Sejarah Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang dianggap selama ini sebagai kerajaan yang berhasil mempersatukan Nusantara. Kerajaan Majapahit yang didirikan sejak tahun 1293 itu telah berhasil mempertahankan eksistensinya hingga tahun 1498 (?). Tidak hanya sekedar mempertahankan eksistensi dirinya saja, namun Kerajaan Majapahit telah berhasil menguasai dan mampu mengontrol aktivitas pelayaran dan perdagangan di Kepulauan Nusantara dan Asia Tenggara di era keemasannya. Bahkan dapat dikatakan pula bahwa Kerajaan Majapahit sebagai sebuah kerajaan yang pernah ada di Indonesia sebelum era kemerdekaan dianggap sebagai puncak kebesaran yang pernah dicapai oleh bangsa Indonesia.
Kiranya memang seperti itulah kira-kira dapat dikatakan, sebab Kerajaan Majapahit dikenal memiliki armada laut yang sangat banyak, kuat dan tangguh dan didukung oleh teknologi kemaritiman yang sangat canggih pada masanya telah membuat Kerajaan Majapahit meng-hegemoni daerah-daerah sekitarnya dan bahkan tidak jarang pula hal itu ditunjukkan oleh Kerajaan Majapahit melalui kekuatan militernya tatkala ada daerah-daerah yang tidak mau mengakui kekuasaan dan kebesaran Kerajaan Majapahit. Di bawah ini akan dideskripsikan perkembangan awal kerajaan Kerajaan Majapahit hingga menjelang keruntuhannya.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Majapahit
Kemunculan Kerajaan Majapahit sangat berkaitan erat dengan keruntuhan Kerajaan Singasari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara.
Prahara di Langit Singasari
Tahun 1292, adalah tahun yang dianggap oleh Kerajaan Singasari pada saat itu sebagai tahun terkelam, tahun di mana telah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh seorang raja bawahan Kerajaan Singasari yang selama ini tunduk dan patuh kepada Raja Kertanegara, sang peletak dasar konsep cakrawala mandala. Pemberontakan itu dilakukan oleh penguasa Gelang-Gelang yaitu Jayakatwang yang merupakan keturunan dari raja Kediri yang terakhir, yaitu Kertajaya (Dandang Gendis). Setelah berakhirnya kekuasaan Kerajaan Kediri dan digantikan oleh Kerajaan Singasari, tidak semata-mata kekalahan yang diterima oleh leluhur Jayakatwang, dilupakan begitu saja. Bahkan Jayakatwang sendiri sebenarnya sedang mencari-cari waktu yang tepat untuk melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Singasari.
Kertanegara yang telah berhasil melakukan berbagai ekspedisi sejak masa awal pemerintahannya, dan mencapai puncak ekspedisi besar-besaran terutama memasuki tahun 1275 yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu. Kertanegara selalu berhasil setiap kali ia mengirimkan pasukannya ke medan pertempuran. Selain dibekali semangat juang dan tekad yang tinggi, dan juga dipimpin oleh para perwira-perwira yang cakap serta dibekali pula oleh persenjataan yang mampu mendukung berbagai ekspedisi itu. Alhasil, kekuasaan Kertanegara semakin meluas, dan ini membuat Kertanegara semakin percaya diri untuk menghadapi ancaman Kublai Khan yang kemungkinan bertekad untuk menaklukan Jawa. Kepercayaan diri yang tinggi itu membuat Kertanegara secara terus-menerus mengirimkan pasukannya dalam jumlah besar ke luar Jawa untuk membentengi Kerajaan Singasari dari ancaman Kublai Khan.
Dikirimkannya sebagian besar pasukan Kerajaan Singasari keluar Jawa, menyebabkan melonggarnya pertahanan Kerajaan Singasari jika mendapatkan serangan dari dalam. Kepercayaan diri yang tinggi Raja Kertanegara seolah menganggap bahwa ancaman internal tidak ada dan semua raja bawahan tunduk padanya, membuat dirinya tidak begitu menggubris tentang desas-desus akan rencana pemberontakan yang disusun oleh Jayakatwang. Sebenarnya Kertanegara telah cukup cerdik untuk menikahkan Jayakatwang dengan Adiknya yang bernama Turukbali dan juga telah menjadikan purtra Jayakatwang, Arddharaja sebagai menantunya. Hal ini dilakukan oleh Kertanegara untuk menjaga hubungan politik dengan Jayakatwang dan agar Jayakatwang melupakan hal-hal yang terjadi di masa lalu.
Akan tetapi, Jayakatwang yang mendapat dorongan dari patihnya, Kebo (Mahisa) Mundarang merasa berhak atas takhta Kerajaan Singasari. Selain itu Jayakatwang juga mendapat dukungan dari bupati Sungenep, Arya Wiraraja yang akan memberitahu kepada Jayakatwang waktu yang tepat untuk menyerang Kerajaan Singasari. Akhirnya, waktu penyerangan terhadap Kerajaan Singasari pun tiba pada bulan Mei 1292, Kertanegara mengirimkan sebagian besar pasukannya untuk berjaga di perbatasan Malayu untuk menghalau jikalau terjadi serangan dari Kublai Khan.
Jayakatwang, berdasarkan prasasti Kudadu (1294) membagi tentara Gelang-Gelang menjadi dua dan menjepit keraton Kerajaan Singasari dari dua arah. Strategi itu rupa-rupanya berhasil menarik tentara Kerajaan Singasari yang tersisa di keraton untuk menyerang tentara Jayakatwang yang menyerang dari arah utara. Sedangkan tentara utama Jayakatwang menyerang dari arah selatan berhasil dengan mudah masuk ke keraton Kerajaan Singasari dan membunuh Kertanegara. Kematian Kertanegara menjadi pertanda runtuhnya Kerajaan Singasari.
Raden Wijaya dan Berdirinya Kerajaan Majapahit
Setelah Kertanegara tewas dan Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang, Raden Wijaya yang merupakan menantu dari Kertanegara melarikan diri ke Sungenep untuk meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja. Di Sungenep, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja menyusun rencana untuk merebut kembali kekuasaan yang telah diambil oleh Jayakatwang dari Kertanegara. Berdasarkan Negarakrtagama dan prasasti Sukamrta dan prasasti Balawi, Raden Wijaya sendiri adalah keponakan dari Kertanegara namun dari keturunan Ken Arok dan Ken Dedes. Sedangkan Kertanegara berasal dari keturunan Tunggul Ameutung dan Ken Dedes.
Berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam prasasti Kudadu (1294), Nararyya Sanggramawijaya (Raden Wijaya) sangat taat kepada Kertanegara, semasa penyerangan yang dilakukan oleh Jayakatwang terhadap Kerajaan Singasari pun betapa terlihat ketaatan yang diperlihatkan oleh Sanggramawijaya. Dalam posisi telah jatuhnya Kerajaan Singasari, Sanggramawijaya mengungsi dan berlindung di Desa Kudadu sebelum ia melanjutkan perjalanannya ke Madura.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh prasasti Sukamrta, Sesampainya di Madura, Raden Wijaya disambut oleh Arya Wiraraja, yang kemudian mengusahakan agar Wijaya dapat diterima dan menyerahkan diri kepada Jayakatwang yang pada saat itu telah memindahkan ibukotanya dari Gelang-Gelang (Madiun) ke Kediri. Jayakatwang yang merasa berhutang budi pada Arya Wiraraja, lantas memberikan kepercayaan kepada Raden Wijaya dan memberikan daerah hutan Terik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih akan dijadikan pertahanan terdepan dalam menghadapi musuh yang menyerang melalui Sungai Brantas. Daerah Terik yang dibuka oleh Wijaya menjadi desa atas bantuan Arya Wiraraja diberi nama Kerajaan Majapahit. Di Kerajaan Majapahit, Wijaya berusaha untuk menarik simpatik orang-orang dari Tumapel dan juga Daha yang masih setia kepada trah Kerajaan Singasari.
Setelah membuka daerah Terik, Wijaya mulai memperkuat diri sambil menunggu waktu yang tepat untuk menyeran Kediri. Di Madura, Arya Wiraraja sudah bersiap-siap untuk memberikan bantuan ke Kerajaan Majapahit. Namun, setelah persiapan untuk menggelar perang sudah rampung untuk menyerang Jayakatwang, pada tahun 1293 M Jawa kedatangan bala tentara Kublai Khan yang sebenarnya dikirim dengan tujuan memberikan hukuman dan menyambut tantangan dari Raja Kertanegara yang telang menganiaya Meng-Ch’i utusan Kublai Khan.
Kedatangan tentara Kublai Khan rupa-rupanya menjadi kesempatan bagi Wijaya untuk “meminjam” kekuatan tentara Kublai Khan untuk menyerang Jayakatwang dengan menyatakan bersedia tunduk kepada kekaisaran Kublai Khan, dengan syarat tentara Kublai Khan mau menggempur Daha. Penyerahan Wijaya kemudian diterima dengan senang hati oleh panglima tentara Kublai Khan, yaitu Ike Mese.
Demikianlah, dengan kedatangan tentara Kublai Khan tercapailah apa yang diinginkan oleh Wijaya, yaitu keruntuhan Daha. Setelah runtuhnya Daha dan terusirnya tentara Kublai Khan melalui siasat licik yang dilakukan oleh Wijaya, berdasarkan Kidung Hasra-Wijaya, pada 10 November 1293 M Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja Kerajaan Majapahit. Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana didampingi oleh keempat putri Kertanegara sebagai permaisurinya; Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri.
Raja-Raja Kerajaan Majapahit
Pemerintahan Raden Wijaya
Setelah dinobatkannya Wijaya sebagai raja Kerajaan Majapahit, kembalilah pasukan yang pada tahun 1292 dikirim Kertanegara ke Nusantara dengan membawa hasil yang sangat gemilang. Banyak raja-raja di Nusantara yang tunduk dan memberikan upeti. Raja Malayu mempersembahkan dua orang putri, yakni Dara Petak dan Dara Jingga. Di mana keduanya dinikahkan pula oleh Kertarajasa Jayawardhana.
Pengikut-pengikut Kertarajasa yang berjasa dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit diangkat menjadi pejabat tinggi dalam pemerintahan. Beberapa nama yang disebutkan baik di dalam Pararaton maupun Kidung Hasrawijaya yaitu; Wiraraja sebagai mantri mahawiradikara, Pu Tambi (Nambi) sebagai rakryan mapatih, dan Pu Sora sebagai rakryan apatih di Daha, Lawe diangakat sebagai amanca nagara di Tuban dan adhipati di Datara. Pemimpin pasukan ke Malayu, Kebo Anabrang diangkat sebagai panglima perang. Namun, tidak semua orang puas atas pembagian jabatan di dalam pemerintahan Kerajaan Majapahit, hal inilah yang menimbulkan kekacauan dan “perang antar pahlawan” pada masa awal terbentuknya Kerajaan Majapahit.
Perang Antar Pahlawan
Rangga Lawe yang merasa tidak puas dalam pembagian jabatan pemerintahan mempersiapkan diri menghimpun kekuatan di Tuban dan dianggap sebagai pemberontakan pertama pada masa awal berdirinya Kerajaan Majapahit. Pertempuran antara Kerajaan Majapahit dengan Tuban terjadi pada 1295. Rangga Lawe tewas ditangan Kebo Anabrang, namun karena Pu Sora tidak terima atas kematian Lawe, maka Pu Sora menikam Kebo Anabrang.
Peristiwa tertikamnya Kebo Anabrang oleh Pu Sora merupakan kesempatan bagi Mahapati untuk menyingkirkan Pu Sora. Mahapati melakukan trik untuk memberitakan berita-berita palsu untuk menyudutkan Sora dan mendesak Wijaya untuk menegakkan hukum negara. Atas tipu daya Mahapati, maka pertempuran pun terjadi antara pasukan Pu Sora dengan pasukan Kerajaan Majapahit yang menyebabkan Pu Sora tewas setelah pertempuran selama 1298-1300. Setelah kematian Pu Sora, Mahapati menjadikan Pu Nambi sebagai target selanjutnya. Namun, Nambi hanya berhasil bertahan hingga beberapa tahun. Raden Wijaya meninggal tahun 1309 M setelah mengalami sakit beberapa tahun.
Era Jayanagara (Jayanegara)
Jayanegara dinobatkan menjadi raja pada tahun 1309. Pada masa pemerintahannya selalu diliputi oleh pemberontakan yang disebabkan oleh Mahapati. Nambi yang sepeninggal Raden Wijaya tidak kunjung kembali ke Kerajaan Majapahit hingga tahun 1311 M dituduh oleh Mahapati sedang menyusun pemberontakan terhadap kekuasaan Jayanegara. Nambi yang mendengar desas-desus itu tidak mau kembali ke Kerajaan Majapahit dan memilih untuk bertahan di Lumajang dan memutuskan membuat benteng di Pajarakan. Pada tahun 1316 M Benteng Pajarakan diserbu oleh pasukan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Mahapati dan berhasil membunuh Nambi beserta keluarganya.
Setelah peristiwa di Pajarakan, muncul pemberontakan lainnya yang dilakukan oleh Semi pada tahun 1318 dan pemberontakan Kuti pada tahun 1315. Semi dan Kuti sendiri adalah dua orang dari tujuh dharmmaputra yang dibentuk oleh Jayanegara atas usulan Mahapati. Dalam pemberontakan Kuti, Kutaraja berhasil diduduki oleh pasukan pemberontak dan Jayanegara mengungsi di dampingi oleh pasukan bhayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada. Sedangkan Mahapati beserta keluarganya berhasil dibunuh oleh pasukan pemberontak.
Gajah Mada yang memiliki inisiatif untuk merebut kembali takhta Raja Kerajaan Majapahit yang diduduki oleh pemberontak dalam waktu cepat berhasil mengalahkan Kuti dan mengembalikan Jayanegara ke singgasanannya sebagai raja Kerajaan Majapahit. Setelah berhasil menumpas pemberontakan Kuti, Gajah Mada diangkat menjadi patih di Kahuripan dan kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi Patih di Daha. Pada tahun 1328 Jayanegara meninggal dibunuh oleh Tanca, seorang tabib.
Tribhuwanotunggadewi Jayawisnuwardhani
Sepeninggal Jayanegara, takhta Kerajaan Majapahit dilanjutkan oleh adik perempuannya, yaitu Tribhuwana yang pada saat itu menjabat sebagai Bhre Kahuripan. Hal ini disebabkan karena Jayanegara tidak memiliki seorang pun putra. Tribhuwana menikah dengan Cakreswara (Cakradhara) yang menjadi Bhre Singasari, sedangkan adik Tribhuwana yang menjadi Bhre Daha, Rajadewi menikah dengan Kudamerta yang merupakan Bhre Wengker.
Pada masa pemerintahan Tribhuwana telah terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta di tahun 1331. Pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah peristiwa Sadeng dan Keta, Gajah Mada bersumpah dihadapan raja dan para pembesar Kerajaan Majapahit, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik. Pada tahun 1334 Tribhuwana melahirkan seorang anak yang bernama Hayam Wuruk. Pada tahun 1343 Gajahmada melakukan penyerangan terhadap Bali dan berhasil menaklukan Bali dan membunuh rajanya yang bernama Sri Astasura Ratna Bumi Banten, sebagaimana nama tersebut dipahatkan di prasasti Langgaran (1338). Pada tahun 1350 Tribhuwana mengundurkan diri dari pemerintahan dan menyerahkan takhtanya kepada Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk Menuju Puncak Kebesaran Kerajaan Majapahit
Setelah Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Kerajaan Majapahit di tahun 1350, ia bergelar Sri Rajasanagara. Di dalam menjalankan pemerintahannya, Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada sebagai patih hamangkubhumi. Di bawah kolaborasi keduanya Kerajaan Majapahit mencapai puncak kebesarannya yang bahkan lebih besar jika dibandingkan keberhasilan politik yang telah dicapai oleh Kertanegara pada tahun 1275.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Negarakrtagama dapat diketahui bahwa daerah-daerah yang ada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit sangat luas, daerah ini meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia sekarang, dari Sumatra hingga Maluku dan sebagian Irian di timur; bahkan pengaruh itu telah diluaskan pula sampai ke beberapa negara di wilayah Asia Tenggara. Namun, politik perluasan ini nampaknya berhenti setelah tahun 1357, dengan terjadinya peristiwa Bubat. Peristiwa Bubat adalah persitiwa di mana terjadinya perselisihan antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Majapahit.
Setelah peristiwa Bubat, Gajah Mada mengundurkan diri sebagai patih hamangkubumi. Sedangkan Hayam Wuruk menikahi Paduka Sori, anak Bhre Wengker, Kudamerta dari perkawinannya dengan Bhre Daha, Rajadewi Maharajasa, yang merupakan bibi dari Hayam Wuruk Sendiri. Itu artinya bahwa Hayam Wuruk menikahi sepupunya sendiri.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk terlihat usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Pelbagai kegiatan dalam bidang ekonomi dan kebudayaan sangat diperhatikan. Hasil pungutan pelbagai macam pajak dan upeti dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kesejahteraan bagi seluruh kerajaan dalam pelbagai bidang. Seperti pembuatan bendungan, saluran irigasi, pembukaan tanah-tanah baru untuk perladangan dan usaha-usaha untuk memudahkan lalu lintas antar-daerah. Hayam Wuruk beberapa kali juga melakukan perjalanan kenegaraan untuk meninjau daerah-daerah wilayah Kerajaan Majapahit yang disertai pembesar kerajaan.
Negarakrtagama mencatat perjalanan Hayam Wuruk ke Pajang pada tahun 1351, Lasem 1341, Lodaya 1357. Kemudian ia mengadakan perjalanan menuju daerah Lamajang pada tahun 1359 dan daerah Tirib dan Sempur pada 1360. Daerah Balitar pada tahun 1361, dan 1363 berkunjung ke Simping.
Pada tahun 1364 Gajah Mada sebagai patih hamangkubumi wafat, dan tidak ada seorangpun yang mampu menggantikan posisi Gajah Mada sebagai patih hamangkubumi. Sehingga Hayam Wuruk memutuskan mengangkat aryyatmaraja pu Tanding sebagai Wrddhamantri, sang arya wira mandalika pu Nala sebagai mancanagara, dan Patih Dami diangkat sebagai yuwamantri. Pada tahun 1367 Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih hamangkubumi. Pada tahun 1389 Hayam Wuruk meninggal dan digantikan oleh Wikramawarddhana (Bhre Hyang Wisesa) yang merupakan menantu Hayam Wuruk yang dikawinkan dengan putrinya, Kusumawarddhani.
Perebutan Kekuasaan Kerajaan Majapahit
Wikramawardhana yang menjabat tahun 1389 sebenarnya adalah anak dari Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari (adik Hayam Wuruk), yang menikah dengan Bhre Paguhan, Singawarddhana. Pada tahun 1400 Wikramawarddhana mengundukan diri dan mengangkat anaknya, Suhita untuk menjadi raja Kerajaan Majapahit. Suhita adalah anak kedua dari Wikramawarddhana, sedangkan anak pertama Wikramawarddhana yaitu Bhra Hyang Wekasing Sukha yang meninggal tahun 1399 sebelum dinobatkan menjadi raja. Sehingga Suhita-lah yang menjadi raja di Kerajaan Majapahit menggantikan Wikramarddhana.
Duduknya Suhita telah menimbulkan kericuhan di Kerajaan Majapahit Pertentangan terjadi antara keluarga Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi, yang merupakan anak Hayam Wuruk dari selir. Sehingga dia tidak berhak atas takhta Kerajaan Majapahit, meskipun begitu, ia diberikan daerah Blambangan sebagai wilayah kekuasaannya. Namun setelah Suhita menjadi raja di Kerajaan Majapahit, ia tidak setuju akan pengangkatan itu. Pada tahun 1401 dimulailah perselisihan antara keluarga Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi. Perang diantara keduanya pecah pada 1404 – 1406 yang dimenangkan oleh keluarga Wikramawarddhana setelah Raden Gajah berhasil membunuh Bhre Wirabhumi. Meskipun Bhre Wirabhumi telah dibunuh, namun persengketaan itu tidak berakhir bahkan hingga menjelang meninggalnya Suhita pada tahun 1447.
Suhita yang meninggal tidak mempunyai anak, maka takhta diberikan kepada adiknya yaitu, Kertawijaya yang memerintah selama tiga tahun hinggal 1451. Setelah Kertawijaya meninggal, dirinya digantikan oleh Bhre Pamotan yang asal-usulnya tidak diketahui namun bergelar Sri Rajasawarddhana. Pada tahun 1453 Rajasawarddhana meninggal dengan ketidakberhasilan menyelesaikan konflik internal di Kerajaan Majapahit. Hal ini juga berdampak pada kekosongan takhta (interregnum) di Kerajaan Majapahit selama tiga tahun.
Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Setelah terjadinya kekosongan takhta selama tiga tahun, maka muncullah nama Dyah Suryawikrama Girisawarddhana sebagai raja di Kerajaan Majapahit. Ia adalah salah seorang anak Kertawijaya yang selama pemerintahan Kertawijaya (1447–1451). Dyah Suryawikrama meninggal pada tahun 1466 M dan digantikan oleh Bhre Pandan Salas yang memerintah selama 1466-1474. Sepeninggal dirinya, kedudukan raja Kerajaan Majapahit digantikan oleh anaknya, Dyah Ranawijaya. Hal yang perlu dicatat adalah setelah Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Girisawarddhana wilayah kekuasaannya semakin kecil dan banyak kerajaan-kerajaan yang terletak jauh dari pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit telah memisahkan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Kerajaan Majapahit sendiri runtuh setelah mendapatkan serangan dari Pati Unus (1518-1521).
Struktur Birokrasi Kerajaan Majapahit
Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Di dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh beberapa pejabat birokrasi. Para putra raja dan kerabat dekat diberikan kedudukan sebagai raja muda (yuwaraja atau kurmararaja) dan diberikan sebuah daerah lungguh. Di bawah kedudukan yuwaraja terdapat jabatan pahom narendra atau Dewan Pertimbangan kerajaan. Jabatan ini bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja yang anggotanya adalah sanak saudara raja.
Dibawah Raja terdapat sejumlah raja-raja daerah (paduka bhattara) yang masing-masing memerintah sebuah negara daerah. Mereka merupakan saudara-saudara atau para kerabat dekat raja yang memerintah. Mereka biasanya dibebani tugas dan tanggung jawab untuk mengumpulkan penghasilan kerajaan dan penyerahan upeti kepada perbendaharaan kerajaan, dan juga meliputi fungsi pertahanan di wilayahnya. Para penguasa daerah ini dalam menjalankan pemerintahan daerahnya dibantu oleh sejumlah pejabat daerah, dengan struktur yang mirip dengan yang ada di pusat tetapi dalam skala yang lebih kecil.
Jabatan Rakryan Mahamantri Katrini bisanya dijabat oleh para putra raja. Mereka terdiri dari rakryan mahamantri i Hino, rakryan mahamantri i Halu, dan rakryan mahamantri i Sirikan. Di antara ketiga pejabat itu rakryan mahamantri i Hino yang tertinggi dan terpenting kedudukannya, karena ia berhak mengeluarkan prasasti.
Dewan Menteri yang berfungsi sebagai badan pelaksana pemerintahan atau yang biasa disebut dengan rakryan ri pakira-kiran terdiri dari lima orang pejabat; rakryan mapatih atau patih hamangkubumi, rakryan tumenggung, rakryan demung, rakryan rangga dan rakryan kanuruhan. Kelima pejabat itu disebut pula Sang Panca ring Wilwatikta. Untuk jabatan patih hamangkubumi terkadang disebut pula Apatih ring Tiktawilwadhika.
Diantara pejabat tinggi itu ada juga jabatan yang setingkat dengan rakryan ri pakira-kiran diantaranya adalah Sang Wrddamantri, Yuwawamntri Sang Aryyadhikara, Sang Aryyatmaraja, Mantri Wagmimaya, Mantri Kesadhari dan Rakryan Juru. Dharmmadhyaksa adalah pejabat tinggi kerajaan yang menjalankan fungsi yuridksi kerajaan, diantaranya; Dharmadhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharmadhyaksa ring Kasogatan untuk utusan agama Buddha. Untuk menjalankan tugasnya mereka dibantu oleh pejabat keagamaan (dharmmaupapatti).
Selain para pejabat tinggi itu juga terdapat sejumlah pejabat militer dan sipil diantaranya adalah Kepala jawatan (tanda), para nayaka, pratyaya, dan para drawyahaji mereka ini adalah pejabat sipil. Sedangkan pejabat militer diantaranya adalah pangalasan, senapati dan surantani. Sekira-kiranya terdapat 150 mentri dan 1500 pejabat-pejabat rendahan yang terdiri dari para tanda, wadohaji, panji andaka dan kajineman.
Sosial-Ekonomi Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang memiliki dua corak sekaligus dalam ekonominya, yakni sebagai kerajaan yang bercorak agraris di satu sisi dan bercorak maritime di sisi lainnya. Sebagai kerajaan yang bercorak agraris, Kerajaan Majapahit terutama sekali terlihat semasa pemerintahan Raja Hayam Wuruk telah membangun beragam sarana penunjang pertanian, seperti pembangunan saluran-saluran irigasi dan pembukaan lahan-lahan baru yang diperuntukkan untuk pertanian. Di Sisi lain Hayam Wuruk juga melakukan pembangunan pelabuhan-pelabuhan transit yang mengkoneksikan antar wilayah untuk mendukung aktivitas perdagangan.
Struktur sosial Kerajaan Majapahit secara umum terbagi menjadi dua kelompok social, masyarakat istana dan non-istana. Tidak begitu tampak segregasi yang begitu mencolok di dalam struktur sosial masyarakat Kerajaan Majapahit. Namun, yang begitu Nampak hanyalah pengelompokkan pada masyarakat istana atau lingkungan keraton.
Keagamaan Kerajaan Majapahit
Keagamaan Kerajaan Majapahit dapat dilihat melalui petunjuk dari pejabat keagamaan yang ada yaitu dharmadhyaksa ring Kasaiwan dan dharmadhyaksa ring Kasogatan yang rupa-rupanya agama Hindu (terutama aliran Siwa) dan Buddha (terutama Mahayana) dijadikan agama resmi kerajaan. Dan bukan berarti bahwa agama dan kepercayaan lain tidak diperbolehkan berkembang di Kerajaan Majapahit. Menjelang akhir Kerajaan Majapahit sudah Nampak penduduk-penduduk pesisir yang menganut ajaran agama Islam. Selain itu juga berkembang aliran Tantrayana Buddha yang dianut oleh pembesar kerajaan. Di dalam lingkungan masyarakat non-istana masih banyak berkembang dan bertahan pula ajaran-ajaran lokal.
Daftar Bacaan
- Boechari. 2013. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Damais, L. C. 1955. “Etudes d’Epigraphie Indonesienne: IV. Discussion de la date des inscription” BEFEO, XLVII.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Krom, N. J. 1954. Zaman Hindu. Djakarta: Jajasan Pembangunan.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.
- Slametmuljana. 1979. Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhatara Karya Aksara