Kemaritiman Kerajaan Makassar – Kerajaan Makassar atau dikenal juga dengan Kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan besar di timur Kepulauan Indonesia yang berhasil memanfaatkan aktivitas kemaritiman dan perdagangan internasional. Keberadaan Kerajaan Makassar menjadi penting terutama pelabuhannya sebagai pelabuhan penghubung antara perdagangan barat Kepulauan Indonesia dengan Kepulauan Maluku yang menjadi penghasil rempah-rempah sebagai komoditas yang paling dicari oleh bangsa Barat. Di bawah ini akan diuraikan tentang kemaritiman Kerajaan Makassar.
Bukti Kemaritiman Kerajaan Makassar
Kemaritiman Kerajaan Makassar diawali pada masa pemerintahan Raja Tumaparisi Kalonna (1510-1546) yang memindahkan pusat pemerintahan yang semula berada di Tamalate dipindahkan ke Somba Opu, dekat Sungai Jeneberang. Somba Opu inilah yang kemudian menjelma menjadi bandar Kerajaan Makassar. Bukti kuat perhatian Raja Tumaparisi Kalonna terhadap perdagangan maritim ditandai dengan adanya jabatan syahbandar dalam struktur pemerintahan Kerajaan Makassar yang bertugas untuk mengatur pelayaran dan pajak perdagangan disekitar Somba Opu.
Sebagai upaya untuk mengembangkan perdagangan maritim, Raja Tumparisi Kalonna dengan sungguh-sungguh memusatkan kegiatan perdagangan ke bandar niaga yang baru itu. Hal ini diawali dengan melakukan penaklukan terhadap daerah-daerah sekitarnya antara lain Kerajaan Garassi, Katingan, Parigi, Siang, Suppa, Sidenreng, Lembangan, Bulukumba dan Selayar. Selain itu juga menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Maros dan Polobangkeng serta Kerajaan Bone, Salumeko dan Luwu.
Untuk menghindari persaingan, Kerajaan Makassar menaklukan kerajaan-kerajaan yang menggantungkan kehidupannya melalui aktivitas perdagangan dan mengalihkan aktivitas itu ke bandar Kerajaan Makassar. Pada masa pemerintahan Raja Tunipalangga Ulaweng (1546-1565) Kerajaan Makassar berhasil menaklukan Kerajaan Siang, Bacukiki, Suppa, Sidenreng, Bajeng, Lenkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, Lamatti, Wajo, Duri, Panaikkang, Bulukumba dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya yang berada disekitar wilayah Kerajaan Bone.
Perkembangan Pelabuhan Makassar
Setelah berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan itu, Raja Makassar mengangkut orang dan barang dari negeri-negeri itu ke bandar niaganya. Raja kemudian memaksa mereka yang semula berdagang di Siang, Suppa, Bacukiki, Sidenreng dan wilayah lainnya untuk kemudian berdagang di bandar Makassar.
Pedagang-pedagang yang berasal dari Melayu (Pahang, Pattani, Minang dan Johor) yang sebelumnya membangun koloninya di Siam, dipimpin Anakoda Bonang memohon kepada raja untuk dapat menetap dan berdagang di Makassar. Permohonannya diterima dan diberi izin menetap di Manggalekana, di bawah pengawasan Syahbandar I Mangngambari Karaeng Mangngaweang Daeng ri Mangalekana.
Selain para pedagang dari Melayu, orang-orang Eropa juga mulai menetap dan mendirikan perwakilan dagang di Makassar. Loji Portugis didirikan pada tahun 1159, Belanda tahun 1607, Inggris pada 1613, Spanyol di tahun 1615, Denmark dan Cina tahun 1618. Karena ramainya perdagangan, barang-barang dari negeri sekitar mulai berdatangan ke Pelabuhan Makassar, seperti beras, kayu hitam, dan damar. Para pedagang menetap di sebelah timur Benteng Somba Opu. Para bangsawan dan petani Kerajaan Makassar mengerjakan sawah kerajaan yang bernama karebosi.
Pada masa pemerintahan Raja Tunipalangga, jabatan syahbandar diperinci dengan tugas mengawasi para pedagang yang baru datang dan menjaga agar perdagangan dapat berjalan dengan baik, sehingga diperoleh hasil yang baik pula bagi kerajaan. Syahbandar mempersiapkan dan melayani segala kebutuhan pedagang sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan begitu, dapat dikatakan Raja Tunipalangga berhasil menjadi raja yang meletakkan dasar-dasar perdagangan di Bandar Makassar.
Perkembangan Pelabuhan Makassar ditentukan oleh beberapa faktor;
- Letaknya yang strategis, karena posisinya yang berada dalam rute perdagangan yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di wilayah Kepulauan Indonesia bagian barat dan timur;
- Intervensi bangsa Eropa dalam dunia perdagangan telah memberikan peluang bagi para pedagang untuk melakukan kegiatan perdagangan di Pelabuhan Makassar, hal ini terbukti dengan bermukimnya para pedagang asing disekitar Pelabuhan Makassar. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, telah terjadi perpindahan secara besar-besaran para saudagar Melayu ke timur terutama ke Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Hal ini diikuti oleh keberhasilan VOC menguasai pelabuhan-pelabuhan utara Pulau Jawa. Peluang ini dimanfaatkan oleh Kerajaan Makassar untuk membangun pelabuhannya dan mengembangkan kemaritimannya;
- Peran penduduk di daerah sebagai pedagang dan pelaut yang melakukan pelayaran niaga ke daerah-daerah produksi dan bandar niaga lain berdatangan ke Pelabuhan Makassar;
- Keberhasilan Kerajaan Makassar dalam menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang dapat berpotensi sebagai saingan dalam perdagangan maritim;
- Kemampuan dan kebijakan dari penguasa Kerajaan Makassar dalam memperlakukan para saudagar dari berbagai kelompok agar mereka dapat berdagang di Pelabuhan Makassar, merupakan faktor terpeting yang menjadikan Pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan yang nyaman bagi para saudagar untuk melakukan aktivitasnya.
Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, telah nampak adanya persaingan tidak sehat dari para pedagang Eropa. Hal ini dilakukan dengan cara membujuk raja agar memutuskan hubungan dagang dengan salah satu saingan mereka, atau membujuk agar orang Makassar tidak melakukan perdagangan di Maluku. Namun, Sultan Alauddin dengan tegas menolak semua bujukan itu dan menegaskan prinsip mare liberum (laut bebas) yang menjadi dasar kebijakan terpenting bagi Kerajaan Makassar. Prinsip mare liberum ini adalah prinsip perdagangan bebas yang memperbolehkan seluruh saudagar untuk melakukan kegiatan perdagangan di Pelabuhan Makassar.
Prinsip Mare Liberum Kerajaan Makassar
Seorang biarawan berkebangsaan Sapnyol, Domingo Navaretta dalam perjalanannya dari Manila menuju Cina yang terdampar dan menetap di Makassar pada bulan Oktober 1657 – Juni 1658 mengemukakan bahwa Makassar telah berkembang dengan pesat, sehingga para biarawan menetap di sana sambil menunggu kedatangan kapal-kapal yang berasal dari Manila, Goa, Macau, Inggris dan Belanda. Beragam komoditas juga terdapat di sana. Perdagangan secara berangsur-angsur telah menjadikan negeri itu kaya.
Di Pelabuhan Makassar, tidak seorang pun diwajibkan membayar bea masuk pelabuhan atau jenis paja yang lain. Sementara upeti untuk Sumbane (Karaneg/Raja) dibebankan secara khusus kepada para kapten kapal dan saudagar barang-barang berharga. Semua jenis perdagangan bebas pajak. Hal ini menjadikan Pelabuhan Makassar sebagai pasar dunia yang ada di belahan bumi bagian timur.
Domingo Navarrete juga bertemu dengan Karaeng Patingaloang yang diakuinya sangat menguasai bahasa Spanyol dan Portugis. Patingaloang mengajukan sejumlah pertanyaan tentang Spanyol dan Manila. Karaeng Patingaloang yang merupakan Mangkubumi Makassar itu memperlihatkan beberapa peta dan koleksi buku Eropa yang tersimpan dengan rapi di perpustakaan pribadi ayahnya, Karaeng Matoaya yang sangat luas dan dihiasi dengan sebuah jam dinding yang sangat menawan.
Kecerdasan dan semangat keberagaman yang ditunjukkan oleh Karaeng Patingaloang dalam bergaul dengan sesama bangsa, antarbangsa, dan lintas agama merupakan faktor penting dari kesuksesan Kerajaan Makassar dalam membangun kejayaannya dan terutama dalam meramaikan bandar pelabuhannya. Kepiawaian Karaeng Patingaloang yang dapat menarik simpati dalam bergaul, terutama dengan bangsa asing tidak terlepas dari kemampuan berbahasanya. Dia diberitakan menguasai bahasa asing seperti Latin, Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis dan Arab, selain juga menguasai bahasa Melayu.
Dengan kemampuan berbahasanya itu, Karaeng Patingaloang pernah mengunjungi beberapa negara di Eropa dan kerajaan-kerajaa Arab untuk melakukan tugas diplomatik. Karaeng Patingaloang juga berhasil menjalin persahabatan dengan gubernur Spanyol di Manila, raja muda Portugis di Goa (India), presiden Keling (Koromandel, India), dan Mechante di Mesulipatan (India), raja Inggris, Portugis dan Kastilia (Spanyol) serta mufti di Mekkah. Selain hubungan dengan daerah di India, Arab dan Eropa, Kerajaan Makassar juga menjalin hubungan dengan raja Mataram, Aceh, Banten, dan Maluku.
Karaeng Patingolang berusaha mengikuti inovasi-inovasi teknik Eropa seperti yang dilakukan oleh Karaeng Matowaya. Karaeng Patingolang adalah orang yang sadar betul pentingnya ilmu matematika dan ilmu-ilmu terapan. Tidak banyak orang Eropa yang singgah di Pelabuhan Makassar dapat mengajarnya. Keseriusan Karaeng Patingolang terlihat pada perilakunya yang menghamabat kepergian orang-orang terpelajar dari Eropa.
Hubungan diplomatik itu pula juga membawa Kerajaan Makassar menjadi salah satu kekuatan politik yang patut disegani pada abad ke-17. Kesuksesannya tidak terlepas dari peran Karaeng Patingaloang yang cerdas dan bijaksana, sehingga mampu dengan cerdas dalam mengambil keputusan politik bagi Kerajaan Makassar.
Ketika pelabuhan Makassar berkembang, jalur perdagangan pelaut dan pedagang yang berasal dari Sulawesi Selatan ke berbagai daerah produksi juga mengalami perkembangan. Menurut catatan Tome Pires, kapal-kapal dari Makassar berlayar ke Jawa, Malaka, Kalimantan dan Siam serta semua tempat yang berada di antara Pahang dan Siam.
Dengan kondisi seperti ini, Pelabuhan Makassar telah berkembang menjadi satu rantai perdagangan rempah-rempah Maluku. Pelabuhan Makassar dapat menimbun sejumlah komoditas lain seperti lilin, tempurung penyu, maupun budak serta kayu cendana. Komoditas tersebut kemudian ditukar dengan sutera India. Komoditas emas dikumpulkan dari berbagai tempat untuk kemudian diekspor ke Aceh. Porselin Cina yang berasal dari Macao, Manila, dan Kamboja dikirim ke pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Aceh dan pelabuhan-pelabuhan di Kalimantan
Pengembangan Pelabuhan Makassar juga diiringi dengan kegiatan pelayaran yang terutama terikat dengan tradisi pembuatan kapal. Keterampilan pembuatan kapal itu diperoleh dari orang-orang Melayu, Cina dan Eropa yang hidup di Pelabuhan Makassar.
Karaeng Matoaya adalah raja pertama yang berinovasi dan memerintahkan pembuatan tiang penyangga pada perahu atau yang disebut dengan banawa. Karaeng Matoaya juga yang memelopori dibuatnya kapal kerajaan atau bilu dengan menggunakan paku-paku besi untuk merekatkan bagian-bagian kapal. Pada masa pemerintahan Karaeng Matoaya-lah orang-orang dari Kerajaan Makassar dapat membuat kapal perang yang disebut dengan galle atau galai.
Perhatian dari Karaeng Matoaya terhadap pembuatan kapal di Kerajaan Makassar yang sangat besar telah berhasil pula membuat perahu bercadik yang disebut dengan korakora. Perahu itu dibuat dengan sangat teliti, sehingga seluruh tukang kayu Eropa yang pernah ada di sana membenarkan bahwa tidak ada satupun diantara mereka yang mampu membuat perahu semacam itu. Kemampuan pembuatan kapal galle dan korakora menunjukkan kemampuan Kerajaan Makassar sebagai sebuah kerajaan maritim terkuat yang ada di Kepulauan Indonesia.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.