Kerajaan Banten muncul oleh adanya perluasan pengaruh yang hendak dilakukan oleh Kerajaan Demak pada masa pemerintahan Sultan Trenggana. Perluasan pengaruh Kerajaan Demak tersebut berkoalisi dengan Kerajaan Cirebon yang berada di bawah pemerintahan Sunan Gunung Jati. Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Demak kemudian menyusun rencana untuk menaklukan daerah bagian barat Pulau Jawa terutama demi menahan pengaruh monopoli yang hendak dilakukan oleh Portugis yang telah berhasil menguasai Malaka pada 1511. Penyerangan terhadap Banten dilakukan oleh Sunan Gunung Jati bersama putranya yang bernama Maulana Yusuf pada tahun 1525 dan berhasil mengalahkan penguasa lokal Banten pada tahun 1526.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Banten
Memasuki awal abad ke-15 di daerah Teluk Banten telah tumbuh pemukiman-pemukiman muslim di mana sejak permulaan abad itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan penting yang berada di bawah kontrol dari Kerajaan Sunda Pajajaran. Di daerah bagian tengah dan timur Pulau Jawa terutama di pesisir pantai utara Pulau Jawa telah tumbuh dan berkembang kekuatan-kekuatan politik Islam sejak permulaan abad ke-16. Terutama diantaranya adalah Kerajaan Demak dan Kerajaan Cirebon yang telah menjelma menjadi pusat kegiatan politik dan kegiatan penyebaran ajaran agama Islam.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Babad Banten, pada tahun 1525 Sunan Gunung Jati beserta putranya, Maulana Hasanuddin mulai melakukan islamisasi terhadap daerah Banten yang mula-mula dilakukan dengan cara berdakwah. Dakwah penyebaran ajaran agama Islam di Banten kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin yang berhasil mengislamkan 800 orang resi di Banten. Setelah itu, Maulana Hasanuddin juga berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umum di Wahanten Girang (Banten Girang) di tahun yang sama (1525).
Setelah berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umum sebagai penguasa Banten Girang dan atas restu dari Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin memindahkan pusat pemerintahan Banten yang sebelumnya terletak di pedalaman ke dekat Pelabuhan Banten pada 8 Oktober 1526. Perpindahan pusat kekuasaan ini dapat dikatakan hampir sepenuhnya berada di bawah kendali dari Sunan Gunung Jati yang menentukan posisi istana, benteng, pasar dan alun-alun istana yang letaknya di dekat Kuala Sungai Banten di mana istana itu diberi nama dengan Surosowan (Surasowan).
Dipilihnya Surosowan sebagai ibu kota Banten yang baru berdasarkan pada pertimbangan letak geografisnya yang mudah dikembangkan sebagai pusat perdagangan dan juga pemerintahan. Sehingga dengan dibangunnya pusat pemerintahan yang lebih dekat dengan Pelabuhan Banten, maka Maulana Hasanuddin dilantik sebagai penguasa Banten oleh Sunan Gunung Jati pada 8 Oktober 1526. Di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ini Banten tetap berada di bawah pengaruh dan pengawasan dari Kerajaan Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati dan juga Kerajaan Demak yang berada di bawah pimpinan Sultan Trenggana.
Kondisi Politik Dan Struktur Birokrasi
Raja-raja pertama pada masa permulaan kerajaan Islam di Jawa seperti Demak, Cirebon, dan Banten, umumnya waktu penobatan dilakukan oleh para Wali Songo yang diketuai oleh Sunan Ampel. Sunan Gunungjati yang menjadi raja pertama di Cirebon telah mendapat restu dari Dewan Wali Sembilan dan diberi gelar raja-pendeta yang menguasai tatar Sunda. Ketika para wali berkumpul di Demak untuk merencanakan perkawinan Pangeran Hasanudin dengan putri Demak, beberapa saat kemudian Pangeran Hasanudin dinobatkan menjadi raja di Banten.
Raja-Raja Kerajaan Banten
Berikut ini adalah raja-raja yang memerintah di Kerajaan Banten:
Maulana Hasanuddin (1526-1570)
Memasuki tahun 1552 Kerajaan Banten telah berhasil tumbuh dan berkembang maju dengan sangat cepat sehingga Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Demak bersepakat untuk menaikkan status banten yang bermula dari sebuah kadipaten menjadi kerajaan dengan Maulana Hasanuddin sebagai raja Kerajaan Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surasowan.
Sebagai seorang penguasa pertama dari Kerajaan Banten, Maulana Hasanuddin menjalankan dengan baik tugasnya sebagai raja bawahan dari Kerajaan Demak di mana Kerajaan Banten memiliki wilayah yang meliputi Banten dan Jayakarta dengan memiliki dua pelabuhan utama yakni Pelabuhan Banten sendiri dan Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Kerajaan Banten belum dapat menaklukkan Kerajaan Sunda Pajajaran yang terletak di pedalaman. Hal ini disebabkan letaknya yang cukup jauh serta terutama Maulana Hasanuddin masih disibukkan dengan tugasnya sebagai raja bawahan dari Kerajaan Demak dan terkadang harus berpergian Banten-Cirebon, Banten-Demak.
Pada akhir tahun 1552 setelah Sunan Gunung Jati memutuskan untuk menetap di Kerajaan Cirebon, maka secara penuh Maulana Hasanuddin memegang kontrol secara penuh terhadap Kerajaan Banten tanpa harus pulang-pergi Banten-Cirebon. Maulana Hasanuddin kemudian berfokus pada penyebaran ajaran agama Islam. Maulana Hasanuddin kemudian membangun Masjid Agung Banten sebagai pusat penyebaran dan pengajaran agama Islam di Banten, membangun pemukiman bagi masyarakat tionghoa yang disebut dengan Pacinan dan membangun sarana pendidikan berupa pesantren di Sasunyatan.
Pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Kerajaan Banten berhasil meluaskan pengaruhnya dengan meliputi Banten, Jayakarta, Karawang, Lampung dan Bengkulu. Setelah runtuhnya Kerajaan Demak oleh akibat adanya konflik internal sepeninggal Sultan Trenggana, Maulana Hasanuddin mendeklarasikan Kerajaan Banten sebagai kerajaan mandiri yang terlepas dari pengaruh politik manapun. Pada tahun 1570 Maulana Hasanuddin meninggal dan digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf. Maulana Hasanuddin juga dikenal dengan gelar Pangeran Saba Kingking.
Maulana Yusuf (1570-1580)
Maulana Yusuf naik takhta Kerajaan Banten menggantikan ayahnya, Maulana Hasanuddin pada tahun 1570. Di bawah pemerintahan Maulana Yusuf Kerajaan Banten mulai melebarkan pengaruhnya secara politik yang diiringi dengan semakin berkembangnya pengajaran agama Islam. Seluruh wilayah Banten (modern) telah menganut ajaran agama Islam. Hal ini dibantu oleh Adipati Pucuk Umum (sebelumnya bergelar Prabu Pucuk Umum, setelah dikalahkan oleh Maulana Hasanuddin, ia menjadi bawahan Kerajaan Banten tanpa dihapuskan kekuasaanya atas wilayah Banten bagian selatan.) yang menyerahkan seluruh wilayah kekuasaannya kepada Maulana Yusuf.
Pesantren Kasunyatan yang dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin dikembangkan secara intensif oleh Maulana Yusuf. Masjid Agung Banten menjelma bukan hanya sebagai tempat ibadah, melainkan sebagai pusat dakwah dan diskusi bagi para ulama-ulama Banten berkaitan dengan persoalan agama Islam.
Di dalam Babad Banten, Maulana Yusuf berhasil merebut dan menguasai Kerajaan Sunda Pajajaran dan menguasai ibukotanya (Pakuan) pada tahun 1579. Setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Sunda Pajajaran yang terletak di daerah pedalaman, dengan mudahnya pula ajaran agama Islam mulai masuk ke pedalaman Tatar Sunda.
Selain melakukan penaklukan demi memperkokoh posisi politik dan ekonomi Kerajaan Banten Maulana Yusuf juga memperhatikan pembangunan sektor ekonomi, terutama pertanian dengan membuat waduk atau danau buatan yang disebut Tasikardi yang bertujuan untuk mengairi persawahan-persawahan demi dimanfaatkan hasilnya untuk kebutuhan Kerajaan Banten. Pada tahun 1580 Maulana Yusuf meninggal dunia. Maulana Yusuf juga dikenal dengan gelar Panembahan Pekalongan Gede atau Pangeran Pasareyan.
Setelah Maulana Yusuf meninggal pada tahun 1580 terjadi krisis politik yang terjadi di Kerajaan Banten. Di mana Pangeran Arya Jepara yang merupakan adik Maulana Yusuf yang dididik oleh Ratu Kalinyamat datang ke Kerajaan Banten dan meminta dirinya dinobatkan sebagai pengganti Maulana Yusuf sampai pewaris takhta yang sah berusia cukup. Semestinya yang menggantikan Maulana Yusuf adalah putranya, Pangeran Muhammad (Maulana Muhammad) sebagai putra mahkota. Namun, pada saat itu usianya masih 9 tahun sehingga Pangeran Arya Jepara mengusulkan untuk sementara waktu dirinya-lah yang memegang atau duduk di takhta Kerajaan Banten.
Usulan yang diberikan oleh Pangeran Arya Jepara rupanya ditolak oleh para pembesar istana Kerajaan Banten dengan tetap menobatkan Pangeran Muhammad (Maulana Muhammad) sebagai raja di Kerajaan Banten. Untuk jalannya roda pemerintahan sementara waktu akan diwakilkan oleh seorang Mangkubumi sampai putera mahkota dewasa. Dengan adanya keputusan ini, maka menyebabkan Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk menyerang Kerajaan Banten. Pertempuran antara Jepara dan Kerajaan Banten ini pada akhirnya dimenangkan oleh Kerajaan Banten yang memantapkan posisi Maulana Muhammad sebagai penguasa Kerajaan Banten.
Maulana Muhammad (1580-1596)
Maulana Muhammad dilantik sebagai raja Kerajaan Banten sebenarnya sejak 1580, namun karena dirinya belum dewasa, maka pemerintahan untuk sementara dipegang oleh seorang Mangkubumi. Namun, setelah tahun 1585 ketika Maulana Muhammad berusia kira-kira 15 tahun, ia menjadi raja yang memfokuskan dirinya pada penyebaran dan penguatan ajaran agama Islam dengan banyak menghasilkan kitab-kitab pengajaran agama Islam dan pembangunan sarana-sarana peribadatan hingga ke tingkat desa.
Meskipun Maulana Muhammad lebih banyak berfokus pada pengajaran ajaran agama Islam, Maulana Muhammad melakukan ekspedisi terhadap Palembang yang disebabkan oleh bujukan Pangeran Mas (Putra Aria Tangin) yang ingin menjadi raja di Palembang. Namun, di dalam penyerbuan ke Palembang tahun 1596 itu, Maulana Muhammad gugur dalam pertempuran dan meninggalkan pewaris takhta Kerajaan Banten yang baru berusia lima bulan yang bernama Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir.
Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651)
Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir dilantik menjadi raja Kerajaan Banten pada usia lima bulan, setelah ayahnya, Maulana Muhammad gugur dalam penyerbuan ke Palembang. Pelantikannya sebagai raja keempat Kerajaan Banten, menyebabkan Kerajaan Banten kembali diwakilkan oleh Mangkubumi Jayanegara untuk yang kedua kalinya. Meskipun bertindak sebagai wali raja, Mangkubumi Jayanegara menunjukkan kesetiannya terhadap sultan dan Kerajaan Banten di mana sejak Maulana Muhammad dan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir, Kerajaan Banten berada dalam kondisi yang stabil.
Memasuki tahun 1602, kondisi Kerajaan Banten dilanda ketidakstabilan setelah meninggalnya Mangkubumi Jayanegara. Mangkubumi pengganti dirinya, yaitu Ayah tiri sultan tidak dapat mempertahankan stabilitas politik Kerajaan Banten dengan membuka Pelabuhan Banten bagi para pedagang-pedagang asing terutama dari Eropa yang berpotensi membahayakan ekonomi dan eksistensi Kerajaan Banten.
Kondisi itu diperburuk dengan para pangeran di negeri bawahan Kerajaan Banten yang mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakpatuhan. Kemelut memuncak dengan terbunuhnya Mangkubumi oleh para pangeran di negeri bawahan. Terbunuhnya Mangkubumi rupanya tidak meredakan gejolak itu, sehingga menarik minat dari Pangeran Kulon yang dibantu oleh Pangeran Singaraja dan Tubagus Prabangsa merebut takhta Kerajaan Banten.
Aksi pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Kulon berhasil diredam oleh bantuan dari Pangeran Ranumanggala dan Pangeran Jayakarta. Setelah itu, Pangeran Ranumanggala diangkat sebagai Mangkubumi Kerajaan Banten. Pangeran Ranumanggala sendiri adalah putra Maulana Yusuf yang berasal dari selir. Di bawah kendalinya, Kerajaan Banten mulai melakukan penertiban terutama melakukan rekonstruksi kebijakan Mangkubumi sebelumnya yang amat terbuka dan memberikan kebebasan bagi para pedagang asing, terutama VOC untuk beraktifitas di Pelabuhan Banten.
Pangeran Ranumanggala kemudian meningkatkan pajak yang tinggi bagi VOC agar VOC angkat kaki dari Pelabuhan Banten sebab Pangeran Ranumanggala telah mengetahui gelagat VOC yang ingin mencampuri urusan dalam negeri Kerajaan Banten. VOC kemudian berhasil diusir dari Pelabuhan Banten, namun mengalihkan perhatiannya pada Pelabuhan Jayakarta (dulu Sunda Kelapa) yang disambut baik oleh Pangeran Wijayakrama. Sebab VOC menyatakan akan meramaikan Pelabuhan Jayakarta yang kelak akan mampu menyaingi ramainya Pelabuhan Banten.
Mengetahui hubungan antara VOC dengan Pangeran Wijayakrama, Mangkubumi Ranumanggala segera melakukan penghancuran terhadap benteng-benteng orang asing yang ada di wilayah kekuasaan Kerajaan Banten. Benteng-Benteng Inggris berhasil dihancurkan sedangkan VOC tetap bertahan di Jayakarta. Pada tahun 1619 bantuan dari Maluku tiba dan membantu Gubernur Jenderal VOC, J.P. Coen untuk mempertahankan Jayakarta. Memasuki bulan Maret 1619 VOC berhasil mengalahkan tentara Kerajaan Banten dan seketika itu juga berhasil memaksa Kerajaan Banten untuk meninggalkan Jayakarta. Setelah kepergian tentara Kerajaan Banten, VOC merubah nama Jayakarta menjadi Batavia.
Konflik antara Kerajaan Banten dengan VOC setelah itu agak mereda. Hal ini disebabkan oleh adanya peralihan puncak pimpinan Kerajaan Banten dari tangan Mangkubumi Ranumanggala ketangan Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir. Peralihan itu diiringi pula dengan upaya Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Amangkurat I yang ingin menguasai Kerajaan Banten melalui Kerajaan Cirebon. Upaya Kerajaan Mataram yang memanfaatkan Kerajaan Cirebon ini menyebabkan konflik antara Kerajaan Banten dengan Kerajaan Cirebon yang melahirkan Peristiwa Pacerebonan atau yang juga disebut dengan Peristiwa Pagarage.
Di dalam konflik antara Kerajaan Banten dan Kerajaan Cirebon ini berhasil dimenangkan oleh Kerajaan Banten. Namun, peperangan ini telah cukup banyak menyita perhatian Kerajaan Banten dan mengalihkan perhatian mereka terhadap VOC di Batavia. Pada tahun 1651 Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir meninggal dan kekuasaan dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Abul Fath Abdul Fattah, anak dari putra mahkota Kerajaan Banten (Abdul Ma’ali Ahmad) yang telah meninggal terlebih dahulu pada 1650.
Abul Fath Abdul Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa) (1651-1676): Puncak Kejayaan Kerajaan Banten
Abul Fath Abdul Fattah atau yang biasa lebih sering dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa memerintah menggantikan kakeknya pada tahun 1651. Setelah penobatannya menjadi raja, Sultan Ageng Tirtayasa memusatkan perhatiannya untuk kembali mengadakan peperangan terhadap VOC dan pengembangan di bidang politik, ekonomi maupun sosial-budaya.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, perdagangan Kerajaan Banten mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan keberhasilan Sultan Ageng Tirtayasa dalam pengembangan dan pengelolaan Pelabuhan Banten yang berhasil menarik minat para pedagang asing seperti dari Persia, Mekkah, Koromandel, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina. Keberhasilan Sultan Ageng Tirtayasa itu telah mengancam kedudukan VOC yang berpusat di Batavia.
Sejak Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kerajaan Banten, sejak itu pula (1651) Kerajaan Banten melawan VOC yang berkedudukan di Batavia. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian melakukan penyerangan secara gerilya terhadap daerah-daerah yang dikuasai oleh VOC baik melalui jalur laut maupun darat. Tidak jarang pula kapal-kapal perang Kerajaan Banten melakukan sabotase terhadap kapal-kapal dagang VOC. Sehingga, VOC kewalahan menghadapi perlawanan yang dilakukan oleh Kerajaan Banten.
Setidaknya, dapat dikatakan bahwa selama kurang-lebih dua puluh tahun, rakyat Kerajaan Banten mengalami kehidupan yang nyaman dan stabil di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Kondisi internal politik banten mulai mengalami perubahan setelah putra mahkota Sultan Abu Nas’r Abdul Kahar (Sultan Haji) kembali dari Mekkah pada tahun 1676. Sultan Haji yang merupakan putera sulung dari Sultan Ageng Tirtayasa rupa-rupanya lebih memilih untuk berpihak kepada VOC dibandingkan dengan para petinggi Kerajaan Banten termasuk pula kepada Ayahnya sendiri. Sehingga Sultan Haji lebih mudah dipengaruhi oleh VOC yang dicerminkan melalui pola hidupnya yang bergaya Eropa.
Pada tahun 1680 peperangan Kerajaan Banten dengan VOC mulai menunjukkan tanda-tanda kemenangan bagi pihak VOC yang mendapatkan dukungan dari Sultan Haji. Hal ini menyebabkan Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan untuk mundur ke daerah Tirtayasa dan membentuk front pertempuran beserta para pengikutnya yang setia. Sedangkan istan Surosowan telah berada dalam pengaruh VOC dan Sultan Haji. Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC baru berakhir setelah Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap pada 27 Februari 1682. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian dipenjarakan oleh VOC dan meninggal dunia tahun 1692. Dengan ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1682 maka penguasa Kerajaan Banten selanjutnya adalah Sultan Haji yang berkolaborasi dengan VOC.
Abu Nas’r Abdul Kahar (Sultan Haji) (1682-1687)
Di bawah kepemimpinan Sultan Haji, Kerajaan Banten mengalami kemunduran yang sangat drastis. Hal itu ditandai dengan menghilangnya legitimasi sultan atas wilayahnya. Sehingga yang berkuasa sesungguhnya atas wilayah Kerajaan Banten bukan lagi sultan, melainkan VOC. Sultan dan perangkat politiknya tetap dipertahankan dan tetap eksis namun berada di bawah pengawasan ketat dari VOC.
Setelah keberhasilan menggeser kedudukan Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji harus memenuhi persyaratan yang diajukan oleh VOC ketika VOC membantu Sultan Haji. Beberapa persyaratan yang diajukan oleh VOC kepada Sultan Haji antara lain:
Kerajaan Banten harus menyerahkan kendali politiknya atas Kerajaan Cirebon kepada VOC;
Monopoli lada di Pelabuhan Banten sepenuhnya dipegang oleh VOC dan Kerajaan Banten harus mengusir para pedagang yang merupakan saingan dari VOC seperti Persia, Cina dan Gujarat;
Kerajaan Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji;
Pasukan Kerajaan Banten yang telah berhasil menguasai daerah pantai dan pedalaman, terutama daerah Priangan harus segera ditarik dari wilayah tersebut.
Di bawah kepemimpinan Sultan Haji dan seterusnya, Kerajaan Banten dan sultan hanyalah sebagai simbol belaka sampai statusnya dihapuskan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1808.
Raja-Raja Banten Selanjutnya
Selain itu juga terdapat beberapa raja yang memerintah di Kerajaan Banten sampai status Kerajaan Banten dihilangkan oleh Daendels pada tahun 1808:
Sultan Abu al-Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690)
Sultan Abu al-Mahasin Muhammad Zainulabidin (1690-1733)
Sultan Abdullah Muhammad Syifa Zainularifin (1733-1750)
Sultan Syarifuddin Ratu Wakil (1750-1752)
Sultan Abu al-Ma’ali Muhammad Wasi (1752-1753)
Sultan Abu al-Nasr Muhammad Arif Zainulasyiqin (1753-1773)
Sultan Aliyuddin I (1773-1799)
Sultan Muhammad Muhyiddin Zainussalihin (1799-1801)
Sultan Muhammad Ishaq Zainulmutaqqin (1801-1802)
Pangeran Natawijaya (1802-1803)
Sultan Aliyuddin II (1803-1808)
Pangeran Suramenggala (1808-1809)
Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin (1809-1813)
Sistem Politik dan Pemerintahan
Kerajaan Banten dipimpin oleh seorang sultan yang sekaligus sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kekuasaan politik. Di bawah sultan terdapat jabatan seorang Mangkubumi yang bertindak sebagai perdana menteri. Sedangkan terdapat juga kalang ulama yang juga memiliki otoritas yang tinggi sebab mereka termasuk ke dalam kelompok kelas elite di dalam Kerajaan Banten.
Sistem Ekonomi
Kerajaan Banten menempatkan aktivitas perdagangan sebagai aktivitas utama dalam perekonomian. Hal ini disebabkan oleh letak geografis Kerajaan Banten yang berada di daerah pesisir dan strategis yang merupakan daerah perlintasan atau jalur perdagangan internasional yang menghubungkan antara daerah Sumatra dan juga Indonesia Timur. Selain itu, Kerajaan Banten juga berhasil memaksakan hegemoninya terhadap Selat Sunda yang merupakan tempat penting yang saling menghubungkan rute pelayaran baik melalui pantai barat maupun pantai timur Pulau Sumatra.
Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian menjelaskan bahwa masyarakat Kerajaan Banten terdapat peladang, pemburu dan penyadap yang sangat identik dengan kehidupan berladang. Hal ini ditunjang oleh keterangan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa yang melakukan proyek pembangunan pengairan antara tahun 1663-1667 untuk menunjang perekonomian Kerajaan Banten dan pemenuhan kebutuhan melalui sektor agraris.
Komoditas utama Kerajaan Banten terutama adalah lada yang memang menjadi salah satu komoditas penting bagi pasaran di Eropa. Sehingga Pelabuhan Banten selalu dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru negeri. Berdasarkan keterangan itulah maka Kerajaan Banten adalah kerajaan yang bercorak maritim dan juga agraris. Dengan begitu, maka tidaklah mengherankan bahwa Kerajaan Banten berhasil menjadi salah satu kekuatan politik yang paling berpengaruh di Kepulauan Nusantara pada pertengahan abad ke-17.
Kehidupan Sosial-Budaya
Dengan bercorak agama Islam, maka kehidupan sosial-budaya Kerajaan Banten dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Meskipun begitu, penduduk Banten tetap memperhatikan dan menunjukkan sikap toleransi bagi para penganut kepercayaan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan Pelabuhan Banten yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara yang tentu saja merupakan penganut lintas agama dan kepercayaan.
Pembangunan fasilitas pelabuhan, selain keamanan dan juga penginapan tentu saja fasilitas lainnya harus dibangun oleh Kerajaan Banten di pelabuhannya untuk dapat menarik perhatian bagi para pedagang asing yang bukan penganut ajaran agama Islam. Bukti yang dapat terlihat salah satunya adalah dengan pembangunan klenteng di Pelabuhan Banten pada tahun 1673 pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Keruntuhan Kerajaan Banten
Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Banten disebabkan terutama oleh adanya penerapan siasat politik adu domba (devide et impera) yang dilakukan oleh VOC dengan mempertentangkan Sultan Haji dengan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa sebagai penguasa Kerajaan Banten. Sultan Haji dibujuk oleh Belanda untuk menentang Sultan Ageng Tirtayasa agar dapat merebut takhta Kerajaan Banten.
Memasuki tahun 1680 pertentangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji tidak dapat terhindarkan yang membawa instabilitas bagi politik internal Kerajaan Banten. Dengan begitu, secara bertahap Kerajaan Banten mulai mengalami kemunduran dan kemerosotan akibat peperangan antara ayah dan anak ini.
Pada tahun 1682 Sultan Haji berhasil mendapat dukungan dari Inggris yang memberikan persenjataan untuk menghadapi Sultan Ageng Tirtayasa di Surosowan. Sultan Ageng Tirtayasa yang terdesak oleh penyerangan yang dilakukan oleh Sultan Haji dan VOC memutuskan untuk meninggalkan Keraton Surosowan untuk membangun pertahanan di daerah Tirtayasa. Namun, usaha dan perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa harus kandas setelah dirinya berhasil tertangkap pada tahun 1683.
Dengan ditangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa maka keruntuhan Kerajaan Banten sudah diambang pintu dan hanya tinggal menunggu waktu. Kerajaan Banten benar-benar tidak dapat menunjukkan eksistensinya ketika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels menghapuskan status Kerajaan Banten pada tahun 1808.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka
- M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
- Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.