan itu saling menumpuk sampai dengan empat lapis papan. Kapal-kapal Majapahit ini mampu berlayar ke India hingga ke Laut Arab.
Selain untuk berdagang, kapal-kapal itu juga digunakan sebagai pertahanan laut di bawah komando seorang mandala sarwajala yang memiliki otoritas untuk memobilisasi kapal-kapal untuk pertahanan kerajaan. Sehingga dengan begitu dapatlah dikatakan bahwa kekuatan armada laut sangat memiliki peranan yang penting untuk membangun hegemoni kemaritiman Kerajaan Majapahit di sepanjang Laut Jawa.
Daftar Bacaan
- Boechari. 2013. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Damais, L. C. 1955. “Etudes d’Epigraphie Indonesienne: IV. Discussion de la date des inscription” BEFEO, XLVII.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Krom, N. J. 1954. Zaman Hindu. Djakarta: Jajasan Pembangunan.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.
- Slametmuljana. 1979. Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhatara Karya Aksara