Kerajaan Pajang adalah kerajaan yang didirikan oleh Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwidjaja pada abad ke-16 setelah berhasil merebut takhta kekuasaan Kerajaan Demak dari Arya Penangsang, yang sebelumnya telah berhasil membunuh Pangeran Mukmin (Sunan Prawata/Sunan Prawoto). Jaka Tingkir berhasil mengalahkan Arya Penangsang atas bantuan Sutawijaya (Panembahan Senapati). Masih sangat sedikit sumber-sumber yang menjelaskan tentang eksistensi Kerajaan Pajang, meskipun pengaruh dari Kerajaan Pajang pada abad ke-16 cukup besar dalam peta politik di Pulau Jawa.
Asal-Mula Nama Pajang
Pada abad ke-14 nama Pajang telah disebutkan dalam Kitab Negarakrtagama sebagai salah satu wilayah yang dikunjungi oleh Prabu Hayam Wuruk, raja Kerajaan Majapahit dalam perjalanannya memeriksa daerah bagian barat Kerajaan Majapahit. Dapat diperkirakan bahwa Pajang telah menjadi salah satu daerah yang mengakui kedaulatan Kerajaan Majapahit. Begitupula yang terjadi pada masa Kerajaan Demak, Pajang menjadi wilayah bagian Kerajaan Demak yang mengakui kedaulatan Kerajaan Demak.
Di dalam perjalanan Hayam Wuruk, raja Kerajaan Majapahit ke Pajang pada 1275 Saka atau sekitar tahun 1353-1354 M berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Negarakrtagama muncul dugaan mengenai peran dan arti Pajang bagi Kerajaan Majapahit, sehingga Hayam Wuruk memutuskan untuk melakukan kunjungan ke Pajang. Pada awal berdirinya Kerajaan Majapahit, Pajang tidak memiliki arti penting meskipun berstatus sebagai “tanah mahkota”, pun begitu juga hingga masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk nampaknya tidak begitu penting kedudukan Pajang bagi Majapahit.
Kedudukan Pajang baru dianggap penting setelah dikaitkan dengan tokoh Jaka Sangara, Jaka Bodo atau yang dikenal juga dengan Adipati Handayaningrat yang sebagai penguasa di Pengging-Pajang. Adipati Handayaningrat sendiri merupakan keturunan Raja Brawijaya V, raja Kerajaan Majapahit terakhir. Adipati Handayaningrat mendapat penghargaan dari Kerajaan Majapahit karena ia telah membantu ekspedisi Kerajaan Majapahit dalam menaklukan wilayah Blambangan. Adipati Handayaningrat inilah yang menurunkan para penguasa wilayah Pengging seperti Ki Ageng Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging, ayah dari Jaka Tingkir.
Berdasarkan sumber-sumber yang didapatkan berdasarkan naskah tutur, tokoh Ki Ageng Kebo Kenanga dan Ki Ageng Pengging adalah dua orang yang berbeda. Jaka Tingkir memanglah anak dari Ki Ageng Kebo Kenanga, sedangkan hubungan antara Jaka Tingkir dengan Ki Ageng Pengging hanyalah sebatas murid. Berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam Babad Banten, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit pada awal abad ke-16 dan berdirinya Kerajaan Demak, Pada tahun 1525 daerah Pengging tetap berdaulat hingga pertengahan abad ke-16.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Babad Banten inilah diperkirakan Pengging (Pajang) adalah sebuah kerajaan yang telah berdiri sejak Kerajaan Majapahit masih eksis. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh, Kerajaan Pengging tetap mempertahankan eksistensinya di bawah pimpinan Ki Ageng Kebo Kenanga. Oleh sebab itu, Kerajaan Pengging hendak ditaklukan oleh Kerajaan Demak. Kerajaan Demak mengirim Ki Wanapala dan Sunan Kudus untuk adu kekuatan dengan Ki Ageng Kebo Kenanga sebagai permulaan ekspedisi Kerajaan Demak.
Pada tahun 1527 tentara Kerajaan Demak menyerbu Kerajaan Pengging dan berhasil membunuh Ki Ageng Kebo Kenanga. Terbunuhnya Ki Ageng Kebo Kenanga menyebabkan Kerajaan Pengging berhasil dikuasai oleh Kerajaan Demak. Sedangkan anak Ki Ageng Kebo Kenanga, Jaka Tingkir mengabdi ke Kerajaan Demak dan menjadi menantu dari raja Demak, Sultan Trenggana. Setelah diangkat menjadi menantu, Jaka Tingkir diperintahkan untuk kembali ke Pengging (Pajang) sebagai bupati yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Demak.
Sejak wafatnya Pangeran Trenggana (Sultan Trenggana) pada tahun 1546, timbul perebutan kekuasaan di internal Kerajaan Demak. Terutama, setelah diangkatnya Raden Mukmin (Sunan Prawata) sebagai raja Kerajaan Demak menggantikan Sultan Trenggana. Setelah penobatan Raden Mukmin sebagai penguasa Kerajaan Demak yang baru, benih perselisihan kembali muncul terutama dari Arya Penangsang, Bupati Jipang.
Arya Penangsang sendiri bukanlah orang lain bagi Raden Mukmin. Arya Penangsang adalah putra dari Raden Kikin (Pangeran Seda Lepen) yang semestinya mendapatkan takhta Kerajaan Demak sepeninggal Pati Unus. Namun, oleh karena berdasarkan berita yang tersebar Raden Kikin dibunuh oleh Raden Mukmin yang menginginkan takhta Kerajaan Demak. Maka, yang menjadi raja pengganti Pati Unus ialah Pangeran Trenggana, ayah dari Raden Mukmin.
Setelah Sultan Trenggana meninggal pada 1546, maka secara langsung takhta Kerajaan Demak jatuh kepada Raden Mukmin dan bukan pada Arya Penangsang. Di sisi lain, Arya Penangsang merasa bahwa dirinya-lah yang berhak atas takhta Kerajaan Demak, sehingga mulai terjadi perselisihan antara Arya Penangsang dengan Raden Mukmin (Sunan Prawata) yang mengakibat perebutan kekuasaan di kalangan keluarga dan kerabat kerajaan.
Selain terjadi perselisihan diantara keluarga Kerajaan Demak, perselisihan juga terjadi di antara para Wali yang masing-masing menjadi pendukung untuk pengangkatan penguasa-penguasa di Kerajaan Demak. Kondisi ini diperburuk ketika Pangeran Trenggana diganti oleh Sunan Prawata pada tahun 1546. Arya Penangsang yang mengingkan takhta Kerajaan Demak atas pengaruh dari Sunan Kudus berupaya membunuh Sunan Prawoto. Sunan Prawoto pun akhirnya terbunuh oleh Arya Penangsang pada tahun 1549.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Pajang
Meninggalnya Sunan Prawoto oleh Arya Penangsang yang dihasut oleh Sunan Kudus untuk merebut takhta Kerajaan Demak pada 1549 menyebabkan berakhirnya kejayaan Kerajaan Demak. Meskipun Arya Penangsang telah berhasil merebut takhta Kerajaan Demak, Jaka Tingkir yang masih merupakan menantu dari Sultan Trenggana dan ipar dari Sunan Prawoto menyusun rencana untuk merebut kembali takhta Kerajaan Demak dari tangan Arya Penangsang.
Sebagaimana telah disinggung di atas, Jaka Tingkir adalah murid Ki Ageng Pengging yang semula menjadi seorang tamtama di Kerajaan Demak di bawah pemerintahan Pangeran Trenggana, karena keahliannya ia dijadikan menantu oleh Pangeran Trenggana. Ketika Sunan Prawoto dibunuh oleh Arya Penangsang dan merebut takhta Kerajaan Demak, Jaka Tingkir berupaya untuk merebutnya kembali dari tangan Arya Penangsang. Jaka Tingkir meminta bantuan terutama kepada Ki Ageng Pamanahan dan putra Ki Ageng Pamanahan yang bernama Sutawijaya untuk mengalahkan Arya Penangsang.
Setelah berhasil mengalahkan Arya Penangsang dengan bantuan Ki Ageng Pamanahan dan Sutawijaya, Jaka Tingkir memindahkan pusat kekuasaan dari Demak ke Pajang dan menobatkan diri sebagai Sultan dari Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Dengan penobatan diri Jaka Tingkir sebagai sultan, maka berdirilah Kerajaan Pajang sebagai pengganti Kerajaan Demak.
Struktur Birokrasi Kerajaan Pajang
Transformasi kerajaan-kerajaan di Jawa terutama pada masa Majapahit yang beralih ke Demak yang sudah merupakan kerajaan bercorak Islam merupakan “pemindahan” belaka pusat kerajaan dari keraton Majapahit ke Demak Bintara kemudian beralih ke tangan Jaka Tingkir, kemudian berpindah pula ke tangan Senapati ing Alaga, yang kemudian akan mengambangkan kerajaan Mataram menjadi kerajaan besar.
Seperti apa yang terjadi pada Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang memegang puncak kepemimpinan di Jawa setelah Sultan Adiwijaya (Jaka Tingkir) berhasil memindahkan pusat kekuasaan Demak ke Pajang. Apa yang dilakukan oleh Sultan Adiwijaya ini tidak terlepas dari apa yang telah dilakukan oleh mertuanya, Sultan Trenggana sebagai raja Demak. Di mana segala tanda kebaktian dari berbagai adipati dan tanda sangaji mengalir ke Kerajaan Pajang. Tanda kebaktian ini tidak hanya berupa barang tetapi juga putri cantik, binatang-binatang dan hasil-hasil alam yang sulit untuk didapatkan.
Di dalam mengkoordinasikan antara pemerintah daerah dengan pusat adalah melalui pertemuan yang dilaksanakan di seba. Dengan seba ini raja yang bersangkutan sekaligus dapat mengadakan kontrol terhadap kerajaan dan daerah-daerah yang berada di bawah naungan kekuasaannya. Barang siapa yang tidak hadir dalam seba ini mengundang pertanyaan bagi raja dan hadirin mengenai sebab ketidakhadirannya, dan jika ternyata ketidakhadirannya dalam seba dilakukan sengaja, maka sikap itu dapat ditafsirkan mengarah kepada pemberontakan atau ketidaksetiaan kepada raja yang bersangkutan.
Pertemuan di seba paling sedikit dilakukan setahun sekali, tetapi tiap-tiap kerajaan memiliki peraturan sendiri. Mengenai pertemuan di seba yang dilakukan oleh Kerajaan Pajang dapat terlihat dari keterangan yang diberikan oleh Babad Tanah Jawi.
Di dalam Babad Tanah Jawi diceritakan tentang kejadian di Kerajaan Mataram setelah Ki Ageng Pamanahan meninggal, Sultan Pajang mengangkat putra Ki Ageng yang juga masih menantunya bernama Ngabehi Loring Pasar menjadi penguasa di Kerajaan Mataram. Ia kemudian diberi gelar Senapati Alaga Sayidin Panatagama dengan syarat bahwa dalam setahun sekali ia harus seba ke Pajang dan tidak sekali-kali boleh terlambat. Ketika setahun sudah berlalu dan ternyata Senopati juga belum datang dalam seba yang diadakan oleh Sultan Pajang, sedangkan para bupati, rangga demang, dan yang lainnya sudah lengkap hadir, Sultan Pajang menanyakan kepada hadirin ketidakhadiran Senopati.
Para bupati lain sudah siap-siap mengadakan perhitungan kepada Senopati atas ketidakhadirannya itu, Sultan Pajang lalu mengutus Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Marta ke Kerajaan Mataram. Dengan adanya petunjuk ini ternyata ketidakhadiran Kerajaan Mataram dalam seba ini dilakukan dengan sengaja, dan ternyata kemudian Kerajaan Mataram mengambil alih pimpinan kekuasaan atas Jawa dari tangan Pajang ketika Sultan pajang, Jaka Tingkir, meninggal.
Raja-Raja Kerajaan Pajang
Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) (1549-1582)
Mas Karebet atau sering disebut Jaka/Joko Tingkir adalah seorang pendiri sekaligus sultan atau raja pertama dari Kesultanan Pajang yang memerintah dari tahun 1568-1582 dengan bergelar Sultan Adiwijaya atau Hadiwijaya.
Jatuhnya Sultan Adiwijaya berakibat suatu pergeseran bagi kekuasaan Teringgi. Arya Pangiri, Pangeran Demak, segera memegang pemerintahan, tetapi hampir pada saat itu juga timbuk pemberontakan yang berasal dari Pajang yang dikobarkan juga oleh Mataram. Di Jawa Tengah lalu timbul pergolakan untuk mereput pucuk pimpinan atas daerah-daerah yang dikuasai oleh para adipati yang dipimpin oleh Mataram. Sebaliknya bupati-bupati daerah pantai timur dengan pimpinan bupati Surabaya telah berusaha mempengaruhi adipati-adipati Jawa Tengah untuk tidak mengakui senapati sebagai raja.
Sesudah Senapati meninggal mereka mencalonkan Pangeran Puger dari Demak sebagai kawan baik untuk menghadapi saudaranya , Ki Gede Mataram, sultan yang baru (Seda ing Krapyak). Akan tetapi, karena tidak saling percaya persekutuan ini akhirnya buyar dan Demak sejak 1640 tunduk, disusul oleh Pati, Pajang, Tuban, Madura dan Surabaya. Mereka satu per satu tunduk dan jatuh di bawah naungan Kerajaan Mataram sejak tahun 1625. Dengan kejadian ini, maka Kerajaan Mataram yang pada akhirnya memegang pucuk kekuasaan di Jawa.
Pangeran Benawa (Pangeran Benowo) (1582-1583)
Pada tahun 1582 Pangeran Benowo sebagai putra mahkota Kerajaan Pajang, menggantikan posisi Sultan Hadiwijaya sebagai raja Kerajaan Pajang. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Pajang kehilangan daerah Mataram yang masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya telah diberikan kepada Ki Ageng Pamanahan, anak Ki Ageng Ngenis atas jasanya dalam mengalahkan Arya Penangsang.
Selain kehilangan daerah Mataram, yang mulai menunjukkan eksistensinya, Pangeran Benowo yang dilantik pada tahun 1582 digoyang kedudukannya oleh Arya Pangiri, putra Sunan Prawoto, raja Kerajaan Demak keempat. Pangeran Benawa disingkirkan dari takhta atas Kerajaan Pajang oleh Arya Pangiri atas bantuan dari Panembahan Kudus. Alasan Panembahan Kudus menyingkirkan Pangeran Benawa adalah permasalahan usia Pangeran Benawa yang lebih muda dibandingkan dengan istri dari Arya Pangiri sehingga tidak pantas menjadi raja. Pangeran Benawa merelakan takhta Kerajaan Pajang kepada Arya Pangiri dan dirinya dijadikan sebagai bupati Jipang oleh Arya Pangiri.
Arya Pangiri (Sultan Ngawantipura) (1583-1586)
Arya Pangiri menjadi raja Kerajaan Pajang pada tahun 1583 setelah dengan berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa untuk dijadikan sebagai Bupati Jipang. Pada masa pemerintahan Arya Pangiri, Arya Pangiri berusaha untuk menguasai Mataram yang jelas-jelas telah diwasiatkan untuk tidak diserang dan membenci Sutawijaya yang telah menjadi penguasa Kerajaan Mataram.
Arya Pangiri kemudian membentuk pasukan yang terdiri dari orang-orang bayaran berasal dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk melakukan penyerbuan terhadap Mataram. Usaha yang dilakukan oleh Arya Pangiri itu, rupanya tidak berhasil menaklukan Kerajaan Mataram dan justru menyebabkan kekalahan bagi Arya Pangiri.
Dibalik kekalahan atas Kerajaan Mataram, Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Arya Pangiri mendatangkan pejabat-pejabat dari Demak untuk menggantikan posisi para pejabat Pajang. Selain itu, Arya Pangiri juga mendatangkan para penduduk Demak untuk bermigrasi ke Pajang yang menyebabkan para penduduk Pajang berpindah ke Jipang dan mengabdi kepada Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa (1586-1587)
Setelah berpindahnya penduduk asli Pajang ke Jipang untuk mengabdi kepada Pangeran Benawa akibat ulah dari Arya Pangiri, penduduk Pajang di Jipang beserta Pangeran Benawa berupaya untuk merebut kembali takhta Kerajaan Pajang dari tangan Arya Pangiri.
Pangeran Benawa pun menjalin hubungan dengan Sutawijaya, raja Kerajaan Mataram untuk menyingkirkan Arya Pangiri. Pada tahun 1586 pasukan gabungan Mataram dan Jipang menyerbu Pajang. Setelah dikalahkan, Arya Pangiri dikembalikan ke Demak, sedangkan Sutawijaya ditawarkan takhta Kerajaan Pajang oleh Pangeran Benawa, namun ditolaknya. Sutawijaya hanya meminta beberapa benda pusaka Kerajaan Pajang untuk dirawat dan disimpan di Kerajaan Mataram. Oleh sebab itu, Pangeran Benawa kembali menjadi raja di Kerajaan Pajang dengan gelar Sultan Prabuwijaya.
Sosial-Budaya Dan Ekonomi Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendah tempat bertemunya Sungai Pepe dan Sungai Dengkeng yang mana ke dua-duanya bermata air dari lereng Gunung Merapi. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjang tahun cukup untuk mengairi sawah sehingga pertanian di Kerajaan Pajang maju dan sangat mendukung kehidupan masyarakatnya yang bercorak agraris.

Sejak Kerajaan Demak baru menunjukkan eksistensinya, daerah Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga Mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris-maritim. Oleh karena letaknya yang dipedalaman, kehidupan ekonomi Kerajaan Pajang sangat terpusat pada aktivitas pertanian, meskipun perdagangan pun menjadi salah satu aktivitas yang tidak dapat disangkal, namun tidak begitu banyak memiliki peranan yang penting.
Namun, yang perlu dicatat adalah setelah runtuhnya Kerajaan Demak dan perpindahan pusat kekuasaan ke Pajang, telah memberikan dampak yang besar bagi pemerintahan dan juga ekonomi, terutama sekali telah beralihnya budaya ekonomi maritim menjadi ekonomi agraris. Pusat Kerajaan Pajang yang terletak di Desa Pengging (sekitar Boyolali) adalah wilayah yang dialiri oleh Kali Pepe, Kali Dengkeng dan Sungai Bengawan Solo. Kali Pepe dan Kali Dengkeng bersumber pada Gunung Merapi, sedangkan aliran Sungai Bengawan Solo berasal dari Gunung Lawu yang menjadikan daerah Pajang amat subur. Oleh sebab itulah, masyarakat Kerajaan Pajang sangat mengandalkan kehidupannya pada sumber daya agraris.
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Kerajaan Pajang adalah sebagai petani yang sekaligus pula menunjukkan tidak begitu pentingnya hasil laut dibandingkan dengan hasil beras. Dengan demikian menunjukkan bahwa masyarakat Jawa pada masa Kerajaan Pajang lebih besar memfokuskan orientasi ekonominya ke daratan dibandingkan ke lautan.
Kemunduran Kerajaan Pajang
Kemunduran Kerajaan Pajang disebabkan oleh perebutan kekuasaan setelah meninggalnya Sultan Hadiwijaya antara Pangeran Benawa dengan Arya Pangiri. Situasi internal Kerajaan Pajang semakin tidak menentu terlebih setelah kekalahan Kerajaan Pajang dalam menghadapi Kerajaan Mataram. Setelah dikembalikannya takhta Kerajaan Pajang ke tangan Pangeran Benawa atas bantuan Sutawijaya, secara tidak langsung Kerajaan Pajang menjadi negeri bawahan dari Kerajaan Mataram.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.