Munculnya elit modern Indonesia awal abad ke-20 di Indonesia tidak terlepas dari penerapan kebijakan politik etis yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1901. Tidak dapat diragukan lagi bahwa nasionalisme merupakan hasil yang paling penting daripada pengaruh kekuasaan Barat di negeri-negeri yang dijajah pada zaman modern. Nasionalisme sebagai suatu gejala historis telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial khususnya, yang ditimbulkan oleh situasi kolonial.
Banyak sekali sebab-sebab yang dapat menimbulkan nasionalisme. Hal yang esensial ialah bahwa nasionalisme dan kolonialisme itu tidak terlepas satu sama lain dan terasa juga adanya pengaruh yang timbal-balik antara nasionalisme yang sedang berkembang dan politik kolonial dengan ideologinya. Karena itu hendaknya ada perhatian yang khusus terhadap peristiwa-peristiwa perkembangan nasionalisme, waktu kekuasaan kolonial memaksakan peraturan-peraturan yang keras untuk menindas nasionalisme di satu pihak dan kaum nasionalis melancarkan serangan mereka terhadap pemerintah kolonial di lain pihak.
Siasat untuk menghadapi tuntutan kaum nasionalis dan untuk menjawab agitasi atau oposisi mereka benar-benar merupakan eksperimen-eksperimen yang menjadi objek perhatian yang serius bagi para idealis Kolonial. Akan menjadi jelaslah nanti, bahwa ideologi Kolonial itu sebagian besar hanya merupakan omong kosong Belaka. Elit modern itu sendiri dianggap begitu penting sebagai bagian penting dari suatu kronologi peristiwa sejarah pendidikan di Indonesia. Pada masa sebelum kolonialisasi Belanda hingga pada masa politik etis di Indonesia, terdapat satu kesatuan budaya asli yang masih tradisional yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Kebudayaan asli ini masih dijaga eksistensinya oleh masyarakat Indonesia, seperti pengabdian kepada raja, pemilik tanah hingga pada kelayakan perolehan pendidikan hanya pada golongan bangsawan. Maka muncullah golongan elit tradisional seperti raja, tuan tanah dan bangsawan yang memiliki harkat, martabat dan derajat sangat tinggi di Indonesia dikarenakan kedudukan atau jabatan yang dipegangnya.
Pelbagai ciri dan sistem itu nyatanya telah mengalami lonjakan perubahan yang sangat signifikan pada persepesi dan budaya masyarakat terhadap golongan elit setelah terjadi politik etis di Indonesia. Setelah orang-orang pribumi yang mampu bersekolah dan memiliki prestasi di lapangan, timbul persepsi baru dari masyarakat Indonesia pada saat itu menanggap mereka yang terpelajar sebagai golongan elit modern. Golongan elit yang mampu eksis dan terpandang tanpa ada hubungan kekerabatan dengan kerajaan atau dengan bangsawan. Di bawah ini akan dijelaskan bagaimana munculnya elit modern Indonesia (Hindia-Belanda) yang pada akhirnya telah berhasil membangun ide dan gagasan tentang nasionalisme Indonesia dan mempelopori pergerakan kebangsaan nasional Indonesia.
Pengertian Elite
Istilah elite digunakan pada abad ketujuh belas untuk menyebut barang-barang yang mempunyai keutamaan khusus istilah tersebut kemudian digunakan juga untuk menyebut kelompok-kelompok sosial tinggi, seperti kesatuan-kesatuan militer yang utama atau kalangan bangsawan atas. Istilah elite mulai tersebar melalui teori-teori sosiologi tentang kelompok-kelompok elite, terutama dalam tulisan-tulisan Vilfredo Pareto.
Vilfredo Pareto mendefinisikan elite dalam dua cara yang berbeda. Yaitu dengan yang sangat umum: “marilah kita andaikan, bahwa tiap cabang kegiatan manusia, tiap individu diberikan suatu indeks yang menunjukkan kadar kemampuannya, persis sebagaimana pemberian nilai untuk berbagai mata pelajaran dalam suatu ujian sekolah. Pareto menemukan dua strata penduduk:
Lapisan yang lebih rendah, yang bukan elite, dan mungkin berpengaruh juga dalam pemerintahan.
Lapisan yang lebih tinggi, golongan elite, yang dibagi lagi dalam dua kelompok;
a. elite yang memerintah dan;
b. elite yang tidak memerintah.
Istilah elite sekarang umumnya digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi dalam suatu masyarakat.
Nasionalisme di Hindia-Belanda (Indonesia) merupakan suatu fenomena yang beraneka ragam dan harus dibedakan antara fase-fase pergerakan yang lebih awal dan yang lebih kemudian. Serta antara orang-orang yang terutama menghendaki kemerdekaan dari kekuasaan Belanda dan orang-orang yang menginginkan perubahan-perubahan sosial yang radikal. Keanekaragaman ini kadang-kadang mewujud dalam bentuk perhatian yang pada umumnya bersifat aristokratik, atau sekurangnya elitis terhadap pendidikan dan perbaikan nasib penduduk pada umumnya.
Sejak pertengahan 1920, konsolidasi dari apa yang dinamakan dengan nasionalisme sekuler, yang dapat dibedakan dengan bentuk – bentuk nasionalisme islam atau nasionalisme-komunis mencerminkan suatu perlawanan yang lebih terbatas dan berfokus lebih sempit terhadap kekuasaan Belanda.
Kemunculan elit modern sendiri tidak dapat dipisahkan dari peristiwa politik yang terjadi di Indonesia. Kemunculan kebijakan Politik Etis (1901) merupakan gerbang perubahan dan masa transformasi budaya tradisional dalam hal pandangan hidup kepada modernisasi Barat melalui pendidikan.
Sepanjang periode akhir abad ke-19 kaum sosial demokrat telah berusaha mengeluarkan kritikan tajam terhadap pemerintah Belanda dalam hal eksploitasi kekayaan alam dan manusia di Hindia-Belanda (Indonesia). Telah terjadi keadaan ekonomi dan kemanusiaan yang sangat memprihatinkan di Hindia-Belanda selama masa kolonial terutama yang terjadi sepanjang tahun 1830-1890-an tatkala kebijakan cultuur stelsel hingga sistem politik ekonomi liberal diberlakukan di Hindia-Belanda.
Setelah menuai banyak kritikan dari golongan sosial-demokrat dalam hal kebijakan pemerintah kolonial di Indonesia, maka pemerintah kolonial melonggarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat eksploitasi dalam bentuk Politik Etis. Salah satu kebijakan dalam politik etis adalah penyelenggaraan pendidikan pada rakyat Indonesia. Setelah kebijakan politik etis ini diterapkan banyak rakyat Indonesia bisa mengenyam pendidikan di sekolah umum. Meski awalnya hanya keluarga bangsawan dan orang kaya yang mampu bersekolah, namun lambat laun rakyat biasa dapat bersekolah di sekolah umum.
Snouck Hurgronje sebagai penasehat pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda telah banyak menyumbangkan saran kepada pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan yang bercirikan Barat kepada golongan elit pribumi. Namun hal ini juga dapat dianggap sebagai sebuah pendangkalan akidah Islam. Sebab politik etis merupakan praktik imperialisme gaya baru yang diciptakan oleh Belanda. Khusus pada pendidikan, pemerintah kolonial Belanda sengaja merubah sistem pendidikan agama Islam ala pesantren menjadi sistem pendidikan ala Barat yang lebih “modern”.
Perlu dipahami kembali bahwa tujuan politik etis yaitu;
- Meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi dan;
- Berangsur-angsur menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia-Belanda.
- Hal ini didasari pada tiga prinsip: kekuasaan pemerintah harus dialihkan dari negeri Belanda ke Hindia, dari Batavia ke daerah-daerah, dan dari bangsa Eropa ke penduduk pribumi”.
Dengan ini dapat diartikan telah terjadi perubahan cara kolonialisasi dari cara kuno dengan tanam paksa menjadi neo-kolonialisme yang lebih moderat. Prinsipnya ialah cukup melalui pribumi-pribumi yang tunduk dan dapat bekerja sama pada Belanda, mereka (Belanda) mampu menjajah Hindia-Belanda. Maka untuk memuluskan tujuannya Belanda mendidik dan melatih pribumi-pribumi pilihan (yang bekerja sama dengan Belanda) untuk dididik agar mampu membantu pemerintah kolonial di bawah kendali Belanda. Disamping itu Belanda ingin menjadikan Hindia-Belanda sebagai salah satu negara federasinya.
Perubahan Elit Tradisional Ke Elit Modern: Munculnya Elit Modern Indonesia
Jika menelaah salah satu faktor penyebab yang mempelopori bangsa Eropa untuk sedikit memanusiakan manusia jajahannya, di mana situasi ini dapat merujuk pada teori yang diberikan oleh J. J. Rousseau pada masa Aufklarung tentang pendidikan yang wajib memberikan kebebasan kepada manusia dalam memilih sesuai dengan keinginannya. Sedikit banyak pendapat yang dikemukakan oleh Rousseau itu memiliki pengaruh secara tidak langsung kepada golongan pribumi untuk memperoleh pendidikan dan memperoleh kebebasan.
Kebudayaan modern Barat sendiri telah terbentuk sekitar abad ke-15 sampai dengan abad ke-18. Di mana mereka mulai mengutamakan pendidikan dan rasionalitas pikiran daripada hanya sekedar dogma gereja yang terjadi pada Abad Pertengahan di Eropa. Jelaslah kiranya perkembangan modernisasi di Eropa berdampak secara tidak langsung kepada kehidupan di daerah jajahan seperti Hindia-Belanda. Hal ini bersesuaian jika dikaitkan dengan kernyataan bahwa politik etis memberikan rangsangan yang menimbulkan kesadaran pada angkatan muda Indonesia.
Suasana yang sama juga memberikan rangsangan kepada R.A. Kartini di dalam menghasilkan wanita-wanita muda dan pemuda-pemuda elit Indonesia yang berpendidikan dalam kehidupan masyarakat yang berubah.
Beberapa elit pribumi (tradisional) yang telah mendapat pendidikan dan pengaruh Barat telah secara tidak sengaja memiliki pemikiran Barat. Salah satu contoh sederhana yaitu konsep identitas bangsa dan nasionalisme yang sudah mulai dikaji dan dipelajari. Sementara pada masa tradisional sebelum memperoleh pengaruh Barat, tidak pernah terpikirkan konsep identitas dan nasionalisme oleh para elit tradisional.
Hal yang perlu disadari adalah bahwa kebijakan politik etis telah dilakukan sejak tahun 1901 dan tahun-tahun berikutnya telah berhasil mengirimkan pelajar-pelajar dari Hindia-Belanda ke negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. Mahasiswa asal Hindia-Belanda pada tahun 1908 yang telah berhasil mendirikan perkumpulan sosial di negeri Belanda, dan mereka yang terkumpul dari beberapa suku berbeda masih belum tau kebangsaan mereka.
Jika ditetapkan standar baku dan batasan elit tradisional dalam hal ini yang dijadikan sebagi modelnya adalah struktur sosial Jawa, yakni adalah orang – orang besar (priyayi) yang belum terpengaruh pemikiran Barat, baik mereka yang masih berpegang pada ajaran asli dan mereka yang tergolong Islam santri. Pada umumnya mereka (elit tradisional) berasal dari keluarga raja, bangsawan atau priyayi yang memperoleh status kebangsawanannya dari garis keturunan.
Disamping itu ciri khusus elit tradisional seperti diungkapkan oleh Robert van Niel “dualisme…orang Indonesia…pendidikan (rasionalitas) dan takhyul”. Lebih lanjut Graves menyebutkan…tingkat pengaruh yang dimiliki pihak elit tradisional dalam persaingan memperoleh kekayaan dan prestise didasarkan keturunan itu sendiri. Maka Suryanegara memiliki pendapat sendiri bahwa “perubahan pola pikir masyarakat Islam akan kesadaran teritorial dan identitas telah tergambarkan jauh sebelum pemikiran Barat hadir di Indonesia”. Artinya tidak bisa kita mengatakan bahwa Islam atau sebelum pemikiran Barat datang di Hindia-Belanda bahwa elit tradisional sangat rendah wawasannya.
Kembali pada mengapa dengan mudahnya kaum tradisional menerima segala perubahan yang datang dari Barat. Hal ini sangat unik dan membutuhkan penguraian teori kebudayaan yang membahas tentang perubahan atau transformasi kebudayaan. Perlu dipahami bahwa kemampuan berubah selalu merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa hal tersebut, kebudayaan tidak akan mampu menyesuaikan dengan keadaan yang selalu dinamis.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kalangan elit tradisional menuju pada elit modern yang lebih bersifat Barat disebabkan oleh invention (penemuan) yang terjadi di Eropa dan dibawa melalui akulturasi antara pemerintah kolonial Belanda dengan penduduk pribumi dalam hal ini yang menjadi agen perubahan itu adalah elit tradisional.
Hal yang perlu disadari ialah bahwa tidak selamanya akulturasi berjalan mulus antara pemerintah kolonial dengan rakyat pribumi. Hal ini didasari atas perbedaan yang sangat mendasar, yaitu agama Islam yang sebagian besar dianut orang pribumi Hindia-Belanda, sedangkan Belanda memiliki keyakinan Protestan.
Pada mulanya golongan elit tradisional khususnya Islam santri memiliki keraguan atas pendidikan yang ditawarkan pemerintah kolonial. Jelas penyebabnya adalah pendidikan dengan sistem modern ala Barat yang mengesampingkan agama Islam dalam kurikulumnya. Namun disinilah letak kejelian seorang Snouck Hurgronje yang telah berhasil meyakinkan para raja dan bangsawan Islam agar menyekolahkan anaknya di sekolah umum yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan ciri pendidikan ala Barat.
Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa hanya sedikit saja dari golongan pribumi yang ingin bersekolah di sekolah-sekolah Belanda. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Akira Nagazumi bahwa;
Pada tahun 1902 hanya ada empat dari delapan bupati yang mampu menggunakan bahasa Belanda. Salah satu dari mereka adalah R.M. Koesoemo Oetoyo yang nantinya sebagai tokoh penting dari gerakan Budi Utomo, sebagai komisaris pada 1909 dan sebagai ketua pada 1926.
Akira Nagazumi
Ini artinya belum banyak pribumi Jawa yang ingin dan mampu mengenyam pendidikan dari Belanda pada saat itu. Sebab perlu disadari masih terdapat keragu-raguan dikalangan elit tradisional dan lagi pula pendidikan tersebut sangat mahal bagi kalangan pribumi.
Diantara orang-orang pribumi yang memperoleh pendidikan Barat seperti Koesoemo Oetoyo telah menularkan ide-ide yang luar biasa pada pribumi lain yang tidak tertarik pada pendidikan Belanda. Ide-ide tersebut antara lain memperkenalkan hierarki kolonial Belanda pada kaum elit pribumi dan bagaimana hierarki tersebut bekerja, juga proses dimana mereka (elit pribumi) semakin dalam terlibat. Ide-ide semacam itu semakin merangsang elit pribumi lain untuk bersekolah dan melakukan perubahan-perubahan sosial yang pada akhirnya nanti membentuk Budi Utomo dan Volksraad.
Sebagai tahap awal para elit modern ini biasanya muncul dan berkembang setelah mendapat pendidikan di Eropa. Seperti contoh, Achmad Djajadiningrat seorang anak bangsawan Banten dan keturunan Paku Alam yang banyak melanjutkan studi di Eropa. Namun berikutnya setelah didirikannya sekolah dokter STOVIA pada 1902 di Jawa, maka banyak muncul elit modern yang memiliki pemikiran-pemikiran Barat yang, brilian seperti Radjiman Wedyodiningrat, Soetomo, Tjipto Mangunkusumo, Wahidin Soedirohoesodo dan lainnya.
Perlu dipahami bahwa anak-anak priyayi lulusan sekolah yang bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda, di kemudian hari tumbuh menjadi golongan intelektual yang biasa disebut modern Indonesia. Kelak merekalah yang akan membuka wawasan dan kesadaran masyarakat Hindia-Belanda akan ide-ide nasionalisme, identitas dan hak layak untuk hidup sebagai manusia bebas.
Selain daripada itu pada tahun 1912 juga telah muncul organisasi massa bercorakkan agama yang disebut SI (Sarekat Islam). Mulai besarnya organisasi SI sejak 1916 telah cukup banyak para pemikir Sarekat Islam memberikan kontribusi bagi masyarakat; seperti SI menghendaki natie dan berpemerintahan sendiri bagi rakyat Nusantara.
Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa;
BO, SI, Muhammadyah, IP dan sebagainya berfungsi sebagai lambang identitas baru berdasarkan solidaritas modern (non-primordialis). Ide nasionalisme mentrasenden etnosentrisme, etno nasionalisme, serta segala jenis primordialisme dan komunalisme diganti solidaritas nasional.
