Kerajaan Gowa-Tallo atau yang biasa juga dikenal dengan Kerajaan Makassar adalah salah satu kekuatan politik bercorak agama Islam yang muncul di selatan Pulau Sulawesi. Kemunculan Kerajaan Gowa-Tallo tidak terlepas dari letaknya yang berada di lintas jalur perdagangan internasional. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat Sejarah Kerajaan Gowa-Tallo.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Gowa-Tallo
Berita awal tentang eksistensi Kerajaan Gowa-Tallo berdasarkan pada sumber-sumber asing, dan terutama berdasarkan catatan yang diberikan oleh Tome Pires yang memberikan deskripsi bahwa di Makassar sudah melakukan hubungan perdagangan dengan Malaka, Kalimantan dan Siam. Akan tetapi, Tome Pires mengatakan bahwa penguasa-penguasa lebih dari 50 negeri di pulau itu masih menganut berhala (belum Islam).
Negeri tersebut kaya akan beras putih dan juga bahan-bahan makanan lainnya, banyak daging dan banyak juga kapur barus hitam. Mereka memasok barang dagangan dari luar, antara lain jenis pakaian dari Cambay, Bengal, dan Keling. Mengingat jaringan perdagangan dari Cina telah lama, barang-barang berupa keramik juga diimpor dan hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya temuan keramik dari masa Dinasti Song dan Dinasti Ming dari daerah Sulawesi Selatan.
Pada awalnya di daerah Gowa telah terdapat sembilan komunitas yang bernama Bate Salapang (sembilan bendera). Sembilan komunitas inilah yang menjadi cikal-bakal berdirinya Kerajaan Gowa. Adapun kesembilan komunitas itu antara lain: Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangje’ne, Samata, Bisei, Sero, dan Kaling. Kesembilan komunitas ini kemudian membentuk persekutuan yang berada dibawah pengawasan Paccalaya (Ketua Dewan Pemisah). Dengan adanya persekutuan inilah maka terbentuklah Kerajaan Gowa.
Sebelum kedatangan Tumanurung di Butta Gowa yakni pada masa Gowa Purba, dapat diketahui bahwa telah terdapat empat Raja yang pernah mengendalikan Gowa diantaranya;
- Batara Guru;
- Saudara Batara Guru yang dibunuh oleh tatali (tidak diketahui nama aslinya);
- Ratu Supu atau Marancai;
- Karaeng Katangka yang nama aslinya juga tidak diketahui.
Saat itu Gowa masih terdiri dari 9 perkampungan kecil yang disebut Kasuwiang. Kesembilan Kasuwiang itu dimaksud adalah : Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Kalling dan Sero. Pada masa itu, rakyat di 9 Kasuwiang dilanda perang saudara antara Gowa di bagian utara dan Gowa di bagian selatan seberang Sungai Je’neberang. Paccallaya sebagai ketua Federasi ke 9 negeri itu tak mampu mengatasi perang saudara tersebut. karena fungsi Paccallaya hanya sebagai lambang dan tak punya pengaruh kuat pada anggota persekutuan yang masing-masing punya hak otonom.
Perkembangan Kerajaan Gowa-Tallo
Perkembangan Kerajaan Gowa-Tallo dapat ditelusuri dari raja-raja yang memerintah di Kerajaan Gowa-Tallo di bawah ini:
Raja-raja Yang Memerintah Kerajaan Gowa
Berikut adalah daftar raja-raja yang memerintah Kerajaan Gowa sebelum bersatu dengan Kerajaan Tallo:
Tumanurung Bainea/Karaeng Sombaya ri Gowa (1320-1345)
Tidak begitu banyak yang diketahui tentang asal-muasal berdirinya Kerajaan Gowa, namun keterangan-keterangan yang diberikan oleh sumber-sumber lokal seperti Lontara Makassar maupun cerita-cerita rakyat dan legenda setidaknya dapat sedikit memberikan keterangan. Meskipun keterangan yang dihasilkan tentu tidaklah sepenuhnya dapat memuaskan berbagai pihak.
Memasuki abad ke-14, sebagaimana kondisi yang dijelaskan oleh Tome Pires dua abad kemudian di abad ke-16 tidak banyak perubahan yang terjadi. Apabila merujuk pada pernyataan yang diberikan oleh Tome Pires, bahwa di Sulawesi telah muncul banyak kerajaan yang masih menyembah berhala. Apabila keterangan Pires di abad ke-16 itu sebagaimana kondisi yang terjadi pada abad ke-14, maka dapat dikatakan Sulawesi masih dipengaruhi oleh kepercayaan lokal dan tentu saja kemungkinan juga mendapat pengaruh dari Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu.
Berdasarkan oleh pemahaman itulah, maka tidaklah mengherankan bahwa asal-muasal berdirinya Kerajaan Gowa dikaitkan dengan hal-hal yang diluar nalar.Tumanurung (Tomanurung) Bainea dianggap sebagai raja pertama dari kerajaan Gowa yang dipercaya kedatangannya turun dari langit. Tumanurung diutus dari langit untuk menjadi pemimpin di Gowa dan mengakhiri perang saudara yang terjadi di Gowa diantara kesembilan komunitas (Bate Salapang).
Perlu diketahui, Tumanurung adalah bukanlah nama aslinya. Namanya tidak diketahui sehingga masyarakat Gowa pada saat itu memberinya nama Tumanurung (Putri yang turun dari Kayangan). Selain itu, tidak pula ditemukan satupun catatan sejarah yang memberikan penjelasan tentang kedatangan Tumanurung di Gowa. Cerita tentang kedatangan seorang putri yang kelak oleh masyarakat Gowa dinamai Tumanurung sangatlah dipengaruhi oleh kepercayaan lokal dan tradisi Hindu yang memang sangat kuat di daerah Sulawesi Selatan hingga memasuki abad ke-15.
Berdasarkan keterangan yang digali dari legenda itu dipercayai bahwa seorang putri turun dari langit (kayangan) diberi nama Tumanurung sedangkan seorang dewa datang dari dalam air yang kelak kemudian diberi nama Karaeng Bayo (Bayo = air). Keduanya lantas menikah dan bertakhta di Gowa untuk mengakhiri perang saudara yang terjadi diantara Bate Salapang.
Untuk menyelesaikan peperangan yang terjadi diantara Bate Salapang dibutuhkan seorang tokoh yang dapat diterima oleh semua pemimpin komunitas (kasuwiyang). Dikisahkan di atas Bukit Tamalate di Taka’bassia akan ada seorang putri Ratu yang turun dari langit. Sehingga Paccalaya dan kesembilan Kasuwiang kemudian segera menuju Bukit Tamalate dan menanti kedatangan tokoh yang akan menyelesaikan pertikaian diantara Bate Salapang. Disaat menunggu kedatangan tokoh yang dimaksud, orang-orang yang saat itu berada di Kampung Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya dari atas langit. Cahaya itu kemudian secara perlahan turun ke bawah hingga sampai di Taka’bassia.
Pacallaya dan para Kasuwiang kemudian duduk dan mengelilingi Takabassia. Ketika cahaya itu turun di Taka’bassia, cahaya itu kemudian menjelma menjadi seorang putri cantik yang memakai mahkota emas bertahtakan berlian, dengan kaling, rantai dan gelang yang terbuat dari emas. Putri Ratu itu kemudian dinamai oleh orang-orang sebagai Tumanurung Bainea.
Pacallaya dan para Kasuwiang kemudian bersepakat untuk mengangkat Tumanurung Bainea sebagai raja di Gowa. Ketika Tumanurung menjadi raja di Gowa dikatakan bahwa kondisi di Gowa yang sebelumnya dilanda peperangan, secara tiba-tiba kemudian berubah menjadi negeri yang dipenuhi dengan kedamaian. Rakyat Gowa kemudian bahu-membahu membangun istana di atas Bukit Tamalate yang diberinama Istana Tamalate.
Sebelum menjalankan pemerintahan sebagai Raja di Gowa, Tumanurung Bainea dan Rakyat Gowa yang diwakili oleh Paccalaya dan Kasuwiang Salapanga melakukan dialog yang berisi sebagai berikut:
Anne Niallenu Karaeng
Karaengmako kau
Atamakkang I Kambe
Makkanamako Kumammio
Niaya punna Massongongkang
Tamalembarakkang
Punna Mallembarakkang Ramassongkang
Artinya ; kami mengangkat engkau menjadi Raja kami, engkau adalah raja dan kami adalah hamba rakyat tuanku. Bertitahlah engkau dan kami akan tunduk dan patuh, kalau kami menjunjung, maka kami tidak memikul, kalau kami tidak memikul maka kami tidak menjunjung. Maksudnya, segala titah raja kami junjung tinggi, akan tetapi jika perintah tuanku tidak adil maka perintah itu tidak kami laksanakan oleh Kasuwiang Salapanga.
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa Kerajaan Gowa didirikan oleh hasil kesepakatan antara Tomanurung (Tumanurung) dan Paccalaya serta Kasuwiyang Salapang (pemegang sembilan bendera) yang mana menghasilkan kesepakatan Tumanurung yang memegang kekuasaan sebagai raja. Pada masa pemerintahannya tidak banyak diketahui sebab keterangan-keterangan yang terkumpul mengenai masa pemerintahannya hanyalah berupa ingatan-ingatan yang diwarisi secara turun-temurun oleh generasi berikutnya. Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari Lontara Makassar, Tumanurung digantikan oleh putranya yang bernama Tomassalangga Barayang (Tamasalangga Baraya).
Nama Tumanurung sendiri muncul di dalam legenda orang-orang Gowa. yang menceritakan bahwa dirinya adalah Raja yang pertama memerintah di Gowa. Tumanurung Bainea yang memiliki arti Putri yang turun dari Kayangan) . Beliau sengaja diutus ke Butta Gowa untuk menjadi pemimpin, dimana saat itu, Gowa dilanda perang saudara. Tumanurung pertama kali memerintah di Gowa pada tahun 1320 hingga 1345.
Tamasalangga Baraya (1320-1370)
Tamasalangga Baraya adalah raja Kerajaan Gowa yang kedua. Ia adalah putra dari Tumanurung Bainea dengan Karaeng Bayo.Penamaan Tamasalangga Baraya didasari pada fisiknya, yakni bahunya tidak rata dengan kondisi yang satu lebih tinggi dibanding sebelahnya; telinganya sebelah agak berbenjol sedangkan yang sebelah lagi telinganya berbentuk lebar; begitupula telapak kakinya sebelah lebih panjang ke depan dan yang satunya panjang kebelakang; sedangkan pusarnya besar layaknya bakul Raja (bakuk Karaeng).
Sama seperti masa pemerintahan Tumanurung, pemerintahan Tamasalangga Baraya juga tidak banyak diperoleh keterangan. Apabila merujuk pada kisah-kisah legenda, Tumanurung Bainea membelah kerajaannya menjadi dua, sebelah diambil oleh dirinya, dan sebelahnya lagi diberikan kepada putranya, Tamasalangga Baraya. Maksud dari membelah kerajaannya, adalah Kerajaan Gowa diberikan kepada Tamasalangga Baraya, sedangkan dirinya berkuasa atas Kerajaan di Negeri Kayangan.
Tamasalangga Baraya diperkirakan menghilang pada tahun 1370, di mana dikisahkan bahwa dirinya pergi menuju ke utara di sebelah bukit yang ada di perkampungan Jongoa. Setelah ia duduk di bukit itu, terdengarlah suara halilintar dan kemudian hujan deras turun di mana hari itu adalah hari yang sangat terik. Seketika itu pula Tamasalangga Baraya menghilang, dan kekuasaan Kerajaan Gowa dilanjutkan oleh putranya yang bernama I Puang Loe Lembang.
I Puang Loe Lembang (1370-1395)
I Puang Loe Lembang naik takhta setelah ayahnya, Tamasalangga Baraya secara tiba-tiba lenyap di bukit perkampungan Jongoa saat hujan turun deras. Tidak banyak yang diketahui tentang dirinya dan masa pemerintahannya. I Puang Loe Lembang digantikan oleh putranya yang bernama I Tuniata Banri.
I Tuniata Banri (1395-1420)
I Tuniata Banri adalah Raja Kerajaan Gowa keempat menggantikan ayahnya, I Puang Loe Lembang. Tidak banyak yang diketahui tentang dirinya dan masa pemerintahannya di Kerajaan Gowa.
Karampang Ri Gowa (1420-1445)
Setelah I Tuniata Banri meninggal, takhta Kerajaan Gowa dilanjutkan oleh Karampang ri Gowa. Tidak banyak yang diketahui tentang dirinya dan masa pemerintahannya di Kerajaan Gowa. Setelah dirinya meninggal, ia digantikan oleh Tunatangka Lopi.
Tunatangka Lopi (1445-1460)
Pada masa pemerintahan Tunatangka Lopi, terjadi perselisihan diantara kedua putranya yang ingin menjadi penerus dirinya sebagai raja Kerajaan Gowa. Oleh karena itu, ia membagi Kerajaan Gowa menjadi dua yang masing-masing diperintah oleh kedua putranya; Batara Gowa memimpin Kerajaan Gowa sedangkan Karaeng Loe ri Se’ro mendirikan kerajaan baru yang disebut dengan Kerajaan Tallo.Sejak saat itu, terjadi pertempuran dan persaingan antara dua kerajaan kembar, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo untuk saling menguasai antara satu dengan yang lain.
Batara Gowa Tuniawangngang Ri Paralakkenna (1460-1510)
Batara Gowa melanjutkan kekuasaan sebagai raja Gowa sepeninggal Tunatangka Lopi dengan wilayah yang meliputi, Paccelekang, Pattalasang, Bontomanai ilau, Bontomanai ‘iraya, Tombolo dan Mangasa. Sedangkan Karaeng Loe ri Se’ro yang mendirikan Kerajaan Tallo memiliki wilayah yang meliputi, Saumata, Pannampu, Moncong Loe, dan Parang. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Gowa terlibat pertempuran dan persaingan dengan kerajaan kembarnya, yaitu Kerajaan Tallo.
I PakereO Tau Tunijallo Ri Passukki (1510-1511)
I PakareO Tau Tunijallo Ri Passukki (I Pakere’ Tau) adalah raja Gowa kedelapan. Hal yang diketahui pada masa pemerintahannya adalah bahwa dirinya sering bertindak sewenang-wenang oleh karena ia terkenal akan keberaniannya dan dikenal kebal senjata. Atas tindakannya ini dikisahkan rakyat ingin melakukan pemberontakan.
Rakyat yang mengetahui bahwa dirinya kebal senjata, maka rakyat mencari tahu cara membunuh I Pakere Tau yakni membunuhnya dengan menggunakan sebilah galah yang oleh orang-orang Makassar disebut dengan Pasukki. Pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat Gowa berhasil membunuh I Pakere Tau sehingga ia diberi gelar dengan nama “Tunijallo ri Pasukki” yang memiliki arti “baginda mati karena diamuk memakai pasukki (galah) oleh budaknya (rakyatnya)”.
Daeng Matanre Karaeng Mangngutungi TumapaOrisi Kallonna (1511-1546)
Pada masa pemerintahannya Kerajaan Gowa memerangi Kerajaan Tallo yang dipimpin oleh Samaranluka Tuni Labu ri Suriwa pada tahun 1511 yang dimenangkan oleh Kerajaan Gowa. Kedua kerajaan kemudian mengadakan ikrar sumpah bersama bahwa;
“ia namo ampasewai Gowa-Tallo ia namo nacalla Dewata (Barang siapa mengadu domba Gowa-Tallo dialah yang dikutuk Dewata).”
Raja-Raja Kerajaan Gowa-Tallo
Berikut adalah daftar raja-raja Kerajaan Gowa-Tallo setelah berhasil dipersatukan;
Sebenarnya daftar raja-raja Gowa-Tallo adalah kelanjutan dari raja Gowa, sebab setelah keduanya berhasil dipersatukan yang menjadi raja di Kerajaan Gowa-Tallo adalah raja Kerajaan Gowa, sedangkan raja Kerajaan Tallo menjabat sebagai mangkubumi (setingkat perdana menteri).
Daeng Matanre Karaeng Mangngutungi TumapaOrisi Kallonna (1510-1546)
Setelah berhasil mempersatukan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, Daeng Matanre Karaeng Mangngutungi TumpaOrisi Kallona memerintah sebagai raja pertama dari kerajaan koalisi itu, namun secara daftar raja-raja Kerajaan Gowa, dirinya masuk ke dalam raja kesembilan dari Kerajaan Gowa.
Kehidupan masyarakat Kerajaan Gowa-Tallo pada saat itu dinyatakan dalam Karaeng serata (dua raja atas satu rakyat). Sejak adanya perjanjian persatuan dari Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, maka siapa yang menjabat sebagai raja Gowa sekaligus sebagai raja Kerajaan Gowa-Tallo. Sedangkan raja Tallo menjabat sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan Gowa-Tallo ini oleh para sejarawan sering disebut juga dengan Kerajaan Makassar.
Daeng Matanre dikenal sebagai raja yang memerintah dengan baik, di mana hasil panen baik, penangkapan ikan juga bagus serta dirinya dikenal sebagai ahli strategi perang yang handal. Daeng Matanre juga berhasil mengalahkan negara tetangga yang dianggap dapat membahayakan eksistensi Kerajaan Gowa, yaitu Kerajaan Siang. Untuk memperkuat kekuasaan dan pertahanan Kerajaan Gowa, ia membangun Benteng Somba Opu dan Benteng Ujung Pandang.
Pada masa pemerintahannya Kerajaan Gowa-Tallo telah menjadikan Pelabuhan Makassar sebagai pusat perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan Maluku dengan Malaka. Hal ini semakin bertambah pesat oleh karena jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Sejak saat itu keunggulan Kerajaan Gowa-Tallo di dalam aktivitas perniagaan telah berkembang menjadi pusat perdagangan yang ramai dan telah berhasil mengundang berbagai pihak untuk menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Gowa-Tallo sehingga Pelabuhan Makassar menjadi salah satu pelabuhan yang terpenting mulai abad ke-16 di Kepulauan Nusantara.
Pada masa pemerintahan Karaeng Tumparisi-Kalona datang orang Jawa bernama I Galassi. Nama Jawa menunjukkan bahwa orang tersebut datang dari barat Sulawesi, meskipun tidak mesti berasal dari Pulau Jawa, ada beberapa kemungkinan seperti Sumatra dan Malaka.
Hal yang terjadi di Gowa, terus berlanjut pada masa Karaeng Tunipalangga (1546-1556), di Gowa menetap seorang Jawa bernama Anakoda Bonang yang juga memperoleh hak istimewa tertentu yang kemudian berlaku juga bagi orang asing seperti Pahang, Pattani, Campa, Minangkabau, dan Johor. Dalam masa ini ternyata juga telah ada hubungan dengan pelbagai daerah di Sumatra, Malaka, bahkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Ini menunjukkan bahwa Makassar sudah ada koloni saudagar-saudagar Melayu yang berasal dari daerah-daerah ini.
Hal ini terlihat dari kunjungan Sultan Baabullah yang pada tahun 1580 datang ke Makassar. Di sana Sultan Baabullah mengadakan pesekutuan dengan Karaeng Gowa, Tunijaelo (Tunijallo) dan sebagai imbalan bantuan Baabullah, Baabullah menuntut Karaeng Gowa untuk memeluk agama Islam.
I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
Pada masa pemerintahan I Manriwagau Daeng Bonto (I Mariogau Daeng Bonto) juga memperkuat Benteng Somba Opu dan memperluas wilayah Kerajaan Gowa-Tallo. Setelah memperluas dan memperkuat Kerajaan Gowa-Tallo, ia mengizinkan para pedagang muslim di Kepulauan Nusantara untuk berdagang di Pelabuhan Makassar. Para pedagang muslim itu antara lain berasal dari Melayu, Johor, Pattani, Champa, Minangkabau dan Jawa yang secara bertahap diantara pedagang itu mulai menetap di Pelabuhan Makassar.
Selanjutnya para pedagang dari luar seperti India, Arab, Cina dan bahkan Portugis mulai berdatangan ke Pelabuhan Makassar untuk berdagang dan mendirikan kantor-kantor dagang beserta perwakilannya di sekitar Bandar Somba Opu, Pelabuhan Makassar.
I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng DataO Tunibatta (1565-1575)
I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng DataO Tunibatta memerintah sangat singkat di Kerajaan Gowa-Tallo. Hal ini disebabkan dirinya melanjutkan ekspedisi dengan menyerang Kerajaan Bone, namun peperangan dimenangkan oleh Kerajaan Bone dan I Tajibarani tewas dengan cara tertetak (Tunibatta/Tonibatta). Memang, sebelum Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan yang bercorak Islam, Kerajaan Gowa-Tallo sering berperang dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan seperti dengan Kerajaan Luwu, Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng, dan Kerajaan Wajo.
I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590)
Berbeda sikap terhadap Kerajaan Bone, tidak seperti yang dilakukan oleh I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng DataO Tunibatta, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo justru menggalang persaudaraan dengan Kerajaan Bone. Selama pemerintahannya, Kerajaan Gowa-Tallo juga menjalin persahabatan dengan beberapa kerajaan-kerajaan lainnya seperti; negeri-negeri di Semenanjung Tanah Melayu (Johor, Malaka, Pahang, dan Pattani), Kerajaan Mataram Islam, Kerajaan Banjarmasin dan Kerajaan Ternate.
Pada tahun 1580 I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo kedatangan Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate. Sultan Baabullah yang datang ke Somba Opu itu berniat menyerahkan kembali Pulau Selayar yang pernah dikuasainya kepada Kerajaan Gowa-Tallo. Karena ia memiliki misi lain selain menjalin persahabatan dan juga menyebarkan ajaran agama Islam, Sultan Baabullah meminta agar raja Gowa membangun masjid di Mangallekana. Raja Gowa itu mengabulkan permintaan Sultan Baabullah dan kemudian membangun masjid di Mangallekana yang kelak disebut dengan Masjid Mangallekana.
Setelah selama sepuluh tahun menjalin persahabatan dengan Kerajaan Bone, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo nampaknya mulai menaruh curiga terhadap Kerajaan Soppeng dan Kerajaan Wajo yang diam-diam menjalin hubungan dengan Kerajaan Bone dan membentuk persekutuan yang dikenal dengan Persekutuan Tellum Pocco (Tellu Boccoe). Mengetahui hal itu, ia kemudian menjadi murka yang menganggap bahwa persekutuan itu tentu akan dapat mengancam Kerajaan Gowa-Tallo.
Pada tahun 1583, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Wajo. Namun serangan itu mengalami kegagalan. Begitu pula penyerangan yang terjadi pada 1585 terhadap Kerajaan Bone, pun menemui kegagalan. Kegagalan itu disebabkan oleh karena Kerajaan Bone mendapatkan bantuan dari sekutunya; Kerajaan Soppeng dan Kerajaan Wajo. Merasa tidak puas akan kegagalannya, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo kembali menyerang Kerajaan Bone pada tahun 1590, namun, sebelum perang terjadi, ia tewas diamuk oleh saudara sepersusuannya yang bernama I Lolo Tamakkana (Tunijallo:raja yang meninggal karena diamuk)
I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Karaeng Bontolangkasa Tunipasulu Tumenanga Ri Butung (1565-1590)
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Gowa-Tallo dilanda kekacauan oleh sikap I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Karaeng Bongolangkasa Tunipasulu Tumenanga sebagai raja yang sewenang-wenang. Tindakannya ini menyebabkan banyak para pedagang yang menyingkir dari Pelabuhan Makassar dan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat Kerajaan Gowa-Tallo.
I Mangngerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga Ri Gaukanna (1590-1593)
Oleh disebabkan Pelabuhan Makassar telah terbuka bagi para pedagang-pedagang muslim, maka secara tidak langsung membuat ajaran agama Islam mulai menyebar di Kerajaan Gowa-Tallo. Puncaknya adalah pada masa pemerintahan I Mangngerangi Daeng Manrabbia yang memeluk ajaran agama Islam. Keresahan di Kerajaan Gowa-Tallo yang diakibatkan oleh tindakan sewenang-wenang dari raja I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Karaeng Bongolangkasa Tunipasulu Tumenanga berakhir saat pemerintahan I Mangngerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga Ri Gaukanna atau yang biasa disebut dengan Sultan Alauddin naik takhta.
Perbaikan-perbaikan mulai dilakukan oleh Sultan Alauddin yang dibantu oleh Raja Tallo yang juga sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa-Tallo yakni I Malingkaang Daeng Manyonri Sultan Awalalul Islam. Pada masa pemerintahannnya, Kerajaan Gowa-Tallo kembali tumbuh sebagai kerajaan yang berbasis pada sektor maritim yang kuat di mana Pelabuhan Makassar tumbuh dengan sangat pesat. Kemajuan yang pesat dari Pelabuhan Makassar menarik minat kembali bagi para pedagang-pedagang asing. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin inilah Kerajaan Gowa-Tallo mengadakan kontak pertamanya dengan VOC.
Perlu diketahui bahwa selain bertindak sebagai seorang raja, posisi Sultan Alauddin di Kerajaan Gowa-Tallo juga semakin kuat ketika dirinya juga diangkat sebagai pemimpin agama Islam di Kerajaan Gowa-Tallo. Secara perlahan Kerajaan Gowa-Tallo melebarkan pengaruhnya sambil menyebarkan ajaran agama Islam di Sulawesi Selatan. Sultan Alauddin pun juga dikenal sebagai raja yang sangat toleran bagi masyarakat yang menganut ajaran non-Islam dengan memberikan kebebasan dalam beribadah dan juga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papan Batuna (1593-1630)
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Said (Sultan Malikussaid), meskipun Kerajaan Gowa-Tallo sudah memeluk ajaran Islam, pada masa pemerintahannya Kerajaan Gowa-Tallo menunjukkan hubungan baik dengan orang-orang Portugis yang membawa ajaran Katolik. Hubungan baik dengan Portugis ini juga tetap terjadi bahkan pada masa pemerintahan putra Sultan Muhammad Said, Sultan Hasanuddin.
Kedua-duanya memberikan bantuan kepada orang Portugis umumnya dan kepada Fransisco Viera pada khususnya yang telah menjadi utusan raja Kerajaan Gowa-Tallo ke Banten dan Batavia bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Patingalong memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan oleh Fransisco Viera. Hubungan erat yang terjadi antara Portugis dengan Kerajaan Gowa-Tallo disebabkan oleh adanya ancaman dari VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang hendak memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap eksistensi Kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, tetapi setelah kapal Portugis yang dirampas oleh VOC pada masa pemerintahan J. P. Coen di dekat perairan Malaka, ternyata ada orang Makassar dan dari orang inilah ia mendapat berita tentang pentingnya Pelabuhan Sombaopu sebagai pelabuhan transit terutama untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku.
Pada waktu kapal VOC berada di perairan Banda dicobanya mengirimkan surat kepada raja Kerajaan Gowa-Tallo untuk bersahabat hanya dalam perdagangan. Sultan Hasanuddin kemudian mengundang orang VOC ke Sombaopu, ternyata VOC mulai menunjukkan tanda-tanda perilaku memaksakan kehendaknya terutama mengenai perdagangan rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 1616 ketika sebuah kapal Belanda turun di Sumbawa orang-orangnya dibunuh dan hal inilah yang membuat J. P. Coen marah. Pihak Kerajaan Gowa-Tallo menganggap VOC sebagai “Perdagangan Penyelundupan”.
Sejak saat itulah permusuhan antara Kerajaan Gowa-Tallo dan VOC dimulai. Pada tahun 1634 VOC berupaya untuk memblokade Kerajaan Gowa-Tallo namun, usaha itu tidak berhasil. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu berjalan terus dan baru berdamai pada tahun 1637-1638. Namun, perjanjian damai itu tidak kekal karena pada tahun 1638 dengan perampokan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana dan telah dijual kepada orang Portugis. Orang Portugis kemudian meminta ganti rugi kepada Kerajaan Gowa-Tallo, tetapi penasehat Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Patengolan (Karaeng Pattingaloang) menolaknya dan akhirnya raja Kerajaan Gowa-Tallo, Sultan Muhammad Said mengusir orang-orang Belanda dari Somba Opu.
Meskipun telah mengusir orang-orang Belanda, Sultan Muhammad Said, selaku raja Kerajaan Gowa-Tallo memberikan hak-hak istimewa dalam perdagangan terhadap orang-orang Portugis, Inggris, dan Denmark yang berada di Sombaopu. Demikian pula Kerajaan Gowa-Tallo telah membantu Hitu menghadapi VOC dengan mengirimkan armadanya yang berkekuatan 5000 orang.
I Mallombasi Daeng Mattawang Muhammad Basir Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Ballapangka (1639-1669)
Kerajaan Gowa-Tallo mulai menunjukkan perkembangan pesat dan mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin berhasil memperluas wilayah dan pengaruh dari Kerajaan Gowa-Tallo dengan berhasil menguasai Maros, Bulukamba, Mondar, Sulawesi utara, Luwu, Buton, Selayar, Sumbawa dan Lombok.
Selain keberhasilannya dalam menaklukan daerah-daerah sekitar Kerajaan Gowa-Tallo, Sultan Hasanuddin juga berhasil mengembangkan pelabuhan Makassar menjadi pelabuhan transit terbesar di Indonesia bagian timur. Bahkan, dapat dikatakan Pelabuhan Makassar telah menjelma menjadi pusat kegiatan perdagangan di Indonesia bagian timur.
Di dalam sejarah Kerajaan Gowa-Tallo perlu dicatat sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan ekonomi VOC Belanda. Meskipun VOC telah diusir dari wilayah perairan Makassar oleh Sultan Muhammad Said, bukan berarti VOC menyerah untuk menguasai Kerajaan Gowa-Tallo. Upaya itu kembali dilakukan ketika Kerajaan Gowa-Tallo berada di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin.
Daerah Kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo yang luas dan strategis menjadi penghalang bagi VOC yang berusaha menghubungkan jalur perdagangan dari Ambon menuju Batavia. Dengan kondisi inilah yang memaksa VOC untuk harus menguasai Kerajaan Gowa-Tallo sehingga menyebabkan konflik antara keduanya.
Perang antara Kerajaan Gowa-Tallo dan VOC tidak dapat dielakkan lagi menjelang tahun 1653 dan memang terjadi perang besar-besaran pada tahun 1654-1655, di mana-mana yang kemudian berpusat di Pelabuhan Sombaopu. Di daerah Kepulauan Maluku, rakyat di sana memberikan bantuan kepada Kerajaan Gowa-Tallo sebab tidak menyenangi politik monopoli perdagangan rempah-rempah.
Di Kepulauan Maluku, Sultan Hasanuddin memimpin langsung pasukannya untuk berhadapan dengan VOC dan berhasil mengalahkan VOC dan membahayakan kedudukan VOC di Ambon. Atas keberanian Sultan Hasanuddin, maka VOC menjulukinya “Ayam Jantan dari Timur”. Karena beratnya VOC menghadapi peperangan itu, dari Batavia dikirimkan utusan untuk menyodorkan perdamaian yang terjadi pada tanggal 27 Februari 1656.
Perjanjian tersebut diterima Kerajaan Gowa-Tallo karena menguntungkan, yaitu diperbolehkan menagih utang kepada VOC di Ambon. Boleh menagih utang atas perompakan kapal Bugis yang memuat kayu cendana seperti yang pernah terjadi sebelumnya. VOC tidak akan pernah campur tangan dengan urusan dalam Kerajaan Gowa-Tallo, dan akan membayar kerugian atas penangkapan orang-orang Makassar di Maluku dan sebagainya. Perjanjian tersebut oleh VOC sendiri dianggap merugikan dan karenanya mempersiapkan armada dan persenjataan untuk kembali menyerang Kerajaan Gowa-Tallo yang sudah siap.
Untuk mengakhiri perlawanan Sultan Hasanuddin, VOC bekerjasama dengan Arung Palaka, raja Bone untuk menggempur Kerajaan Gowa-Tallo. Raja Bone, Arung Palaka (Aru Palaka) merasa bahwa wilayahnya adalah jajahan dari Kerajaan Gowa-Tallo berupaya untuk melepaskan diri dari cengkeraman Kerajaan Gowa-Tallo dan bersekutu dengan VOC. Sehingga terbentuklah persekutuan antara Kerajaan Bone dengan VOC untuk bersama-sama menggempur Kerajaan Gowa-Tallo.
Speelman dengan armadanya yang waktu itu sudah siap pula dan mendapat bantuan tentara Arung Palaka yang sudah memihak kepada Belanda. Sultan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin tidak gentar dengan pengerahan tentara dan armadanya menghadapi kekuatan VOC. Di mana-mana terjadi pertempuran hebat dan tidak kurang mereka membayar desa-desa yang setelah lama perang berkecamuk di antara dua belah pihak, Barombong diserang besar-besaran oleh VOC di bawah pimpinan Speelman dan tentara Bugis di bawah pimpinan Arung Palaka akhirnya melalui Perjanjian Bongaya mengakhiri peperangan dengan Gowa pada tanggal 18 November 1667.
Adapun isi dari Perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. VOC dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makassar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya secara tidak langsung menjadi awal keruntuhan Kerajaan Gowa-Tallo. Walaupun perjanjian tersebut telah disepakati dan diberlakukan, perlawanan rakyat Makassar dan sekitarnya terhadap VOC tetap berlangsung terutama dilakukan oleh putra Sultan Hasanudin yang bernama Mapasomba. Untuk mengakhiri perlawanan dengan Kerajaan Gowa-Tallo, VOC mengirimkan pasukannya secara besar-besaran ke Makassar yang menjadi pusat perlawanan.
I Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Lakiung Sultan Amir Hamzah Tumammalianga Ri Allu (1669-1674)
Setelah Sultan Hasanuddin dipaksa menyerah oleh VOC melalui Perjanjian Bongaya, Pada tahun 1669 Sultan Hasanuddin menyerahkan takhta kepada putranya, yakni Mapasomba. Mapasomba tetap melanjutkan perlawanan terhadap VOC meskipun saat naik takhta, usianya baru 13 tahun. Setelah Mapasomba meninggal pada tahun 1674 dengan demikian perlawanan Kerajaan Gowa-Tallo terhadap VOC berakhir, meskipun masih terdapat perlawanan secara sporadis yang dilakukan namun itu tidak berdampak banyak terhadap kekuatan VOC yang telah bercokol di Kerajaan Gowa-Tallo.
Raja-raja Kerajaan Gowa-Tallo setelah kekalahan tahun 1669 dan meninggalnya Mapasomba secara bertahap telah berada di bawah pengaruh dan pengawasan VOC. Perjanjian Bongaya yang disepakati pada tahun 1667 selalu diperbaharui oleh VOC dan dengan terpaksa raja-raja Kerajaan Gowa-Tallo menyetujuinya. Perjanjian Bongaya yang selalu diperbaharui itu secara perlahan menggerogoti kekuatan Kerajaan Gowa-Tallo sehingga Kerajaan Gowa-Tallo hanya ada sebagai simbol saja, tanpa memiliki pengaruh apapun di dalam pemerintahan.
Struktur Birokrasi Kerajaan Gowa
Di Sulawesi sebutan raja dapat ditemukan pada beberapa buku tradisional yang memuat silsilah raja-raja Wajo, Gowa, Soppeng, Bone dan Luwu, Sindereng Moserempulu, Sanggala (silsilah raja-raja Toraja), dan beberapa kerajaan lainnya, kemudian kitab I La Galigo (silsilah raja-raja Bugis). Di Kerajaan Gowa, raja bergelar sombaya (yang disembah) sebutannya Sombayari Gowa.
Tidak hanya di Kerajaan Gowa, berdasarkan data-data yang diberikan di kitab-kitab tradisional Sulawesi ini juga disebutkan gelar untuk raja seperti; datu, batara, tomanurung, karaeng arung, dan matowa. Di Kerajaan Gowa raja pertamanya, Tumanurung Bainea/Karaeng Sombaya ri Gowa juga menggunakan gelar batara guru. Gelar batara pun juga ditemukan di Kerajaan Wajo sebagai sebutan untuk raja pada masa pemerintahan Wajo yang rajanya bernama La Patedungi to Samallangi (1466-1469). Sebutan sultan baru lahir beberapa lama kemudian setelah raja-raja di Sulawesi Selatan masuk Islam. Raja yang pertama Islam adalah Datu Luwu XIII yang bernama La Patiware’ Daeng Parrabung yang kemudian bergelar Sultan Muhammad (1585-1610). Ia memeluk agama Islam sekitar tahun 1604-1605.
Secara umum sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan Islam di Indonesia, tetaplah tidak mengabaikan pengangkatan raja-raja pada masa sebelum Islam. Di Kerajaan Gowa berdasarkan catatan hukum adat yang disebut dengan Rappang dapat dilihat sistem pengangkatan raja. Raja diangkat oleh Dewan Pemangku Adat. Setiap pengangkatan raja harus ditentukan oleh hasil pemilihan dari calon-calon oleh 40 orang Dewan Pemangku Adat.
Di Sulawesi Selatan, dari Sejarah Gowa dapat diketahui bahwa raja dibantu oleh kasawiyang salapangan atau majelis sembilan, kemudian dalam perkembangan selanjutnya menjadi Bate Salapangan atau bendera sembilan dalam menjalankan undang-undang dan pemerintahan diawasi oleh Paccalaya (hakim), yang bertindak selaku ketua majelis sembilan.
Kehidupan politik dan pemerintahan Kerajaan Gowa-Tallo baru menunjukkan kejelasan ketika Kerajaan Gowa-Tallo memeluk ajaran agama Islam pada permulaan abad ke-17. Setelah mengkonversi kepercayaannya, Kerajaan Gowa-Tallo mulai menunjukkan eksistensinya sebagai kekuatan politik yang berpengaruh dan patut diperhitungkan di Sulawesi.
Pada masa pemerintahan Karaeng Tumparisi-Kalona datang orang Jawa bernama I Galassi. Nama Jawa menunjukkan bahwa orang tersebut datang dari barat Sulawesi, meskipun tidak mesti berasal dari Pulau Jawa, ada beberapa kemungkinan seperti Sumatra dan Malaka.
Hal yang terjadi di Gowa, terus berlanjut pada masa Karaeng Tunipalangga (1546-1556), di Gowa menetap seorang Jawa bernama Anakoda Bonang yang juga memperoleh hak istimewa tertentu yang kemudian berlaku juga bagi orang asing seperti Pahang, Pattani, Campa, Minangkabau, dan Johor. Dalam masa ini ternyata juga telah ada hubungan dengan pelbagai daerah di Sumatra, Malaka, bahkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Ini menunjukkan bahwa Makassar sudah ada koloni saudagar-saudagar Melayu yang berasal dari daerah-daerah ini.
Kerajaan Gowa mula-mula sebuah kerajaan kecil yang terdiri dari sembilan daerah, yaitu; Tombolo, Lakung, Saumata, Parang-parang, Data’, Agong-Jene, Beser, Kalling, dan Sero. Raja Gowa IX Tumparisi mulai ekspansi menaklukkan daerah-daerah: Katinggang, Parisi, Sedang, Sidenreng, dan Lembayung, bahkan Bulukumba dan Selayar. Ketika kerajaan-kerajaan kecil dikalahkan, mereka harus membayar denda kalah perang yang dalam bahasa Makassar disebut sabukatti (seribu kati, satu kati 10 tahil atau 80 real).
Perjanjian perdamaian dilakukan dengan negara-negara yang memiliki kekuatan seimbang, misalnya terhadap kerajaan Maros dan Bone. Negara-negara yang diperlukan sebagai daerah vasal (palili) adalah Sumba, Bone, Jipang, Galesong, dan Agung-Nionyo. Perjanjian perdamaian Gowa dengan Maluku juga dilakukan.
Hal ini terlihat dari kunjungan Sultan Baabullah yang pada tahun 1580 datang ke Makassar. Di sana Sultan Baabullah mengadakan pesekutuan dengan Karaeng Gowa, Tunijaelo dan sebagai imbalan bantuan Baabullah, Baabullah menuntut Karaeng Gowa untuk memeluk agama Islam.
Keberhasilan Kerajaan Gowa-Tallo dalam memperluas wilayah kekuasannya terlihat pada saat Kerajaan Gowa-Tallo dipimpin oleh Sultan Muhammad Said dan Sultan Hasanuddin. Kedua raja Kerajaan Gowa-Tallo ini berhasil membawa Kerajaan Gowa-Tallo (Kerajaan Makassar) sebagai salah satu kekuatan politik yang paling berpengaruh di Kepulauan Indonesia bagian timur dan berhasil menjadikan Pelabuhan Makassar sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur.
Puncak kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo ini diperoleh pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin yang berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan sekitar Kerajaan Gowa-Tallo seperti Kerajaan Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Selain itu Sultan Hasanuddin juga berhasil menaklukan Lombok, Sumba dan Sumbawa menjadi daerah kekuasaanya.
Seperti yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa, Di Kerajaan Gowa diadakan sistem seba yang dilakukan dengan semacam pertemuan silaturahmi yang diadakan setahun sekali dan biasanya dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri. Sistem seba ini raja yang bersangkutan sekaligus dapat mengadakan kontrol terhadap kerajaan dan daerah-daerah yang berada di bawah naungan kekuasaannya. Barang siapa yang tidak hadir dalam seba ini mengundang pertanyaan bagi raja dan hadirin mengenai sebab ketidakhadirannya, dan jika ternyata ketidakhadirannya dalam seba dilakukan sengaja, maka sikap itu dapat ditafsirkan mengarah kepada pemberontakan atau ketidaksetiaan kepada raja yang bersangkutan.
Di kerajaan Gowa dikenal lembaga adat yang disebut Kasuwiyang Salapanga (pengabdi sembilan), yang kemudian berkembang menjadi Bate Lapanga (bendera sembilan). Anggota-anggota sembilan ini adalah bangsawan yang menjadi kepala daerah di tempatnya, dan menduduki jabatan di pusat kerajaan, karena itu sistem seba ini menjadi agak sederhana lagi, hingga bersifat silaturahmi saja. Hanya dalam pertemuan ini baik pakaian adat (keris dan pakaian-pakaian kebesaran lainnya) serta letak tempat duduk menentukan kedudukan raja atau bangsawan yang bersangkutan.
Dalam kesempatan ini pula para bangsawan daerah yang ada di bawah naungan raja Gowa memberikan hadiah-hadiah. Seba di sana dapat dipersamakan dengan Ma’kasuwiyang (raja yang menghadap) dan pertemuan ini disebut Tudang Ade (pertemuan adat). Walaupun demikian, bagi bangsawan-bangsawan daerah yang tidak hadir tanpa mengirim wakilnya dan mereka sebenarnya memang berada di bawah naungan kerajaan Gowa, mengundang pertanyaan apakah ia akan melakukan pemberontakan dan tidak menunjukkan tanda kesetiannya lagi.
Para bangsawan daerah ini juga memberikan upeti sebagai tanda kesetiaan (loyalitas) kepada raja karena yang bersangkutan berada dalam perlindungan raja (vasal). Pemberian diberikan oleh utusan suatu negara yang biasanya ingin diakui sebagai sahabat. Jadi, upeti merupakan penyerahan barang imbalan atas sesuatu jasa atau pemberian sebagai pengakuan atas perlindungan raja yang bersangkutan.
Kondisi Ekonomi
Kerajaan Gowa-Tallo memiliki situasi yang berbeda dengan situasi yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Sulawesi di dalam menerima pengaruh Islam jauh lebih lambat. Islamisasi Gowa dan Tallo, kerajaan Makassar yang tergabung sejak pertengahan abad ke-16 yang dalam zaman yang sama terlibat dalam perdagangan dengan negeri-negeri Melayu sampai kepulauan Malaka. Pertama-tama harus dipahami bahwa kerajaan Gowa sebagai pusat kekuasaan politik di Sulawesi Selatan pada pertengahan abad ke-16.
Kerajaan Gowa-Tallo adalah kerajaan yang tumbuh dan berkembang oleh coraknya yang maritim oleh karena terletak di jalur utama perniagaan di kawasan Indonesia bagian timur. Kerajaan Gowa-Tallo dapat tumbuh dengan pesat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya;
- letaknya yang strategis dalam jalur perniagaan dan didukung oleh posisinya yang berada di sepanjang muara Sungai Je’neberang dan Sungai Tallo yang berfungsi sebagai jalur lalu-lintas penduduk dalam aktivitas perdagangan;
- Pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan utama dikelola dengan baik sehingga menarik minat para pedagang untuk singgah;
- Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 yang menyebabkan beberapa rute perdagangan dari Indonesia Timur berpusat di Makassar.
- Tersedianya komoditas rempah-rempah yang berasal dari Kepulauan Maluku.
Sejak pemerintahan raja Gowa ke-9, Tumaparisi Kallona, Pelabuhan Makassar telah menjadi pelabuhan transit terbesar yang berkembang menjadi pelabuhan yang sangat ramai. Pada saat itu pula sang raja menetapkan peraturan perang dalam rangka ekspansi dan pengangkatan berbagai aparatur pemerintahan, termasuk syahbandar yang bertugas mengurus bea cukai kerajaan. Di sisi lain, bangkitnya Pelabuhan Makassar juga didukung oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511.
Kerajaan Gowa-Tallo mengeluarkan Undang-Undang dan Hukum Perdagangan yang disebut dengan Ade Allopiloping Bacanna Pabahie yang dimuat dalam Amanna Gappa. Selain bergantung pada aktivitas maritimnya, Kerajaan Gowa-Tallo juga dalam catatan Tome Pires dikenal sebagai penghasil beras. Hal ini menunjukkan bahwa selain berdagang, masyarakat Kerajaan Gowa-Tallo juga adalah seorang petani.
Kehidupan Sosial Dan Kebudayaan
Walaupun memiliki kebebasan dalam mencapai kesejahteraan hidup, di dalam kehidupan sehari-hari rakyat Kerajaan Gowa-Tallo sangat terikat dengan norma adat yang dianggap sakral. Salah satunya adalah norma kehidupan sosial yang diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut dengan Pangadakkang.
Masyarakat Kerajaan Gowa-Tallo juga mengenal stratifikasi sosial yang didasari pada kelas-kelas sosial yang terdiri dari kelompok bangsawan yang disebut dengan anakarung/karaeng sedangkan rakyat kebanyakan disebut dengan to maradeka dan masyarakat lapisan paling bawah atau hamba sahaya disebut dengan golongan ata.
Demikianlah penjelasan singkat tentang sejarahKerajaan Gowa-Tallo yang eksis sejak tahun 1320-1674 sebagai kekuatan politik. Pada periode selanjutnya, Kerajaan Gowa-Tallo hanya sekedar simbol saja dan berada di bawah pengawasan VOC hingga masa Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.