Kerajaan Samudra Pasai 1267-1524

Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan Samudra PasaiKerajaan Samudra Pasai (Samudera Pasai) didirikan oleh akibat dari masuk dan tersebarnya ajaran agama Islam di Indonesia yang diperkirakan proses itu telah terjadi sejak abad ke-7 atau 8 M. Kerajaan Samudra Pasai adalah kerajaan bercorak Islam pertama di Sumatera dan di Indonesia yang diperkirakan tumbuh antara tahun 1270-1275. Di dalam artikel ini akan dijelaskan secara singkat tentang Kerajaan Samudra Pasai.

Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Samudra Pasai

Berdirinya Kerajaan Islam di Sumatra yang dimulai dari berita awal abad ke-16 dari Tome Pires dalam bukunya yang berjudul Suma Oriental (1512-1515) memberikan keterangan bahwa di Sumatra, terutama disepanjang pesisir selat Malaka dan pesisir pantai barat Sumatra telah banyak berdiri kerajaan Islam baik yang besar maupun yang kecil. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Aceh, Bican, Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongakal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus.

Munculnya Kerajaan Samudra Pasai sebagai kekuatan politik di Pulau Sumatra oleh karena telah terjadi perubahan politik di Kepulauan Nusantara oleh akibat mundurnya pengaruh dari Kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya berhasil memaksakan hegemoni politik dan ekonominya di daerah jalur perdagangan di sekitar Selat Malaka dan Pantai Utara Sumatra. Selain oleh karena perubahan politik itu, kemunculan Kerajaan Samudra Pasai sebagai kekuatan politik juga disebabkan oleh letak geografisnya yang berada pada rute pelayaran dan perdagangan internasional yang mana wilayah itu sudah ramai sejak awal-awal tarikh Masehi.

Memang, sejak abad ke-7 atau abad ke-8 M Pelabuhan Pasai dan Samudera telah ramai disinggahi oleh orang-orang Islam yang datang dari Arab, Mesir, Persia dan Gujarat. Para pedagang ini mulai memegang peranan penting dan turut serta dalam jaringan pelayaran dan perdagangan internasional yang waktu itu jaraknya lebih jauh, yaitu dari Teluk Aden, Teluk Persia, melalui Samudra Hindia-Selat Malaka sampai Lautan Cina. Perkembangan jaringan pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka sejak abad-abad tersebut disebabkan pula oleh upaya-upaya perkembangan kekuasaan di Asia Barat di bawah Bani Umayyah (660-749), di Asia Timur di bawah Dinasti T’ang (618-907), dan di Asia Tenggara di bawah Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai abad ke-14 M).

Para pedagang yang juga sekaligus sebagai penyebar ajaran agama ini secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan dorongan meskipun lambat laun untuk mendirikan kekuatan politik. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya Barus dan Lamuri serta Perlak pada sekitar tahun 674. Kedatangan ajaran agama Islam ini diterima diberbagai lapisan masyarakat di daerah Pasai.

Sejak abad ke-7 dan ke-8 M sampai abad ke-11 M di daerah pesisir Selat Malaka dan juga di Cina Selatan tumbuh komunitas-komunitas muslim akibat Islamisasi. Sesuai dengan situasi dan kondisi politik Kerajaan Sriwijaya yang sedang mengalami kelemahan disebabkan perluasan kekuasaan Kerajaan Singasari dari Jawa, menyebabkan kekurangmampuan Kerajaan Sriwijaya melakukan kontrol sejak awal abad ke-13 M, lambat laun muncul komunitas muslim yang akhirnya tumbuhlah Kerajaan Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Kepulauan Nusantara bahkan Asia Tenggara.

Letak geografis Kerajaan Samudra Pasai lebih kurang 15 Km di sebelah timur Lhokseumawe, Nangro Aceh, diperkirakan tumbuh antara tahun 1270-1275 atau pertengahan abad ke-13 M. Kerajaan Samudra Pasai di bawah pemerintahan Sultan Malik as-Shalih yang wafat pada 1297 M. Nama Sultan Malik as-Shalih diceritakan pula di dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai. Tumbuhnya Kerajaan Samudra Pasai tidak dapat dipisahkan dari letak geografisnya yang senantiasa tersentuh pelayaran dan perdagangan internasional melalui Selat Malaka yang sudah ada sejak abad-abad pertama Masehi.

Samudra Pasai sebagai kekuatan poltik sebenarnya diawali dengan pendirian Kerajaan Pasai oleh Nizamudin Al-Kamil pada 1267. Nizamudin Al-Kamil adalah seorang laksmana angkatan laut dari Mesir sewaktu Dinasti Fatimiyah berkuasa. Nizamudin Al-Kamil ditugaskan untuk merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat pada tahun 1238. Setelah berhasil merebut Pelabuhan Kambayat, Nizamudin Al-Kamil mendirikan Kerajaan Pasai untuk menguasai perdagangan Lada.

Setelah mengontrol Pelabuhan Pasai, Nizamudin Al-Kamil kemudian mengangkat Merah Silu sebagai penguasa Pelabuhan Pasai. Merah Silu (Marah Silu) ini sebelumnya adalah seorang tokoh yang berpengaruh pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga. Merah Silu kemudian diperintahkan oleh Nizamudin Al-Kamil untuk mengontrol aktivitas Pelabuhan Pasai. Sedangkan Nizamudin Al-Kamil melanjutkan ekspedisinya untuk memperluas pengaruh dari Dinasti Fatimiyah.

Setelah runtuhnya Dinasti Fatimiyah pada 1284, di sisi lain Nizamudin Al-Kamil tewas dalam penyerangan ke Sampar. Dinasti Mamluk yang menggantikan Dinasti Fatimiyah kemudian mengutus Syekh Ismail dan Fakir Muhammad untuk merebut dan mengontrol kembali Pelabuhan Pasai yang dinilai telah berhasil menjadi pusat perdagangan dari rempah-rempah (terutama lada).

Pada awal sebelum terbentuknya kerajaan yang dipimpin oleh Merah Silu, Samudra dan Pasai adalah dua kota pelabuhan yang terletak di utara pantai timur Sumatra. Di mana Merah Silu adalah sebagai penguasa Pelabuhan Pasai. Kedua wilayah (Samudra dan Pasai) disatukan oleh Merah Selu atau Marah Silu dengan memanfaatkan kemunduran Kerajaan Sriwijaya sebagai kesatuan politik yang berkuasa di barat Kepulauan Nusantara.

Baca Juga  Zaman Perundagian Di Indonesia

Setelah berhasil menyatukan kedua kota pelabuhan ini, Merah Silu bertemu dengan Syekh Ismail yang merupakan seorang utusan dari Syarif Mekah. Syekh Ismail mengajarkan tentang agama Islam dan Merah Silu tertarik untuk mempelajari agama Islam. Merah Silu akhirnya tertarik untuk memeluk agama Islam dan sejak itu Merah Silu merubah namanya menjadi Malikus Saleh pada tahun 1285. Setelah memeluk agama Islam dan merubah namanya, Merah Silu kemudian menyatakan kesediaannya menjadi bagian dari Dinasti Mamluk.

Setelah menyatakan kesediannya, Syekh Ismail kemudian menjadikan Merah Silu (Malikus Saleh) sebagai sultan atau raja dengan gelar Sultan Malik as-Saleh yang menguasai dua kota pelabuhan yaitu Samudra dan Pasai yang kelak berdasarkan nama dua kota pelabuhan ini, kerajaan yang dipimpin oleh Merah Silu bernama Kerajaan Samudra Pasai.

Berdasarkan keterangan yang didapatkan di dalam Hikayat Raja-Raja Pasai maupun Sulatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatan dinasti-dinasti di Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo di dalam perjalanannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).

Kondisi Politik Kerajaan Samudra Pasai

Raja-Raja Kerajaan Samudra Pasai

Sultan-sultan yang memerintah Kerajaan Samudra Pasai berturut-turut yang tercantum di dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai serta tercantum di dalam mata uang peninggalan Kerajaan Samudra Pasai. Adapun raja-raja yang memerintah di Kerajaan Samudra Pasai berdasarkan sumber tersebut adalah:

  1. Malik as-Shalih (wafat 1297)
  2. Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326)
  3. Mahmud Malik az-Zahir (1383-1405)
  4. Nahrisyah (1405-1412)
  5. Abu Zaid Malik az-Zahir (1412-?)
  6. Mahmud Malik az-Zahir (1513-1524)

Sedangkan di dalam sumber lain, urutan raja-raja Kerajaan Samudra Pasai adalah sebagai berikut;

  1. Sultan Malik as-Saleh (1267-1297)
  2. Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326)
  3. Sultan Ahmad I (1326-133?)
  4. Sultan Ahmad al-Malik az-Zahir (133?-1349)
  5. Sultan Zainal Abidin I (1349-1406)
  6. Sultanah Nahrasyiyah (1406-1428)
  7. Sultan Zainal Abidin II (1428-1438)
  8. Sultan Shalahuddin (1438-1462)
  9. Sultan Ahmad II (1462-1464)
  10. Sultan Abu Zaid Ahmad III (1464-1466)
  11. Sultan Ahmad IV (1466-1466)
  12. Sultan Mahmud (1466 – 1468)
  13. Sultan Zainal Abidin III (1468 – 1474)
  14. Sultan Muhammad Syah II (1474 – 1495)
  15. Sultan Al-Kamil (1495 – 1495)
  16. Sultan Adlullah (1495 – 1506)
  17. Sultan Muhammad Syah III (1506 – 1507)
  18. Sultan Abdullah (1507 – 1509)
  19. Sultan Ahmad V (1509 – 1514)
  20. Sultan Zainal Abidin IV (1514 – 1517)

Hubungan Diplomatik Awal

Pada masa pemerintahan Malik as-Shalih diperkirakan telah ada hubungan dengan Cina sebagaimana yang diberitakan di dalam Sejarah Dinasti Yuan bahwa tahun 1282 seorang utusan Cina bertemu dengan salah seorang menteri dari kerajaan Sumatra di Quilon yang meminta agar raja Samudra (Kerajaan Samudra Pasai) mengirimkan dutanya ke Cina. Ternyata pada tahun itu ada dua orang utusan dari Samudra yang bernama Sulaeman dan Snams-ad-Din yang diutus ke negeri Cina.

Hubungan dengan negeri-negeri di Timur-Tengah selalu ada bahkan sekitar tahun 1346 berdasarkan berita yang diberikan oleh Ibnu Batuttah yang berkunjung pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Malik az-Zahir, ahli-ahli agama berdatangan antara lain dari ahli-ahli agama yang datang dari Persia bernama Qadi Sharif Amir Sayyid dan Taj-al-Din.

kerajaan samudra pasai

Pada awal abad ke-16 M mungkin masa memuncaknya Kerajaan Samudra Pasai sebagaimana diberitakan Tome Pires tengah mengalami berbagai kemajuan di bidang politik pemerintahan, di bidang perekonomian dan perdagangan. Diceritakan tentang Kerajaan Pasai selalu mengadakan hubungan persahabatan dengan Malaka bahkan juga mengikat perkawinan. Para pendatang yang hadir di pasai dari berbagai negeri, seperti Rumi, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Keling, Bengali, Melayu, Jawa, Bruas, Siam, Kedah, dan Pegu.

Menantang Majapahit

Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan dari Kerajaan Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan. Menurut Hikayat Raja-Raja Pasai, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dicitrakan sebagai pemimpin yang buruk.

Dikisahkan, sang sultan ternyata menaruh birahi terhadap dua anak perempuannya sendiri, yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Beberapa kali gelagat tak pantas tersebut ketahuan oleh penghuni istana lainnya. Sikap keterlaluan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir itu memantik desas-desus tak sedap. Anak sulung sang sultan yang juga putra mahkota, Tun Beraim Bapa, mengingatkan ayahnya agar menghentikan kelakuan tak patut tersebut.

Bukannya menahan diri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir justru murka, bahkan mengancam Tun Beraim Bapa agar tidak mencampuri urusannya. Tun Beraim Bapa pun waspada dan berusaha sekuat tenaga dua saudara perempuannya dari kebuasan sang ayah yang tidak layak dijadikan panutan tersebut. Merasa dilawan oleh anaknya sendiri, kemarahan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir meledak. Ia lalu merencanakan niat jahat. Secara diam-diam, sang sultan mengutus orang untuk meracuni sang pangeran.

Baca Juga  Homo Soloensis: Manusia Solo (Solo Man)

Usaha itu berhasil. Tun Beraim Bapa yang kelak seharusnya melanjutkan singgasana ayahnya justru harus meregang nyawa lebih cepat. Mengetahui sang kakak mati mendadak, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara sangat bersedih hati sekaligus takut setengah mati terhadap ayah mereka sendiri. Maka, kedua putri Kerajaan Samudra Pasai itu pun memilih menyusul Tun Beraim Bapa, bunuh diri dengan meminum racun.

Dengan kekuasaannya yang nyaris tanpa batas, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir langsung menutup rapat kegemparan yang sempat terdengar di lingkungan Kerajaan setelah tewasnya tiga anaknya tersebut. Ini dilakukan agar kabar buruk itu tidak menyebar luas, apalagi hingga ke luar kerajaan. Tabiat biadab Sultan Ahmad Malik Az-Zahir kambuh lagi beberapa waktu berselang. Kali ini bermula dari hubungan asmara antara putra kedua sultan, Tun Abdul Jalil (adik kandung Tun Beraim Bapa) dengan seorang putri dari Kerajaan Majapahit yang bernama Raden Galuh Gemerencang.

Seharusnya, momen ini bisa dimanfaatkan untuk menjalin relasi yang lebih erat dengan Kerajaan Majapahit. Calon imperium yang berpusat di Jawa bagian timur itu memang sedang menatap masa gemilang seiring dinobatkannya Hayam Wuruk sebagai raja dengan gelar Maharaja Sri Rajasanagara, meneruskan takhta sang ibunda, Tribhuwana Wijayatunggadewi, pada tahun 1350, sedangkan di sisi lain Kerajaan Majapahit memiliki seorang mahapatih sekaligus panglima perang tertinggi, yaitu Gajah Mada.

Saat ditunjuk sebagai mahapatih oleh Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi pada 1336, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa sebagai tekad untuk menaklukkan sebagian besar wilayah Nusantara di bawah panji-panji Kerajaan Majapahit. Namun, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir justru memantik konflik dengan Kerajaan Majapahit. Dikisahkan kembali di dalam Hikayat Raja-Raja Pasai;

Kecantikan Raden Galuh Gemerencang yang tidak lain adalah calon menantunya ternyata membuat sultan jatuh cinta. Kala itu, sang putri beserta para pengawalnya sedang bersiap untuk pergi ke Kerajaan Samudra Pasai untuk menemui sang pujaan hati. Tak rela Raden Galuh Gemerencang diperistri putranya sendiri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir pun menyiapkan siasat keji untuk Tun Abdul Jalil, sama seperti yang pernah dilakukan terhadap anak sulungya, Tun Beraim Bapa. Nyawa pangeran kedua pun dihabisi dan mayatnya ditenggelamkan ke laut.

Sementara itu, rombongan Raden Galuh Gemerencang akhirnya tiba di Kerajaan Samudra Pasai. Sang putri terkejut mendengar kabar dari orang-orang kepercayaannya Tun Abdul Jalil bahwa calon suaminya itu telah dibunuh atas perintah Sultan Ahmad Malik Az-Zahir. Raden Galuh Gemerencang yang jiwanya terguncang jelas sangat sedih. Ia lalu menenggelamkan diri ke laut di mana jenazah Tun Abdul Jalil dibenamkan sebelumnya. Rombongan pengawal yang mengiringi sang putri segera kembali ke Jawa untuk melapor kepada Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada tentang kejadian tragis tersebut.”

Akibat kejadian ini, maka memunculkan amarah dari pihak Kerajaan Majapahit dan sekaligus menjadi alasan penyerangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Samudra Pasai serta menjadi salah satu langkah Gajah Mada di dalam melaksanakan Amukti Palapa yang telah ia ucapkan saat diangkat sebagai patih amangkubumi pada masa Tribhuana Tunggadewi. Hayam Wuruk segera memerintahkan Gajah Mada untuk memimpin pasukan dalam rangka memberi hukuman kepada Sultan Ahmad Malik az-Zahir dan menaklukan Kerajaan Samudra Pasai. Peperangan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Samudra Pasai tidak dapat terhindarkan.

Di dalam jalannya pertempuran, Kerajaan Majapahit unggul dibandingkan Kerajaan Samudra Pasai sehingga peperangan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Samudra Pasai harus berakhir dalam tempo 5 tahun dengan kemenangan di pihak Kerajaan Majapahit. Dengan dikalahkannya Kerajaan Samudra Pasai, maka sejak pemerintahan Hayam Wuruk, Kerajaan Samudra Pasai menjadi negeri bawahan Kerajaan Majapahit.

Kerajaan Samudra Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kerajaan Samudra Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.

Puncak Kejayaan

Menurut Tome Pires, Kerajaan Samudra Pasai mencapai puncaknya pada awal abad ke-16. Kerajaan Samudra Pasai mengalami kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, dan terutama ekonomi perdagangan. Diceritakan pula bahwa Kerajaan Samudra Pasai selalu mengadakan hubungan persahabatan dengan Malaka, bahkan hubungan persahabatan itu diperkuat dengan perkawinan. Para pedagang yang pernah mengunjungi Pasai berasal dari berbagai negara seperti, Rumi, Turki, Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, dan Pegu. Sementara barang komoditas yang diperdagangkan adalah lada, sutera, dan kapur barus.

Di samping komoditas itu sebagai penghasil pendapatan Kerajaan Samudra Pasai, juga diperoleh pendapat dari pajak yang dipungut dari pajak barang ekspor dan impor. Dalam sumber-sumber sejarah juga dijelaskan, bahwa Kerajaan Samudra Pasai telah menggunakan mata uang yang terbuat dari emas seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis dan juga terdapat mata uang dramas.

Kehidupan Sosial-Ekonomi

Kehidupan ekonomi Kerajaan Samudra Pasai sebagian besar dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan yang disebabkan oleh letak Kerajaan Samudra Pasai yang dinilai strategis. Letak yang strategis ini oleh karena berbatasan dengan Selat Malaka yang menjadi pusat aktivitas perdagangan internasional dan sebagai pertemuan para pedagang yang berasal dari Jazirah Arab, India dan Cina.

Baca Juga  Prasasti Cidanghiang 403 M: Peringatan Purnawarman Bagi Para Bajak Laut!

Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Cheng Ho dengan memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kerajaan Samudra Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide.

Perdagangan di Kerajaan Samudra Pasai mulai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir. Menurut keterangan yang diberikan oleh Ibnu Battuta bahwa perdagangan di Samudra Pasai semakin ramai dan maju oleh karena didukung oleh armada angkatan lautnya yang kuat sehingga para pedagang nyaman berdagang di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Samudra Pasai. Kemajuan perekonomian dan ramainya pelabuhan itu telah menjadikan kehidupan masyarakat Kerajaan Samudra Pasai mencapai taraf kehidupan yang makmur.

Diberitakan pula bahwa Kerajaan Samudra Pasai telah menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis, ada yang dibuat dari emas yang juga disebut dengan dramas dan mata uang Portugis, yaitu crusade. Kerajaan Samudra Pasai selain sebagai pelabuhan internasional, juga memiliki komoditas utama seperti lada, sutra, kapur barus, dan sebagainya.

Selain itu, Samudra Pasai juga berkaitan dengan masalah pendapat kerajaan-kerajaan ialah pajak dari barang-barang yang diekspor dan diimpor. Di bidang keagamaan sebagaimana telah diberitakan Ibnu Batutta tentang kehadiran para ulama dari Persia, Syria dan Isfahan. Ibnu Batutta menceritakan bagaimana taatnya sultan dari Kerajaan Samudra Pasai terhadap agama Islam dari Mazhab Syafi’i, dan ia selalu dikelilingi oleh ahli-ahli teologi Islam.

Peran Kerajaan Samudra Pasai Dalam Penyebaran Agama Islam

Sejak abad ke-14 Kerajaan Samudra Pasai mempunyai peranan penting di dalam penyebaran agama Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam karena memiliki hubungan yang erat dengan Kerajaan Samudra Pasai terlebih dengan mengadakan hubungan pernikahan antara putra-putra Sultan dari Kerajaan Samudra Pasai dengan Kerajaan Malaka sehingga pada awal abad ke-15 M atau sekitar 1414 tumbuhlah Kerajaan Islam Malaka, dimulai pemerintahan Paramisora. Tome Pires menceritakan hubungan antara Pasai dengan Malaka terutama pada masa pemerintahan Saquen Darxa yang dapat disamakan dengan nama Sultan Muhammad Iskandar Syah raja kedua Malaka.

Di dalam Hikayat Patani terdapat cerita tentang peng-islam-an raja Patani yang bernama Paya Tu Naqpa dilakukan oleh seorang dari pasai yang bernama Syaikh Sa’id karena berhasil menyembuhkan raja Patani itu. Setelah masuk agama Islam raja berganti nama yaitu Sultan Ismail Syah Zillullah Fil’Alam dan juga ketiga orang putra dan putrinya yaitu Sultan Mudhaffar Syah, Siti Aisyah, dan Sultan Mansur. Pada masa pemerintahan Sultan Mudhaffar Syah datang seorang ulama lagi dari pasai yang bernama Syaikh Safiuddin yang atas perintah raja ia mendirikan masjid untuk orang-orang muslim di Patani.

Demikian pula dengan banyaknya jenis nisan kubur yang disebut Batu Aceh yang menjadi nisan kubur raja-raja di Patani, Malaka, dan Malaysia pada umumnya terutama yang bentuknya menyerupai nisan kubur Sultan Malik as-Shalih dan nisan-nisan kubur dari abad-abad sebelum ke-17 M ditambah dengan kesamaan jenis batu serta penulisan dan huruf-huruf bahkan dengan pengisian ayat-ayat Al-quran dan nuansa kesufiannya, jelas Kerajaan Samudra Pasai mempunyai peran penting di dalam persebaran islam di Asia Tenggara, demikian pula di bidang perekonomian dan perdagangan.

Kemunduran Kerajaan Samudra Pasai

Meskipun Kerajaan Samudra Pasai mengalami puncak kejayaannya pada permulaan abad ke-16, namun sejak Portugis berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511 dan meluaskan kekuasaannya, Kerajaan Samudra Pasai mulai mengalami kemunduran. Di sisi lain, Kerajaan-kerajaan Islam yang terletak di pesisir, seperti Aru, Pedir, dan lainnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam yang sejak abad ke-16 M semakin mengalami perkembangan politik, ekonomi-perdagangan, kebudayaan, dan keagamaan.

Berdasarkan faktor-faktor inilah eksistensi Kerajaan Samudra Pasai mulai terancam dan tidak dapat menghindari kemundurannya. Kerajaan Aceh yang mulai muncul sebagai kerajaan yang mandiri dan berhasil memantapkan posisinya sebagai kekuatan politik mulai melakukan serangannya terhadap kedaulatan Kerajaan Samudra Pasai. Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah, Kerajaan Aceh melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Samudra Pasai yang menyebabkan Kerajaan Samudra Pasai berhasil dikuasai oleh Kerajaan Aceh pada tahun 1521. Penyerangan Kerajaan Aceh itulah yang menjadi penyebab utama keruntuhan Kerajaan Samudra Pasai.

Daftar Bacaan

  • Azra, Azyumardi. 1998. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
  • Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.Yogyakarta : Ombak.
  • Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
error: Content is protected !!