Kemaritiman Kerajaan Mataram Kuno

Kemaritiman Kerajaan Mataram KunoKerajaan Mataram Kuno adalah kerajaan yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa dan mulai menunjukkan eksistensinya sekitar abad ke-7 berdasarkan prasasti Tuk Mas yang ditemukan di Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang. Namun, di dalam prasasti tersebut tidak disebutkan siapa penguasa dari Kerajaan Mataram Kuno. Penguasa dari Kerajaan Mataram Kuno baru disebutkan dalam Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 di mana Sanjaya adalah sebagai raja dari Kerajaan Mataram Kuno.

Bukti Kemaritiman Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno tumbuh sebagai sebuah kerajaan yang besar dengan mengandalkan penghasilannya pada sektor agraris dan juga maritim. Kerajaan Mataram Kuno tetap eksis di Pulau Jawa hingga awal abad ke-11. Di bawah ini akan dijelaskan tentang kemaritiman Kerajaan Mataram Kuno.

Kerajaan Mataram Kuno terletak diantara rute perdagangan yang menghubungkan antara Kepulauan Maluku dengan Selat Malaka yang mana hal ini menjadikan Kerajaan Mataram Kuno ikut terlibat dalam aktivitas kemaritiman dan perdagangan internasional. Pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Mataram Kuno yang terletak di pantai utara Pulau Jawa sangatlah mendukung untuk melaksanakan aktivitas kemaritiman ini. Pelabuhan-pelabuhan itu menjadi tempat singgah para pedagangang yang hendak menuju Selat Malaka maupun menuju ke Kepulauan Maluku.

Penelaahan mengenai kemaritiman Kerajaan Mataram Kuno, perlu diketahui terlebih dahulu apa saja yang menjadi sumber penghasilan Kerajaan Mataram Kuno berdasarkan pada keterangan-ketarangan di dalam prasasti peninggalannya. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh beberapa prasasti Kerajaan Mataram Kuno, disebutkan bahwa bulan Asuji dan Karttika sebagai bulan penyerahan pajak atau kira-kira sekitar bulan Oktober-November. Pajak yang diberikan oleh rakyat berupa emas dan perak maupun berupa 10% dari hasil panen. 

Selain emas, perak dan hasil panen, di beberapa tempat juga diharuskan memberikan pajak berupa persembahan bunga yang harus diberikan pada bulan Jyestha (Juni) dan bulan Caitra (April). Selain pajak yang dipungut dari rakyat Kerajaan Mataram Kuno, berdasarkan keterangan yang diberikan oleh prasasti Cane, prasasti Patakan, dan prasasti Turun Hyang A juga disebutkan bahwa pajak ditarik dari orang India (kling, aryya, pandikira, drawida), orang Srilanka (singhala), orang Vietnam (campa) dan orang Kamboja (kmir). Berdasarkan keterangan ini menunjukkan bahwa telah terjadi hubungan antara Kerajaan Mataram Kuno dengan negeri-negeri tersebut yang ditunjukkan dengan keberadaan masyarakatnya di wilayah Kerajaan Mataram Kuno. 

Baca Juga  Kerajaan Ternate (1257-1964)

Masih berdasarkan keterangan dari tiga prasasti yang sama yang telah disebut di atas, pajak juga ditarik dari penduduk yang berprofesi sebagai berikut; mapadhi (penabuh gendang), kicaka (penari), terimba, warahan, awayang (dalang atau penari wayang) atapukan (penari topeng), abanol (pelawak), salaran, sena mukha (pemimpin perang) dan hawang (puhawang atau nahkoda kapal dagang). Dengan disebutkan adanya pekerjaan hawang atau nahkoda kapal dagang ini telah menunjukkan Kerajaan Mataram Kuno turut serta dalam aktivitas perdagangan internasional.

Di beberapa desa Kerajaan Mataram Kuno juga terdapat beberapa prasasti yang menyebutkan mengenai aktivitas perekonomian rakyat yang menjual hasil panennya dengan menggunakan beberapa cara yang diantaranya pinikul dagangannya (memikul dagangannya), magulungan (dengan pedati) dan ada juga dengan maparahu (perahu). Meskipun tidak ada keterangan berapa banyak atau berapa besar jumlah barang dagang yang mampu di bawa. Tetapi, dengan menyebutkan penggunaan perahu, menunjukkan bahwa aktivitas kemaritiman ditingkat pedesaan melalui jalur sungai dengan skala kecil telah dilakukan oleh masyarakat Kerajaan Mataram Kuno.

kemaritiman kerajaan mataram kuno
Relief perahu pada dinding Candi Borobur, memberikan petunjuk akan kapal yang digunakan dalam aktivitas kemaritiman Kerajaan Mataram Kuno

Berdasarkan Prasasti Gondosuli II dan Prasasti Kamalagyan menunjukkan adanya peran dari seorang nahkoda kapal dagang dan nahkoda-nahkoda kapal dagang lain yang datang dari kerajaan-kerajaan diluar pulau yang tiba di Pelabuhan Hujung Galuh, Jawa Timur. Beberapa Prasasti yang dikeluarkan oleh raja Airlangga pun juga menunjukkan kedatangan orang-orang asing dari Asia Tenggara dan Asia Selatan yang terdapat diantara para wargga kilalan (mungkin sebutan untuk orang asing (?)). 

Sumber-sumber prasasti tidak menyebutkan barang-barang yang diekspor dari Jawa. Namun, sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa hasil bumi dan hutan Pulau Jawa menjadi sumber ekspor seperti garam yang dihasilkan di Pantai Utara Jawa seperti Kembang dan Tuban. Selain itu, juga terdapat kain katun dan kapuk, sutra tipis, sutra kuning, damas, kain brokat berwarna-warni, kulit penyu, pinang, pisang raja, gula tebu, kemukus, cula badak, mutiara, belerang, gaharu, kayu sepang, kayu cendana, cengkih, pala, merica, damar, kapur barus, tikar pandan, dan gading gajah. Selain itu terdapat barang-barang yang diimpor, antara lain; sutra dan payung sutra dari Cina, pedang dari Timur Tengah dan India, nila, lilin batik, belanga besi berkaki tiga, piring dan mangkuk bervernis, keramik cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan tembaga.

Baca Juga  Kebijakan Mikhail Gorbachev Yang Berdampak Pada Keruntuhan Uni Soviet

Berdasarkan keterangan-keterangan terkait dengan barang ekspor dan impor di atas maka tidaklah mungkin Kerajaan Mataram Kuno sebagai kerajaan yang terisolasi. Kerajaan Mataram Kuno tentu amat terlibat aktif dalam aktivitas kemaritiman dan perdagangan internasional. Keterangan yang diberikan di dalam relief Candi Borobudur menunjukkan berbagai bentuk kapal yang digunakan untuk menunjang aktivitas kemaritiman Kerajaan Mataram Kuno dan kapal-kapal tersebut nampaknya tetap digunakan hingga masa Kerajaan Majapahit.

Daftar Bacaan

  • Boechari. 2013. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • de Casparis, J. G. 1975. Indonesian Paleography. Leiden/Koln: E.J. Brill.
  • Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Wolters, O. W. 1967. Early Indonesian Commerce: A Study of Origins Srivijaya. New York: Cornell University Press.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca