Kemaritiman Kerajaan Sriwijaya – Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang berasal dari Dinasti Syailendra pada abad ke-7. Di dalam perkembangannya Kerajaan Sriwijaya mampu menghegemoni perdagangan yang terjadi di Asia Tenggara. Di bawah ini akan dijelaskan tentang kemaritiman Kerajaan Sriwijaya.
Bukti Kemaritiman Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan yang mampu memanfaatkan potensi perdagangan maritim yang berpusat di Selat Malaka. Selat Malaka adalah kawasan terpenting dalam rute perdagangan India dan Cina. Kerajaan Sriwijaya mampu mengorganisasi pertukaran komoditas dagang di Asia Tenggara baik untuk pasaran di Cina maupun terhadap daerah India dan Laut Tengah. Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di delta Sungai Musi yang menghubungkan kota Palembang (sekarang) dengan daerah pedalamannya. Dengan letaknya ini, raja-raja Kerajaan Sriwijaya sangat memperhatikan letaknya ini dalam membangun perekonomian dan kerajaannya.
Pada paruh kedua abad ke-7 Kerajaan Sriwijaya berhasil membangun dua pusat kegiatan perdagangannya yang terletak di Palembang dan Jambi. Kedua pelabuhan itu pun ramai dengan para pedagang asing yang singgah termasuk juga seorang pendeta agama Buddha yang berasal dari Cina, I-Tsing (I-Ching) yang mengunjungi kedua pelabuhan tersebut dan menetap selama enam bulan di Palembang dan dua bulan di Jambi.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi oleh aktivitas perdagangan maritim bukan hanya sekedar disebabkan oleh kemampuan Kerajaan Sriwijaya mengorganisir kegiatan dagang di kawasan Asia Tenggara, melainkan Kerajaan Sriwijaya berhasil menjadi salah satu pusat pengajaran agama Buddha. Kembali pada keterangan yang diberikan oleh I-Ching, setelah I-Ching mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 ia menuju India dan memperdalam agama Buddha di Nalanda, India selama 14 tahun. Setelah itu, I-Ching kembali menuju Sriwijaya dan tinggal selama empat tahun untuk menerjemahkan teks Buddha dari Bahasa Sanskerta ke dalam Bahasa Cina. Pada tahun 689 I-Ching kembali datang ke Kerajaan Sriwijaya beserta dengan empat orang temannya untuk menyelesaikan tulisannya mengenai agama Buddha hingga tahun 692. I-Ching baru kembali ke Cina pada tahun 695.
Kedatangan I-Ching ke Kerajaan Sriwijaya menunjukkan betapa besarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya bukan hanya pada sektor kemaritiman, melainkan juga Kerajaan Sriwijaya berhasil menjadi salah satu pusat pengajaran agama Buddha di dunia. Banyaknya catatan mengenai Kerajaan Sriwijaya dari sumber-sumber Cina menunjukkan bahwa Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang sangat terbuka bagi kedatangan orang-orang asing dan memiliki hubungan yang cukup baik dengan negeri-negeri sebrang.
Letak Kerajaan Sriwijaya yang strategis mampu mengontrol lalu lintas perdagangan maritim baik yang ada di Selat Malaka maupun di Selat Sunda. Posisi itu membuat para penguasa Kerajaan Sriwijaya dapat dengan mudah menarik pajak perdagangan maritim antara India dan Cina. Berikut ini adalah cara yang ditempuh oleh Kerajaan Sriwijaya dalam membangun pengaruh maritimnya;
- Melakukan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan yang terletak di pesisir Pulau Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu serta Pulau Jawa. Kerajaan Sriwijaya memanfaatkan kemunduran kerajaan kerajaan pesisir awal seperti Funan, Kantoli, Koying yang pernah mendapatkan keuntungan dari aktivitas perdagangan maritim di kawasan barat Kepulauan Indonesia;
- Melakukan kontrol terhadap jalur pelayaran dan perniagaan maritim di kawasan Kepulauan Indonesia dan rute menuju Cina, India dan Laut Tengah. Kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai dua jalur penting yang ada di Asia Tenggara. Pertama adalah jalur yang berada di Tanah Genting Kra yang selama ini dijadikan sebagai rute utama yang menghubungkan antara India dengan Cina. Dengan Penguasaan Tanah Genting Kra, Kerajaan Sriwijaya kemudian memaksa para pedagang untuk melewati Selat Malaka yang telah dikuasainya terlebih dahulu;
- Kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai Selat Sunda yang menjadi penghubung antara Pulau Sumatra dan Pulau Jawa serta daerah-daerah di sekitarnya. Dengan keberhasilan menguasai dua rute perdagangan ini, secara praktis Kerajaan Sriwijaya berhasil mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan melalui kebijakan pajak masuk dan keluar di dua selat itu (Selat Malaka dan Selat Sunda).
- Meningkatkan hubungan perdagangan dan hubungan politik terhadap negeri-negeri taklukannya untuk membangun suatu koordinasi yang kuat di bawah kendali Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya tidak semata-mata memanfaatkan kemampuan militernya dalam membangun jaringan ini. Kerajaan Sriwijaya juga menggunakan hubungan politik, keluarga dan perdagangan maritim untuk memperkuat dan mempertahankan kesatuan wialyahnya.
- Dalam hubungan politik, penguasa daerah atau raja dari wilayah taklukannya tetap menjabat sebagai raja yang sah secara ekonomi dan bersifat otonom. Perkawinan pun juga digunakan sebagai strategi kerajaan Sriwijaya untuk membentuk ikatan kekeluargaan dengan pemerintah pusat.
- Menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik dengan Cina. Hal ini ditunjukkan dengan kedatangan utusan-utusan Kerajaan Sriwijaya ke Cina yang memberikan hadiah kepada kaisar Cina. Hubungan dengan Cina ini juga ditunjukkan dengan kunjungan kembali yang dilakukan oleh Kekaisaran Cina dengan mengutus bikkhu-bikkhunya ke Kerajaan Sriwijaya untuk mempelajari agama Buddha sebelum memperdalamnya di Universitas Nalanda, India;
- Menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik dengan Kerajaan Chola, India. Kerajaan Sriwijaya juga menjalin hubungan yang cukup erat dengan Kerajaan Chola yang ada di India. Hal ini ditunjukkan selain melalui kerjasama perdagangan dan politik juga melalui kerjasama di bidang keagamaan yaitu agama Buddha. Sebelum orang-orang ingin memperdalam ajaran agama Buddha di Nalanda, mereka harus mempelajari terlebih dahulu agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya paling singkat enam bulan. Dengan adanya kerjasama ini, maka berbondong-bondong orang-orang dari seluruh penjuru negeri berdatangan ke Kerajaan Sriwijaya. Hal ini tentu memberikan banyak keuntungan bagi Kerajaan Sriwijaya;
- Kerajaan Sriwijaya berupaya untuk memperkuat kontrol atas wilayah kekuasaannya di laut dengan membangun armada maritim yang kuat dan juga menjalin kerjasama dengan para bajak laut dengan hubungan yang saling menguntungkan.
Daftar Bacaan
- Boechari. 2013. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- de Casparis, J. G. 1975. Indonesian Paleography. Leiden/Koln: E.J. Brill.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.
- Wolters, O. W. 1967. Early Indonesian Commerce: A Study of Origins Srivijaya. New York: Cornell University Press.