Kerajaan Salakanagara atau Kerajaan Salakanegara adalah sebuah kerajaan yang terletak di bagian barat Pulau Jawa. Keterangan tentang Kerajaan Salakanagara hingga saat ini masih sulit untuk dipastikan keberadaannya. Sumber utama yang menyebutkan tentang Kerajaan Salakanagara berasal dari kitab-kitab yang disusun oleh panita penyusunan naskah sejarah Jawa oleh Pangeran Wangsakerta.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Salakanagara
Keberadaan kerajaan Salakanagara (Kerajaan Salakanegara) apabila merujuk pada keterangan yang diberikan oleh Claudius Ptolomeus pada tahun 150 disebut dengan kota Argyre. Arti dari Argyre adalah kota perak sedangkan Kerajaan Salakanagara dalam bahasa Sansekerta diartikan sebagai “Negara Perak”. Jika mendeskripsikan tentang Kerajaan Salakanagara, maka tokoh awal yang penting di sini adalah Aki Tirem.
Aki Tirem adalah seorang penghulu atau penguasa wilayah pesisir barat dari Pulau Jawa bagian barat. Aki Tirem atau yang disebut juga dengan Sang Aki Luhur Mulya. Asal-usul Aki Tirem diperkirakan berasal dari sebuah tempat di daerah Yunnan (Cina) tepatnya di daerah Yu-Wan (Yawana). Kedatangan orang-orang Yawana ke Pulau Jawa disebabkan oleh adanya bencana besar yang selalu mengancam daerah Yawana. Bencana besar itu antara lain adalah gempa tektonik akibat adanya pergesekan antara anak benua India dengan benua Asia. Di sisi lain, seringkali terjadi banjir besar secara tiba-tiba yang disebabkan oleh mencairnya es dari Pegunungan Himalaya. Orang-orang Yawana mulai datang ke Pulau Jawa secara bertahap mulai tahun 1600 SM.
Setelah kedatangan orang-orang Yawana, pada awal tarikh Saka (78 M) orang-orang dari negeri Syangka, Sayiwanha, Benggala mulai tiba di Pulau Jawa untuk melakukan kegiatan perdagangan dengan penduduk di Pulau Jawa. Penduduk Pulau Jawa ini sendiri sebenarnya bukanlah penduduk pribumi asli, melainkan orang-orang yang berasal dari negeri Yawana yang berhasil menjadi penguasa di Pulau Jawa dan mulai mendominasi penduduk pribumi.
Para pedagang yang berasal dari Bharatawarsya (India) diantara mereka ada yang terus menetap di Pulau Jawa dan mulai menjadi penduduk tetap. Selain Pulau Jawa, mereka juga menetap di beberapa pulau seperti Sumatra dan Bali. Para penduduk Pulau Jawa telah memiliki ilmu pengetahuan, sehingga para pendatang ini sangatlah menghargai mereka, tidak bermusuhan dan bahkan para pendatang diterima sebagai tamu dan penuh dengan rasa persaudaraan. Diantara mereka (para pendatang dari India) ada yang menikahi penduduk Pulau Jawa dan mulai berbaur dengan masyarakat.
Para pendatang dari India itu pun juga mulai mengajarkan agama yang dianutnya kepada penduduk-penduduk di desa-desa. Mereka mengajarkan pemujaan kepada Dewa Iswara yang terdiri dari Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Selain itu juga masih terdapat beberapa dewa yang perlu dipuja. Tindakan mereka itu tidak menemui halangan yang berarti, sebab para penduduk memiliki kebiasaan yang sama dengan para pendatang dari India. Penduduk di Pulau Jawa juga telah melakukan pemujaan terhadap ruh, bulan, matahari dan sebagainya. Sehingga para pendatang di India hanya mengganti nama objek pemujaan di Pulau Jawa. Dengan demikian, para penduduk di Pulau Jawa tidak mengalami kesulitan dalam mempelajari pemujaan yang berasal dari India itu.
