Kerajaan Demak 1475-1548

Kerajaan Demak

Kerajaan Demak (Kesultanan Demak) sebagai kerajaan bercorak Islam pertama di Pulau Jawa, mulai menunjukkan eksistensinya sebagai kerajaan mandiri sejak permulaan awal abad ke-16 setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah yang merupakan anak dari Brawijaya V (raja Kerajaan Majapahit terakhir).

Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa, Kerajaan Demak mulai tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan besar yang memiliki pengaruh bagi perkembangan ajaran agama Islam di Pulau Jawa dan juga terhadap hegemoni lalu lintas perdagangan di pantai utara Pulau Jawa. Di dalam artikel ini akan dijelaskan secara singkat tentang Kerajaan Demak.

Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Demak

Sebelum mengetahui awal berdirinya Kerajaan Demak, perlu diketahui terlebih dahulu letak geografis Kerajaan Demak. Letak geografis Kerajaan Demak terletak di pesisir utara Pulau Jawa dengan lingkungan alamnya yang subur, dan semula adalah sebuah kampung yang dalam babad lokal disebut dengan Gelagahwangi. Gelagahwangi inilah tempat yang konon dijadikan pemukiman muslim di bawah pimpinan Raden Patah yang mana dengan kehadirannya di tempat tersebut atas petunjuk seorang wali bernama Sunan Rahmat atau Sunan Ampel.

Raden Patah adalah seorang putra Brawijaya V dan ibunya merupakan seorang putri Champa. Kerajaan Demak yang pada masa pemerintahan Raden Patah merupakan salah satu kerajaan bawahan dari Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Brawijaya V. Ketika Raden Patah masih di dalam kandungan ibunya, ibunya oleh Brawijaya V dititipkan kepada Arya Damar, gubernur di Palembang, dan di tempat itulah Raden Patah lahir. Raden Patah dididik oleh Arya Damar yang telah memeluk ajaran agama Islam, sehingga Raden Patah pun memeluk keyakinan yang dianut oleh Arya Damar.

Setelah mulai beranjak dewasa, Raden Patah diberikan wilayah oleh Brawijaya V untuk diperintah sendiri olehnya di daerah Demak. Di Demak itulah kemudian tumbuh dan berkembang sebagai pusat kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa sejak akhir abad ke-15 M. Kerajaan Demak sendiri mungkin mulai eksis sebagai kerajaan sejak lenyapnya ibukota Kerajaan Majapahit di daerah Trowulan oleh wangsa Girindawardhana dari Kerajaan Kadiri tahun 1474.

Perkembangan Kerajaan Demak

Raden Patah (1475-1518)

Raden Patah adalah pendiri Kerajaan Demak pertama yang berkuasa pada 1474/1475-1518. Raden Patah adalah putra dari Brawijaya V (raja Kerajaan Majapahit terakhir) dari seorang putri Cina. Brawijaya V selain menikahi Ni Endang Sasmitapura, ia juga menikah dengan seorang putri dari Cina dan seorang putri dari Campa. Brawijaya V kemudian menjadikan putri dari Campa yang bernama Dwarawati sebagai permaisurinya. Namun, karena sang permaisuri merasa cemburu kepada putri dari Cina yang bernama Siu Ban Ci. Maka, Brawijaya V menitipkan Siu Ban Ci kepada Arya Damar, sebagai seorang bupati di Palembang.

Raden Patah dididik oleh Arya Damar yang telah memeluk ajaran agama Islam, sehingga Raden Patah pun memeluk keyakinan yang dianut oleh Arya Damar. Raden Patah yang merupakan keturunan Cina juga memiliki nama lain yaitu Jin Bun. Raden Patah dan Raden Kusen yang mulai dewasa menolak untuk mengikuti keinginan Arya Damar sebagai penerusnya untuk menjadi adipati di Palembang. Raden Patah dan Raden Kusen kemudian berangkat menuju Jawa dan mendarat di Surabaya. Di Surabaya keduanya kemudian belajar agama Islam kepada Sunan Ampel.

Membuka Demak Dan Mendirikan Kerajaan

Di Surabaya, Raden Patah diangkat menantu oleh Sunan Ampel, sedangkan Raden Kusen mengabdi kepada Brawijaya V dan diangkat sebagai adipati Terung. Mengetahui Raden Patah menjadi murid dari Sunan Ampel, dan Brawijaya V mengetahui bahwa Raden Patah adalah puteranya, Raden Patah kemudian diberikan wilayah oleh Brawijaya V untuk diperintah sendiri olehnya di daerah Demak. 

Pada tahun 1475 Di Demak, Raden Patah mulai membuka hutan menjadi sebuah pesantren dan mulai mengajarkan ajaran agama Islam kepada penduduk sekitar. Di Demak itulah kemudian tumbuh dan berkembang sebagai pusat kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa sejak akhir abad ke-15 M.  Pada masa awal berdirinya Kerajaan Demak, Kerajaan Demak merupakan kerajaan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Dengan bantuan dari daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa seperti Jepara, Tuban dan Gresik yang telah memeluk agama Islam, Kerajaan Demak mulai tumbuh besar dan mulai menenggelamkan pengaruh Kerajaan Majapahit.