Sartono Kartodirdjo
Sedangkan Iskandar Nugraha menambahkan bahwa:
Pengaruh pemikiran Barat telah membuat orang pribumi mencari identitas sosial. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya golongan priyayi Jawa yang kehilangan keyakinan terhadap mobilitas status yang diperoleh berdasarkan keturunan.
Iskandar P. Nugraha
Para elit tradisional mulai memasuki dunia intelektual yang agak terbebas dari tradisi kultural yang penuh dengan sikap hormat berlebihan. Dari mereka inilah lahir golongan yang berusaha mencari alternatif lain dari corak sosial dan sistem status masyarakat. Setelah memperoleh pendidikan Barat elit modern ini memiliki pemikiran faktor mobilitas sosial tidak lagi dipandang berdasarkan garis keturunan.
Mereka beranggapan status sosial yang meningkat karena prestasi dibidang pendidikan, ekonomi dan lainnya lebih berhasil dan terpandang. Ini disebabkan status sosial yang diperoleh murni hasil kerja keras diri sendiri lebih baik ketimbang hanya memperoleh peningkatan status sosial dari garis keturunan bangsawan yang merupakan “pemberian” keluarga. Hal yang serupa juga terjadi di Sumatera Barat pada tahun 1920-an, di mana pendidikan sekuler berbahasa Belanda menjadi syarat penting untuk status elite.
Maka pada perkembangan berikutnya golongan elit modern terpelajar ini mulai merambah dan berkecimpung di berbagai bidang, seperti politik, sosial, budaya dan pendidikan. Tujuan mereka sama, yaitu memperoleh hak-hak layak hidup sebagai manusia yang bebas. Tidak terkecuali kesempatan mengenyam pendidikan bagi rakyat jelata, sampai kepada tuntutan kebebasan yang pada akhirnya berujung pada konsep kemerdekaan yang hakiki.
Dalam hal ini kegiatan awal golongan elit modern dapat ditandai dengan mulai dibentuknya organisasi yang bersifat sosial-budaya seperti Boedi Oetomo pada tahun 1908 atas inisiasi yang dilakukan oleh Wahidin Soedirohoesodo dan para pelajar STOVIA. Mereka memfokuskan perhatian pada kesadaran identitas bangsa, nasionalisme dan persatuan beragam suku yang ada di Indonesia.
Wahidin Soedirohoesodo merekrut para mahasiswa alumni STOVIA untuk bergabung kepada Boedi Oetomo dalam rangka menyatukan visi dan misi yakni kebebasan dan hak layak hidup. Beberapa dari mereka yang bergabung pada Boedi Oetomo antara lain Soetomo, Soewardi Soerjaningat serta bersaudara Tjipto Mangoenkoesoemo dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Dan diantara dari mereka pula akan berkembang organisasi Indische Partij yang bergerak pada bidang politik yang fokus memperjuangkan nasionaslisme sebagai kesadaran nasional seluruh rakyat Hindia.
Berdasarkan deksripsi di atas maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa elit modern merupakan golongan pribumi Indonesia yang pada dasarnya adalah orang-orang yang menerima perubahan kebudayaan serta pemikiran dari Barat. Transformasi budaya tradisional ke arah budaya modern ini merupakan pengaruh atau konsekuensi dari invention dan akulturasi yang dilakukan orang Eropa dengan orang Pribumi.
Salah satu tonggak perubahan budaya pribumi Indonesia adalah dikeluarkannya kebijakan politik etis khususnya bidang pendidikan. Sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan pada rakyat pribumi telah membuka wawasan dan peluang pikiran elit tradisional terpengaruh pemikiran Barat.
Pemikiran Barat disini adalah berupa ide-ide kebebasan, memperoleh hak hidup, nasionalisme dan persatuan daerah Indonesia. Hal ini sesusai dengan pendapat Rousseau yang menjunjung tinggi kebebasan dalam menentukan sesuatu. Selain itu semangat rasionalitas orang Eropa dalam belajar dan berpikir telah mempengaruhi pemikiran para elit modern Indonesia untuk mewujudkan masyarakat sejahtera yang merdeka.
Daftar Bacaan
- Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Pergerakan Nasional dan Akhir Hindia-Belanda Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M. C. 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004. Jakarta: Serambi.
- van Niel, Robert. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya