Kerajaan Banjar terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Nagara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai sekarang. Kerajaan Nagara Dipa masa pemerintahan Putri Jungjung Bulit dan patihnya Lembu Amangkurat, pernah mengadakan hubungan dengan Kerajaan majapahit. Mengingat pengaruh Majapahit telah sampai di daerah Sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito dan sebagainya tercatat di dalam naskah Negarakrtagama. Hubungan tersebut juga dibuktikan di dalam Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin.
Berdirinya Kerajaan Banjar
Diceritakan bahwa Kerajaan Daha setelah pergantian pangeran Sukrama oleh Pangeran Tumenggung timbul perpecahan dengan Raden Samudra cucu Pangeran Sukrama dinobatkan sebagai Raja Banjar oleh Patih Masin, Muhur, Balit dan Kuwin.
Di dalam Hikayat Banjar dijelaskan bahwa kerajaan ini didirikan oleh Pangeran Samudra setelah berhasil menghalau serangan kerajaan Nagaradaha berkat bantuan dari Kerajaan Demak. Pada mulanya Banjarmasin masih membayar pajak pada kerajaan Nagaradhipa, tetapi setelah Nagaradhipa berhasil dikalahkan oleh Pangeran Samudra atas bantuan Kerajaan Demak dengan syarat memeluk Islam, Nagaradhipa lah yang membayar pajak kepada Banjarmasin. Raden Samudra meminta bantuan Kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan dan sejak itulah Samudra menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan Suryanullah.
Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah, Kerajaan Banjar meluaskan pengaruhnya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda daerah takluk biasanya pada waktu-waktu tertentu mengirimkan upeti kepada Suryanullah sebagai penguasa Kerajaan Banjar.
Perkembangan Kerajaan Banjar
Setelah Suryanullah wafat, ia digantikan oleh anaknya Rahmatullah yang juga tetap masih mengirimkan upeti ke Demak meskipun pada saat itu pusat kekuasaan telah berpindah ke Pajang. Setelah Sultan Rahmatullah, yang memerintah adalah Hidayatullah. Pengganti Sultan Hidayatullah adalah Sultan Mustain Billah yang pada masa pemerintahannya berupaya untuk memindahkan ibu kota kerajaan ke Amuntai.
Masa pemerintahan Sultan Mustain Billah pada abad ke-17 ditakuti oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya dan dapat menghimpun lebih kurang 50.000 prajurit. Demikian kuatnya Kerajaan Banjarsehingga dapat membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan mataram, di samping menguasai daerah-daerah kerajaan di Kalimantan Timur, tengah, tenggara dan barat.
Pada tanggal 7 Juni 1607 Banjarmasin kedatangan pedagang Belanda Gillis Michielse-zoon yang diundang masuk ke dalam keraton Kerajaan Banjar untuk pada akhirnya dibunuh dan kapalnya dirampas. Perlakuan Banjar mendapatkan tanggapan yang tidak menyenangkan bagi VOC. Sehingga VOC pada tahun 1612 Banjarmasin hancur diserang oleh Belanda. Akhirnya Sultan Marhum memindahkan ibukota ke Kayu Tangi. Perdamaian baru terjadi pada tahun 1635 meskipun tidak bertahan lama.
Kerajaan Banjar sejak pengaruh Belanda memonopoli di dalam bidang politik dan perdagangan di Kalimantan Selatan secara terus-menerus selalu terjadi perselisihan baik dengan pihak Belanda, maupun dengan intern Kerajaan Banjar sendiri, ditambah masalah pedagang Inggris. Terutama sejak memasuki abad ke-18, yaitu sejak Belanda membuat benteng di Pulau Tatas tahun 1747 bahkan kelak pada abad ke-19, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Adam, dalam hal ini Pulau Tatas diserahkan kepada Belanda, juga daerah Kuwin Selatan, Pulau Burung, Pulau Bakumpal dan sebagainya.
Meskipun keadaan politik Kerajaan Banjar yang kurang stabil itu boleh dicatat bahwa pada abad ke-18 di Kerajaan Banjar ada seorang ulama besar yang bernama Muhammad Arsyad b’Abdullah Al Banjari. Atas biaya Kerajaan, masa Sultan Tahlil Allah pergi belajar ke Haramayn selama beberapa tahun. Sekembalinya ia mengajarkan fikih atau syariah, dengan kitabnya Sabil Al-Muhtadin. Ia juga ahli di bidang tasawuf dengan karyanya Khaz Al-Ma’rifah.
Sejak wafatnya Sultan Adam, pada 1 November 1857, pergantian sultan-sultan dengan campur tangan politik Belanda mulai menimbulkan pertentangan-pertentangan antara keluarga-keluarga raja-raja. Lebih-lebih setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda. Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan antara tahun 1859-1863 yang dipimpin oleh Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman, dan Haji Nasrun. Perlawanan terhadap penjajah Belanda itu sebenarnya terus dilakukan sampai tahun-tahun selanjutnya.
Struktur Birokrasi Kerajaan Banjar
Dari Hikayat Banjar diketahui hal ihwal berdirinya kerajaan Nagaradhipa, yang menurut hikayat tersebut merupakan kerajaan yang pertama di Kalimantan. Nagaradhipa pada mulanya terletak di ujung tanah. Kemudian, Arya Mangkubumi sebagai cikal raja-raja Banjar bukanlah seorang yang berasal dari keturunan raja, melainkan adalah seorang saudagar kaya raya.
Oleh karena itu, ketika Mangkubumi meninggal, penggantinya, Ampu Jatmika, yang merupakan raja pertama Nagaradhipa, menyuruh membuat candi, keraton, balairung, ruang sidang, dan menara. Bahkan karena Ampu Jatmika bukan keturunan raja dan merasa tidak berhak menjadi raja, olehnya diperintahkan membuat dua arca laki-laki dan perempuan, kemudian ditempatkan di candi dan segenap rakyat diwajibkan menyembahnya dan menganggapnya sebagai raja, supaya Ampu Jatmika beserta keturunannya kelak terhindar dari celaka dan marabahaya.
Setelah Ampu Jatmika melengkapi istana, membuat candi dan kedua arca untuk ditempatkan di dalam candi, barulah ia melengkapi aparat kerajaan dengan mengangkat pejabat-pejabat kerajaan. Ia mengangkat Aria Margatsari menjadi patih dengan membawahi beberapa orang menteri. Demikian pula ketika Mandasta dan Lambung Mangkurat, atas pesan ayahnya tidak berhak naik takhta karena bukan keturunan raja.
Jika Ampu Jatmika meninggal harus dicarikan pengganti yang lain dan masih keturunan raja. Lambung Mangkurat berhasil menemukan pengganti raja, yaitu Putri Tanjungbuih. Dengan jasa Lambung Mangkurat pula ia memperoleh jodoh seorang pangeran keturunan Majapahit bernama Raden Putra atau Suryanata. Dari kedua tokoh inilah maka keberlangsungan kerajaan dapat berlanjut, sedang Lambung Mangkurat hanya memangku jabatan Mangkubumi hingga akhir hayatnya.
Data yang diberikan di dalam Hikayat Banjar mengenai lambang raja maupun bangsawan antara lain ada payung, keris (pada kerajaan Kotawaringin keris kerajaan bernama si Mesa Girang), rencak suji, umbul-umbul, dan panji kakenda. Selain itu, terdapat pula lambang kerajaan yang bernilai magis, yaitu mahkota (ketika Mangkubumi merebut takhta kerajaan dari Pangeran Samudra, dan hendak memakai mahkota ternyata tidak dapat masuk ke kepalanya hingga ia urung menggunakan mahkota). Juga terdapat gamelan Si Rasati dan Si Rabut Paradah yang disimpan di Paseban Agung.
Dalam struktur birokrasi antara pusat dan daerah Kerajaan Banjar melakukan pertemuan di seba paling sedikit dilakukan setahun sekali. di dalam Hikayat Banjar, Raja Suryaganggawangsa mengadakan seba setiap hari sabtu. Dengan seba ini raja yang bersangkutan sekaligus dapat mengadakan kontrol terhadap kerajaan dan daerah-daerah yang berada di bawah naungan kekuasaannya. Barang siapa yang tidak hadir dalam seba ini mengundang pertanyaan bagi raja dan hadirin mengenai sebab ketidakhadirannya, dan jika ternyata ketidakhadirannya dalam seba dilakukan sengaja, maka sikap itu dapat ditafsirkan mengarah kepada pemberontakan atau ketidaksetiaan kepada raja yang bersangkutan.
Kondisi Ekonomi Kerajaan Banjar
Daerah Banjarmasin yang terletak di muara sungai memungkinkan kapal-kapal besar berlabuh di sana. Daerah ini dari hari ke hari semakin mengalami kemajuan dan dinasti raja-raja yang memerintah di sana dapat mengembangkan kekuasaannya. Raden Samudra kemudian memindahkan bandar kerajaan dari Muara Bahan ke Banjarmasin. Tindakan ini diambil untuk mengadakan pengawasan langsung terhadap lalu lintas barang perdagangan yang akan menjadi tulang punggung ekonomi negara.
Para pedagang asing di Marabahan sangat puas dengan adanya pemindahan bandar ke Bandjarmasin karena letaknya sangat dekat dengan pesisir. Hingga pertengahan abad ke-16 terdapat lalu lintas perdagangan antara Jawa dan Kalimantan, dan Kerajaan Demak sebagai pemimpin. Di sisi lain, Banjarmasin masih tetap menunjukkan kesetiannya kepada Kerajaan Demak dengan memberikan pajak dan upeti.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka
- M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi