Kerajaan Sambas
Kerajaan Sambas – Kerajaan Sambas yang kini terletak di Provinsi Kalimantan Barat dapat ditelusuri eksistensinya melalui sumber-sumber berupa kitab sastra bercorak sejarah yaitu, Asal Raja-Raja Sambas, Salsilah Kerajaan Sambas, Hikayat Banjar dan Negarakrtagama. Eksistensi Kerajaan Sambas berkaitan dengan sejarah kerajaan-kerajaan lain, seperti Brunei, Johor, Serawak, Sukadana, Ratu Sepudak, Singasari dan terlebih lagi akan berhubungan dengan Majapahit dan Demak di Jawa.
Eksistensi Kerajaan Sambas, baru tercatat di dalam sumber-sumber sejarah sejak abad ke-13, akan tetapi berdasarkan pada penemuan-penemuan arkeologi berupa gerabah, patung yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 atau 7 M di sekitar Sungai Sambas ini diyakini telah berdiri Kerajaan Sanujuh atau yang dikenal pula dengan Kerajaan Dayak Bakati Utara.
Berdirinya Kerajaan Sanujuh ini dengan mempertimbangkan pada posisi wilayah Sambas yang berdekatan dengan Selat Malaka, di mana Selat Malaka merupakan lalu lintas perdagangan internasional. Sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sanujuh sebagai kesatuan politik. Diperkirakan bahwa Kerajaan Sambas pada abad ke-14 diperintah oleh seorang raja yang bernama Rio (Neneng Rio / Ne’ Riuh).
Kerajaan Sambas Hingga abad ke-16
Ekspedisi Pamalayu yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 M oleh Hayam Wuruk dan Gajah Mada sangat berperan terhadap berdirinya Kerajaan Sambas Tua yang dipimpin oleh Raden Janur, seorang keturunan Majapahit dengan pusat pemerintahan di daerah bernama Paloh. Awal mula berdirinya pemerintahan di Paloh bermula dari kedatangan orang-orang dari Majapahit di bawah pimpinan Raden Janur pada sekitar tahun 1364 M. Kedatangan mereka di Sambas berinteraksi dengan penduduk lokal dan Melayu yang telah lama menetap di daerah itu, setelah beberapa lama menetap di Sambas mereka mendirikan pemerintahan baru dengan Raden Janur sebagai rajanya .
Pemerintahan yang dibangun oleh Raden Janur di Paloh mengalami pergeseran kepemimpinan karena raja yang memimpin bukan lagi keturunan dari Kerajaan Majapahit. Hal itu terjadi karena Raden Janur tidak memiliki keturunan dan mengangkat Tan Unggul sebagai penggantinya. Raja Tan Unggul, yang dikenal sebagai sosok yang kejam, menimbulkan kegelisahan dari Kerajaan Majapahit selaku kerajaan pusat. Raja Tan Unggul akhirnya dikudeta oleh rakyat Sambas sehingga terjadi kekosongan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, sepeninggal Tang Unggul, kendali pemerintahan di Paloh kembali diambil-alih oleh Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Sambas yang terletak di antara jalur pelayaran dari Tiongkok ke Champa menuju Tuban (pelabuhan utama Majapahit) telah menjalin hubungan dengan Dinasti Ming dari Cina pada tahun 1407 sejak terbentuknya pemukiman Hui Muslim Hanafi didirikan di Sambas. Pemukiman Cina di Sambas ini di bawah koordinator Kapten Cina yang berada di Champa, tetapi sejak tahun 1436 pemukiman ini langsung berada di bawah Gubernur Nan King.
Pada pertengahan abad ke-15, pemerintahan yang terletak di Paloh dipindahkan ke Kota Lama. Pada tahun 1525 satu rombongan besar Bangsawan Majapahit yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono. Kedatangan mereka diperkirakan berjumlah 500 orang, oleh karena di Sambas tidak terdapat pemerintahan yang berkuasa sejak Tan Unggul dikudeta oleh rakyatnya, dan diambil alih kembali oleh Kerajaan Majapahit pada awal abad ke-15, maka tidaklah sulit bagi para bangsawan Majapahit itu untuk mendirikan kembali pemerintahan di Sambas dengan mengangkat Panembahan Sambas sebagai raja pada tahun 1535. Setelah Panembahan Sambas meninggal, ia digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban.
Berdirinya Kerajaan Sambas Islam
Pada tahun 1550 pemerintahan di Kota Lama dipimpin oleh Ratu Sapudak yang menggantikan kakanya, Ratu Timbang Paseban. Kemudian kerajaan ini dikenal dengan nama Kerajaan Ratu Sapudak atau Kerajaan Sambas Tua atau yang kemudian berubah menjadi Panembahan Sambas. Seiring berkembangnya Islam di nusantara, memasuki pertengahan abad ke-16 Kesultanan Johor di Semenanjung Malaka sedang berada dalam masa kejayaannya.
Pada tahun 1609 Ratu Sapudak menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh Kesultanan Brunei sehingga menyebabkan Ratu Sapudak menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC pada 1 Oktober 1609 untuk menghadapi ancaman Kesultanan Brunei. Akan tetapi, Kesultanan Brunei tidak berhasil melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Sambas, sebab ketika ekspedisi dilakukan menuju Sambas, Sultan Brunei yang telah mengerahkan 150 perahu untuk menuju Sambas harus kembali pulang setelah menghadapi badai.
Setelah kegagalan melakukan ekspedisinya terhadap Sambas, pada akhir tahun 1609 datang rombongan Sultan Tengah (adik Sultan Brunei ketika itu yang diberi kerajaan di Sarawak) yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kerajaan Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan persenjataan. Rombongan Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak. Kemudian Sultan Tengah beserta rombongan dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang kemudian disebut dengan nama “Kembayat Sri Negara”.
Tidak lama setelah Sultan Tengah dan rombongannya menetap di Kerajaan Sambas ini, Ratu Sapudak pun kemudian meninggal dan digantikan oleh keponakannya, Raden Kencono yaitu anak dari Abang Ratu Sapudak yaitu Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki takhta di Kerajaan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda. Raden Kencono juga merupakan menantu dari Ratu Sapudak yang menikahi Mas Ayu Anom anak perempuan Ratu Sapudak .
Beberapa lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki takhta Kerajaan Sambas yaitu ketika Sultan Tengah telah menetap di wilayah Kerajaan Sambas ini hingga tahun 1619, anak Baginda Sultan Tengah yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa hingga kemudian Sulaiman di jodohkan dan kemudian menikahi anak perempuan bungsu dari Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu.
Karena pernikahannya dengan Mas Ayu Bungsu inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelar Raden sehingga namanya menjadi Raden Sulaiman. Tidak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri Besar dari Kerajaan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan negara luar dan pertahanan negeri. Hasil pernikahan Raden Sulaiman dengan Mas Ayu Bungsu dikaruniai seorang anak bernama Raden Bima.
Sultan Tengah yang mengamati bahwa situasi di sekitar Selat Malaka sudah mulai kondusif, ditambah lagi ia telah melihat anaknya, Raden Sulaiman telah menjadi seorang Menteri Besar Kerajaan Sambas, maka Sultan Tengah kemudian beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang merupakan adik-adik dari Raden Sulaiman yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat meninggalkan Kerajaan Sambas kembali pulang menuju Kesultanan Sarawak.
Dalam perjalanan menuju Kesultanan Sarawak ini, di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, Sultan Tengah ditikam oleh pengawalnya sendiri namun pengawal yang menikamnya itu kemudian ditikam kembali oleh Sultan Tengah hingga tewas. Namun luka yang dialami Sultan Tengah terlalu parah hingga kemudian menyebabkan Sultan Tengah meninggal. Sepeninggal Sultan Tengah, Putri Surya Kesuma kemudian memutuskan untuk kembali ke Sukadana (tempat dimana ia berasal) bersama dengan keempat orang anaknya.
Sepeninggal Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di Kerajaan Sambas, mendapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda bernama Raden Aryo Mangkurat yang juga menjadi Menteri Besar Kerajaan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden Sulaiman bertugas dalam urusan luar negeri, sedangkan Raden Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat memang sudah sejak lama tidak menyukai Raden Sulaiman.
Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping menjadi Menteri Besar yang cakap, Raden Sulaiman juga dengan giat menyebarkan ajaran Islam di Kerajaan Sambas sehingga penganut agama Islam di Kerajaan Sambas menjadi semakin banyak. Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang teramat sangat dari Raden Aryo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.
Untuk menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat kemudian melakukan fitnah, namun rencananya ini tidak berhasil sehingga kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo Mangkurat dengan membunuh orang kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai Setia Bakti. Raden Sulaiman kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu Anom Kesumayuda namun tanggapan Ratu Anom Kesumayuda membiarkan hal tersebut.
Hal ini membuat Raden Aryo Mangkurat semakin merajalela hingga kemudian Raden Sulaiman semakin terdesak dan mengancam keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan keluarganya. Melihat kondisi yang demikian maka Raden Sulaiman beserta keluarga dan orang-orangnya kemudian memutuskan untuk meninggalakan Kerajaan Sambas. Raden Sulaiman beserta keluarga dan pengikutnya yang terdiri dari sisa orang-orang Brunei yang ditinggalkan oleh Ayahnya (Sultan Tengah) sebelum meninggalkan Kerajaan Sambas dan sebagian besar terdiri dari orang-orang Jawa di Kerajaan Sambas yang telah memeluk agama Islam.
Untuk menghindarkan konflik internal, Raden Sulaiman pergi ke Kota Bangun, tempat Sultan Tengah mendirikan perkampungan ketika pertama kali tiba di Kerajaan Sambas. Kabar bahwa Raden Sulaiman keluar dari Kota Lama didengar oleh beberapa petinggi negeri yang masih menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Sambas, antara lain petinggi Nagur, Bantilan, dan Segerunding yang kemudian mengajak Raden Sulaiman pindah ke simpang Sungai Subah dan mendirikan negeri di Kota Bandir. Tiga tahun berselang, Raden Sulaiman pindah ke simpang Sungai Teberau di Lubuk Madung, dan kemudian pindah lagi ke muara tiga sungai (Sungai Subah, Sungai Teberau, dan Sungai Sambas Kecil), di Muara Ulakan .
Di Muara Ulakan, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Sementara dua adik laki-laki Raden Sulaiman, yaitu Raden Baharudin dan Raden Abdul Wahab, masing-masing diangkat sebagai Pangeran Bendahara Sri Maharaja dan Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma. Dengan demikian, Kerajaan Sambas resmi berdiri di Muara Ulakan, berdampingan denganKerajaan Sambas Tua di Kota Lama. Di Muara Ulakan inilah Raden Sulaiman membangun Istana Alwazikhoebillah.
Bersatunya Dua Pemerintahan di Sambas
Beberapa sumber berupa naskah-naskah kuno, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas Islam yang pertama pada 10 Dzulhijah tahun 1040 Hijriah yang dianggap sebagai awal pertama berdirinya Kerajaan Sambas Islam. Meskipun beberapa sejarawan memiliki perbedaan pandangan akan berdirinyaKerajaan Sambas Islam, namun dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa Kerajaan Sambas Islam telah muncul sejak pertengahan abad ke-17.
Pada tahun 1669 Raden Sulaiman meninggal, pemerintahan Kerajaan Sambas Tua dipimpin oleh Ratu Anom Kesuma Yuda hingga wafat dan digantikan putranya yang bernama Raden Bekut dengan gelar Panembahan Kota Balai. Selanjutnya, penerus tahta Kerajaan Sambas Lama adalah Raden Mas Dungun yang menjadi raja terakhir karena tidak lama setelah dinobatkan, Raden Mas Dungun menyerahkan wilayahnya kepada Raden Sulaiman yang bertahta di Kota Bangun.
Dengan demikian, jika dirunut dari riwayat terdahulu, Kerajaan Sambas masih memiliki garis keturunan dengan Kerajaan Hindu Ratu Sepudak/Kerajaan Sambas Tua, Sukadana, Serawak, dan Brunei Darussalam. Untuk menjaga hubungan keluarga yang turun-temurun itu, Sultan Syafiuddin I menitahkan putra pertamanya, Raden Bima, agar mengunjungi Kesultanan Brunei Darussalam yang menjadi tempat asal Sultan Tengah, ayahanda Sultan Syafiuddin I sekaligus kakek dari Raden Bima.
Sebelumnya, Raden Bima terlebih dulu ke Sukadana untuk mengunjungi neneknya, Ratu Surya Kesuma. Pemimpin Sukadana waktu itu, Sultan Zainuddin, berkenan menjodohkan Raden Bima dengan adik perempuannya yang bernama Putri Indra Kusuma. Dari hasil perkawinan itu, Raden Bima dan Putri Indra Kusuma mempunyai seorang putra bernama Raden Milian yang dilahirkan pada tanggal 2 Rabbiul Awal 1075 H .
Setelah pulang ke Muara Ulakan untuk menemui ayah dan ibundanya dengan membawa serta Putri Indra Kusuma dan Raden Milian yang baru berusia satu setengah tahun, Raden Bima bersiap menuju ke Brunei Darussalam. Kedatangan Raden Bima disambut meriah oleh keluarga Kesultanan Brunei Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Mahyiddin (1673 – 1690). Bahkan, Sultan Mahyiddin berkenan memberikan anugerah gelar kehormatan Sultan Anum kepada Raden Bima. Selain itu, Raden Bima diberi banyak sekali benda-benda kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam yang masih dipergunakan dalam upacara-upacara adat Kerajaan Sambas sampai sekarang .
Sepulang dari Brunei, Raden Bima dinobatkan sebagai Sultan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1668-1708). Ketika beliau wafat, tahta kesultanan diberikan kepada putranya yaitu Raden Milian bergelar Sultan Umar Akamuddin I (1708-1732). Pengganti Raden Milian adalah Raden Bungsu dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin (1732-1762). Setelah itu, berturut-turut yang menjabat sebagai Sultan Sambas hingga awal abad ke-19 adalah Sultan Umar Akamuddin II (1762-1786), Sultan Achmad Tajuddin (1786-1793), dan Sultan Abubakar Tajuddin I (1793-1815).
Kerajaan Sambas di Era Kolonial
Pada tahun 1609, Belanda membuka hubungan dagang dengan Kesultanan Matan di Kalimantan Barat. Dari situ, Belanda mendengar kabar tentang Kerajaan Sambas Tua di bawah pimpinan Ratu Sepudak yang kaya akan hasil hutan dan emas. Namun baru pada tanggal 1 Oktober 1696, wakil Belanda, Samuel Bloemaert, mengadakan perjanjian dagang dengan Kerajaan Sambas yang telah bercorak Islam.
Pada tanggal 24 Juli 1812, Inggris menyerang Sambas. Peristiwa itu terjadi ketika Sultan Abubakar Tajuddin I sedang melawat ke Serawak. Namun, serangan Inggris itu berhasil dipatahkan. Pada tahun 1815, Sultan Abubakar Tajuddin I wafat dan digantikan Pangeran Anom dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafiudin I (1815-1828).
Sejak akhir tahun 1823 Belanda dan Inggris membahas pembagian wilayah atas nusantara dan Malaka. Pada tanggal 17 Maret 1824, Belanda dan Inggris menyepakati perjanjian yang dikenal sebagai Traktat London. Isi Traktat London pada intinya adalah penyerahan negeri-negeri di nusantara dari Inggris kepada Belanda. Sedangkan Inggris berhak atas Malaka beserta tanah jajahannya dan Singapura. Dengan demikian, wilayah Kerajaan Sambas kembali dikuasai Belanda.
Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I wafat tahun 1828 dan digantikan Raden Ishak atau Pangeran Ratu Nata Kusuma. Tapi karena Raden Ishak belum dewasa, maka pemerintahan sementara dipegang oleh saudara Sultan Muhammad Ali Syafiudin I, Pangeran Bendahara Sri Maha Sultan dengan gelar Sultan Usman Kamaluddin (1828-1830). Sultan Usman Kamaluddin wafat tahun 1831 dan kepemimpinan dialihkan kepada adik Sultan Muhammad Ali Syafiudin I yang lain, Pangeran Tumenggung Jaya Kusuma bergelar Sultan Umar Akamuddin III (1830-1845). Ketika Sultan Umar Akamuddin III wafat tanggal 15 Desember 1845, Pangeran Ratu Nata Kusuma dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Abubakar Tajuddin II.
Dengan surat keputusan Gubernemen Hindia Belanda tertanggal 17 Januari 1848, putra sulung Sultan Abubakar Tajuddin II, Syafiuddin, diangkat sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati dan kemudian disekolahkan ke Jawa. Karena berselisih dengan pemerintah kolonial, Sultan Abubakar Tajuddin II diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, pada tahun 1855. Belanda kemudian mengangkat Pangeran Ratu Negara sebagai pengganti sultan dengan gelar Sultan Umar Kamluddin (1855-1866).
Pada tanggal 23 Juli 1861, Pangeran Adipati pulang ke Sambas setelah menyelesaikan sekolahnya di Jawa. Kemudian, pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin II (1866 – 1922). Pada masa ini, Kerajaan Sambas mengalami masa kejayaan, salah satu wujudnya adalah dengan pembangunan Masjid Jami atau Masjid Agung Sambas pada tahun 1877.
Selain membangun Masjid Jami, sebagai upaya untuk mengembangkan ajaran Islam, Sultan Muhammad Syafiuddin II juga mendirikan Madrasah Al-Sultaniyah. Sebelumnya, pada tahun 1872, Sultan telah membentuk Maharaja Imam sebagai institusi keagamaan tertinggi di istana. Untuk memimpin institusi yang memiliki otoritas terbesar dalam bidang kegamaan ini, Sultan menunjuk seorang ulama bernama Haji Muhammad Arif Nuruddin.
Kemajuan intelektual juga diperoleh Kerajaan Sambas pada era Sultan Muhammad Syafiuddin II dengan mendirikan sekolah-sekolah dan memberi penghargaan kepada siswa-siswa berprestasi untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir dan Arab Saudi. Salah seorang putra Sambas yang berhasil menempuh pendidikan di Mesir adalah Muhammad Basiuni Imran (1885 – 1976) yang kemudian diangkat sebagai Maharaja Imam Kerajaan Sambas sejak tahun 1913. Berkat pemikiran dan karya-karyanya, Muhammad Baisuni Imran dianggap sebagai pelopor pandangan reformisme Mesir di Indonesia.
Sebagai calon penggantinya, Sultan Muhammad Syafiuddin II mengangkat Raden Ahmad, sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Ahmad. Akan tetapi, Raden Ahmad, yang dikenal sangat gigih melawan penjajah Belanda, meninggal dunia dalam usia muda karena sakit. Dengan wafatnya Raden Ahmad, maka putra kedua Sultan Muhammad Syafiuddin II yang bernama Raden Muhammad Mulia Ibrahim ditetapkan sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Ratu Nata Wijaya.

Saat Sultan Muhammad Syafiuddin II merasa sudah tidak mampu lagi memimpin pemerintahan, sementara putra mahkota dirasa belum cukup umur untuk menggantikannya, maka dipilihlah putra Sultan Muhammad Syafiuddin II dari istri selir, yang bernama Raden Muhammad Ariadiningrat, sebagai pemimpin Kerajaan Sambas untuk sementara dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafiuddin II (1922 – 1926) .
Sultan Muhammad Syafiuddin II wafat pada tanggal 12 September 1924. Pada tanggal 9 Oktober 1926, menyusul kemudian Sultan Muhammad Ali Syafiuddin II yang meninggal dunia karena sakit. Dikarenakan putra mahkota masih belum dewasa, maka pemerintahan Kerajaan Sambas untuk sementara dipegang oleh lembaga bernama Bestuur Commisie yang terdiri dari sejumlah pejabat tinggi Kerajaan Sambas dan wakil pemerintah Hindia Belanda
Putra mahkota Pangeran Ratu Nata Wijaya dinobatkan sebagai Sultan Sambas pada tahun 1931 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943). Ketika pendudukan Belanda di Indonesia berakhir dan digantikan oleh pemerintahan militer Jepang pada tahun 1942, Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin mengajak sejumlah pemimpin kesultanan yang ada di Kalimantan Barat mengadakan pertemuan untuk bersatu melawan penjajah Jepang. Namun, pertemuan yang dilakukan pada tahun 1943 itu diketahui oleh aparat Jepang sehingga para pemimpin kesultanan ditangkap dan kemudian dibunuh di mana Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin termasuk yang menjadi korban kekejaman Jepang.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, Sambas dikuasai kembali oleh Belanda. Karena putra mahkota, Raden Muhammad Taufik dengan gelar Pangeran Ratu Muhammad Taufik, masih kecil, Belanda kembali membentuk Bestuur Commisie. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, Kerajaan Sambas menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pusat pemerintahan di Singkawang. Pangeran Ratu Muhammad Taufik, putra mahkota Kerajaan Sambas yang tidak sempat dinobatkan sebagai sultan, meninggal dunia pada tanggal 3 Juni 1984.
Raja-Raja yang Memerintah Kerajaan Sambas
Berikut ini adalah raja-raja yang Kerajaan Sambas, baik Kerajaan Sambas yang bercorak Hindu maupun Kerajaan Sambas Islam adalah sebagai berikut:
Kerajaan Hindu Ratu Sepudak/Kerajaan Sambas Tua:
- Raden Janur (sekitar tahun 1364).
- Tang Nunggal
- Ratu Sepudak (1550)
- Pangeran Prabu Kencana bergelar Ratu Anom Kesuma Yuda.
- Raden Bekut bergelar Panembahan Kota Balai.
- Raden Mas Dungun.
Kesultanan (Islam) Sambas
- Sultan Muhammad Syafiuddin I (1631 – 1668);
- Sultan Muhammad Tajuddin (1668 – 1708);
- Sultan Umar Akamuddin I (1708 – 1732);
- Sultan Abubakar Kamaluddin I (1732 – 1762);
- Sultan Umar Akamuddin II (1762 – 1786);
- Sultan Achmad Tajuddin (1786 – 1793);
- Sultan Abubakar Tajuddin I (1793 – 1815);
- Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I (1815 – 1828);
- Sultan Usman Kamaluddin (1828 – 1831);
- Sultan Umar Akamuddin III (1831 – 1845);
- Sultan Abubakar Tajuddin II (1845 – 1855);
- Sultan Umar Kamaluddin (1855 – 1866);
- Sultan Muhammad Syafiudin II (1866 – 1922);
- Sultan Muhammad Ali Syafiuddin II (1922 – 1926);
- Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931 – 1943)
- Pangeran Ratu Muhammad Taufik (1944 – 1984);
- Pangeran Ratu Winata Kusuma (2000 – 2008);
- Pangeran Ratu Muhammad Tarhan (2008 – sekarang)
Sistem Pemerintahan Kerajaan Sambas
Pada masa Kerajaan Sambas Tua dipimpin oleh Ratu Anom Kesuma Yuda, sistem pemerintahan yang dianut adalah menurut adat-istiadat yang sudah turun-temurun, di mana raja sebagai pemangku kekuasaan tertinggi dibantu oleh beberapa orang yang menempati jabatan sebagai Orang-Orang Besar. Jabatan ini di antaranya terdiri dari Pangeran Mangkurat yang bertugas memegang perbendaharaan kerajaan dan mewakili raja apabila raja sedang sakit atau berhalangan hadir dalam suatu upacara .
Terdapat juga posisi menteri yang bekerja di bawah perintah raja sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Salah satu menteri Kerajaan Sambas Tua pada era Ratu Anom Kesuma Yuda adalah Raden Sulaiman sebagai menteri pertahanan dan keamanan. Raden Sulaiman inilah yang kelak mendirikan Kerajaan Sambas Islam. Di samping itu, juga terdapat pangkat dan gelar-gelar lainnya dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sambas Tua, seperti sida-sida, bentara, dan hulubalang, yang bertugas sebagai pengawal raja di dalam lingkungan istana.
Saat pengangkatan Orang-Orang Besar dan pegawai-pegawai tinggi kerajaan, diadakan sumpah akan selalu patuh dan setia kepada raja. Perwujudan sumpah itu dilakukan dengan meminum air dari rendaman keris pusaka kerajaan. Maksud dari ritual ini adalah jika orang yang disumpah melanggar ikrarnya setia kepada raja, maka keris itulah nantinya yang akan menuntut tanggung jawab atas perbuatannya.
Ketika berada di bawah pengaruh pemerintah kolonial Hindia Belanda, Kerajaan Sambas tidak lagi leluasa mengatur pemerintahannya sendiri. Penunjukan sultan dan putra mahkota harus dengan izin resmi dari pemerintah kolonial. Saat terjadi kekosongan pemerintahan, pemerintah kolonial berhak membentuk dewan pemerintahan kesultanan sementara bernama Bestuur Commisie yang terdiri dari bangsawan tinggi Kerajaan Sambas dan wakil dari pemerintah kolonial.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara resmi pada tahun 1949, Kerajaan Sambas bergabung dengan NKRI dan menjadi daerah swapraja. Pada perkembangannya, wilayah yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sambas dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Karena sudah menjadi bagian dari wilayah negara Indonesia, jabatan sultan sebagai pemimpin Kerajaan Sambas ditiadakan dan digantikan dengan jabatan yang disebut Kepala Rumah Tangga Kerajaan Sambas hingga sekarang.
Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sambas
Terdapat sejumlah nama tempat yang penting kaitannya dengan kekuasaan Kerajaan Sambas Tua dan Kerajaan Sambas (Islam). (1) Kota Lama, pusat pemerintahan Kerajaan Sambas Tua yang terletak di Sekura; (2) Kota Bangun, merupakan tempat pertama kalinya Sultan Tengah membangun perkampungan di Sambas; (3) Kota Bandir, daerah di hulu Sungai Subah yang merupakan tempat Raden Sulaiman mengasingkan diri setelah meninggalkan Kota Lama. Selama tiga tahun, Kota Bandir menjadi pusat pemerintahan transisional dariKerajaan Sambas Tua ke Kerajaan Sambas (Islam); (4) Lubuk Madung, daerah simpang Sungai Teberau yang merupakan ibu kota pertama Kerajaan Sambas; dan (5) Muara Ulakan, pusat pemerintahan Kerajaan Sambas yang terakhir.
Selain tempat-tempat yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sambas Tua dan Kerajaan Sambas di atas, ditemukan juga sejumlah nama tempat yang diperkirakan menjadi wilayah taklukan Kerajaan Sambas Tua/Kerajaan Sambas, meskipun jumlah negeri-negeri taklukan tersebut tidak seberapa banyak karena Kerajaan Sambas Tua/Kerajaan Sambas juga menjadi negeri jajahan, dari Kerajaan Majapahit, Kesultanan Johor, hingga pada masa pendudukan Belanda dan kemudian Jepang. Beberapa negeri yang diduga menjadi negeri taklukan
Kerajaan Sambas Tua/Kerajaan Sambas itu antara lain Nagur, Bantilan, dan Segerunding.
Jika ditinjau dari kondisi geografis dan administratif pada masa sekarang, kekuasaan Kerajaan Sambas meliputi seluruh wilayah Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Pusat pemerintahan Kerajaan Sambas yang terletak di bagian pantai barat paling utara di Kalimantan Barat, hingga kini dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Sambas.
Itulah penjelasan tentang Kerajaan Sambas yang meliputi sejarah awal mula berdirinya Kerajaan Sambas yang bercorak Hindu sampai dengan Kerajaan Sambas yang bercorak Islam.