Semisal, pemujaan terhadap dewa api disamakan dengan pemujaan terhadap Dewa Agni, pemujaan terhadap matahari disamakan dengan Dewa Aditya atau Dewa Surya, dan sebagainya. Sedangkan terdapat pemujaan terhadap ruh besar, yang mana disamakan dengan pemujaan hyang Wisnu, Siwa dan Brahma yang juga disebut pemujaan tiga dewa atau trimurti. Dengan memiliki bentuk yang hampir sama dengan ritual dan pemujaan penduduk di Pulau Jawa, kebudayaan Hindu lambat laun mulai menarik perhatian bagi penduduk Pulau Jawa.
Perlu diperhatikan pula, kedatangan orang-orang dari India ke Pulau Jawa selain karena terlibat akan aktivitas perdagangan, juga menghindarkan diri dari bahaya yang mengancam eksistensi mereka, terutama para penganut ajaran agama Hindu yang sejak abad ke-2 SM telah hampir habis dibinasakan oleh Maharaja Asoka di India. Mereka melarikan diri dari negeri asalnya dan mengungsi ke pulau-pulau di Kepulauan Indonesia. Orang-orang India yang datang ke Kepulauan Indonesia berasal dari wangsa Salankayana dan Wangsa Pallawa. Salah satu rombongan dari India yang datang ke Pulau Jawa di pesisir barat dipimpin oleh Sang Dewawarman.
Kedatangan rombongan Dewawarman ke Pulau Jawa diperkirakan pada awal-awal tarikh tahun Saka (sekitar tahun 80 M). Rombongan ini bersahabat dan menjalin hubungan dengan masyarakat pesisir barat Pulau Jawa yang pada saat itu dipimpin oleh Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya. Dewawarman kemudian dinikahkan oleh putri dari Aki Tirem yang bernama Dewi Pohaci Larasati (Dewi Pwahaci Larasati). Pernikahan ini menyebabkan semua pengikut dan rombongan yang dipimpin oleh Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.
Sebelum Aki Tirem meninggal, dalam kondisi sakit Aki Tirem menyerahkan kekuasaannya kepada Dewawarman. Para penduduk pun menyetujui pemberian kekuasaan kepada Dewawarman. Setelah Aki Tirem meninggal, pada tahun 130 Dewawarman kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara dengan beribukota di Rajatapura. Dewawarman menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara. Sedangkan istrinya, Pohaci Larasati bergelar Dewi Dwanu Rahayu.
Kerajaan Salakanagara yang mana kata Salaka memiliki arti dalam bahasa Sansekerta adalah perak. Sehingga bisa dikatakan bahwa Kerajaan Salakanagara adalah sebuah negeri yang kaya dan menghasilkan banyak perak. Dengan dideklarasikan berdirinya Kerajaan Salakanagara pada tahun 130, maka hal ini memperkuat pernyataan Claudius Ptolomeus tentang Argyre (kota Perak) yang terletak di ujung barat Pulau Jawa.
Pusat Kerajaan Salakanagara
Mengenai pusat Kerajaan Salakanagara hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Ada tiga pendapat yang mengemukakan tentang pusat dari Kerajaan Salakanagara. Pendapat pertama, ibukota Kerajaan Salakanagara berada di Teluk Lada, Pandeglang, Banten. Pendapat kedua menyatakan bahwa pusat dari Kerajaan Salakanagara adalah Ciondet (Condet) dan pendapat ketiga menyatakan bahwa pusat Kerajaan Salakanagara terletak di lereng Gunung Salak.
Pandeglang
Versi yang diambil dari naskah Wangsakerta ini menyebut pusat Kerajaan Salakanagara bernama Rajatapura yang diyakini merupakan kota paling tua di Pulau Jawa. Yang menjadi keraguan atas kebenaran versi pertama ini, Pandeglang tidak memiliki pelabuhan besar yang menjadi bandar dagang, melainkan hanya pelabuhan nelayan biasa. Sedangkan salah satu simbol kejayaan Kerajaan Salakanagara adalah dari sektor ekonomi dengan bukti, misalnya, kerajaan ini telah menjalin relasi dagang dengan Dinasti Han di Cina.

Jika melihat dari peninggalan pra-aksara yang ada di daerah Pandeglang, keyakinan akan pusat dari Kerajaan Salakanagara menjadi tidak disangsikan. Hal ini dapat diketahui dari beberapa peninggalan yang terdapat di situs Cihunjuran berupa Menhir sebanyak tiga buah terletak di sebuah mata air, yang pertama terletak di wilayah Desa Cikoneng. Menhir kedua terletak di Kecamatan Mandalawangi lereng utara Gunung Pulosari. Menhir ketiga terletak di Kecamatan Saketi lereng Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang.
Tanpa memberikan letak secara pasti, tetapi di dalam peta tampak berada di lereng sebelah barat laut gunung Pulosari, tidak jauh dari kampung Cilentung, Kecamatan Saketi. Batu tersebut menyerupai batu prasasti Kawali II di Ciamis dan Batu Tulis di Bogor. Tradisi setempat menghubungkan batu ini sebagai tempat Maulana Hasanuddin menyabung ayam dengan Prabu Pucuk Umum.
Penemuan sebuah dolmen yang terletak di kampung Batu Ranjang, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Berbentuk sebuah batu datar panjang 250 cm, dan lebar 110 cm, disebut Batu Ranjang. Terbuat dari batu andesit yang dikerjakan sangat halus dengan permukaan yang rata dengan pahatan pelipit melingkar ditopang oleh empat buah penyangga yang tingginya masing-masing 35 cm. Di tanah sekitarnya dan di bagian bawah batu ada ruang kosong. Di bawahnya terdapat fondasi dan batu kali yang menjaga agar tiang penyangga tidak terbenam ke dalam tanah. Dolmen ditemukan tanpa unsur megalitik lain, kecuali dua buah batu berlubang yang terletak di sebelah timurnya.
Penemuan batu magnit yang terletak di puncak Gunung Pulosari, pada lokasi puncak Rincik Manik, Desa Saketi, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang. Yaitu sebuah batu yang cukup unik, karena ketika dilakukan pengukuran arah dengan kompas, meskipun ditempatkan di sekeliling batu dari berbagai arah mata angin, jarum kompas selalu menunjuk pada batu tersebut. Di Kecamatan Mandalawangi, tepatnya di situs Cihunjuran juga ditemukan batu dakon. Batu ini memiliki beberapa lubang di tengahnya dan berfungsi sebagai tempat meramu obat-obatan. Selain penemuan situs-situs tersebut, jika memahami arti kata Pandeglang dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari kata-kata “panday” dan “geulang” yang artinya pembuat gelang. Hal ini bersesuaian dengan pernyataan Ptolomeus dalam penyebutan Argyre atau kota perak pada tahun 150 M.
Ciondet (Condet)
Pendapat kedua meyakini bahwa ibukota Kerajaan Salakanagara bukan berada di Pandeglang, melainkan di suatu tempat bernama Ciondet (Condet) yang kini terletak di wilayah Jakarta Timur. Ciondet alias Condet berada tidak jauh dari bandar niaga besar bernama Sunda Kelapa, hanya sekitar 30 kilometer ke arah utara. Pelabuhan ini pada masanya dikenal sebagai pusat perdagangan paling ramai di Nusantara dan salah satu yang terpenting di Asia karena merupakan segitiga emas bersama Malaka dan Maluku.
Di kawasan ini juga mengalir Sungai Tiram. Inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar untuk meyakinkan bahwa Kerajaan Salakanagara bukan berada di Banten, melainkan di Jakarta. “Tiram” dipercaya berasal dari nama Aki Tirem yang tidak lain adalah mertua Dewawarman I, pendiri Kerajaan Salakanagara.
Peninggalan arkeologis dari masa prasejarah di Jakarta, yang paling banyak adalah dalam bentuk pecahan gerabah. Bukti-bukti tersebut diperoleh dari hasil survei dan penggalian arkeologi di beberapa tempat antara lain di sepanjang sungai Ciliwung (Condet, Pasar Minggu, Kampung Kramat). Selain di daerah Condet, sebenarnya masih ada situs pra-aksara lain yang dapat dijadikan sebagai alasan bahwa Jakarta memang dapat dijadikan rujukan sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Salakanagara seperti di Buni, Kelapa Dua dan Bukit Kucong.
Dari aneka temuan tersebut, masa prasejarah Jakarta berlangsung selama dua periode berdasarkan masanya, antaranya lain Zaman Batu atau Neolitikum, yakni masa bercocok tanam antara tahun 3000 SM hingga 1000 M. Kedua, zaman Logam atau masa perundingan antara 1000 SM hingga 500 M. Aneka peninggalan arkeologi yang ada telah menunjukkan bahwa masa prasejarah pernah berlangsung di Jakarta. Sejak ribuan tahun lalu, Jakarta telah menjadi tempat tinggal bagi manusia.
Salah satu peninggalan masa pra-aksara Jakarta adalah Kapak Perunggu. Seperti kapak zaman sekarang, kapak perunggu (bronze axe) juga digunakan untuk memotong dan membelah, terutama kayu. Alat ini ditemukan di sejumlah situs prasejarah di Jakarta, antara lain di Kampung Kramat dan Pejaten. Dua situs ini malah diyakini sebagai sentra pembuatan kapak perunggu karena berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan, di situs Pejaten dan Kampung Kramat juga ditemukan terak logam serta di Pejaten ditemukan alat cetakan logam.
Berdasarkan lingkungan geologi dan geografisnya, daerah Jakarta memiliki kedudukan yang sangat strategis dan potensial. Sebab, Jakarta merupakan daerah endapan alluvial yang terbentuk sebagai hasil kegiatan vulkanik yang berasal dari gunung berapi yang ada di sebelah selatannya, yakni Gunung Salak, Gunung Gede, dan Gunung Pangrango. Setelah itu dimulailah proses endapan alluvial di pinggir sungai (di Jakarta sendiri ada 12 sungai) pada 5000 SM. Adapun hasil penggalian di daerah Condet pada periode 1970-an menunjukkan bahwa manusia prasejarah sudah bermukim di Condet sejak 3000 SM.
Penegasan ini sangat penting karena ini membuktikan bahwa penduduk asli Jakarta adalah orang Betawi yang lahir dan berkembang biak di tepi sungai. Selain itu, penelitian ini juga mematahkan klaim yang menyebutkan bahwa Kota Batavia adalah kota kosong sebelum datang Belanda untuk merebutnya. Penduduk asli itulah yang kemudian kawin dan bercampur dengan para pendatang dari berbagai etnis, sehingga kemudian menghasilkan suatu suku bangsa dengan identitas yang khas yang disebut Betawi. Bahwa pada 3000-1000 SM, mereka sudah mengenai konsep bercocok tanam dan lalu perundagian (bertukang). Ada pemimpinnya, karena bercocok tanam saat itu berpindah-pindah, dan untuk bertukang ada pembagian tugas.
Dari hasil penggalian yang digagas Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kini Pusat Arkeologi Nasional) bekerja sama dengan Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia, antara tahun 1971 hingga 1990 diketahui ada 161 situs prasejarah yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Adapun dari penelitian di situs Condet Balekambang oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta pada 1976-1980 ditemukan artefak bersejarah seperti pecahan gerabah berhias dan tak berhias, pecahan beliung persegi, serpihan batu, batu fosil, terakota, dan temuan mata panah. Temuan ini penting karena mengindikasikan adanya kegiatan bercocok tanam dan berburu di daerah sekitar Sungai Ciliwung.
Berdasarkan dari data-data yang telah ditemukan di daerah Jakarta dan sekitarnya maka kiranya pendapat mengenai pusat Kerajaan Salakanagara jika ditinjau dari penemuan-penemuan artefak yang berasal dari masa pra-aksara dapat dikatakan sebagai bagian dari pusat kekuasaan Kerajaan Salakanagara.
Lereng Gunung Salak
Pendapat ketiga menyatakan bahwa Kerajaan Salakanagara dibangun di lereng Gunung Salak, Bogor. Disebutkan, di suatu bagian di kaki Gunung Salak sering terlihat keperak-perakan ketika diterpa sinar matahari. Dari situlah lalu dikait-kaitkan dengan arti Salakanagara, yakni “Negara Perak”. Ditambah lagi, penyebutan “Salaka” dengan “Salak” hampir mirip.
Selain itu, pada perkembangannya nanti, lereng Gunung Salak juga menjadi tempat berdirinya kerajaan-kerajaan Sunda lainnya yang jika dirunut masih turunan dari Kerajaan Salakanagara, termasuk Kerajaan Pajajaran.
Dengan cakupan wilayahnya itu, penduduk mayoritas Kerajaan Salakanagara adalah mereka yang kemudian dikenal sebagai orang-orang Sunda. Lebih dari itu, jika mengikuti versi kedua, orang-orang dari berbagai suku bangsa dan negara yang tumpah-ruah di pelabuhan Sunda Kelapa, lalu membaur dan beranak-pinak, juga merupakan warga Kerajaan Salakanagara. Mereka inilah yang nantinya menurunkan kaum Betawi.
Berdasarkan uraian dari ketiga pendapat tentang pusat Kerajaan Salakanagara, dapat dipahami bahwa wilayah Kerajaan Salakanagara mencakup daerah yang telah disebutkan dan diuraikan di atas. Kerajaan Salakanagara jika berdasarkan kumpulan situs-situs yang mendekati dengan syarat-syarat pusat pemerintahan, maka pusat Kerajaan Salakanagara dapat diperkirakan berada di daerah Pandeglang. Hal ini berkaitan dengan ditemukannya pula situs-situs yang berhubungan dengan kegiatan religi (menhir, dolmen) di daerah Pandeglang Banten.
Sedangkan untuk alternatif yang lain dapat dikatakan hanya sebagai salah satu daerah penting yang merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Salakanagara. Seperti situs-situs pra-aksara yang ditemukan di daerah Jakarta dan sekitarnya dapatlah timbul dugaan bahwa Jakarta pada masa Kerajaan Salakanagara telah menjadi kotanya para pengrajin di mana banyak ditemukan artefak yang berkaitan dengan benda-benda hasil kerajinan tangan yang memerlukan keahlian khusus.
Raja-Raja Salakanagara
Dewawarman I (130 – 168)
Sebelum mendirikan Kerajaan Salakanagara, Dewawarman adalah seorang utusan dari Maharaja Pallawa. Dalam menjalankan tugasnya sebagai utusan raja tersebut, beliau pernah mengunjungi kerajaan-kerajaan di Ujung Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, Cina, dan Abasid (Mesopotamia). Dewawarman I pada masa kekuasaannya, membentuk sebuah kompleks candi di daerah Batujaya (Karawang). Bangunan candi-candi kecil yang semuanya berjumlah 24 buah tersebut memperlihatkan unsur bangunan agama Buddha. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa selain agama Hindu juga terdapat agama Buddha yang telah dianut oleh masyarkat Kerajaan Salakanagara.
Dewawarman II (168 – 195)
Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra atau yang dikenal dengan Dewawarman II mulai naik takhta pada tahun 168 menggantikan ayahnya (Dewawarman I). Tidak ada keterangan apapun mengenai masa pemerintahan Dewawarman II. Hal ini kemungkinan berbagai ancaman yang terdapat di sekitar pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Salakanagara telah berhasil dipadamkan oleh Dewawarman I.
Dewawarman III (195 – 238)
Pada tahun 195, Prabu Singasagara Bimayasawirya dinobatkan menjadi raja Kerajaan Salakanagara. Pada saat dinobatkan menjadi raja Kerajaan Salakanagara, Prabu Singasagara Bimayasawirya diberi gelar Dewawarman III. Di masa kekuasaanya, para bajak laut mulai muncul kembali setelah sekian lama menghilang ditumpas oleh Dewawarman I. Melalui pertempuran, bajak laut yang berasal dari Cina berhasil ditumpas oleh Dewawarman III bersama pasukannya.
Dewawarman IV – Tirta Lengkara (238 – 251)
Pada tahun 238 Dewawarman IV naik takhta sebagai raja Kerajaan Salakanagara. Nama asli dari Dewawarman IV yaitu Darma Satyanagara. Pada awalnya dia merupakan raja dari Kerajaan Ujung Kulon (kerajaan bawahan Kerajaan Salakanagara).
Dewawarman V – Mahisa Suramardini Warmandewi (251 – 276)
Saat Dewawarman IV turun takhta, lagi-lagi Kerajaan Salakanagara tidak memiliki putra mahkota seorang laki-laki. Tradisi kerajaan yang mengharuskan laki-laki sebagai raja, tidak dapat terpenuhi. Untuk mengatasi keadaan ini, maka suami dari putri sulung Dewawarman IV (Mahisa Saramhardini Warmandewi) yang bernama Darmasatyajaya dinobatkan sebagai raja dan diperkenankan memakai gelar Dewawarman V.
Mahisa Suramardini Warmandewi (276 – 289)
Pada tahun 276 Mahisa Suramardini Warmandewi meneruskan takhta suaminya yang gugur di pertempuran, sambil menunggu putra sulungnya dewasa yang bernama Ganayanadewa Linggadewi.
Dewawarman VI (289 – 308)
Setelah Mahisa Suramardini Warmandewi wafat pada tahun 289, putra sulungnya Ganayanadewa Linggabumi naik takhta sebagai raja Kerajaan Salakanagara. Ganayanadewa Linggabumi memerintah di Kerajaan Salakanagara selama 19 tahun (289-308).
Dewawarman VII (308 – 340)
Dewawarman VII merupakan putera sulung dari Dewawarman VI. Saat penobatannya sebagai raja Kerajaan Salakanagara, beliau bergelar Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati.
Senopati Krodamaruta (340)
Ketika Dewawarman VII meninggal pada tahun 340 datang Senapati Krodamaruta dari Calankayana. Senapati Krodamaruta tiba di Rajatapura (ibukota Kerajaan Salakanagara). Krodamaruta adalah anak dari Gopala Jayangrana (putra ke-4 dari Dewawarman VI yang bertugas sebagai menteri di Kerajaan Calankayana). Senapati Krodamaruta hanya memerintah selama 3 bulan saja di Kerajaan Salakanagara.
Spartikarnawa Warmandewi (340 – 348)
Setelah meninggalnya Senapati Krodamaruta, terjadilah kekosongan kekuasaan di Kerajaan Salakanagara. Untuk mengisi kekosongan kekuasan, akhirnya Spartikarna Warmandewi (putri Dewawarman VII) mengambil alih takhta Kerajaan Salakanagara meskipun saat itu ia belum menikah. Spartikarna Warmandewi dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Salakanagara pada tahun 340.
Dewawarman VIII (348 – 363)
Sebelum menjadi suami dari Spatikarnawa Warmandewi, Dewawarman VIII merupakan panglima angkatan laut Kerajaan Palawa yang mengungsi bersama ibunya Sri Gandari Lengkaradewi ke Kerajaan Salakanagara pada tahun 346. Di saat dinobatkan sebagai raja Kerajaan Salakanagara, beliau diberi gelar Prabu Darmawirya Dewawarman.
Dewawarman IX (362-?)
Di masa pemerintahannya, pamor kekuasaan Kerajaan Salakanagara menurun drastis, hal ini bertolak belakang dengan prestasi dari ayahnya (Dewawarman VIII) yang membawa Kerajaan Salakanagara dalam kemakmuran. Kerajaan Salakanagara semakin kehilangan “gaungnya” dan akhirnya terlampaui oleh Kerajaan Tarumanagara, bahkan menjadi wilayah kekuasaan dari kerajaan baru itu.
Kerajaan-Kerajaan Daerah Salakanagara
Kerajaan Hujung Kuwlan (Hujung Kulon)
Kerajaan Hujung Kuwlan ini berkedudukan di Ujung Kulon, Pandeglang, Banten. Kerajaan Hujung Kuwlan berdiri sekitar abad ke-2 M dengan wilayah kekuasaan sekitar kabupaten Pandenglang sekarang. Kerajaan ini merupakan kerajaan kecil yang menjadi bawahan dari Kerajaan Salakanagara. Pada tahun 368, pamor Kerajaan Salakanagara pun menurun, akibatnya Kerajaan Salakanagara dan Hujung Kulon menjadi bawahan Kerajaan Tarumanagara.
Raja pertama dari kerajaan ini bernama Senapati Bahadura Harigana Jayasakti, adiknya Dewawarman I. Sementara adik dari Dewawarman I yang lainnya yaitu Sweta Liman Sakti di angkat menjadi raja daerah Tanjung Kidul dengan ibukotanya Aghrabintapura. Tidak diketahui banyak mengenai kerajaan Hujung Kulon ini. Kecuali kelak ada salah satu rajanya yang terkenal yang bernama Darma Satyanagara menikahi Tirta Lengkara, puteri sulung Dewawarman III. Sepeninggal mertuanya itu, Darma Satyanagara akhirnya menjadi raja Kerajaan Salakanagara dengan gelar Dewawarman IV (160-174 Saka/238-252 M).
Kerajaan Aghrabintapura
Kerajaan Mandala Aghra Binta adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Pulau Panaitan, yang berada di Selat Sunda. Nama ibukotanya adalah Aghrabintapura. Pulau ini berada di bagian selatan Selat Sunda yang berjarak hanya sekitar 10 km dari pesisir Ujung Kulon, Pulau Jawa.
Memiliki panjang sekitar 19 km dengan lebar sekitar 12 km dan menjadikannya sebagai pulau yang terbesar di Selat Sunda. Dari data arkeologi dari Pulau Panaitan ditemukan arca Siwa, Ganesha dan Lingga Semu/Lingga Patok. Arca Shiwa dari Panaitan pernah raib dicuri, namun kemudian arca tersebut dapat diamankan. Sekarang arca itu disimpan di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor inventaris 306.2981. Tidak jelas mengenai asal-usul kerajaan yang berada di Pulau Panaitan yang berada di Selat Sunda dekat lepas pantai Ujung Kulon ini.
Kerajaan Jayasinghapura
Kerajaan ini adalah penerus dari Kerajaan Salakanagara yang berdiri sejak tahun 340 Masehi. Beribukota di Jasinga, sekitar Bogor bagian barat sekarang. Raja yang paling terkenal adalah Darmawirya alias Dewawarman VIII. Kemungkinan besar pusat kerajaan ini adalah cikal bakal untuk ibukota Kerajaan Tarumanagara. Wilayah kerajaan ini berada di sekitar Sajira di sebelah barat, Tanggerang di sebelah utara, Bayah di sebelah selatan, dan Cikaniki di sebelah timur. Sedangkan pendiri dari kerajaan Jayasingapura ini adalah Wirasinga. Tentang nama ibukotanya Jasinga adalah pemberian dari Sang Hyang Mandiri yang sekaligus menobatkan Wirasinga sebagai penguasa baru di daerah Jasinga.
Kerajaan Agnynusa
Kerajaan Mandala Agny Nusa (Nusa Api / Negeri Api) merupakan kerajaan kuno yang terletak di Pulau Krakatau, Selat Sunda, atau tepat di kaki Gunung Krakatau. akan tetapi, tidak jelas mengenai asal-usul kerajaan di Pulau Krakatau, yang berada di Selat Sunda ini.
Kerajaan Nusamandala
Kerajaan Mandala Nusa/Nusa Mandala ini merupakan sebuah kerajaan Hindu yang berkedudukan di Pulau Sangeang (kini disebut: Pulau Sangiang). Pulau ini juga masih berada di Selat Sunda, tepatnya di sebelah barat lepas pantai kota kota Cilegon. Pulau Sangiang memiliki panjang sekitar 4,7 km dan lebar 3,5 km, yang berada sekitar 10 km dari lepas pantai kota Cilegon di Pulau Jawa.
Kerajaan Tanjung Kidul (Daerah Ciracap, Sukabumi)
Kerajaan Mandala Tanjung Kidul adalah sebuah Kerajaan bercorak Hindu yang didirikan di Selatan Jawa Barat, hingga Cianjur sekarang. Rajanya ialah Swetalimansakti, adik dari Senapati Bahadura dan Dewawarman I.
Jika dilihat dari kata “Tanjung Kidul” yang berarti “ujung selatan”, maka bisa jadi pada masa kini daerah itu bernama “Ujung Genteng” yang berada di Ciracap, dekat Pelabuhan Ratu, yang pada masa kini masuk Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Beberapa peneliti juga mengatakan bahwa kekuasaan Kerajaan Salakanagara sampai juga hingga ke seberang Selat Sunda, yaitu di Pulau Sumatera. Seperti di wilayah pulau-pulau yang berada di Teluk Lampung dan pesisir Lampung, seperti di Bakauheuni, Rajabasa, Panjang dan sekitarnya.
Dari kerajaan-kerajaan yang ada dibawah kendali Kerajaan Salakanagara tersebut, itu artinya seluruh Selat Sunda berhasil dikuasai Dewawarman I ini, sehingga ia digelari “Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara” atau “Raja Penguasa Gerbang Lautan”.
Daftar Bacaan
- Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 4 Parwa 2
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 3 Parwa 2
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Ekajati, Edi S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.