Pada tahun 1479 untuk mendukung penyebaran ajaran agama Islam, Raden Patah membangun istananya di Demak dan mendirikan masjid yang dikenal sekarang dengan Masjid Agung Demak. Pembangunan Masjid Agung Demak ini konon dibantu sepenuhnya oleh walisanga. Raden Patah yang kemudian mendapatkan dukungan dari daerah pesisir utara Pulau Jawa seperti Jepara, Tuban dan Gresik yang telah memeluk agama Islam, Kerajaan Demak mulai tumbuh besar dan mulai menenggelamkan pengaruh Kerajaan Majapahit.

raden patah
Masjid Agung Demak dibangun pada masa pemerintahan Raden Patah

Pengaruh Kerajaan Demak yang semakin membesar menyebabkan Raden Patah memutuskan ikatan dengan Kerajaan Majapahit yang sedang berada dalam kemunduran. Putusnya ikatan dengan Kerajaan Majapahit menyebabkan Kerajaan Demak mulai menjadi kerajaan yang mandiri terlepas dari pengaruh Kerajaan Majapahit. Kuatnya pengaruh Kerajaan Demak selanjutnya berhasil membawa Kerajaan Majapahit ke arah keruntuhannya.

Babad lokal menempatkan keruntuhan Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1478 M, dengan candrasengkala-nya “Sirna Hilang Kertaning Bhumi” (1400 Saka). Mungkin angka tahun ini dapat dikaitkan pula dengan candarasengkala memet yang digambarkan sebagai bulus pada dinding mihrab Masjid Agung Demak yang dapat diartikan tahun 1401 S atau 1479 M. Berdasarkan berita yang diberikan oleh Tome Pires, Demak merupakan kota besar dengan jumlah rumah kurang lebih mencapai 8000-14000 rumah. Setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Majapahit pada 1478, Kerajaan Demak berhasil menjadi kerajaan mandiri pada tahun 1481 yang lepas dari pengaruh Kerajaan Majapahit.

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Tome Pires, Raden Patah melakukan penaklukan terhadap daerah Cirebon yang dianggap masih “kafir” pada tahun 1511. Hal ini dilakukan oleh Raden Patah setelah melihat kesempatan dikuasainya Malaka oleh Portugis pada tahun yang sama. Selain berhasil menaklukan Cirebon, Raden Patah juga melakukan perluasan kekuasaan Kerajaan Demak, memperkuat pertahanan dan penyebaran agama Islam. Keberhasilan terbesar Raden Patah adalah dengan berhasilnya merebut takhta Kerajaan Majapahit pada tahun 1511 yang membuat secara konstitusi, Kerajaan Majapahit telah runtuh.

Setelah berhasil menaklukan Kerajaan Majapahit, Raden Patah segera mempersiapkan diri untuk melakukan penyerangan terhadap Portugis yang ada di Malaka. Raden Patah kemudian memerintahkan kepada putranya, Pati Unus untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Portugis pada 1512-1513. Atas usahanya itu Pati Unus mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor. Namun, upaya itu menemui kegagalan oleh karena Portugis memiliki persenjataan yang lebih lengkap. Raden Patah meninggal pada tahun 1518 dan digantikan oleh Pati Unus sebagai raja Kerajaan Demak.

Pati Unus (1518-1521)

Pati Unus adalah Raja Kerajaan Demak yang kedua di dalam babad adalah Pangeran Sabrang Lor (Pati Unus) dengan masa pemerintahan yang tidak terlalu lama sekitar 1518-1521. Di dalam berita yang diberikan oleh Tome Pires, dikenal seseorang yang bernama Pate Unus/Pati Unus/Adipati Unus (Pate Rodim Sr.) yang mengadakan serangan ke Malaka yang dikuasai oleh Portugis pada tahun 1512-1513 dengan armada lautnya yang diberangkatkan dari Japara (Jepara). Pada saat itu Japara berfungsi sebagai pelabuhan militer Kerajaan Demak. 

Mempersiapkan Penyerangan Terhadap Malaka

Selama masa pemerintahan Raden Patah, pada tahun 1509 Pati Unus sebenarnya sudah mempersiapkan menyerbu Malaka yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Malaka , namun persiapan penyerbuan itu baru selesai pada tahun 1512. Namun,  oleh karena sejak tahun 1511 Malaka telah jatuh ke tangan Portugis, sehingga sasaran Pati Unus adalah terhadap Portugis yang berkuasa atas Malaka. Ekspedisi yang dilakukan oleh Pati Unus menemui kegagalan sebab persenjataan Portugis lebih baik dan juga Portugis mendapatkan bantuan yang diberikan oleh Sultan Abdullah, raja Kerajaan Kampar.

Setelah kegagalan penyerangan terhadap kedudukan Portugis di Malaka, pada tahun 1512 Kerajaan Samudra Pasai berhasil ditaklukan oleh Portugis. Dikuasainya Kerajaan Samudra Pasai oleh Portugis membuat perlawanan Pati Unus terhadap Portugis yang mulai berkuasa di jalur perdagangan Selat Malaka semakin sulit. Meskipun begitu, Pati Unus tidak gentar dan tetap melakukan penyerangan terhadap Portugis. 

Baca Juga  Raja Jayasingawarman (358-382): Pendiri Kerajaan Tarumanegara

Pada tahun 1513 Pati Unus mengirim armadanya untuk menaklukan Malaka. Namun, dalam ekspedisi ini pun kembali mengalami kegagalan. Kegagalan ini disebabkan oleh kurangnya persiapan sebab armada yang dikirimkan oleh Pati Unus jauh lebih kecil dibandingkan dengan ekspedisinya yang pertama kali pada tahun 1511. Setelah kegagalan itu, Pati Unus berencana untuk melakukan pembangunan armada yang jauh lebih besar sebanyak 375 kapal perang di daerah Gowa, Sulawesi.

Pada tahun 1518 Pati Unus menggantikan Raden Patah sebagai penguasa Kerajaan Demak. Berdasarkan catatan Tome Pires, selama masa pemerintahan Pati Unus, Kerajaan Demak memiliki armada laut sebanyak 40 kapal Jung. Pate Rodim Sr (sebutan bagi Pati Unus oleh Tome Pires), adalah seorang yang tegas dalam mengambil keputusan dan seorang ksatria, bangsawan dan teman seperjuangan Pate Zaenal yang berasal dari Gresik. 

pati unus
Fortaleza de Malaca, benteng Portugis di Malaka yang berusaha direbut oleh Pati Unus

Pada masa pemerintahannya, Pati Unus kembali berupaya untuk menguasai Malaka yang telah dikuasai oleh Portugis. Penyerangan itu dilakukan pada tahun 1521 dengan membawa seluruh kekuatan angkatan laut Kerajaan Demak. Armada laut yang besar itu dipimpin langsung oleh Pati Unus dan dibantu oleh Fadelah Khan dengan berkekuatan lebih dari 300 kapal perang. 

Penyerangan kembali yang dilakukan oleh Pati Unus pada tahun 1521 kembali mengalami kegagalan dalam menguasai Malaka. Di dalam penyerangan itu, Pati Unus tewas setelah terluka yang disebabkan oleh peluru meriam yang mengarah kepadanya. Setelah penyerangan terhadap Malaka, tidak lama kemudian Pati Unus meninggal dan kekuasaan Kerajaan Demak diteruskan oleh saudaranya, Sultan Trenggana.

Sultan Trenggana (1521-1546)

Sultan Trenggana adalah Raja ketiga Kerajaan Demak adalah Sultan Trenggana (Pate Rodim Jr.) Sultan Trenggana adalah saudara dari Pati Unus yang sama-sama sebagai putra dari Raden Patah, raja pertama Kerajaan Demak. Setelah Raden Patah meninggal pada tahun 1518, takhta Kerajaan Demak diberikan kepada putera mahkota, yaitu Pati Unus. Namun, Pati Unus yang berambisi untuk menghancurkan dominasi Portugis di Malaka harus tewas dalam sebuah pertempuran yang terjadi di Pasai pada tahun 1521. Tewasnya Pati Unus menyebabkan terjadi perselisihan dalam memperebutkan takhta Kerajaan Demak antara Sultan Trenggana dengan Pangeran Seda Lepen (Raden Kikin).

Polemik Takhta Demak

Sultan Trenggana berupaya untuk merebut takhta Kerajaan Demak yang kemungkinan besar jatuh ke tangan Pangeran Seda Lepen. Sehingga Sultan Trenggana memerintahkan kepada putranya, Sunan Prawoto untuk membunuh Pangeran Seda Lepen. Sultan Trenggana berhasil menjadi raja di Kerajaan Demak setelah Sultan Trenggana menyingkirkan Pangeran Seda Lepen (Raden Kikin).  Putra Pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Penangsang tetap diberikan hak atas daerah Jipang dan menjabat sebagai bupati di Jipang.

Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, Sunan Kalijaga diundang dari Cirebon untuk menetap tinggal di Kadilangu, dekat Demak.  Pada tahun 1524 di tahun ketiga pemerintahannya Sultan Trenggana menghadiri peresmian Masjid Raya di Demak (Masjid Agung Demak) yang dibangun sejak masa pemerintahan Raden Patah. 

Sultan Trenggana memiliki beberapa orang anak, diantaranya adalah Sunan Prawoto, yang menjadi putera mahkota Kerajaan Demak. Selain itu juga ada Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati di Jepara, Ratu Mas Cempaka yang menikah dengan Jaka Tingkir (Kelak menjadi Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang) dan Pangeran TImur yang menjadi bupati di Madiun dengan gelar Rangga Jumena.

Sultan Trenggana memiliki dua orang istri. Istri pertama adalah Nyai Ageng Maloko, putri Arya Damar dari Kerajaan Palembang; sedangkan istri keduanya adalah Kanjeng Ratu Pembayun, putri Sunan Kalijaga. 

Anak Sultan Trenggana dari Nyai Ageng Maloko;

  1. Ratu Pembayun
  2. Sunan Prawoto
  3. Ratu Mas Pemancingan menikah dengan Panembahan Jogorogo ing Pemancingan
  4. Retno Kencana (Ratu Kalinyamat) menikah dengan Pangeran Hadiri (Bupati Kalinyamat/Jepara)
  5. Ratu Mas Ayu menikah dengan Pangeran Orang Ayu, Putra Pangeran Wonokromo.
  6. Ratu Mas Kumambang

Anak Sultan Trenggana dari Kanjeng Ratu Pembayun;

  1. Pangeran Timur (Panembahan Madiun)
  2. Ratu Mas Cempaka menikah dengan Jaka Tingkir

Kemunduran Armada Laut Demak

Berdasarkan catatan yang diberikan oleh Tome Pires, Tome Pires tidak memiliki penilaian lebih terhadap raja ketiga Kerajaan Demak (Sultan Trenggana). Menurut Tome Pires pada tahun 1515, raja ketiga Kerajaan Demak itu (semasa Raden Patah memerintah Kerajaan Demak) terlalu banyak menyibukkan diri dengan kenikmatan kehidupan di dalam keputren. Ia hidup mewah, berfoya-foya dan mengabaikan urusan kenegaraan. Menurut Tome Pires, armada laut Kerajaan Demak yang sempat berkekuatan 40 kapal jung pada masa pemerintahan Pate Rodim Sr. (Pati Unus) menjadi hanya 10 kapal jung pada masa pemerintahan Pate Rodim Jr. (Sultan Trenggana). 

Surutnya armada laut Kerajaan Demak kemungkinan besar disebabkan oleh serangan Pati Unus ke Malaka yang gagal dan telah banyak menghancurkan armada laut Kerajaan Demak, sehingga Sultan Trenggana, sepeninggal Pati Unus hanya diwarisi 10 kapal jung yang tersisa. Apabila memang benar keterangan yang diberikan oleh Tome Pires itu mengenai pemerintahan Pate Rodim Jr. (Sultan Trenggana) yang kurang memerhatikan masalah kenegaraan nampaknya agak kurang tepat. 

Sultan Trenggana memang nampaknya kurang memerhatikan masalah pembangunan angkatan laut Kerajaan Demak (mungkin disebabkan oleh kegagalan besar yang dilakukan Pati Unus ketika menyerang Malaka) sehingga surutnya armada laut Kerajaan Demak. Namun, Sultan Trenggana nampak menunjukkan sifat pemerintahan yang agresif-defensif. Agresif dalam artian aktif melakukan aneksasi (penguasaan) terhadap daerah pelabuhan-pelabuhan pantai utara Pulau Jawa namun di sisi lain upaya itu nampaknya adalah upaya defensif dari kemungkinan serangan yang sewaktu-waktu dapat dilakukan oleh kekuatan politik lain, termasuk Portugis di Malaka.

Upaya Perluasan Wilayah

Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Trenggana. Hal ini dapat diketahui dari upaya-upaya yang dilakukan oleh Sultan Trenggana pada masa pemerintahannya dengan menguasai pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Jawa. Selain itu, pada masa kepemimpinan Sultan Trenggana ini pula pengaruh Kerajaan Demak juga nampak pada daerah-daerah diluar Pulau Jawa seperti Palembang, Banjar, dan Maluku.

kerajaan demak

Kerajaan Demak yang telah berhasil menguasai daerah-daerah pelabuhan di Pantai Utara Jawa nyatanya telah membawa Kerajaan Demak sebagai penguasa tunggal terhadap hegemoni perekonomian di Pantai Utara Jawa dengan pusatnya sendiri di Pelabuhan Demak. Sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan, Pelabuhan Demak ditunjang oleh Pelabuhan Jepara yang dijadikan sebagai pusat dari aktivitas kemiliteran.

Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, Kerajaan Demak menjadi pusat dari penyebaran ajaran agama Islam, terutama dengan pusatnya adalah Masjid Agung Demak sendiri. Peran Kerajaan Demak dalam menyebarkan ajaran agama Islam melalui keberhasilannya dalam menaklukan daerah-daerah pelabuhan penting di Pantai Utara Jawa, termasuk Cirebon, Sunda Kalapa dan Banten. Dengan dikuasainya pelabuhan-pelabuhan itu maka perekonomian Kerajaan Demak bangkit dan mencapai kemajuan yang pesat.

Upaya yang dilakukan Sultan Trenggana dalam melebarkan kekuasaan politik Kerajaan Demak pertama-tama ditujukan pada pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit yang terakhir di Daha dan berhasil menguasainya pada tahun 1526. Upaya ini kemungkinan dilakukan oleh Sultan Trenggana untuk menghindari serangan dari dalam ketika Kerajaan Demak melakukan ekspansinya ke daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan.

Pada masa pemerintahannya, Sultan Trenggana mengirimkan pasukan untuk melakukan ekspansi ke barat yang dipimpin oleh Gadhilah Khan (Fadhillah Khan/Fatahillah (?)) yang berasal dari Pasai untuk menyerang Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) yang dibarengi dengan pasukan gabungan dari Kerajaan Cirebon. Dari arah barat Pelabuhan Kalapa diserang sehingga armada Portugis di bawah Fransisco de Sa dipukul mundur dan Pelabuhan Sunda Kalapa akhirnya dapat direbut dan kemudian Fadhillah Khan mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Jayakarta. 

Setelah ekspedisi Demak berhasil menguasai Sunda Kalapa pada tahun 1527, Di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, Kerajaan Demak juga melakukan perluasan ke Jawa Timur terutama untuk merebut daerah-daerah yang masih bercorak Hindu yaitu Kadiri (1526-1527), Tuban dan Wirasari (1528), Gagelang (1529), Lendangkungan (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Panarukan, Lamongan, Blitar, dan Wirasaba (1541-1542), Gunung Penanggungan (1543), Mamenang Thanu (1544),  dan Sengguruh (1545).

Sultan Trenggana berupaya untuk menggabungkan kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa di bawah kekuasannya. Namun, tidak seluruh wilayah berhasil dikuasai terutama pantai utara Jawa disebelah timur yang masih tetap berada di bawah pengaruh Kerajaan Blambangan.

sultan trenggana
Perluasan wilayah Kerajaan Demak di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana

Berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam Babad Sangkala, Kerajaan Blambangan diserang pada tahun 1546. Menurut keterangan seorang Portugis yang bernama Fernandez Mendez Pinto, Sultan Trenggana memfokuskan penyerangannya terhadap daerah Panarukan dan Situbondo yang menjadi perbatasan di antara dua kerajaan. Sunan Gunung Jati pun turut serta membantu dengan mengerahkan pasukan dari Cirebon, Jayakarta dan Banten yang berjumlah 7.000 tentara. Fernandez Mendez Pinto bersama 40 orang rekannya pada saat penyerangan ini ikut serta dalam pasukan Banten.

