Kerajaan Holing
Kerajaan Holing/Ho-ling (Kalingga) adalah kerajaan yang diperkirakan muncul sekitar abad ke-7 M terletak di pantai utara Pulau Jawa bagian tengah. Sumber-sumber sejarah yang menyebutkan tentang Kerajaan Holing antara lain adalah; berita dari Dinasti T’ang, Prasasti Tuk Mas dan Prasasti Kota Kapur. Kerajaan Holing (Kalingga) , berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Dinasti T’ang disebut dengan Ho-ling. Berikut ini adalah keterangan yang diberikan oleh catatan Dinasti T’ang tentang Kerajaan Holing;
Ho-ling yang juga disebut dengan She-p’o, terletak di laut selatan. Di sebelah timur Ho-ling terdapat Po-li (Bali) sedangkan di barat terdapat To-po-Teng (Sumatra). Sementara di sebelah utara terdapat Chen-la (Kamboja) dan sebelah selatan berbatasan dengan samudra. Tembok kota dibuat dari tonggak-tonggak kayu. Raja tinggal di sebuah bangunan besar bertingkat, beratapkan daun palem, dan ia duduk di atas bangku yang terbuat dari gading. Dipergunakan pula tikar yang terbuat dari kulit bambu. Kalau makan, orang tidak menggunakan sendok atau sumpit, tetapi dengan tangan saja. Penduduknya sudah mengenal tulisan dan sedikit mengetahui tentang ilmu perbintangan.
Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas dan perak, cula badak dan gading. Kerajaan ini amat makmur; ada sebuah gua (?) yang selalu mengeluarkan air garam. Penduduk membuat minuman keras dari bunga kelapa (atau bunga aren). Bunga pohon ini panjangnya dapat mencapai tiga kaki, dan besarnya sama dengan tangan orang. Bunga ini dipotong, dan airnya ditampung untuk dijadikan minuman keras; rasanya amat manis, tetapi orang cepat sekali mabuk dibuatnya. Di Ho-ling banyak perempuan yang berbisa; apabila orang mengadakan hubungan kelamin dengan perempuan-perempuan itu, ia akan luka-luka bernanah dan akan mati, tetapi mayatnya tidak membusuk.
Di daerah pegunungan ada sebuah daerah yang bernama Lang-pi-ya; raja Ho-ling sering pergi ke sana untuk menikmati pemandangan ke arah laut. Apabila pada pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon setinggi 8 kaki, bayangannya akan jatuh ke sebelah selatannya, dan panjangnya mencapai dua kaki.
Pada masa Chen-kuan (627-649 M), raja Ho-ling, bersama dengan raja To-ho-lo dan To-p’o-teng, mengirimkan utusan ke Cina menyerahkan upeti. Kaisar membalas dengan memberikan surat jawaban yang dibubuhi oleh cap kekaisaran, dan ketika utusan dari To-ho-lo meminta kuda-kuda yang baik, permintaan itu dikabulkan oleh kaisar. Utusan dari Ho-ling datang lagi pada tahun 666, 767 dan 768 M. Utusan dari Ho-ling yang datang pada tahun 813 M/815 M mempersembahkan empat orang budak, burung kakaktua yang beranekaragam warnanya, burung p’in-chia (?) dan benda-benda yang lain. Kaisar sangat berkenan hatinya, dan memberikan anugerah gelar kehormatan kepada utusan itu. Utusan itu memohon agar gelar itu diberikan saja kepada adiknya. Kaisar sangat terkesan akan sikap itu, dan memberi anugerah gelar kehormatan kepada keduanya.
Pada tahun 674 M kerajaan itu menobatkan seorang perempuan sebagai ratu yaitu ratu Hsi-mo (Sima). Pemerintahannya meskipun sangat keras akan tetapi adil. Barang-barang yang terjatuh di jalan tidak ada yang berani menyentuhnya. Pada waktu itu orang-orang Ta-shih mendengar berita semacam itu, ia mengirim pundi-pundi emas untuk diletakkan di jalan di negeri ratu Hsi-mo. Setiap orang yang melewatinya menyingkir; sampai tiga tahun pundi-pundi itu tidak ada yang menyentuhnya.
Pada suatu hari putra mahkota yang lewat di situ tanpa sengaja telah menginjaknya dan diketahui oleh Ratu Sima. Ratu Sima sangat marah, dan akan memerintahkan hukuman mati terhadap putra mahkota. Para menteri meminta pengampunan bagi sang putra mahkota. Akan tetapi, ratu mengatakan bahwa karena yang bersalah adalah kakinya, kaki itu harus dipotong. Sekali lagi para menteri mohon pengampunan bagi putra mahkota; akhirnya ratu memerintahkan agar jari-jari kaki putra mahkota itu yang dipotong, sebagai peringatan bagi penduduk seluruh kerajaan Ho-ling. Mendengar hal itu raja Ta-shih takut dan mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan ratu Hsi-mo.
Raja tinggal di kota she-p’o (she-p’o-tch’eng), tetapi leluhur raja yang bernama Ki-yen telah memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota P’olu-chia-ssu. Di sekeliling She-p’o terdapat 28 kerajaan kecil, dan tidak ada di antaranya yang tunduk. Ada 32 pejabat tinggi kerajaan, dan yang terutama di antara mereka adalah ta-tso-kan-hsiung. Menurut berita dalam ying-huan-tchelio perpindahan itu terjadi dalam masa T’ien-pao (742-755 M).
Itulah keterangan yang diberikan oleh catatan Sejarah Dinasti T’ang (Hsin-T’ang shu) tentang eksistensi Kerajaan Holing (Kalingga).
Letak Kerajaan Holing

Berdasarkan keterangan mengenai panjang bayangan gnomon di tengah musim panas dan perkiran di musim dingin, maka kemungkinan letak dari Ho-ling berada di pantai utara Jawa. Hal ini juga berdasarkan identifikasi terhadap Lang-pi-ya yang berada di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem. Selain itu identifikasi mengenai gua yang selalu mengeluarkan air garam terletak di Desa Kuwu di daerah Purwodadi-Grobogan yang hingga saat ini masih dapat dijumpai dan masyarakat menyebut daerah itu sebagai bledug dan hingga saat ini warga setempat masih membuat garam dari bledug itu. Berdasarkan identifikasi ini maka perkiraan letak dan wilayah kekuasaan Kerajaan Holing berada di daerah pantai utara Jawa bagian tengah hingga ke daerah selatan pulau Jawa dan mungkin saja mencapai daerah pantai selatan Jawa.
Struktur Birokrasi Kerajaan Holing
Struktur birokrasi Kerajaan Holing dalam kekuasaan tertinggi dipegang oleh raja dan dibantu oleh 32 pejabat tinggi kerajaan di tingkat pusat, di mana yang paling penting jabatannya adalah ta-tso-kan-hsiung, mungkin ini sebagai seorang mahapatih, pejabat tinggi kehakiman atau bisa jadi seorang putra mahkota. Namun, karena ada penyebutan mengenai “putra mahkota” di dalam keterangan Hsin-T’ang shu, kemungkinan jabatan ini adalah seorang mahapatih atau seorang pejabat tinggi kehakiman atau kalau dalam gelar yang digunakan di Kerajaan Mataram Kuno disebut dengan Pamgat Tiruan. Sementara untuk tingkat daerah tidak ada keterangan yang menjelaskan tentang pejabat-pejabat kerajaan di tingkat daerah. Mungkin, kita bisa mengikuti atau mengambil pola yang ada pada struktur birokrasi Kerajaan Mataram Kuno.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Holing
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Hsin-T’ang shu bahwa Kerajaan Holing menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah yang merupakan komoditas utama kerajaan. Di sisi lain penduduk Kerajaan Holing juga membuat garam dan minuman keras dari bunga kelapa. Keterangan ini memberikan petunjuk bahwa Kerajaan Holing ikut serta di dalam aktivitas perdagangan internasional dan terutama dengan kekaisaran Cina (Dinasti T’ang) pada saat itu.
Di dalam sektor domestik jika merujuk pada keterangan Hsin-T’ang shu mengenai batas-batas wilayah kekuasaan Kerajaan Holing, sudah tentu bahwa penduduk kerajaan itu mengembangkan sektor ekonomi agraris untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Kehidupan Keagamaan Kerajaan Holing
Agama utama yang dianut oleh Kerajaan Holing adalah agama Buddha dengan menjadikannya sebagai agama kerajaan. Namun, yang perlu digaris bawahi adalah bahwa agama Buddha sebagian besar hanya dianut oleh kalangan istana dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan keluarga raja. Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada anggota keluarga raja yang menganut agama selain Buddha. Sebab tidak dapat disangkal bahwa selama periode ini sedang tumbuh dan mekarnya ajaran agama Hindu, sehingga tentu saja bahwa di dalam anggota Kerajaan Holing pun ada diantaranya yang menganut agama Hindu.
Kalangan masyarakat non-istana sebagian besar masih menganut kepercayaan lokal. Hal ini ditunjukkan dengan tidak diketemukannya bukti-bukti baik berupa artefak maupun dokumen yang menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat Kerajaan Holing menganut ajaran agama Buddha terlebih lagi artefak-artefak bercorak Hindu yang berkaitan dengan Kerajaan Holing. Jadi, tentulah sebagian besar masyarakat Kerajaan Kalingga non-istana masih menganut kepercayaan lokal.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh seorang pengelana Buddhis yang singgah di Kerajaan Sriwijaya, I-Tsing pada abad ke-7 M, di Jawa terdapat pula seorang pendeta agama Buddha yang berasal dari Cina bernama Hwi-ning datang di Kerajaan Holing pada tahun 664 M dan tinggal selama tiga tahun. Selama menetap di Kalingga, Hwi-ning mengemban misi untuk menerjemahkan kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Cina. Dalam usaha menerjemahkan kitab agama Buddha itu, Hwi-ning dibantu oleh seorang pendeta yang berasal dari Kerajaan Holing yang bernama Jnanabadra. Kerajaan Holing menurut keterangan I-Tsing adalah sebagai pusat penyebaran ajaran agama Buddha di Jawa.
Daftar Bacaan
- Boechari. 2013. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- de Casparis, J. G. 1975. Indonesian Paleography. Leiden/Koln: E.J. Brill.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.