Kerajaan Bone merupakan salah satu Akkarungeng (‘kerajaan’) yang terletak di Pulau Sulawesi bagian barat daya. Kerajaan Bone berdiri sekitar abad ke-14 setelah Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa.
Terbentuknya Persekutuan Tallum Pocco
Semasa Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam, perselisihan dengan kerajaan-kerajaan lainnya sering terjadi antara lain dengan Kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo. Persekutuan tiga kerajaan tersebut dinamakan Tallum Pocco nerupakan masa perdamaian antara ketiga kerajaan itu meski pihak kerajaan Gowa-Tallo tetap berusaha meluaskan kekuasaannya. Menjelang akhir abad ke-16, terjadi lagi peperangan antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan Kerajaan Bone, tetapi Kerajaan Bone belum dapat dikalahkan.
Peperangan ini diakhiri lagi melalui pertemuan di Callepa yang disebut dengan perjanjian Ulung Kanaya ri Callepa. Di samping itu, dibuat lagi suatu persekutuan yang berisi pernyataan bahwa jika ada musuh terhadap Kerajaan Gowa-Tallo adalah juga musuh Kerajaan Bone, dan sebaliknya. Akan tetapi perjanjian itu mulai luntur dan terjadi lagi perang antara lain karena diantara tiga kerajaan; Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo terikat perjanjian Tallum Pocco dan dari ketiga kerajaan itulah perlawanan terhadap Kerajaan Gowa-Tallo.
Berada Di Bawah Pengaruh Kerajaan Gowa
Hal ini terlebih ketika Kerajaan Gowa-Tallo memeluk ajaran Islam. Kerajaan Gowa-Tallo mulai menyerang Bone dan takluklah Kerajaan Bone pada tahun 1611 dan rajanya memeluk ajaran agama Islam yang bergelar Sultan Adam, lalu pada masa pemerintahan Raja Bone XIII, Le Madarmeng terjadi lagi perselisihan antara Kerajaan Bone dengan Kerajaan Gowa-Tallo sehingga Kerajaan Bone mendapat serangan yang berakhir dengan ditangkapnya raja Kerajaan Bone tersebut dan dibawa sebagai tawanan ke Gowa.
Selama Raja Bone XIII berada di Gowa ia menunjukkan ketaatannya terhadap agama Islam sehingga ia dikembalikan ke Kerajaan Bone. Anehnya, ibunya melarikan diri ke Gowa dan menimbulkan ketidaksenangan pihak Kerajaan Gowa-Tallo yang mengakibatkan Kerajaan Bone diserang lagi tahun 1643. Raja Bone dapat ditundukkan dan ditawan ke Gowa, dan untuk sementara Arung Pitu ditempatkan di Bone untuk mencarikan siapa raja yang diangkat untuk Kerajaan Bone.
Namun, ternyata kesepakatan orang-orang Bone agar pengangkatan raja untuk Kerajaan Bone tetap dari Gowa-Tallo. Keputusan orang-orang Bone tidak diterima oleh Gowa dan kembali timbul perselisihan, tetapi akhirnya juga disetujui dengan resmi Raja Gowa memerintah Kerajaan Bone meskipun diwakilkan kepada orang lain.
Struktur Birokrasi Kerajaan Bone
Kerajaan Bone, rajanya bergelar Mangkau’E (yang bertakhta). Di Sulawesi Selatan, dari beberapa catatan hukum adat yang dihimpun secara terus-menerus dari abad ke-16 hingga abad ke-18, yang di Bone disebut Latowa, di Gowa dinamakan Rappang, dan di Wajo disebut Lontara, dapat dilihat sistem pengangkatan raja. Raja diangkat oleh Dewan Pemangku Adat. Setiap pengangkatan raja harus ditentukan oleh hasil pemilihan dari calon-calon oleh 40 orang Dewan Pemangku Adat.
Sebagai seorang pemimpin, raja memiliki sifat-sifat kedewaan atau kemampuan-kemampuan diluar manusia lain, sehingga kedudukan seorang raja tentu lebih tinggi dibandingkan manusia lain. Bone dan wilayah Sulawesi lainnya yang dapat dikatakan hampir tidak tersentuh oleh penetrasi politik-budaya Hindu, dalam hal ini sistem pengangkatan raja atau pemimpin, memiliki cara yang berbeda dengan yang terdapat di Jawa. Adat-istiadat dalam pengangkatan raja atau pemimpin tidaklah sama sekali menggunakan tradisi India, melainkan menggunakan tradisi setempat.
Pada Kerajaan Bone, di dalam menjalankan kekuasaannya raja dibantu oleh sebuah lembaga/badan yang disebut Arung Pitu’E (raja tujuh) yang bertugas memberikan pertimbangan melaksanakan tegaknya hukum dan undang-undang.
Di Bone setelah kerajaan tersebut menganut agama Islam, diadakan sistem seba yang dilakukan dengan semacam pertemuan silaturahmi yang diadakan setahun sekali dan biasanya dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri. Hal ini juga dilakukan oleh kerajaan lainnya di Sulawesi seperti Gowa dan juga Luwu. Di Kerajaan Bone dikenal adanya raja-raja daerah atau federasi bangsawan yang disebut dengan Arung Pitu’E. Dengan keberadaan mereka dianggap perlu menunjukkan tanda loyalitas mereka terhadap raja. Salah satu yang dilakukan adalah dengan melakukan kunjungan ke dalam seba setiap setahun sekali.
Aru Palaka
Masa persatuan Gowa-Bone tidak bertahan lama karena sejak tahun 1677 putra La Madaremeng, yaitu Aru Palaka yang bertahun-tahun menjadi tawanan Kerajaan Gowa-Tallo dalam persitiwa perang Kerajaan Gowa-Tallo di bawah sultan Hasanuddin di bawah VOC hingga berakhirnya peperangan antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan VOC dengan perjanjian Bongaya tahun 1667. Dengan demikian, perjuangan Aru Palaka berhasil di dalam mempersatukan kerajaan-kerajaan Bugis sehingga ia mendapat julukan dari VOC dengan gelar “De Koning der Boeginessen”.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.