Baca Juga  Prabu Darmaraksa Salakabuana (891-895 M)

Di dalam penyerangan ke Panarukan dan Situbondo, berdasarkan keterangan Fernandez Mendez Pinto, ketika Kerajaan Demak telah berhasil mengepung Panarukan selama tiga bulan lamanya, namun pasukan Kerajaan Demak belum berhasil merebut kota itu, terjadi insiden yang menimpa Sultan Trenggana. Pada suatu ketika, seorang putra bupati Surabaya yang masih berusia sepuluh tahun menjadi pelayan Sultan Trenggana. 

Sultan Trenggana yang sedang melakukan musyawarah untuk merancang strategi penyerangan selanjutnya bersama para bupati, memerintahkan sesuatu hal kepada anak tersebut. Namun, karena tidak mendengar perintah dari Sultan Trenggana, Sultan Trenggana menjadi marah dan memukul anak itu. Putra bupati Surabaya yang masih berusia sepuluh tahun itu pun secara spontan membalas Sultan Trenggana dengan menusuk dada Sultan Trenggana dengan menggunakan pisau. Akibat hal itu, Sultan Trenggana tewas dan segera dibawa pulang kembali ke Demak.

Setelah tewasnya Sultan Trenggana di Pasuruan pada 1546, takhta Kerajaan Demak kemudian diserahkan kepada putranya, Sunan Prawoto. Dengan demikian, berakhir pula untuk sementara ekspedisi Kerajaan Demak ke timur Pulau Jawa.

Sunan Prawata (1546-1549)

Sunan Prawata mendapatkan takhta Kerajaan Demak sepeninggal Sultan Trenggana pada tahun 1546. Raden Mukmin/Sunan Prawata/Sunan Prawoto tidak bersikap seperti Sultan Trenggana dalam memerintah Kerajaan Demak. Di mana Sultan Trenggana lebih bersifat ekspansif, sedangkan Sunan Prawata tidak begitu memerhatikan permasalahan yang bersifat politik. Hal inilah yang menyebabkan di bawah pimpinan Sunan Prawata, Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran.

Kemunduran Kerajaan Demak

Sunan Prawata adalah seorang raja yang cenderung lebih memahami urusan keagamaan dibandingkan dengan urusan politik. Sehingga menyebabkan kurangnya kewibawaan Kerajaan Demak terhadap daerah-daerah yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Sultan Trenggana. Beberapa wilayah seperti Banten, Cirebon, Surabaya dan Gresik mulai berkembang bebas dan tanpa ada kontrol yang ketat dari Kerajaan Demak. Hal ini menyebabkan lambat laun wilayah-wilayah daerah Kerajaan Demak mulai melepaskan diri.

Sunan Prawata tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memperluas pengaruh Kerajaan Demak sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sultan Trenggana, meskipun sebenarnya ia berambisi untuk melakukan upaya yang telah dilakukan oleh Sultan Trenggana itu untuk menaklukan Pulau Jawa. Namun, oleh karena kekurangpiawaiannya sebagai seorang raja dan lebih condong sebagai seorang ulama, kemampuan politiknya kurang begitu baik dibandingkan dengan kemampuan agamanya.

sunan prawata

Pada masa pemerintahan Sunan Prawata pusat pemerintahan Kerajaan Demak yang terletak di Bintoro dipindahkan ke bukit Prawoto, Pati. Oleh sebab itulah Raden Mukmin lebih dikenal dengan nama Sunan Prawoto.  Pada masa pemerintahan Sunan Prawata, seorang Portugis yang bernama Manuel Pinto singgah ke Jawa pada tahun 1548 setelah mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas yang berada di Makassar. Manuel Pinto sempat bertemu dengan Sunan Prawata dan mendengar rencana Sunan Prawata untuk mengislamkan seluruh Pulau Jawa, serta ingin berkuasa seperti Sultan Turki. Sunan Prawata juga berencana untuk menutup jalur beras ke Malaka dan berniat untuk menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana Sunan Prawata itu berhasil diurungkan akibat bujukan Manuel Pinto.

Keinginan dari Sunan Prawata untuk melanjutkan sikap yang diambil oleh Sultan Trenggana tidak pernah terlaksana. Sunan Prawata nampak lebih sibuk untuk mengurusi masalah agama dibandingkan mengurus masalah pemerintahan dan bahkan Sunan Prawata pun seolah enggan untuk mempertahankan kekuasaannya sebagai seorang raja. Oleh sebab itulah, beberapa wilayah milik Kerajaan Demak mulai melepaskan diri.

Menghadapi Bupati Jipang Arya Penangsang

Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran oleh karena terjadinya perebutan kekuasaan antara Sunan Prawoto dan Arya Penangsang, Bupati Jipang. Arya Penangsang menganggap dirinyalah yang lebih berhak dan pantas atas kekuasaan di Kerajaan Demak dibandingkan dengan Sunan Prawoto. Konflik antara Arya Penangsang dan Sunan Prawoto menyebabkan terbunuhnya Sunan Prawoto dan juga Pangeran Hadiri, Bupati Kalinyamat.

Upaya Arya Penangsang dengan mengaku bahwa dirinya sebagai pewaris sah dari Kerajaan Demak oleh karena permasalahan yang terjadi antara Sultan Trenggana dengan Pangeran Seda Lepen. Permasalahan itu disebabkan setelah Pati Unus meninggal pada tahun 1521. Oleh sebab Pati Unus tidak memiliki putra, maka takhta Kerajaan Demak diperebutkan oleh Pangeran Seda Lepen dan Pangeran Trenggana (Sultan Trenggana).

Pada saat itu, Pangeran Trenggana berhasil menyingkirkan Pangeran Seda Lepen (Raden Kikin) yang sebenarnya lebih berhak sebagai pewaris takhta sepeninggal Pati Unus. Pangeran Trenggana kemudian memerintahkan Raden Mukmin (Sunan Prawoto) untuk membunuh Pangeran Seda Lepen. Setelah Raden Mukmin berhasil membunuh Pangeran Seda Lepen, maka Pangeran Trenggana-lah yang menjadi raja Kerajaan Demak.

Semasa pemerintahan Sultan Trenggana, anak Pangeran Seda Lepen (Raden Kikin), Arya Penangsang tetap menyimpan dendam kepada Sultan Trenggana yang telah menyingkirkan ayahnya dari hak atas takhta Kerajaan Demak, begitupula pada Sunan Prawoto yang telah membunuh ayahnya. Namun, selama masa pemerintahan Sultan Trenggana, Arya Penangsang tidak pernah melaksanakan keinginannya itu. Namun, setelah Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dan digantikan oleh Sunan Prawoto, Arya Penangsang berusaha menuntut balas kematian ayahnya yang memang dibunuh langsung oleh Sunan Prawoto.

Arya Penangsang sendiri adalah murid dari Sunan Kudus yang juga merupakan punggawa Kerajaan Demak yang paling setia. Atas wejangan yang didapatkan dari Sunan Kudus untuk merebut takhta Kerajaan Demak dari Sunan Prawata sekaligus membalaskan dendam kematian ayahnya, Arya Penangsang pun segera menyusun penyerangan terhadap Kerajaan Demak pada tahun 1548.

Sunan Prawoto pun sebenarnya berkeinginan untuk memperluas wilayah Kerajaan Demak termasuk ke luar wilayah Pulau Jawa yang belum terlakasana pada masa pemerintahan Sultan Trenggana. Sunan Prawoto kemudian mengirimkan sebagian besar tentara Kerajaan Demak menuju ke kawasan timur Kepulauan Indonesia untuk memperluas pengaruh Kerajaan Demak. Dengan perginya sebagian besar tentara Kerajaan Demak ke Indonesia Timur, maka Arya Penangsang mulai melaksanakan tekadnya.

Arya Penangsang segera melakukan penyerangan terhadap daerah Pati yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Demak pada masa pemerintahan Sunan Prawoto. Di dalam penyerangan itu, Demak berhasil dibumihanguskan hanya dengan menyisakan Masjid Agung Demak dan Klenteng yang luput dari pembumihangusan itu. Arya Penangsang pun berhasil membunuh Sunan Prawoto. Setelah membunuh Sunan Prawoto, Arya Penangsang berhasil merebut takhta Kerajaan Demak dan menjadi raja yang sah dari Kerajaan Demak.

Arya Penangsang (1548-1554)

Arya Penangsang menjadi raja Kerajaan Demak hanya bertahan selama enam tahun, sebab adik ipar dari Sunan Prawoto, Jaka Tingkir segera menyusun rencana mengalahkan Arya Penangsang. Jaka Tingkir mendapatkan bantuan dari Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi untuk mengalahkan Arya Penangsang. Atas usahanya itu, Jaka Tingkir yang dibantu oleh Sutawijaya (anak Ki Ageng Pamanahan) dalam pertempuran berhasil mengalahkan Arya Penangsang dan merebut takhta Kerajaan Demak untuk dipindahkan ke Pajang.

Struktur Birokrasi Kerajaan Demak

Kerajaan Demak memegang puncak kepemimpinan di Jawa setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit. Pimpinan pusat ini dengan ibukotanya Bintoro masih terus berlangsung hingga masa pemerintahan sultan Trenggana. Segala tanda kebaktian dari berbagai adipati dan tanda sangaji mengalir ke Kerajaan Demak. Tanda kebaktian ini tidak hanya berupa barang tetapi juga putri cantik, binatang-binatang dan hasil-hasil alam yang sulit untuk didapatkan. Ketika Sultan Trenggana meninggal yang kemudian melanjutkan keberhasilannya tersebut adalah menantunya, Jaka Tingkir, yang diakui orang keramat dari Kudus, sebagai pengganti sultan dengan gelar Prabu Adiwijaya yang memindahkan kekuasaan di Pajang.

Raja-raja pertama pada masa permulaan kerajaan Islam di Jawa seperti Demak, Cirebon, dan Banten, umumnya waktu penobatan dilakukan oleh para Wali Songo yang diketuai oleh Sunan Ampel. Di Kerajaan Demak sendiri, pengangkatan atau penobatan seorang raja dilakukan oleh para wali. Pengangkatan seorang raja oleh para wali sepertinya bukan berarti merupakan hak prerogratif yang dimiliki oleh para wali tanpa mempertimbangkan adat istiadat yang telah berlaku pada masa pra-Islam.

Pengangkatan seorang raja di Demak tetaplah mempertimbangkan hal-hal seperti keterkaitan darah. Meskipun dalam beberapa hal memang ini menjadi persoalan dalam penerus takhta Kerajaan Demak sepeninggal Raden Patah dengan penunjukkan Pati Unus sebagai sultan dan diperkeruh persoalan ini saat pengangkatan Pangeran Trenggono sebagai sultan. Pengangkatan Pangeran Trenggono dilakukan setelah Pangeran Seda Lepen dinyatakan wafat dan takhta Kerajaan Demak diberikan kepada Pangeran Trenggono. Hal ini menimbulkan perselisihan dikemudian hari oleh garis keturunan dari Pangeran Surowiyoto (Raden Kikin), Arya Penangsang.

Transformasi kerajaan-kerajaan di Jawa terutama pada masa Majapahit yang beralih ke Demak yang sudah merupakan kerajaan bercorak Islam merupakan “pemindahan” belaka pusat kerajaan dari keraton Majapahit ke Demak Bintara kemudian beralih ke tangan Jaka Tingkir, kemudian berpindah pula ke tangan Senapati ing Alaga, yang kemudian akan mengambangkan kerajaan Mataram menjadi kerajaan besar.

Baca Juga  Masyarakat Ekonomi Eropa

Siapapun orangnya jika ia diberi wahyu oleh Tuhan berupa pulung keraton atau kekuatan suci, ia akan memimpin Tanah Jawa dan mewarisi pula kerajaan untuk dapat menguasai seluruh Tanah Jawa. Babad Tanah Jawi merupakan suatu kepercayaan umum masyarakat Jawa, setiap raja yang memperoleh “cahaya nurbuat” yang merupakan wahyu Illahi, yang mempunyai kekuatan magis dan mistis akan berhasil menguasai seluruh kerajaan dan menguasai seluruh Tanah Jawa. “Cahaya Nurbuat” ini adalah tidak lain seperti ndaru atau pulung keraton, merupakan kekuatan suci yang mempunyai nilai mistik.

Perlunya perlambang bagi raja yang membawa akibat memiliki kekuatan magis, Babad Tanah Jawi telah memberikan beberapa contoh. Raden Patah yang menjadi adipati Demak ketika itu mewarisi takhta Kerajaan Majapahit dan untuk menolak “bala”, maka sebagai syaratnya ialah “kedaton” tersebut dilungguhi terlebih dahulu oleh Sunan Giri selama 40 hari. Setelah selesai perlungguhan itu barulah kedaton diserahkan kepada Raden Patah kemudian oleh para wali dinobatkan sebagai Sultan Demak.

Babad Tanah Jawi memberikan contoh lain tentang sebuah benda yang akan menjadi perlambang raja-raja di Tanah Jawa;

“Pada suatu hari para wali sedang berzikir di masjid Demak, tiba-tiba di atas jatuh bungkusan yang ternyata setelah diketahui isinya adalah pasujudan dan selendang Rasulullah. Kedua benda tersebut oleh Sunan Kalijaga disebut baju yang kelak disebut Antakusuma yang bergelar Ki Gundil.”

Baju inilah yang menjadi perlambang pakaian resmi raja-raja di Jawa yang mulai dipakai sejak masa Senapati ing Alaga di Mataram. Benda lain yang menjadi perlambang magis yang diceritakan di dalam Babad Tanah Jawi adalah gong.;

“Pada suatu hari Sunan Kudus mendapat perintah dari Raden Patah untuk menyerang Pengging yang dikuasai oleh Ki Ageng Pengging. Sunan Kudus membawa serta Bone Ki Macan Warisan Adipati Terung. Sebaliknya Ki Ageng Pengging telah menyembunyikan benda yang bernama Udan Arum dipukul bertalu-talu sebagai tanda untuk mengumpulkan penduduk Pengging supaya menyerang kembali Sunan Kudus.”

Kerajaan Demak memegang puncak kepemimpinan di Jawa setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit. Pimpinan pusat ini dengan ibukotanya Bintoro masih terus berlangsung hingga masa pemerintahan sultan Trenggana. Segala tanda kebaktian dari berbagai adipati dan tanda sangaji mengalir ke Kerajaan Demak. Tanda kebaktian ini tidak hanya berupa barang tetapi juga putri cantik, binatang-binatang dan hasil-hasil alam yang sulit untuk didapatkan.

Penting dicatat di sini bahwa raja-raja Kerajaan Demak terkenal sebagai pelindung agama sehingga antara raja-raja dengan kaum ulama erat bergadengan. Pendirian Masjid Agung Demak oleh para wali dengan arsiteknya adalah Sunan Kalijaga. Masjid Demak difungsikan sebagai pusat dari kegiatan penyebaran agama Islam termasuk di dalamnya dakwah ajaran agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Gunungjati, dan Syekh Lemah Abang (Syekh Siti Jenar).

Kondisi Ekonomi

Perekonomian Kerajaan Demak dapat dilihat dari wilayah kekuasaannya. Letak Kerajaan Demak yang strategis dengan menguasai pelabuhan-pelabuhan Pantai Utara Pulau Jawa sangat menguntungkan bagi Kerajaan Demak. Pelabuhan-pelabuhan Pantai Utara Pulau Jawa yang memang memegang peranan penting dalam perdagangan sejak awal tarikh Masehi tetap mendatangkan keuntungan yang besar bagi Kerajaan Demak melalui aktivitas jual-beli barang dagang dan pajak yang menggiurkan dari adanya pelabuhan yang mampu memfasilitasi para pedagang untuk singgah.

Kerajaan Demak menjadi daerah penghubung bagi penghasil rempah-rempah yang terletak di Kepulauan Indonesia bagian timur dengan daerah penjual rempah-rempah yang terletak di sebelah barat Kepulauan Indonesia. Letak Kerajaan Demak yang strategis inilah yang menjadikan Kerajaan Demak dapat dengan mudah tumbuh dan berkembang sebagai salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia pada abad ke-16 dengan terutama memanfaatkan aktivitas perdagangan.

Selain memanfaatkan pelabuhannya, Kerajaan Demak sangat bergantung pada aktivitas pertanian yang menjadi mata pencaharian utama masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas ekspor Kerajaan Demak, terutama beras yang dikirimkan ke pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Pulau Jawa. Beberapa barang yang diekspor dari Kerajaan Demak antara lain beras, lilin, garam, kayu jati dan juga madu. Hasil komoditas Kerajaan Demak yang terletak di daerah pedalaman diekspor melalui dua pelabuhan utama yaitu Japara (Jepara) dan Bergota (Semarang).

Sosial, Kebudayaan dan Agama

Kerajaan Demak menjadikan ajaran agama Islam sebagai agama negara dan ini nampaknya juga menjadi agama mayoritas dari masyarakatnya yang telah menganut ajaran agama Islam dari ajaran lama (baik kebudayaan asli maupun ajaran Hindu ataupun Buddha). Meskipun telah menganut ajaran agama Islam, masyarakat Kerajaan Demak masih menjalankan tradisi-tradisi lama yang bersinkretisme dengan ajaran agama Islam.

Kerajaan Demak menjadikan semangat untuk menyebarkan dakwah ajaran agama Islam diiringi dengan ambisi politik untuk menaklukan seluruh Pulau Jawa terutama yang belum memeluk ajaran agama Islam. Kerajaan Demak menjadi pusat awal dari penyebaran ajaran agama Islam dengan bantuan para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Bonang. Para wali itu beberapa diantaranya ada yang menjabat sebagai penasehat raja, senapati maupun sebagai utusan raja. Para raja Kerajaan Demak berupaya membangun hubungan antara para bangsawan maupun dengan rakyat melalui cara pembinaan masyarakat yang dilakukan di masjid maupun dengan pembangunan pondok pesantren.

Kemunduran Kerajaan Demak

Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran oleh karena terjadinya perebutan kekuasaan antara Sunan Prawoto dan Arya Penangsang, Bupati Jipang. Arya Penangsang menganggap dirinyalah yang lebih berhak dan pantas atas kekuasaan di Kerajaan Demak dibandingkan dengan Sunan Prawoto. Konflik antara Arya Penangsang dan Sunan Prawoto menyebabkan terbunuhnya Sunan Prawoto dan juga Pangeran Hadiri, Bupati Kalinyamat.

Upaya Arya Penangsang dengan mengaku bahwa dirinya sebagai pewaris sah dari Kerajaan Demak oleh karena permasalahan yang terjadi antara Sultan Trenggana dengan Pangeran Seda Lepen. Permasalahan itu disebabkan setelah Pati Unus meninggal pada tahun 1521. Oleh sebab Pati Unus tidak memiliki putra, maka takhta Kerajaan Demak diperebutkan oleh Pangeran Seda Lepen dan Pangeran Trenggana (Sultan Trenggana).

Pada saat itu, Pangeran Trenggana berhasil menyingkirkan Pangeran Seda Lepen (Raden Kikin) yang sebenarnya lebih berhak sebagai pewaris takhta sepeninggal Pati Unus. Pangeran Trenggana kemudian memerintahkan Raden Mukmin (Sunan Prawoto) untuk membunuh Pangeran Seda Lepen. Setelah Raden Mukmin berhasil membunuh Pangeran Seda Lepen, maka Pangeran Trenggana-lah yang menjadi raja Kerajaan Demak.

Semasa pemerintahan Sultan Trenggana, anak Pangeran Seda Lepen (Raden Kikin), Arya Penangsang tetap menyimpan dendam kepada Sultan Trenggana yang telah menyingkirkan ayahnya dari hak atas takhta Kerajaan Demak, begitupula pada Sunan Prawoto yang telah membunuh ayahnya. Namun, selama masa pemerintahan Sultan Trenggana, Arya Penangsang tidak pernah melaksanakan keinginannya itu. Namun, setelah Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dan digantikan oleh Sunan Prawoto, Arya Penangsang berusaha menuntut balas kematian ayahnya yang memang dibunuh langsung oleh Sunan Prawoto.

Arya Penangsang segera melakukan penyerangan terhadap daerah Pati yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Demak pada masa pemerintahan Sunan Prawoto. Di dalam penyerangan itu, Arya Penangsang berhasil membunuh Sunan Prawoto. Setelah membunuh Sunan Prawoto, Arya Penangsang menobatkan dirinya sebagai raja Kerajaan Demak.

Arya Penangsang menjadi raja Kerajaan Demak tidaklah lama, sebab adik ipar dari Sunan Prawoto, Jaka Tingkir segera menyusun rencana mengalahkan Arya Penangsang. Jaka Tingikir mendapatkan bantuan dari Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi untuk mengalahkan Arya Penangsang. Atas usahanya itu, Jaka Tingkir yang dibantu oleh Sutawijaya (anak Ki Ageng Pamanahan) dalam pertempuran berhasil mengalahkan Arya Penangsang dan merebut takhta Kerajaan Demak untuk dipindahkan ke Pajang. Dengan dipindahkannya pusat kekuasaan di Pajang maka berakhirlah riwayat dari Kerajaan Demak.

Daftar Bacaan

  • Coedes, George. 1968. The Indianized states of Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka
  • M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
  • Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.
error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca