Kerajaan Jailolo
Di dalam urutan berdirinya kerajaan-kerajaan Maluku, Kerajaan Jailolo dipandang sebagai kerajaan tertua. Walaupun diakui sebagai kerajaan tertua oleh kerajaan-kerajaan Maluku lainnya, tidak dapat dipastikan kapan kerajaan ini didirikan. Akan tetapi, yang dapat dicatat hanyalah peristiwa kesejarahan bahwa ada masa awal ada seorang raja perempuannya yang kawin dengan Raja Loloda, sebuah kerajaan di bagian utara Pulau Halmahera – mungkin merupakan kerajaan yang lebih tua dari Kerajaan Jailolo.
Menurut cerita rakyat di daerah ini, perkawinan anatara Ratu Jailolo dan Raja Loloda merupakan perkawinan politik untuk memberikan akses kepada Kerajaan Jailolo untuk menguasai seluruh Halmahera. Politik Kerajaan Jailolo berhasil, sebab sebelum tahun 1250, teritorial Kerajaan Jailolo telah meliputi seluruh Halmahera termasuk Kerajaan Loloda.
Negarakrtagama menunjukkan bahwa ketika Kerajaan Jailolo terbentuk sebagai kerajaan, wilayahnya belum mencakup Halamahera Utara bagian barat, karena di sana terdapat Kerajaan Loloda. Di samping itu, di bagian utara Halmahera juga terdapat Kerajaan Moro, yang pada masa belakangan menjadi sasaran perluasan Kerajaan Jailolo di bawah Katarabumi pada abad ke-16 M. Bagian barat Kerajaan Jailolo adalah Batu Cina, yang letaknya berhadapan dengan Kepulauan Maluku – yakni pulau-pulau Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Jailolo semula adalah nama sebuah desa, dan kerajaan yang berdiri di desa itu kemudian diberi nama yang sama.
Menurut sumber Negarakrtagama, kemungkinan kolano pertama Kerajaan Jailolo adalah seorang perempuan yang berkuasa secara tiran dan memerintah dengan tangan besi. Setelah Ratu itu wafat, Kerajaan Loloda terlihat mampu melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Jailolo. Sebab, ketika berlangsung pertemuan Moti pada abad ke-14 M. Raja Loloda berusaha untuk menghadiri pertemuan tersebut, tetapi terhalang oleh angin ribut yang menyababkannya mendarat di Dufa-dufa (Ternate).
Pada masa pemerintahan Kolano Jailolo, terjadi perlawanan dan pembangkangan politik dan eksodus ke pulau-pulau kecil di sekitar Halmahera: Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Di pulau-pulau inilah para pemberontak Jailolo mendirikan kerajaan-kerajaan salah satu diantaranya yang terbesar dan terkuat adalah Kerajaan Ternate yang pada gilirannya, merongrong dan mengakhiri eksistensi Kerajaan Jailolo.
Nama Halmahera menurut sumber-sumber Portugis adalah Batucina de Moro, atau Batu Cina yang merujuk pada kerajaan tertua di Halmahera Utara yang masih eksis pada abad ke-17 M, di mana Portugis berhasil mengkonversi agama sebagian penduduknya menjadi penganut Katolik. Namun Batucina tidak punya hubungan sama sekali dengan orang-orang Cina, sebagai bangsa asing pertama yang menemukan Maluku, dan memperoleh keuntungan besar dari perdagangan rempah-rempah.
Batucina di dalam pengucapan orang-orang Portugis menjadi Bat (a) Chin (a) yang dalam teks-teks lama ditulis sebagai Batchian. Sekali waktu, Kerajaan Jailolo pernah berada di bawah kekuasaan seorang asing bernama Syarif, yang diduga datang dari Makkah. Ia adalah adik Sultan Mindanao (Mangindanao) dan Sultan Borneo, namun tidak begitu jelas sejak kapan Syarif berkuasa di sana.
Ancaman dan Ekspansi Kerajaan Ternate Terhadap Kerajaan Jailolo
Ancaman yang dilakukan oleh Kerajaan Ternate terhadap eksistensi Kerajaan Jailolo dimulai pada tahun 1284, ketika Siale – Kolano Ternate ketiga – menyerang beberapa desa Kerajaan Jailolo dan menguasainya. Pada tahun 1304 , Kolano Ternate lainnya, Ngara Malamo, menyerang Kerajaan Jailolo dan menduduki untuk waktu yang lama beberapa desa di Batucina, di bagian selatan Kerajaan Jailolo. Sekalipun dalam Pertemuan Moti (1322) – yang melahirkan Persekutuan Moti (Motir Verbond) – Kerajaan Jailolo diakui sebagai kerajaan peringkat pertama dari tiga kerajaan lain (Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore, Bacan) dalam senioritasnya, tetapi hal ini tidak mengakhiri ambisi Kerajaan Ternate untuk menguasai Kerajaan Jailolo.
Pada tahun 1343, Kolano Ternate, Tulu Malamo, tidak lagi mengakui keputusan Motir Verbond, dan menyerang serta menduduki Kerajaan Jailolo. Raja Jailolo ketika itu tidak dapat berbuat apapun, walaupun tindakan Tulu Malamo menuai reaksi keras dari Kolano Tidore dan Bacan.
Serbuan Tulu Malamo atas Kerajaan Jailolo telah menuai reaksi keras dari kerajaan-kerajaan lainnya di Maluku, pada 1539 Kolano Ternate, Gapi Malamo, kembali menyatakan tantangannya terhadap Kerajaan Jailolo. Kali ini agresi yang dilancarkan oleh Kerajaan Ternate tidak berhasil. Bala tentara Kerajaan Jailolo dapat menghalau tentara Kerajaan Ternate keluar dari wilayahnya. Kegagalan inilah yang kemungkinan menyebabkan dilangsungkannya perkawinan politik antara putra sulung Kerajaan Ternate pengganti Gapi Malamo, yakni Kolano Gapi Baguna, dengan putri Kolano Jailolo, Kaicil Kawalu, pada 1372 M. Akan tetapi, perkawinan politik ini tampaknya tidak berhasil mengimplementasikan ambisi politik Kerajaan Ternate untuk mendominasi Kerajaan Jailolo.
Antara waktu perkawinan politik tersebut hingga berkuasanya Katarabumi di Jailolo, masih terlihat serangkaian upaya agresi Kerajaan Ternate terhadap Kerajaan Jailolo. Pada tahun 1380, Kumala Putu, Kolano Ternate ke-17, berupaya menyerbu dan menduduki Kerajaan Jailolo. Demikian pula, Kolano Marhum menyerbu Kerajaan Jailolo pada 1465. Kolano Ternate ini relatif berhasil menanamkan pengaruhnya. Sebab, ketika terjadi perang suksesi di kalangan keturunan bangsawan Kerajaan Jailolo, Jamilu, salah satu bangsawan Kerajaan Jailolo kepercayaan Ternate, memenangkannya, Akan tetapi, Jamilu tidak menduduki takhta Kerajaan Jailolo, karena diangkat oleh Marhum sebagai Raja Muda di Ambon.
Pada tahun 1524, Pangeran Taruwese, Raja Muda Kerajaan Ternate, melanjutkan upaya pendudukan Kerajaan Jailolo yang gagal, karena berhasil dihalau bala tentara Kerajaan Jailolo. Tiga tahun kemudian (1527 M), Taruwese mencoba melakukan usaha yang sama dengan bantuan Portugis. Namun kali ini ia berhasil menduduki sebagian Kerajaan Jailolo, tetapi tidak untuk waktu yang lama.
Persekutuan Kerajaan Jailolo-Spanyol
Sejak tahun 1521, ketika sisa armada Magellan mencapai Kerajaan Tidore, Kerajaan Jailolo telah menjalin persahabatan dengan Spanyol untuk menghadapi Kerajaan Ternate yang bersekutu dengan Portugis. Jailolo selalu berharap akan kunjungan orang-orang Spanyol ke kerajaannya.
Pada 1 Maret 1532, Sultan Jailolo Zainal Abidin Syah, secara sengaja berupaya memancing perhatian Raja Spanyol, Charles V dengan layanannya yang baik kepada orang-orang Spanyol. Ia juga menawarkan kerajaannya sebagai vassal Spanyol. Ia menyatakan bahwa pada ekspedisi Spanyol sebelumnya, ayahnya Sultan Jusuf, telah menawarkan hal serupa. Tetapi, tawaran ini tidak mendapatkan respon. Karena itu, sekali lagi ia mengulangi tawaran yang sama dengan harapan akan memperoleh tanggapan Spanyol di masa depan.
Pada tahun 1527, Herman Cortes, Raja Muda Spanyol di Meksiko, ditugaskan mengirimkan sebuah armada Spanyol ke kepulauan rempah-rempah guna membantu orang-orang Looysa yang sudah berada di Tidore. Armada itu bertolak dari Spanyol Baru – sebutan untuk Meksiko pada waktu itu. Pada 31 Oktober 1527 M, dengan beranggotakan tiga kapal di bawah pimpinan Alvares de Saavedra, sepupu Cortes.
Di antara ke-3 kapal itu, satu di antaranya bernama Florida, yang membawa 450 tentara Spanyol lengkap dengan persenjataannya. Ketika Florida dan kedua kapal lainnya tiba di Tidore, orang-orang Portugis dan pasukan Kerajaan Ternate yang berkekuatan 1000 orang, dipimpin Don Jorge de Menezes dan Pangeran Taruwese, sedang menyerbu Mareku – ibu kota Kerajaan Tidore yang baru dibangun. Setelah diobrak-abrik dan dirampok, pasukan gabungan itu menyerbu benteng Spanyol di dekatnya. Ketika kapal Florida tiba, kaum penyerbu dapat dipukul mundur oleh armada Spanyol yang membuat Portugis lari ke Kerajaan Ternate dan Taruwese ke Makian.
Setelah memukul mundur pasukan Portugis dan Kerajaan Ternate, armada Spanyol berlayar ke Kerajaan Jailolo dan disambut hangat Sultan Zainal Abidin Syah. Spanyol kemudian menempatkan 27 orang pasukannya di Kerajaan Jailolo atas permintaan Zainal Abidin. Pada tahun yang sama (1527 M), Zainal Abidin wafat dan digantikan puteranya, Sultan Yusuf. Orang-orang Spanyol memberikan senjata kepada rakyat Kerajaan Jailolo dan melatih mereka menggunakannya, sehingga rakyat kerajaan ini diharapkan mampu mempertahankan diri.
Spanyol juga membenahi benteng Kerajaan Jailolo dan menempatkan persenjataan artileri untuk memperkuat pertahanan dan meningkatkan kemampuan bela diri terhadap berbagai gangguan keamanan. Penduduk lokal dilatih untuk menguasai dan meloloskan diri bila terjadi pengepungan yang dilakukan oleh orang-orang Portugis.
Katarabumi: Kolano Jailolo Terbesar
Pada tahun 1529 M, bangsawan tinggi Katarabumi (Catarabuno) diangkat sebagai mangkubumi Kerajaan Jailolo. Dengan pengangkatan Katarabumi, Kerajaan Ternate mulai mengalami kesulitan dalam melakukan ambisi politiknya. Berkat bantuan Kerajaan Tidore, Katarabumi berhasil menangkis semua serbuan Kerajaan Ternate yang dibantu oleh Portugis.
Pada tahun 1533 Sultan Jusuf wafat dan digantikan oleh putranya, Firuz Alauddin, sebagai penguasa Kerajaan Jailolo. Karena Sultan Jailolo itu masih di bawah umur dan sering sakit-sakitan, Katarabumi ditunjuk sebagai Katarabumi untuk menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Jailolo.
Sementara itu, Gubernur Portugis Tristao de Ataide menuduh orang-orang Spanyol yang ada di Kerajaan Jailolo telah memberikan perlindungan kepada 4 hingga 5 negeri yang dahulu berada di bawah kekuasaan Portugis. Dengan alasan tersebut, Ataide mengerahkan tentaranya menyerang dan –setelah mengepung selama beberapa waktu – memerintahkan Kerajaan Jailolo untuk menyerah. Sultan Jailolo yang masih di bawah mur, Firuz Allaudin, dibawa ke Benteng Gamlamo di Ternate untuk “berobat”.
Evakuasi ini merupakan konspirasi antara Ataide dengan Katarabumi, yang ketika itu menjabat sebagai Mangkubumi Kerajaan Jailolo. Persekongkolan ini baru terungkap setelah berbagai hadiah yang diberikan Gubernur Ataide kepada Katarabumi secara berlebihan, termasuk hadiah payung emas dan pakaian dalam jumlah besar, diketahui umum.
Pada tahun 1534, Katarabumi mengambil-alih Kerajaan Jailolo dan memproklamasikan dirinya sebagai Kolano, setelah putera mahkota yang berobat di rumah sakit Portugis di Ternate mati diracuni orang-orang suruhan Katarabumi mengatakan bahwa ia akan memerintah Kerajaan Jailolo atas nama Raja Portugal, “Raja pertama yang akan memberikan kevazalannya dengan wibawa kerajaan.
Selama berkuasa, Katarabumi berhasil membebaskan seluruh wilayah Kerajaan Jailolo yang diduduki oleh Kerajaan Ternate. Akan tetapi, keberhasilan Katarabumi mengusir kekuasaan Kerajaan Ternate dari wilayah Kerajaan Jailolo dan penyerbuan-penyerbuan yang dilakukannya ke Kerajaan Moro telah menimbulkan kecurigaan orang-orang Portugis.
Mereka tidak menyangka bahwa Katarabumi bisa tampil sebagai kekuatan baru yang tangguh dan disegani di seluruh kawasan Maluku. Semua pernyataan Katarabumi yang pro-Portugis ternyata hanya kamuflase untuk menutupi sebuan-serbuannya dan politik anti-Kristen serta anti Portugis yang dilakukannya di Kerajaan Moro.
Kesuksesan Katarabumi juga telah menimbulkan kecemburuan Kerajaan Ternate. Di dalam berbagai pernyataan yang diberikan beberapa waktu setelah penobatannya, Katarabumi selalu berujar bahwa raja-raja Maluku ingin tetap bersahabat dengan Portugis. Pernyataan ini sangat membingungkan Gubernur Ataide, karena Katarabumi terus menyerang Misi Jesuit di Moro, dan bersekutu dengan Deyalo, Sultan Ternate yang dilengserkan Portugis dari takhtanya dan sedang dicari-cari. Dengan Deyalo, Katarabumi membuat persetujuan membantunya merebut takhta Kerajaan Ternate. Sebagai imbalannya, daerah Moro menjadi milik Kerajaan Jailolo.
Katarabumi Dan Konspirasi Raja-raja Maluku
Ketika Sultan Khairun berkuasa di Kerajaan Ternate, pada tahun 1540, ia memulai menjalankan kebijakan untuk memperbaiki hubungan antara Kerajaan Jailolo-Kerajaan Ternate ke dalam sebuah ikatan imperium dengan mahkota Kerajaan Ternate sebagai pimpinannya. Akan tetapi, cita-cita Khairun tidak sempat terlaksana, karena kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan di dalam Kerajaannya berkenaan dengan kristenisasi yang dilakukan Misi Jesuit.
Khairun yang menginginkan Kerajaan Moro menjadi vasalnya dengan mendudukkan salah seorang putranya menjadi raja, mencoba mengambil hati Portugis, terutama para misionaris, dengan memberikan kemudahan yang bersifat membantu operasi misi di Kerajaan Moro. Akibatnya, terjadi perkembangan pesat Kristenisasi di dalam komunitas-komunitas utama Kerajaan tersebut – seperti di Tolo, Mamuya, Pune, Sugala (Morotia), Sakita, Mira, dan Rao (Morotai) – yang pada akhirnya merepotkan Khairun sendiri.
Sampai pada tahun 1547 M, hampir seluruh kerajaan Moro, praktis telah berada di bawah kekuasaan Misi Jesuit, yang mendapat dukungan kuat dari tentara dan penguasa Portugis di bawah Gubernur Bernaldyn de Sousa. Untuk menghadapi keadaan ini, Khairun mengundang Sultan Bacan, Sultan Tidore, dan Kolano Katarabumi untuk membahas dan mencari solusinya.
Di dalam pertempuran rahasia itu, para raja Maluku dengan suara bulat sepakat akan menyetop laju dan perkembangan misi Jesuit. Para Sultan itu menyetujui untuk mengenyahkan orang-orang Kristen dari Maluku. Segi-segi politik kesepakatan ini ditangani Sultan Khairun, dan upaya militernya diserahkan kepada Katarabumi.
Serangan Atas Kerajaan Jailolo
Pada tahun 1536 M, Katarabumi dan pasukannya menuju Moro. Kampung Sugala di pesisir utara Morotia diserang. Setelah Sugala jatuh ke tangannya, penduduk Kristen setempat dimurtadkannya. Orang-orang Sugala yang telah murtad itu kemudian menuntut agar Pastor Alvarez dan beberapa orang Portugis menyerahkan kapal yang tengah mereka buat. Pastor Alvarez dapat meloloskan diri bersama bawahannya, tetapi mereka ditangkap oleh armada Kerajaan Jailolo lainnya. Hanya dengan tipu muslihat, Alvarez akhirnya tiba di Kerajaan Ternate.
Dari Sugala, Katarabumi melanjutkan operasinya dengan membersihkan kampung-kampung Tutumaloleo dan Lalonga dari unsur-unsur Kristen. Dari sana Katarabumi menyerbu Pune dan kemudian mengepung Mamuya, ibukota Kerajaan Moro. Setelah seminggu terkepung, Katarabumi memberi waktu satu hari kepada Raja Moro, Tioliza – yang telah menganut ajaran Kristen dan mengganti namanya menjadi Don Joao – agar menyerah. Bila tidak, pasukan Kerajaan Jailolo akan membakar semua ladang dan kebun kelapa penduduk Mamuya. Katarabumi juga menuntut agar orang-orang Portugis yang selama ini mengawal Raja Moro ikut menyerah.
Sebelum batas waktu berakhir, orang-orang Portugis pengawal Raja Moro telah berhasil melarikan diri ke hutan, tetapi mereka dibunuh oleh rakyat setempat. pada malam sebelum penyerahan diri, Raja Moro Tioliza membunuh sendiri istri dan anak-anaknya agar tidak tertawan dan jatuh ke tangan musuh. Don Joao alias Tioliza bermaksud melakukan bunuh diri, tetapi sempat dicegah oleh anak buahnya.
Keesokan harinya, Tioliza menyerahkan diri kepada Katarabumi. Atas permohonan kerabatnya, Raja Moro itu tidak dibunuh. Dari Mamuya pasukan Katarabumi meneruskan serangannya ke Tolo, pusat Misi Jesuit di Kerajaan Moro. Tetapi di Tolo, Katarabumi mendapatkan perlawanan kuat. Kampung berpenduduk 3000 jiwa itu, dengan bantuan tentara Portugis yang ditempatkan di sana, berhasil menahan serangan Katarabumi dan baru menyerah sebulan kemudian.
Ketika Tolo diserbu, terdapat 36 orang Kristen Tolo yang berhasil melarikan diri ke Kerajaan Ternate dan melaporkan situasinya kepada Gubernur. Pasukan Portugis dalam jumlah besar kemudian dikerahkan menyerang Galela dan Pune. Dalam penyerangan itu, pasukan Portugis membakar habis kedua kampung tersebut, meskipun Pune adalah pemukiman Kristen. Setelah itu pasukan Portugis menduduki Tolo serta mengusir Katarabumi dan pasukannya untuk kembali ke Kerajaan Jailolo.
Sejak Katarabumi melakukan penyerbuan ke Kerajaan Moro, dalam hal ini Morotia, banyak orang Kristen yang berhasil dimurtadkan. Bahkan, di Cawa dekat Tolo, orang-orang yang telah murtad membakar dan menghancurkan gereja serta altarnya sendiri. Sementara Portugis di Ternate tidak tahu-menahu tentang penyerbuan Katarabumi atas Moro. Gubernur Portugis di Ternate, de Freitas, baru mengetahui penyerbuan itu pada 30 Maret 1543 M, setelah 36 orang Moro melarikan diri dari Tolo memberikan laporannya. Orang-orang Kristen Moro baru dipulihkan keimanannya setelah Fransiscus Xaverius mengunjungi daerah ini antara bulan September 1546 M hingga Januari 1547 M.
Serbuan Katarabumi ke Moro, dukungannya kepada Delayo dan penyerbuan-penyerbuannya yang kontroversial tentang hubungan Portugis-Kerajaan Jailolo telah menimbulkan kesan Portugis bahwa Katarabumi adalah pribadi yang sukar dipercaya dan karena itu, harus disisihkan dari percaturan politik dan militer di Maluku. Tetapi, Portugis menilai bahwa Katarabumi cukup tangguh dari segi militer. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa untuk mengusirnya dari Morotia – selain pengerahan pasukan dalam jumlah yang besar – Portugis juga memerlukan waktu selama tiga bulan.
Serbuan Portugis ke Kerajaan Jailolo Dan Lengsernya Katarabumi
Pada tahun 1551, Portugis memutuskan menyerbu Kerajaan Jailolo dan meminta keikutsertaan Kerajaan Ternate dalam ekspedisi militer ini. Pada awalnya, Kerajaan Ternate menolak permintaan ini, tatapi akhirnya secara terpaksa Kerajaan Ternate menerima permintaan Portugis untuk menyerang Kerajaan Jailolo. Rencana penyerbuan Portugis ke Kerajaan Jailolo telah diketahui terlebih dahulu oleh agen-agan Kerajaan Jailolo yang berada di dalam ketentaraan Kerajaan Ternate. Karena itu, untuk menghadapi serbuan tersebut, benteng Kerajaan Jailolo diperkuat.
Benteng dengan tembok yang rusak segera diperbaiki dan menambah ketinggiannya. Benteng dipersenjatai dengan 100 pucuk senjata laras panjang, 18 pucuk meriam serta sebuah “mortir” da berbagai senjata lainnya buatan Jawa.
Pasukan Alifuru Jailolo dalam jumlah besar disiapkan dengan beragam senjata tradisional, seperti tombak, klewang, dan lembing. Reputasi mereka dalam perang hutan begitu menakutkan, dan pasukan ini sewaktu-waktu dapat menghilang tanpa diketahui jejaknya. Akan tetapi, setelah Portugis memperketat pengepungannya lebih dari tiga bulan, benteng yang diperkuat itu akhirnya jatuh.
Kerajaan Jailolo, di bawah pimpinan Katarabumi pun takluk dan Katarabumi menyerah tanpa syarat. Meskipun Katarabumi menyerah, bukan berarti Portugis berhasil menerobos benteng itu, tetapi diakibatkan terputusnya dengan dunia luar dan kekurangan perbekalan. Setelah kekalahannya, Katarabumi dinyatakan meninggal karena meminum racun.
Sepeninggal Katarabumi, Kerajaan Jailolo kehilangan dinamika dan kekuatannya sebagai sebuah kerajaan. Ia hanya meninggalkan nama dan Identitas sebagai bekas sebuah kerajaan tertua dan terbesar pada masa awal kelahiran kerajaan-kerajaan Maluku. Kerajaan Jailolo juga telah meninggalkan identitasnya sebagai salah satu dari empat pilar kerajaan Maluku – yakni: Kerajaan Jailolo, Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore dan Bacan – yang dikenal sebagai Moloku Kie Raha.
Kerajaan Jailolo Pasca Katarabumi
Setelah wafatnya Katarabumi dan Sultan Khairun, pada 1600, Sultan Saidi dari Kerajaan Ternate menyerbu kembali Kerajaan Jailolo dan mendudukinya dengan bantuan Portugis. Kolano Kerajaan Jailolo, Saubo, pengganti Katarabumi, terpaksa melarikan diri. Setelah menggalang kembali kekuatannya, Saubo berhasil memperkecil kekalahannya. Bahkan beberapa waktu setelah Sultan Saidi ditangkap oleh Spanyol dan diasingkan ke Manila, Saubo berhasil merebut kembali seluruh wilayah kekuasaannya.
Pada 1611, Spanyol menyerbu dan menduduki Kerajaan Jailolo. Ketika itu, Kerajaan Ternate tengah menggalang kekuatan dengan Belanda. Raja Jailolo pun dibawa ke Ternate dan sejak saat itu tidak pernah lagi bertakhta di kerajaannya. Setelah Spanyol meninggalkan Kerajaan Jailolo pada 1620, Kerajaan Ternate menjadikan Kerajaan Jailolo sebagai kerajaan vasal-nya. Raja Jailolo terakhir, Kaicil Alam, tetap ditempatkan di Ternate, bukan di ibukota kerajaannya. Ia dipandang sebagai anggota keluarga Kerajaan Ternate dan dinikahkan dengan Puteri Boki Gamalama, adik Sultan Sibori Amsterdam, meskipun perkawinan ini berakhir dengan perceraian.
Meskipun secara hukum Kerajaan Jailolo telah bubar, namun ada keinginan dari beberapa pihak untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo, salah satunya adalah Sultan Tidore, Saifuddin Iskandar Zulkarnain (1657-1689). Melalui surat-surat yang dikirim kepada Gubernur VOC, Padtbrugge, Saifuddin selalu meminta agar Kerajaan Jailolo dihidupkan kembali dan Kaicil Alam dipulihkan kekuasaannya sebagai Sultan Jailolo.
Alasan-alasan utama yang diajukan oleh Saifuddin adalah restorasi Kerajaan Jailolo akan mengatasi kemelut yang melanda Maluku dan memulihkan perdamaian, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Demikian pula, di Maluku secara tradisional tegak di atas empat landasan atau tonggak; yaitu Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore, Bacan dan Kerajaan Jailolo – dan dengan dilikuidasinya Kerajaan Jailolo, Maluku kini sangat lemah, karena hanya tegak di atas tiga tonggak.
Gagasan Sultan Saifuddin tidak memproleh respon VOC, karena hutang budi dan kedekatan VOC dengan Kerajaan Ternate. Tetapi, dikalangan keluarga keraton Ternate sendiri, gagasan Saifuddin cukup memperoleh sambutan positif, Kaicil Kalamata dan para bobato lainnya, di masa pemerintahan Sibori Amsterdam, pernah mengusulkan agar Kaicil Alam didudukkan kembali ke atas takhta Kerajaan Jailolo. Sibori, tentu saja menolak gagasan ini dengan alasan bahwa Portugislah yang menghapus Kerajaan Jailolo, bukan Ternate.
Dengan keputusan ini tentu saja mengakibatkan usulan dan usaha Saifuddin untuk mengembalikan Kerajaan Jailolo tidak berhasil. Sehingga bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Jailolo sejak saat itu Jailolo hanya menjadi sebuah distrik di bawah otoritas Kerajaan Ternate. Pada tahun 1684, Kolano Jailolo terakhir, Kaicil Alam wafat dan usaha untuk menegakkan kembali kekuasaan Kerajaan Jailolo menjadi sia-sia.
Sultan Nuku, yang kemudian dinobatkan sebagai Raja atas Papua serta Seram Timur, dan kemudian diangkat menjadi Sultan Tidore, gagasan Saifuddin untuk mengembalikan eksistensi kerajaan Kerajaan Jailolo kini coba dilakukan oleh Nuku. Seusai dinobatkan sebagai Sultan Tidore, Nuku menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo sebagai kerajaan dan menunjuk Sangaji Tahane sebagai Sultan Jailolo dengan gelar Sultan Muhammad Arif Billa.
Alasan Sultan Nuku untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo sama dengan alasan yang dikemukakan oleh Saifuddin kepada gubernur VOC, Padtbrugge. Walaupun demikian, upaya Sultan Nuku ini juga merupakan tujuannya untuk mengimbangi hegemoni Kerajaan Ternate, karena Kerajaan Ternate dengan cerdik telah menunggangi Belanda guna mempertahankan hegemoni dan superioritasnya.
Sultan Jailolo yang diangkat oleh Sultan Nuku, Sultan Muhammad Arif Billa, bukanlah orang baru di dalam struktur Kerajaan Tidore. Di awal karier politiknya, Billa menjabat sebagai Sangaji Tahane (Makian), setelah 13 tahun ia menjabat sebagai Jogugu Kerajaan Tidore, sejak berkuasanya Sultan Kamaluddin (1784-1797), kakak Sultan Nuku.
Meski Billa adalah seorang Tahane atau Makian, tetapi lantaran jabatan yang ia pangku ia mendapatkan kualifikasi bangsawan setingkat kaicil. Sudah sejak 1786 Billa memimpin suatu faksi dalam lapisan bobato Tidore yang memihak Nuku dalam pergolakan politik di intern Kerajaan Tidore.
Pada 1796, Sultan Billa ditangkap atas perintah Sultan Kamaluddin, setelah terkuak hubungan yang dijalinnya dengan Nuku. Tetapi, karena campur tangan VOC, Billa dibebaskan. Menjelang penyerbuan Nuku ke Kerajaan Tidore, Billa melarikan diri dan bergabung dengan Nuku. Ia bersama dengan Nuku berjuang di dalam pembebasan Kerajaan Tidore, dan diangkat sebagai salah satu panglima Nuku yang handal.
Ketika Inggris mengembalikan Maluku kepada Belanda yang kemudian berkuasa antara 1803-1810, Sultan Nuku untuk pertama kalinya menawarkan sebuah perundingan kepada Belanda pada 1804. Perundingan ini ditawarkan Nuku dengan salah satu prsyaratan pengakuan Belanda atas Kerajaan Jailolo sebagai sebuah kerajaan merdeka dan berdaulat penuh.
Bagi Nuku, pengakuan atas Kerajaan Jailolo sebagai salah satu syarat perundingan merupakan suatu kemestian. Menurut adat, pengangkatan sultan Jailolo telah memperoleh persetujuan para bobato Kerajaan Tidore, Halmahera Timur-Weda, Maba dan Patani serta mendapat dukungan dari bobato Halmahera Utara – Jailolo, Sau, Tobelo, Galela, dan Raja Loloda serta Kao. Dengan dukungan itu telah cukup untuk memberikan keabsahan bagi Billa sebagai sultan Jailolo. Akan tetapi, Belanda menolak tawaran dan prasyarat Nuku.
Setelah berita penolakan Belanda tersebar, pasukan Sultan Jailolo di Toniku mulai dimobilisasi untuk menggempur Halmahera Utara. Nuku sendiri merancang rencana penyerbuan, dan Billa ditugasi memimpin serta melaksanakannya. Armada yang akan ambil bagian di dalam operasi militer ini direncanakan terdiri dari: 1 juanga Sultan Jailolo, 1 juanga putera-putera Sultan Jailolo, 8 juanga orang Tobelo dan Kao, 6 juanga dari Loloda, 1 juanga dari Tolofuo, 4 juanga dari Sau, 2 juanga dari Galela, 6 juanga dari Patani, 6 juanga dari Weda, 6 juanga dari Kerajaan Tidore, dan 5 juanga dari Papua.
Tujuan operasi ini adalah untuk memperoleh legitimasi para sangaji di Halmahera Utara bagi Sultan Jailolo. Tetapi, Sultan Nuku tidak menyadari bahwa sejak 1635 Kerajaan Jailolo telah lebur dan menjadi wilayah Kerajaan Ternate, yang melakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga sangat sulit bagi rakyat di kawasan Kerajaan Jailolo maupun Halmahera Utara mengubah loyalitas mereka kepada Kerajaan Ternate, terutama dikalangan orang Alifuru, walaupun sebagian rakyat Tobelo dan Galela adalah pengikut setia Nuku selama belasan tahun.
Dengan kondisi yang demikian, upaya Nuku menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo dalam kenyataannya hanya meryoakan kerajaan vasal Kerajaan Tidore, karena pemerintahan Nuku berada di atasnya – tidak sepenuhnya berhasil lantaran orang Alifuru mengakui Sultan Jailolo yang ditunjuk Nuku sebagai raja mereka.
Orang-orang ini tetap menyatakan kesetiannya kepada Kerajaan Ternate. Hanya beberapa kampung di pantai barat Halmahera yang dapat dikuasai oleh Kerajaan Jailolo. Orang Tobelo Tai – yakni Tobelo Boenge dan Tobelo Kao – pimpinan Sangaji Kuwasauwa dan Sangaji Sau mengakui Sultan Jailolo, tetapi Sangaji Galela serta orang Alifuru Jailolo dan Ibu menolak legitimasinya.
Operasi Halmahera Utara yang direncanakan oleh Nuku itu mengalami kegagalan dan tidak pernah dapat dilaksanakan, walaupun sebelumnya Nuku telah mengirim sejumlah tim ke wilayah tersebut untuk mensosialisasikannya. Hasil sosialisasi yang tidak menggembirakan barangkali yang membuat rencana penyerbuan yang dilakukan oleh Nuku terpaksa dibatalkan.
Sementara itu, Sultan Ternate, Muhammad Yassin, mengusulkan suatu kompromi kepada pemerintah Belanda di Ternate sehubungan dengan prasyarat Sultan Nuku. Usulan itu adalah agar kawasan Toniku di pantai barat Halmahera, yang masuk wilayah Kerajaan Tidore, ditetapkan sebagai wilayah sultan Jailolo dan rakyatnya, serta agar mereka diberi izin untuk memperoleh suplai bahan pangan dari wilayah Gane Dalam, yang masuk wilayah Ternate.
Setelah wafatnya Sultan Nuku pada 14 November 1805, Dewan kerajaan mengangkat Zainal Abidin sebagai sultan Tidore. Pada masa Zainal Abidin inilah Gubrernur Wieling meminta agar Sultan Tidore menyerahkan Kerajaan Jailolo kepada Belanda. Zainal Abidin, yang menemui kesulitan dalam menyerahkan sultan Jailolo kepada Belanda, menyatakan kepada Gubernur Wieling bahwa secara politis maupun militer, Sultan Jailolo, Muhammad Arif Billa, tidak punya potensi dan kemampuan untuk membahayakan pemerintah. Karena itu, menurut Zainal Abidin, ia tidak perlu ditangkap. Argumentasi ini tidak dapat diterima oleh Belanda, yang kemudian memandang Zainal Abidin sebagai orang yang tidak dapat diajak bekerjasama.
Akibatnya, Belanda menyerbu Kerajaan Tidore dan merampas benteng-benteng milik Kerajaan Tidore pada November 1806. Sultan Zainal Abidin mengerahkan armadanya untuk menangkal serbuan tersebut, tetapi upayanya menemui kegagalan. tentara Belanda juga menyerbu Soasio, ibukota Kerajaan Tidore, dan membumihanguskannya, termasuk istana Salero.
Para sangaji dan kimalaha yang menjadi anggota Dewan Kerajaan dipaksa menandatangani perjanjian yang menempatkan Kerajaan Tidore langsung di bawah pemerintahan Belanda, selama sultan baru belum diangkat. Perjanjian ini dipaksakan Belanda lantaran naiknya Zainal Abidin ke atas takhta Kerajaan Tidore menggantikan Nuku tidak sepengetahuan dan seizin Belanda. Demikian juga, Belanda melarang komunikasi antara para bobato Tidore dengan rekan-rekannya di Halmahera Timur, serta menjanjikan amnesti kepada seluruh bangsawan Kerajaan Tidore yang bersedia bekerjasama, terkecuali Sultan Jailolo.
Sebelum Belanda menyerbu Kerajaan Tidore, Zainal Abidin, Sultan Jailolo dan sejumlah bangsawan Kerajaan Tidore telah menyingkir ke Halmahera Timur. Zainal Abidin menuju ke Patani dan Sultan Jailolo membangun markasnya di Weda. Ketika Belanda menyerbu Weda dan menghancurkan markasnya, Sultan Jailolo masuk hutan dan berkelana di pedalaman Weda. Pada tahun 1807, Sultan Jailolo, Muhammad Arif Billa, wafat karena kecelakaan. Sultan Muhammad Arif Billa mati tergelincir ke dalam sebuah jurang dan dimakamkan di dekat sebuah sungai di Weda.
Setelah Sultan Muhammad Arif Billa wafat, ia digantikan oleh puteranya, Kimalaha Sugi – sebelumnya menjabat sebgai Ngofa Jou (putera mahkota). Sultan Jailolo ini bergelar Muhammad Asgar. Ketika Inggris (EIC) menduduki Kerajaan Ternate pada 1810, Muhammad Asgar tidak diakui sebagai Sultan Jailolo, karena belum pernah diangkat oleh suatu penguasa yang berhak, dan tidak berhak untuk menggunakan gelar itu (gelar sultan). Inggris lalu menangkap dan menahan Muhammad Asgar dan menahannya di Ambon hingga 1817.
Ketika Inggris menyerahkan kembali kekuasaan di Maluku kepada Belanda, Asgar ikut pula diserahkan sebagai tahanan. Pada tahun yang sama Asgar mengajukan permohonan kepada panitia pengambilalihan kekuasaan dari Inggris kepada Belanda agar ia dibebaskan dan diperkenankan kembali memimpin masyarakat Halmahera.
Permohonan Asgar tidak ditanggapi oleh Belanda. Karena itu, ia mengirimkan surat kepada Laksmana A.A. Buykes, yang tengah berada di Ambon dalam rangka penyelesaian Perang Pattimura, dan mengajukan Asgar mengemukakan bahwa di masa lampau Kerajaan Jailolo pernah eksis, sehingga amat wajar bila ia menuntut untuk menghidupkan kembali kerajaan tersebut.
Kerajaan Jailolo baru ini telah lahir dan menjadi kenyataan ketika masyarakat Halmahera mengangkat ayahnya, Muhammad Arif Billa sebagai sultan merka. Buyskes tidak menghiraukan permohonan Asgar, bahkan tidak lama kemudian ia lalu dibuang ke Jepara pada 1817. Tetapi, pada 1825, Asgar dikembalikan ke Maluku kemudian diangkat oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda sebagai Sultan Jailolo II dan berkedudukan di Seram Pasir.
Sejak Belanda menyerbu dan membumihanguskan Tidore, pada 1806 Hajuddin bersama 3.000 pengikutnya dari Halmahera Timur dan Tobelo-Tai berpindah-pindah tempat karena dikejar-kejar Belanda. Akhirnya Hajuddin beserta pengikutnya mendirikan koloni mereka di Seram Pasir. Di kalangan pengikutnya, Hajuddin dikenal sebagai Sultan Jailolo III yang berkuasa di Seram Pasir.
Hingga 1821, jumlah pengungsi yang berada di Seram Pasir telah mencapai angka 7.000 orang. para pengungsi ini berasal dari Halmahera Timur, tetapi juga dari Halmahera Utara – Tobelo, Kao, serta Galela – dan Papua yang mendukung Hajuddin, termasuk penduduk asli Seram Pasir dan sekitarnya, seperti penduduk Negeri Lisabata, Hative, serta Seram Timur. Para pendatang baru di Seram Pasir itu adalah orang-orang yang melarikan diri dari kejaran pasukan Sultan Muhammad Tahir, yang sejak 1810 berkuasa sebagai Sultan Tidore ke-21. Para pendatang ini dipimpin oleh Sangaji Rubacola dan Kapita Laut Naimuddin dari Weda.
Dengan demikian semakin bertambah pengikutnya, Hajuddin merasa perlu mendapatkan legitimasi atas kekuasaannya dari Pemerintah Belanda. Ia menyurati Gubernur Ambon dan meminta pengertian baiknya mengenai masyarakat Halmahera di Seram Pasir, dan agar ia diizinkan membentuk sebuah kerajaan di Halmahera untuk mengatur pengikutnya. Upaya Hajuddin gagal, bahkan membuatnya semakin diburu. Belanda menganjurkan rakyat agar tidak berhubungan dengan Sultan Jaillo III yang telah dinyatakan sebagai penjahat, dan menjanjikan hadiah bagi siapa saja yang dapat menangkap Hajuddin, hidup atau mati.
Sementara itu, sepanjang abad ke-19, di perairan Nusantara Timur, khususnya di perairan Maluku dan Kepulauan Ambon, aksi-aksi perompakan yang melibatkan oran Tobelo dan Galela sedang marak. Para bajak laut Halmahera Utara ini bahkan menjalin kerjasama dengan bajak laut Mindanao dan Sulu dari Filipina Selatan. Di perairan Maluku, aksi-aksi perompakan juga melibatkan sejumlah orang Halmahera Timur dan Tobelo yang bermukim di Seram Pasir. Aksi-aksi ini telah membuat pelayaran dan perdagangan di kawasan tersebut sangat terganggu.
Para pejabat Gubernemen di Ambon berpendapat bahwa operasi-operasi bajak laut dalam wilayah Maluku itu didalangi Sultan Jailolo III, Hajuddin. Karena itu, menurut pendapat Gubernur Merkus, jika Hajuddin bisa dijinakkan, perompakan yang sangat mengganggu pelayaran dan perdagangan di perairan Maluku serta Kepulauan Ambon akan dapat ditanggulangi dan dihentikan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Merkus mulai menjalin kontak resmi dengan Hajuddin. Kontak ini pada akhirnya membawa kedua pihak ke meja perundingan untuk membahas pembentukan Kerajaan Jailolo di Seram Pasir.
Dalam usulnya mengenai agenda perundingan, Hajuddin menuntut agar ia diakui sebagai penguasa Halmahera. Tetapi, tuntutan ini ditolak Gubernur Merkus yang sebaliknya ,menyetujui usulan tersebut dan menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada Gubernur Merkus. Ia juga mengajukan syarat bahwa yang akan menjadi penguasa Kerajaan Jailolo di Seram Pasir adalah kakaknya, Muhammad Asgar. Sementara ia sendiri cukup menjaba sebagai Raja Muda.
Setelah berkonsultasi dengan Batavia, Merkus dapat menerima persyaratan yang diajukan Hajuddin. Muhammad Asgar pun didatangkan ke Ambon dari Jepara untuk ikut menandatangani perjanjian, yang dilakukan pada 25 Januari 1826. Tidak lama setelah itu, Muhammad Asgar dilantik sebagai Sultan Jailolo II, yang berkuasa atas Seram Pasir – tidak termasuk daerah pedalaman.
Dalam upacara di Benteng Victoria, Ambon, Sultan Jailolo II itu mengucapkan sumpah setia kepada Kerajaan Belanda. Sebagai Sultan, Muhammad Asgar bergelar “Paduka Seri Tuwan Sulthan al-Wasatu Billahil Alim, Sulthan Muhammad Saleh Amiruddin Khalifatullah Atas Muka Bumi Daerah Alam Maluku Yang Maha Mulia, Raja Yang Memegang Parenta di atas Takhta Kerajaan Tanah Seram.”
Dalam perjanjian sebelum pelantikan Sultan Jailolo II, disebutkan bahwa seluruh kedaulatan dalam Kerajaan Seram Pasir terletak di tangan Gubernur, yang diwakili seorang pejabat Hindia Belanda. Wilayah kerajaan Seram Pasir tidak termasuk daerah pedalaman, dan sultan diberi hak memungut pajak dari rakyat yang berada dalam wilayah kerajaannya. Sultan Jailolo II juga dilengkapi dengan sejumlah bobato yang diambil dari tokoh-tokoh Halmahera Timur dan Tobelo yang bergelar kimalaha serta Sangaji.
Sebenarnya kekuatan dan kewibawaan Sultan Jailolo II tidak hanya terletak pada dukungan para bobato belaka, tetapi pada dukungan Gubernemen – dalam hal ini Gubernur Ambon, Merkus. Kekuasaan Sultan Jailolo hanya dapat terjamin karena dukungan dan bantuan Gubernur Merkus dalam upaya mengatasi operasi-operasi perompakan di kawasan Maluku. Merkus bahkan menyerukan kepada bawahannya untuk memberikan dukungan serupa kepada Sultan Jailolo II. Pemerintah Belanda memberi tunjangan kepada Sultan Jailolo II sebesar f250 setiap bulannya.
Setelah Merkus tidak lagi menjabat gubernur, mulai muncul perselisihan antara Sultan Jailolo II dengan Gubernur Ambon. Pihak gubernemen menilai bahwa sultan mulai terlibat dengan para bajak laut Tobelo. Pada 1831, Sultan Jailolo II berselisih dengan Komandan Militer Wahai, yang juga menjabat sebagai asisten residen. Komandan militer itu melaporkan kepada Gubernur Maluku bahwa Sultan Jailolo II berencana menyerang Benteng Wahai. Gubernur akhirnya memerintahkan menangkap Sultan Jailolo II, walaupun kemudian dibebaskan karena laporan tersebut didasarkan pada keterangan palsu.
Beberapa saat setelah insiden tersebut, Sultan Jailolo II, Muhammad Asgar, memutuskan pindah dari Seram Pasir karena daerah ini tidak subur untuk pertanian, sehingga banyak rakyatnya yang miskin dan beralih menjadi bajak laut. Ia kemudian mengajukan permintaan kepada pemerintah Belanda agar ia dan rakyatnya diizinkan kembali ke Halmahera.
Ketika berkunjung ke Ambon pada tahun 1832, Sultan Jailolo II mengajukan kembali permohonan pindah ke Obi, pulau yang telah dibeli VOC dari Sultan Bacan. Sementara pengikut Asgar mendesaknya agar mereka kembali ke Halmahera Timur. Dengan demikian, Asgar dan rakyatnya memiliki keinginan yang berada tentang kepindahan itu. Tetapi, permohonan pindah tersebut di tolak gubernur. Sultan Jailolo II akhirnya memutuskan menempuh jalan sendiri. Ia mengutus adiknya ke Bacan untuk menjajagi kemungkinan untuk berpindah, namun upaya ini tidak membuahkan hasil.
Untuk menyelesaikan kemelut Kerajaan Jailolo, Gubernur Jenderal akhirnya mengutus Pieter Merkus – saat itu menjabat sebagai anggota Road van Indie – ke Ambon. Pemecahan masalah yang diusulkan Merkus terdiri dari dua alternatif:
- Sultan Jailolo II di Seram Pasir dipensiunkan dan diganti dengan Hajuddin sebagai Sultan Jailolo II.
- Kerajaan Jailolo dibubarkan dan seluruh keluarga kerajaan diasingkan.
Alternatif pertama gagal dijalankan, karena Hajuddin menolak menggantikan kakaknya. Gubernur Ellinghuizen, yang menjadi juru runding Pemerintah Belanda, akhirnya melaksanakan alternatif kedua. Pada akhir tahun 1832, Ellinghuizen mengunjungi Wahai. Kunjungan ini dengan alasan untuk mengadakan perundingan di atas kapal yang sengaja didatangkan ke Wahai, Gubernur mengundang Sultan Jailolo II, Raja Muda Hajuddin, Jogogu Jamaluddin, dan Kapita Laut Kamadian, beserta seluruh keluarga mereka semua berjumlah 60 orang ke atas kapal. Setelah semuanya berada di atas kapal, mereka ditangkap dan kapal itu pun berlayar menuju Ambon.
Dari Ambon rombongan tahanan Kerajaan Jailolo diangkut dengan dua kapal ke Batavia, kemudian ke Cianjur, tempat mereka diasingkan. Kerajaan Jailolo di Seram Pasir pun dilikuidasi dan berakhirlah kasus Kerajaan Jailolo. Pada 1844, rombongan tahanan Kerajaan Jailolo, kecuali Hajuddin dan Jamaluddin dan putera Sultan Jailolo II dikembalikan lagi ke Maluku. Pasca likuidasi Kerajaan Jailolo, pengikut-pengikut Sultan Jailolo yang berasal dari Halmahera Timur kembali ke daerah asal mereka, setelah sekitar setengah abad menyatakan kesetiannya kepada Sultan Jailolo.
Namun, orang Tobelo dan Galela menolak perintah Gubernur Ambon untuk kembali ke daerah asalnya, dan tetap bermukim di Seram Pasir. Sebagian dari mereka kemudian bergabung dengan para bajak laut yang beroperasi hingga ke daerah utara Jawa bagian timur. Meskipun dikatakan kasus Kerajaan Jailolo telah usai namun upaya-upaya untuk mengembalikan eksistensinya tidak pernah berakhir.
Hal ini dapat terlihat dari beberapa upaya yang terus dilakukan untuk mengembalikan Kerajaan Jailolo diantaranya ada suatu gerakan yang dipimpin oleh Dano Baba Hasan, kemudian gerakan yang dilakukan oleh Dano Jaeyudin. Selain itu ada pula beberapa kali usaha untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo lebih disebabkan karena perebutan kepentingan antara Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore.
Daftar Bacaan
- Amal, M. Adnan. 2010. Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: KPG
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.