Kerajaan Samudra Pasai (1267-1524): Kerajaan Bercorak Islam Pertama di Sumatra

Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan Samudra Pasai (Samudera Pasai) didirikan oleh akibat dari masuk dan tersebarnya ajaran agama Islam di Indonesia yang diperkirakan proses itu telah terjadi sejak abad ke-7 atau 8 M. Kerajaan Samudra Pasai adalah kerajaan bercorak Islam pertama di Sumatera dan di Indonesia yang diperkirakan tumbuh antara tahun 1270-1275. Di dalam artikel ini akan dijelaskan secara singkat tentang Kerajaan Samudra Pasai.

Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Samudra Pasai

Berdirinya Kerajaan Islam di Sumatra yang dimulai dari berita awal abad ke-16 dari Tome Pires dalam bukunya yang berjudul Suma Oriental (1512-1515) memberikan keterangan bahwa di Sumatra, terutama disepanjang pesisir selat Malaka dan pesisir pantai barat Sumatra telah banyak berdiri kerajaan Islam baik yang besar maupun yang kecil. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Aceh, Bican, Lambri, Pedir, Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongakal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas, Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus.

Munculnya Kerajaan Samudra Pasai sebagai kekuatan politik di Pulau Sumatra oleh karena telah terjadi perubahan politik di Kepulauan Nusantara oleh akibat mundurnya pengaruh dari Kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya berhasil memaksakan hegemoni politik dan ekonominya di daerah jalur perdagangan di sekitar Selat Malaka dan Pantai Utara Sumatra. Selain oleh karena perubahan politik itu, kemunculan Kerajaan Samudra Pasai sebagai kekuatan politik juga disebabkan oleh letak geografisnya yang berada pada rute pelayaran dan perdagangan internasional yang mana wilayah itu sudah ramai sejak awal-awal tarikh Masehi.

Memang, sejak abad ke-7 atau abad ke-8 M Pelabuhan Pasai dan Samudera telah ramai disinggahi oleh orang-orang Islam yang datang dari Arab, Mesir, Persia dan Gujarat. Para pedagang ini mulai memegang peranan penting dan turut serta dalam jaringan pelayaran dan perdagangan internasional yang waktu itu jaraknya lebih jauh, yaitu dari Teluk Aden, Teluk Persia, melalui Samudra Hindia-Selat Malaka sampai Lautan Cina. Perkembangan jaringan pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka sejak abad-abad tersebut disebabkan pula oleh upaya-upaya perkembangan kekuasaan di Asia Barat di bawah Bani Umayyah (660-749), di Asia Timur di bawah Dinasti T’ang (618-907), dan di Asia Tenggara di bawah Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai abad ke-14 M).

Para pedagang yang juga sekaligus sebagai penyebar ajaran agama ini secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan dorongan meskipun lambat laun untuk mendirikan kekuatan politik. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya Barus dan Lamuri serta Perlak pada sekitar tahun 674. Kedatangan ajaran agama Islam ini diterima diberbagai lapisan masyarakat di daerah Pasai.

Sejak abad ke-7 dan ke-8 M sampai abad ke-11 M di daerah pesisir Selat Malaka dan juga di Cina Selatan tumbuh komunitas-komunitas muslim akibat Islamisasi. Sesuai dengan situasi dan kondisi politik Kerajaan Sriwijaya yang sedang mengalami kelemahan disebabkan perluasan kekuasaan Kerajaan Singasari dari Jawa, menyebabkan kekurangmampuan Kerajaan Sriwijaya melakukan kontrol sejak awal abad ke-13 M, lambat laun muncul komunitas muslim yang akhirnya tumbuhlah Kerajaan Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Kepulauan Nusantara bahkan Asia Tenggara.

Letak geografis Kerajaan Samudra Pasai lebih kurang 15 Km di sebelah timur Lhokseumawe, Nangro Aceh, diperkirakan tumbuh antara tahun 1270-1275 atau pertengahan abad ke-13 M. Kerajaan Samudra Pasai di bawah pemerintahan Sultan Malik as-Shalih yang wafat pada 1297 M. Nama Sultan Malik as-Shalih diceritakan pula di dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai. Tumbuhnya Kerajaan Samudra Pasai tidak dapat dipisahkan dari letak geografisnya yang senantiasa tersentuh pelayaran dan perdagangan internasional melalui Selat Malaka yang sudah ada sejak abad-abad pertama Masehi.

Faktor kesuburan tanah amat penting bagi munculnya pusat-pusat pemukiman penduduk di kawasan Asia Tenggara, begitu juga dengan Pasai yang cukup subur karena terletak di daerah aliran-aliran sungai. Pada daerah-daerah subur. sejak awal abad Masehi muncul pusat-pusat pemukiman penduduk, namun pusat-pusat serupa itu kurang bisa berkembang sebagai pusat-pusat politik karena hambatan keadaan alam secara fisik.

Pusat-pusat politik pada lembah-lembah sungai sulit mengadakan komunikasi dengan wilayah lain karena dibatasi oleh pegunungan, karena itu pusat-pusat politik itu menjadi terisolasi. Mereka hanya dapat berhubungan dengan daerah pedalamannya saja yang dihubungkan oleh sungai-sungai. Karena itu dalam perkembangan Kerajaan Pasai dapat dilihat bahwa. terjadi pemusatan kekuasaan pada muara sungai di tempat ini pusat kekuasaan tidak berhasil memperluas wilayahnya ke luar wilayah inti itu. Tentang munculnya kekuasaan politik pada muara sungai itu di sepanjang garis Selat Malaka sebenarnya adalah suatu kontinyuitas yang berasal dari masa-masa sebelumnya.

Faktor letak geogafis pada tepi sebelah barat Selat Malaka juga amat penting artinya bagi muncul dan berkembangnya Pasai sebagai salah satu bandar perdagangan di Asia Tenggara selama abad ke-14. Hubungan perdagangan jarak jauh antara Laut Merah dengan India dan Cina telah berlangsung sejak awal abad Masehi. Penduduk di Pulau Sumatera telah ikut terlibat dalam perdagangan jarak jauh antara India dan Cina sejak abad ke-5 dan ke-6 . Barang-barang produksi daerah ini seperti benzoin dan kapur barus amat digemari oleh pedagang-pedagang Arab, Persia, dan Cina.

Ketika Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya pada sekitar abad ke- 7 dan ke-8 , Selat Malaka telah dilayari oleh pedagang-Pedagang Arab yang menuju Asia Tenggara dan Asia Timur. Berkembangnya pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-negeri di Asia Barat dan Timur termasuk Asia Tenggara, kemungkinan besar disebabkan oleh kegiatan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di bawah Banu Umayah di bagian barat, maupun kegiatan Kerajaan Cina di bawah Dinasti T’ang, dan kerajaankerajaan di Asia Tenggara di bagian timur. Jadi, kiranya itulah faktor-faktor geografis yang memungkinkan munculnya Kerajaan Samudra Pasai sebagai sebuah kekuatan politik.

Samudra Pasai sebagai kekuatan poltik sebenarnya diawali dengan pendirian Kerajaan Pasai oleh Nizamudin Al-Kamil pada 1267. Nizamudin Al-Kamil adalah seorang laksmana angkatan laut dari Mesir sewaktu Dinasti Fatimiyah berkuasa. Nizamudin Al-Kamil ditugaskan untuk merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat pada tahun 1238. Setelah berhasil merebut Pelabuhan Kambayat, Nizamudin Al-Kamil mendirikan Kerajaan Pasai untuk menguasai perdagangan Lada.

Setelah mengontrol Pelabuhan Pasai, Nizamudin Al-Kamil kemudian mengangkat Merah Silu sebagai penguasa Pelabuhan Pasai. Merah Silu (Marah Silu) ini sebelumnya adalah seorang tokoh yang berpengaruh pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga. Merah Silu kemudian diperintahkan oleh Nizamudin Al-Kamil untuk mengontrol aktivitas Pelabuhan Pasai. Sedangkan Nizamudin Al-Kamil melanjutkan ekspedisinya untuk memperluas pengaruh dari Dinasti Fatimiyah.

Setelah runtuhnya Dinasti Fatimiyah pada 1284, di sisi lain Nizamudin Al-Kamil tewas dalam penyerangan ke Sampar. Dinasti Mamluk yang menggantikan Dinasti Fatimiyah kemudian mengutus Syekh Ismail dan Fakir Muhammad untuk merebut dan mengontrol kembali Pelabuhan Pasai yang dinilai telah berhasil menjadi pusat perdagangan dari rempah-rempah (terutama lada).

Pada awal sebelum terbentuknya kerajaan yang dipimpin oleh Merah Silu, Samudra dan Pasai adalah dua kota pelabuhan yang terletak di utara pantai timur Sumatra. Di mana Merah Silu adalah sebagai penguasa Pelabuhan Pasai. Kedua wilayah (Samudra dan Pasai) disatukan oleh Merah Selu atau Marah Silu dengan memanfaatkan kemunduran Kerajaan Sriwijaya sebagai kesatuan politik yang berkuasa di barat Kepulauan Nusantara.

Setelah berhasil menyatukan kedua kota pelabuhan ini, Merah Silu bertemu dengan Syekh Ismail yang merupakan seorang utusan dari Syarif Mekah. Syekh Ismail mengajarkan tentang agama Islam dan Merah Silu tertarik untuk mempelajari agama Islam. Merah Silu akhirnya tertarik untuk memeluk agama Islam dan sejak itu Merah Silu merubah namanya menjadi Malikus Saleh pada tahun 1285. Setelah memeluk agama Islam dan merubah namanya, Merah Silu kemudian menyatakan kesediaannya menjadi bagian dari Dinasti Mamluk.

Setelah menyatakan kesediannya, Syekh Ismail kemudian menjadikan Meurah Silu (Malikus Saleh) sebagai sultan atau raja dengan gelar Sultan Malik as-Saleh yang menguasai dua kota pelabuhan yaitu Samudra dan Pasai yang kelak berdasarkan nama dua kota pelabuhan ini, kerajaan yang dipimpin oleh Meurah Silu bernama Kerajaan Samudra Pasai.

Berdasarkan keterangan yang didapatkan di dalam Hikayat Raja-Raja Pasai maupun Bustanus as-Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatan dinasti-dinasti di Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo di dalam perjalanannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).

Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai

Raja-Raja Kerajaan Samudra Pasai

Sultan-sultan yang memerintah Kerajaan Samudra Pasai berturut-turut yang tercantum di dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai serta tercantum di dalam mata uang peninggalan Kerajaan Samudra Pasai. Adapun raja-raja yang memerintah di Kerajaan Samudra Pasai berdasarkan sumber tersebut adalah:

  1. Malik as-Shalih (wafat 1297)
  2. Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326)
  3. Mahmud Malik az-Zahir (1326-1349)
  4. Nahrisyah (1405-1412)
  5. Abu Zaid Malik az-Zahir (1412-?)
  6. Mahmud Malik az-Zahir (1513-1524)

Sedangkan di dalam sumber lain, urutan raja-raja Kerajaan Samudra Pasai adalah sebagai berikut;

  1. Sultan Malik as-Saleh (1267-1297)
  2. Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326)
  3. Sultan Ahmad I (1326-133?)
  4. Sultan Ahmad al-Malik az-Zahir (133?-1349)
  5. Sultan Zainal Abidin I (1349-1406)
  6. Sultanah Nahrasyiyah (1406-1428)
  7. Sultan Zainal Abidin II (1428-1438)
  8. Sultan Shalahuddin (1438-1462)
  9. Sultan Ahmad II (1462-1464)
  10. Sultan Abu Zaid Ahmad III (1464-1466)
  11. Sultan Ahmad IV (1466-1466)
  12. Sultan Mahmud (1466 – 1468)
  13. Sultan Zainal Abidin III (1468 – 1474)
  14. Sultan Muhammad Syah II (1474 – 1495)
  15. Sultan Al-Kamil (1495 – 1495)
  16. Sultan Adlullah (1495 – 1506)
  17. Sultan Muhammad Syah III (1506 – 1507)
  18. Sultan Abdullah (1507 – 1509)
  19. Sultan Ahmad V (1509 – 1514)
  20. Sultan Zainal Abidin IV (1514 – 1517)

Sultan Malik as-Shalih (1267-1297)

Berdasarkan keterangan yang juga terdapat di Hikayat Raja-Raja Pasai, tercatat bahwa Malik as-Saleh sebelum menjadi raja di Kerajaan Samudra Pasai telah melakukan peperangan terhadap daerah lain seperti negeri Benua, memerangi Sultan Malik al-Nasar yang wilayahnya terdiri dari Gunung Telawas, Kumbu dan Pekersang.

Sebelum Malikus Saleh menjadi raja Pasai, menurut Hikayat Raja-Raja Pasai, terjadi beberapa kali perpindahan pusat kerajaan. Pada mulanya negeri dibuka di daerah Semerlanga (Samalanga). Apabila itu benar, maka pusat kerajaan itu pertama kali dibentuk di daerah sebelah barat dari kedudukan Pasai yang lebih kemudian.

Setelah itu, pusat kerajaan dipindahkan lagi ke sebelah barat di Beruana. Dari tempat ini pusat kerajaan masih dipindahkan lagi ke daerah pedalaman di hulu Peusangan, di Buloh Telang. Tempat ini tidak lain adalah di daerah pedalaman Gayo, karena Buloh Telong itu mesti terletak di daerah Gunung Burni Telong di daerah pedalaman Gayo. Dengan demikian pusat Kerajaan Pasai yang lebih ke daerah pesisir yang menjadi pusat pemerintahan di masa kejayaan kerajaan ini, dibentuk setelah mereka pindah dari pedalaman Gayo tersebut.

Semua tempat yang ditaklukan dengan perang kemudian berada di bawah perintah Kerajaan Samudra Pasai. Terhadap daerah yang tidak mau takluk, penguasanya terpaksa menyingkir; orang-orang Gayo yang lari ke hulu Sungai Pasangan karena tidak mau tunduk kepada agama Islam yang disampaikan oleh Malik as-Saleh. Dari Hikayat Raja-Raja Pasai itu dapat diketahui untuk mengikat tali persahabatan dengan daerah kerajaan yang kedudukannya sejajar, dilakukan pula perkawinan seperti yang dilakukan oleh Malik as-Saleh yang menikah dengan salah seorang putri raja Perlak dan memperoleh dua orang putera, yakni Malik Al-Zahir dan Malik Al-Mansur.

Peranan penting yang dimainkan Pasai dalam persebaran Islam ke seluruh Nusantara dan bahkan ke kawasan Asia Tenggara, dimungkinkan karena hubungan itu berkaitan erat dengan kegiatan perdagangan yang di dalamnya juga terdapat kegiatan para pedagang yang sekaligus bertindak sebagai pendakwah . Pasai yang terkait dengan kegiatan perdagangan dengan berbagai kerajaan lain di kawasan ini, dengan mudah menggunakan jaringan itu untuk tujuan pengembangan agama Islam.

Pada masa pemerintahan Malik as-Shalih diperkirakan telah ada hubungan dengan Cina sebagaimana yang diberitakan di dalam Sejarah Dinasti Yuan bahwa tahun 1282 seorang utusan Cina bertemu dengan salah seorang menteri dari kerajaan Sumatra di Quilon yang meminta agar raja Samudra (Kerajaan Samudra Pasai) mengirimkan dutanya ke Cina. Ternyata pada tahun itu ada dua orang utusan dari Samudra yang bernama Sulaeman dan Snams-ad-Din yang diutus ke negeri Cina. Kedua orang ini dapat diperkirakan sebagai pedagang-pedagang Islam yang bermukim atau menduduki posisi penting dalam pemerintahan.

Pada masa pemerintahan Malikus Saleh, sebagai raja pertama di kerajaan itu, terdapat sejumlah orang-orang besar dalam negeri itu. Seorang bernama Tun Sri Kaya dan seorang lagi Tun Baba Kaya . Nama-nama itu jelas menunjukkan kedudukan orang-orang besar itu dalam kerajaan Pasai. Hal ini sesuai dengan penyebutan orang-orang besar kerajaan di Semenanjung Melayu dan Kerajaan Aceh Darussalam sebagai Orang Kaya. Kedua orang besar di Kerajaan Pasai tersebut masing-masing bernama Sayid Ali Ghitauddin dan Sayid Asmayuddin.

Hikayat Raja-raja Pasai bahkan dengan jelas menyebutkan mereka masing-masing sebagai perdana menteri , seorang untuk Samudera dan seorang !agi untuk Pasai. Kedudukan mereka yang begitu penting di sana berlangsung sejak masa pemerintahan Malikus Saleh sampai masa cucunya yaitu Malikul Mahmud (Mahmud Malik az-Zahir) dan Malikul Mansur.

Tokoh-tokoh ini amat berpengaruh terhadap para penguasa di Pasai. Hal ini juga terungkap dalam Hikayat Raja-Raja Pasai ketika Malikul Mahmud bersengketa dengan Malikul Mansur. Malikul Mahmud menyebutkan bahwa sekiranya ia tidak menghormati Sayid Asmayuddin, niscaya telah dibunuhnya Malikul Mansur.

Sultan Mahmud Malik az-Zahir (1297-1326)

Ditinjau dari sudut perkembangan agama Islam, Pasai dapat kita katakan sebagai pusat penyiaran agama Islam di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara. Salaltussalihin atau Sejarah Melayu (edisi Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi) menceritakan bahwa di Tanah Arab ada seorang alim bernama Maulana Abu Ishak yang sangat paham akan ilmu tasawuf. la mengarang kitab Durru’l-manzum dan mengajarkan isi kitab ini kepada muridnya Abu Bakar. Kemudian muridnya itu dikirimkannya ke Malaka untuk mengajarkan isi kitab ini kepada muridnya Abu Bakar. Kemudian muridnya itu dikirimkannya ke Malaka untuk mengajarkan isi kitabnya itu.

Sultan Malaka Mansyur Syah sangat memuliakan Maulana Abu Bakar dan baginda berguru kepada maulana itu. Kemudian Sultan Mansyur Syah mengirim kitab itu ke Pasai dan oleh sultan Pasai disuruhartikan kepada Mahkdum Petakan, salah seorang alim di Kerajaan Pasai. Setelah selesai, hasilnya diantarkan kembali ke Malaka, dan Sultan Mansyur Syah terlalu suka-cita melihat kitab itu sudah bermakna. Baginda menunjukkan kitab Durru’l-manzum yang dikirim dari Pasai itu kepada Maulana Abu Bakar, dan Maulana Abu Bakar itu berkenan di hati serta dipujinya ulama Pasai itu.

Baca Juga  Teknologi Kemaritiman Zaman Islam di Indonesia
kerajaan samudra pasai

Sejarah Melayu juga mencerminkan bahwa ketika timbul masalah mengenai, “apakah segala isi syurga itu, kekalkah ia dalam syurga dan segala isi neraka itu, kekalkah ia di dalam neraka”, Sultan Mansyur Syah, mengutus Tun Bija Wangsa untuk bertanya akan masalah itu ke Pasai.

Sultan Pasai bertitah kepada Makhdum Muda. untuk menyiapkan jawaban terhadap masalah itu, lalu dibawakan kepada Maulana Abu Bakar. Sultan Malaka memuji Makhdum Muda dan kepadanya diberikan anugerah emas urai tujuh tahil dan dua orang sahaya perem puan peranakan Makasar bernama Daeng Bunga dan Daeng Bibah.

Hubungan antara Pasai dengan Malaka dan juga dengan daerah-daerah lain di kawasan Asia Tenggara telah terjalin sejak adanya hubungan perdagangan melalui jalur perdagangan yang melintasi pesisir Selat Malaka. Agama Islam pun mulai dianut di beberapa tempat di Asia Tenggara, terutama di Semenanjung Melayu dan di pesisir utara Pulau Jawa.

Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Samudera Pasai dengan Semenanjung Melayu lambat-laun menyebabkan terbentuknya masyarakat muslim di sana, antara lain di Trengganu yang dibuktikan oleh temuan batu bersurat dengan huruf Arab yang berbahasa Melayu. Batu itu bertanggal Jum’at 21 Rajab 702 H, atau Jum ‘at 22 Februari 1303 M.

lbukota kerajaan ini banyak dikunjungi oleh para pedagang sehingga perdagangan menjadi amat penting. Penduduk ini sudah menggunakan Liang logam yang terbuat dari emas dan timah. Mata uang emas itu disebut dinar dan berisi 7/10 emas murni.

Menurut Hasan Muarif Ambary, khusus mengenai mata uang yang berhasil ditemukan dari ekskavasi di Kecamatan Samudera, diperoleh catatan analisis, antara lain bahwa Kerajaan Pasai adalah Kerajaan Islam Nusantara pertama yang mengeluarkan mata uang emas sebagai alat tukar resmi/sah. Mata uang tersebut dikeluarkan pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir (I 297-1326). Mata uang tersebut oleh Ibrahim Alfian dianggap sebagai derham tertua di Nusantara. Mata uang sebagai alat tukar resmi selanjutnya juga berkembang ke Malaka berdasarkan penempaan mata uang di Pasai.

Sultan Ahmad Malik az-Zahir (1326-1349)

Pada masa pemerintahan Ahmad Malik az-Zahir, terletak agak jauh ke selatan Kerajaan Samudra Pasai, terletak negeri Tamiang yang diperintah oleh raja Dinok. Setelah ditaklukan, Tamiang diperintah oleh seorang pembesar istana Kerajaan Samudra Pasai yang bergelar Raja Setia Muda.

Pada pusat pemerintahan sendiri di Pasai, kegiatan keagamaan cukup semarak. Hal ini terutama dapat diperlihatkan kehidupan keagamaan di istana. Contoh kongkrit tentang hal ini, ialah pada masa pemerintahan Ahmad Malik al-Zahir, lbnu Batuttah menyebutkan, bahwa pada saat kunjungannya ke sana pada Tahun 1345, sultan yang memerintah negeri itu ialah Sultan Malik al-Zahir, seorang raja yang taat kepada ajaran Nabi Muhammad SAW, dan baginda senantiasa dikelilingi oleh para ahli agama teologi Islam, yang salah satu di antaranya ialah Qadi Syarif Amir Sayyid dari Shiraz, dan Tajal-Din dari lsfahan.

Menurut Hikayat Raja-Raja Pasai, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dicitrakan sebagai pemimpin yang buruk. Dikisahkan, sang sultan ternyata menaruh birahi terhadap dua anak perempuannya sendiri, yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Beberapa kali gelagat tak pantas tersebut ketahuan oleh penghuni istana lainnya. Sikap keterlaluan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir itu memantik desas-desus tak sedap. Anak sulung sang sultan yang juga putra mahkota, Tun Beraim Bapa, mengingatkan ayahnya agar menghentikan kelakuan tak patut tersebut.

Bukannya menahan diri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir justru murka, bahkan mengancam Tun Beraim Bapa agar tidak mencampuri urusannya. Tun Beraim Bapa pun waspada dan berusaha sekuat tenaga dua saudara perempuannya dari kebuasan sang ayah yang tidak layak dijadikan panutan tersebut. Merasa dilawan oleh anaknya sendiri, kemarahan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir meledak. Ia lalu merencanakan niat jahat. Secara diam-diam, sang sultan mengutus orang untuk meracuni sang pangeran.

Usaha itu berhasil. Tun Beraim Bapa yang kelak seharusnya melanjutkan singgasana ayahnya justru harus meregang nyawa lebih cepat. Mengetahui sang kakak mati mendadak, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara sangat bersedih hati sekaligus takut setengah mati terhadap ayah mereka sendiri. Maka, kedua putri Kerajaan Samudra Pasai itu pun memilih menyusul Tun Beraim Bapa, bunuh diri dengan meminum racun.

Dengan kekuasaannya yang nyaris tanpa batas, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir langsung menutup rapat kegemparan yang sempat terdengar di lingkungan Kerajaan setelah tewasnya tiga anaknya tersebut. Ini dilakukan agar kabar buruk itu tidak menyebar luas, apalagi hingga ke luar kerajaan. Tabiat biadab Sultan Ahmad Malik Az-Zahir kambuh lagi beberapa waktu berselang. Kali ini bermula dari hubungan asmara antara putra kedua sultan, Tun Abdul Jalil (adik kandung Tun Beraim Bapa) dengan seorang putri dari Kerajaan Majapahit yang bernama Raden Galuh Gemerencang.

Seharusnya, momen ini bisa dimanfaatkan untuk menjalin relasi yang lebih erat dengan Kerajaan Majapahit. Calon imperium yang berpusat di Jawa bagian timur itu memang sedang menatap masa gemilang seiring dinobatkannya Hayam Wuruk sebagai raja dengan gelar Maharaja Sri Rajasanagara, meneruskan takhta sang ibunda, Tribhuwana Wijayatunggadewi, pada tahun 1350, sedangkan di sisi lain Kerajaan Majapahit memiliki seorang mahapatih sekaligus panglima perang tertinggi, yaitu Gajah Mada.

Saat ditunjuk sebagai mahapatih oleh Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi pada 1336, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa sebagai tekad untuk menaklukkan sebagian besar wilayah Nusantara di bawah panji-panji Kerajaan Majapahit. Namun, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir justru memantik konflik dengan Kerajaan Majapahit. Dikisahkan kembali di dalam Hikayat Raja-Raja Pasai;

Kecantikan Raden Galuh Gemerencang yang tidak lain adalah calon menantunya ternyata membuat sultan jatuh cinta. Kala itu, sang putri beserta para pengawalnya sedang bersiap untuk pergi ke Kerajaan Samudra Pasai untuk menemui sang pujaan hati. Tak rela Raden Galuh Gemerencang diperistri putranya sendiri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir pun menyiapkan siasat keji untuk Tun Abdul Jalil, sama seperti yang pernah dilakukan terhadap anak sulungya, Tun Beraim Bapa. Nyawa pangeran kedua pun dihabisi dan mayatnya ditenggelamkan ke laut.

Sementara itu, rombongan Raden Galuh Gemerencang akhirnya tiba di Kerajaan Samudra Pasai. Sang putri terkejut mendengar kabar dari orang-orang kepercayaannya Tun Abdul Jalil bahwa calon suaminya itu telah dibunuh atas perintah Sultan Ahmad Malik Az-Zahir. Raden Galuh Gemerencang yang jiwanya terguncang jelas sangat sedih. Ia lalu menenggelamkan diri ke laut di mana jenazah Tun Abdul Jalil dibenamkan sebelumnya. Rombongan pengawal yang mengiringi sang putri segera kembali ke Jawa untuk melapor kepada Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada tentang kejadian tragis tersebut.”

Akibat kejadian ini, maka memunculkan amarah dari pihak Kerajaan Majapahit dan sekaligus menjadi alasan penyerangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Samudra Pasai serta menjadi salah satu langkah Gajah Mada di dalam melaksanakan Amukti Palapa yang telah ia ucapkan saat diangkat sebagai patih amangkubumi pada masa Tribhuana Tunggadewi. Hayam Wuruk segera memerintahkan Gajah Mada untuk memimpin pasukan dalam rangka memberi hukuman kepada Sultan Ahmad Malik az-Zahir dan menaklukan Kerajaan Samudra Pasai. Peperangan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Samudra Pasai tidak dapat terhindarkan.

Selanjutnya antara tahun 1345 dan 1350, Kerajaan Majapahit melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Samudra Pasai dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan. Di dalam jalannya pertempuran, Kerajaan Majapahit unggul dibandingkan Kerajaan Samudra Pasai sehingga peperangan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Samudra Pasai harus berakhir dalam tempo 5 tahun dengan kemenangan di pihak Kerajaan Majapahit.

Dengan dikalahkannya Kerajaan Samudra Pasai, maka sejak pemerintahan Hayam Wuruk, Kerajaan Samudra Pasai menurun pamornya dan berada dalam kendali Kerajaan Majapahit. Meskipun begitu, Kerajaan Samudra Pasai tidaklah benar-benar ditaklukkan, ia tetap tegak berdiri hingga Majapahit mengalami keruntuhannya.

Mengingat perkembangan daerah Maluku pada abad ke-14 mulai menarik perhatian para pedagang, perluasan kekuasaan Majapahit adalah suatu upaya menjaga hegemoni perdaganganny a dengan Maluku. Sebenarnya dengan perkembangan di Maluku itu, pedagang Arab dan Cina dapat berlayar langsung ke daerah itu, namun selama abad ke- 14 bajak laut cukup merajalela di Selat Malaka. Majapahit tidak berhasil menjaga kearnanan di Selat Malaka, demikian juga halnya dengan Pasai yang cukup kuat dan kaya.

Perluasan kekuasaan Majapahit ke Jambi dan juga ke Pasai yang dilakukan secara berulangkali, tidak lain adalah dalam rangka penguasaan perdagangan Majapahit, telah menyerang beberapa kali Kerajaan pasai masih dapat berdiri tegak, namun dengan membesarnya kekuasaan Majapahit di Selat Malaka, peranan Pasai mulai menurun. Peranan Pasai yang begitu penting dalam perdagangan antarbangsa menjadi amat merosot sekali dengan mulai tumbuhnya bandar perdagangan Malaka di Semenanjung Melayu pada abad ke-15.

Sultan Zainal Abidin I (1349-1406)

Setelah Sultan al-Malikuzh Zhahir meninggal, naiklah putranya Zainal Abidin. Ia naik takhta ketika usianya masih kecil, sehingga untuk sementara, pemerintahan dijalankan oleh pembesar-pembesar kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan Siam mendatangi Samudra Pasai. Awalnya, mereka masuk ke negeri Pasai secara baik-baik. Mereka pun disambut dengan layak oleh Pasai. Mereka mengangkat sebuah peti besar ke dalam istana, sebagai hadiah untuk Sultan Pasai. Ketika peti itu dibuka, melompatlah empat orang pasukan Siam keluar dari peti, menangkap sultan yang masih kecil. Sultan Pasai diculik, dibawa ke kapal, ditawan di dalam istana Siam.

Orang-orang besar Samudra Pasai terpaksa datang mempersembahkan tebusan ke negeri Siam, yaitu emas. Mereka memohon agar sultan dapat dibebaskan. Raja Siam mengizinkan, dengan syarat, Pasai harus tetap rutin membayar emas. Akhirnya, pulanglah Sultan yang masih muda itu ke Pasai, hingga duduk kembali di atas singgasananya.

Tidak beberapa lama kemudian, tiba-tiba datang pulalah pasukan dari Kerajaan Majapahit. Diserbunya Samudra Pasai sekali lagi. Pasai takluk di bawah Majapahit. Siam pun tidak mampu melawan Majapahit untuk mempertahankan Pasai,peristiwa ini tertulis pada Hikayat Aceh dan Kitab negarakrtagama.

Kerajaan Samudra Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Maharaja Tiongkok mengutus admiral Cheng Ho untuk datang ke Pasai pada tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, Cheng Ho menganjurkan agar Kerajaan Samudra Pasai mengakui persahabatan dengan Maharaja Tiongkok, Kaisar Cheng Tsu. Kaisar ini baru saja merebut kekuasaan dari kaisar yang dahulu, Hwui Ti.

Cheng Ho datang membawa hadiah tanda persahabatan dari Kaisar Tiongkok. Ia pun memberikan janji bahwa Tiongkok akan tetap membela Samudra Pasai, Malaka dan negeri-negeri lain, jika ada serangan dari luar, asalkan mereka mengakui perlindungan dari Tiongkok. Sultan Zainal Abidin disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur dari Aceh pada tahun1405. Selanjutnya pemerintahan Kerajaan Samudra Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.

Sultanah Nahrasyiyah (1406-1428)

Sejak abad ke-14 Kerajaan Samudra Pasai mempunyai peranan penting di dalam penyebaran agama Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam karena memiliki hubungan yang erat dengan Kerajaan Samudra Pasai terlebih dengan mengadakan hubungan pernikahan antara putra-putra Sultan dari Kerajaan Samudra Pasai dengan Kerajaan Malaka sehingga pada awal abad ke-15 M atau sekitar 1414 tumbuhlah Kerajaan Islam Malaka.

Munculnya Malaka sebagai bandar perdagangan baru dan pusat kekuasaan Islam yang besar pengaruhnya di kawasan Selat Malaka, amat dipengaruhi oleh Samudera Pasai. Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Samudera Pasai dan Malaka jauh sebelum abad ke-15, lambat-laun menyebabkan pula timbulnya masyarakat rnuslim di Malaka, bahkan juga di kalangan bangsawan atau raja-raja.

Raja Malaka yang dikenal sebagai Paramisora mengambil puteri dari Pasai sebagai istrinya, kira kira pada tahun 1414. Hubungan perdagangan amat dimajukan antara dua kerajaan tersebut. Pada waktu itu pun mata uang emas (dirham) yang sudah dikenal di Kerajaan Samudera Pasai, dikenalkan pula kepada raja dan masyarakat Malaka. Tome Pires menceritakan hubungan antara Pasai dengan Malaka terutama pada masa pemerintahan Saquen Darxa yang dapat disamakan dengan nama Sultan Muhammad Iskandar Syah raja kedua Malaka.

Terdapatnya pengaruh yang besar dari Pasai dalam pengislaman Malaka juga dibuktikan bahwa pada waktu Bandar Malaka mulai bangkit dan Pasai mengalami kemunduran, para pedagang Islam, baik orang-orang Arab maupun India pindah dari Pasai ke Malaka.

Pengaruh Pasai juga berlangsung atas Kedah , meskipun Kedah juga berada di bawah kekuasaan Siam . Melalui Kedah mubaliq-muballiq Islam dari Pasai menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah Iain di Semenanjung Melayu, yang terletak lebih ke pedalaman sampai ke Trengganu. Pengaruh Pasai yang telah ada di sebelah utara Semenanjung Melayu juga mengakibatkan besarnya pengaruh terhadap raja-raja Malaka yang pertama, yang mengawini puteri Pasai.

Hubungan antara Pasai dengan daerah-daerah lain di Indonesia seperti Pulau Jawa. Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Lombok. dan Sumbawa dibuktikan oleh adanya kesamaan bentuk nisan kubur yang terdapat di Pasai dengan daerah-daerah yang disebutkan. Makam Maulana Malik Ibrahim di Jawa Timur misalnya , menunjukkan persamaan dengan makam Nahrasiyah di Pasai dan dengan makam yang ada di Cambay. Pembuktian melalui bentuk makam kuburan seperti yang dijelaskan Hasan Muarif Ambary berhasil memperkuat sumber-sumber keterangan yang telah diberikan melalui sumber-sumber hikayat dan berita-berita asing sebelumnya.

Pemberitaan dari jenis hikayat itu mengenai pengaruh Pasai terhadap Jawa Barat berdasarkan Babad Cirebon dan Purwaka Caruban Nagari. Dari sumber itu tergambar bahwa tokoh yang mengislamkan Jayakarta dari Banten adalah Fadilahkhan yang berasal dari Pasai. Berdasarkan sumber itulah Uka Tjandrasasmita berkesimpulan bahwa Pasai berperan besar dalam proses pengembangan Islam di pesisir utara Jawa, Jawa Timur sampai Jawa Barat.

Struktur Birokrasi Kerajaan Samudra Pasai

lbukota Kerajaan Pasai yang oleh sumber-sumber Cina disebut Kota Samudera, tidak memiliki dinding yang dibangun sebagai benteng kota. Hanya saja terdapat dinding batu karang yang besar menjorok ke arah laut. Tampaknya keadaan ini sudah dipergunakan sebagai benteng pertahanan dari serangan-serangan yang berasal dari arah laut.

Tome Pires menyebutkan bahwa Kota Pasai adalah kota terpenting pada masanya untuk seluruh pulau Sumatera, karena tidak ada tempat lain yang penting di pulau itu kecuali Pasai, sehingga nama kota itu, yang oleh sebagian penduduk lain juga disebut Samudera, dijadikan nama untuk pulau itu. Kota itu sendiri ditaksir berpenduduk tidak kurang dari 20.000 orang.

lbnu Batutah yang berkunjung ke kota tersebut pada pertengahan abad ke-14, memberikan gambaran tentang kota tersebut. la mencatat bahwa ia harus berjalan sekitar empat mil dengan naik kuda dari pelabuhan yang disebutnya Sahra untuk sampai ke kota pusat pemerintahan itu cukup besar dan indah serta dilengkapi dengan menara-menara yang terbuat dari kayu. Pada pusat kota ini terdapat tempat tinggal para penguasa dan bangsawan lainnya. Bangunan terpenting ialah istana sultan dan mesjid.

Baca Juga  Spartikarnawa Warmandewi (340 – 348)

Gambaran yang diberikan Ibnu Batutah ini berbeda dengan yang diberikan oleh Tome Pires terutama dalam soal benteng atau pagar kota. Apabila dalam laporan Tome Pires disebutkan bahwa Kota Pasai tidak memiliki benteng atau pagar, sebaliknya lbnu Batutah mengatakan bahwa kota tersebut dilengkapi dengan pagar-pagar kayu. Jika uraian lbnu Batutah ini benar maka Tawalinuddin Harismenyebutkan bahwa morpologi Kota Pasai hampir sama dengan kotakota pantai lainnya seperti Banten, Jayakarta, dan lain-lain.

Tampaknya terdapat perbedaan pendapat antara Tome Pires dengan lbnu Batutah disebabkan garnbaran-gambaran yang mereka berikan terhadap kota yang berbeda. lni adalah alternatif pertama, bahwa Kota Pasai yang dimaksudkan oleh Tome Pires adalah bandar Sahra yang disebut lbnu Batutah. Kenyataan ini diperkuat lagi dengancatatan Tome Pires bahwa Kota Pasai langsung dibatasi oleh batu karang yang menjorok ke taut. Hal ini berarti ia menceritakan tentang kota yang benar-benar berada di tepi pantai. Pada hal apa yang diceritakan lbnu Batutah bahwa kota yang terletak di tepi pantai ialah bandar pelabuhan yang disebut Sahra. Dengan demikian Kota Pasai menurut lbu Batutah adalah kota di mana istana sultan didirikan.

Menurut catatan lbnu Batutah pula, disebutkan bahwa di dalam pagar keliling kota terdapat tempat tinggal para penguasa dan bangsawan lainnya yang dilindungi oleh rakyat di luar pagar. Semua kehidupan komersial kota, para pendatang baru desa, orang-orang asing, para pengrajin dan segala aktivitas ur.ban lainnya ditempatkan di luar pagar keliling kota. Orang-orang asing seringkali tidak diizinkan menetap dalam jarak tertentu dari istana raja, bahkan adakalanya mereka harus tinggal di luar kota.

Apabila penjelasan Ibnu Batutah dianggap benar, maka dapatlah dikatakan bahwa Kota Pasai sebagai pusat pemerintahan raja-raja Pasai, pada tengah-tengah areal terdapat suatu daerah inti yang ditempati oleh istana raja. Istana ini dipagar sebagai batas yang membedakan kawasan istana sultan dengan kawasan pasar di manaaktivitas perdagangan dan kegiatan Iainnya berlangsung.

Berdasarkan kenyataan ini disebutkan bahwa Pasai yang memiliki kota besar itu dihuni oleh penduduk yang tersebar hingga ke pedalaman. Penduduk pedalaman sering terlibat peperangan dengan penguasa Pasai. Meskipun penduduk pesisir pantai telah memeluk agama Islam, namun mereka tidak berhasil dalam mengislamkan penduduk pedalaman.

Dari segi politik, munculnya Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 sejalan dengan suramnya dunia kemaritiman kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya telah berhasil memegang peranan terpenting di dalam kegiatan kemaritiman dan perdagangan internasional di kawasan Sumatra dan Selat Malaka bahkan Asia Tenggara. Sementara itu, di Semenanjung Tanah Melayu pada 1280 telah terjadi invasi Thai ke daerah ini; sedang di Jawa pada abad ke-13 merupakan puncak kebesaran dan kejayaan Singasari-Majapahit, yang ditunjukkan dengan ekspedisi Pamalayu raja Kertanegara pada 1292.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kerajaan Melayu-lah satu-satunya kerajaan yang masih merdeka; sementara di Jawa Kerajaan Majapahit sedang berkembang pesat. Satu faktor yang perlu dicatat adalah bahwa sebagai akibat disintegrasi Kerajaan Sriwijaya, Islam mulai masuk ke sekitar pantai utara Sumatra. Hal ini ditambah dengan beberapa abad sebelumnya pedagang Arab sudah mengenal pelayaran dan perdagangan di kawasan Asia Tenggara ini, bahkan pada abad ke-10 mereka telah memegang peranan penting di dalam jalan perdagangan di Asia Timur.

Keterangan yang diberikan dari Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat keterangan bahwa tempat pertama sebagai pusat Kerajaan Pasai adalah muara Sungai Pasangan yang disebut sebanyak dua kali di dalam hikayat tersebut. Sungai Pasangan adalah sebuah sungai yang panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya.

Pada awal proses islamisasi di Pasai pesisir itu sendiri, kelompok penduduk yang menolak untuk masuk agama Islam melarikan diri dan berdiam di daerah pedalaman Gayo, dengan demikian penduduk ini dan juga orang-orang yang disebut dengan orang-orang Batak pada dua-tiga abad berikutnya adalah kelompok-kelompok penduduk pedalaman yang selalu terlibat peperangan dengan penguasa Pasai.

Komposisi masyarakat yang menjadi penduduk kota ini menunjukkan sifatnya yang berlapis-lapis. Menurut pendapat Ayatrohaedi, lapisan itu terdiri atas raja dan orang-orang besar kerajaan pada lapisan atas sampai dengan hamba sahaya pada lapisan yang paling bawah

Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan beberapa perjalanan raja dengan mengarungi sungai menuju pedalaman. Dari hikayat itu juga didapatkan petunjuk bahwa dua kota yang terletak bersebrangan di muara Sungai Pasangan adalah Pasai dan Samudra. Kota Samudra terletak agak lebih ke pedalaman, tepatnya terletak agak ke muara sungai Pasai dan di tempat inilah ditemukan beberapa makam raja. Dengan demikian, dapat diduga bahwa di muara Sungai Pasangan inilah rupanya letak ibu kota pertama dari Kerajaan Samudra Pasai sebelum selanjutnya pindah ke Lhokseumawe.

Seperti yang diketahui, berkembangnya kerajaan Islam yang pertama-tama di Kepulauan Nusantara berada di daerah pesisir. Meskipun demikian, jika berdasarkan pada kitab-kitab sejarah dapat diketahui bahwa antara daerah-daerah yang letaknya berdekatan selalu terjadi perebutan hegemoni hingga pusat-pusat kerajaan pada saat-saat tertentu akan bergeser satu sama lain

Pada umumnya sebutan raja sebagai kepala pemerintahan yang tertinggi pada kerajaan-kerajaan Islam masih memakai nama-nama atau sebutan-sebutan seperti lazimnya untuk para raja pada masa sebelum berdirinya kerajaan Islam. Di dalam Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan bahwa raja yang pertama sekaligus pendiri Kerajaan Samudra Pasai adalah Malik as-Saleh yang memakai gelar Sultan, tetapi dari hikayat itu dapat diketahui bahwa gelarnya sebelum menjadi raja adalah Marah Sile atau Merah Selu.

Dari hikayat tersebut dapat diketahui bahwa Merah Silu masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan syarif Mekah, yang setelah pertemuan mereka berdua itu, kemudian Merah Selu diberi gelar Sultan Malik as-Saleh. Gelar tersebut masih tercantum pada batu nisannya yang terdapat di Kampung Samudra, di daerah Sungai Pasai.

Tentang sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan Islam di Indonesia, tetaplah tidak mengabaikan pengangkatan raja-raja pada masa sebelum Islam. Pengangkatan raja Samudra Pasai berdasarkan keterangan pada Hikayat Raja-Raja Pasai diberikan keterangan mengenai pengangkatan Malik as-Saleh sebagai seorang raja di Pasai;

“sebelum ia diangkat sebagai sultan namanya Merah Silu, ia adalah putra Merah Gajah dan Merah Gajah adalah putra angkat Ahmad. Ia dinobatkan menjadi sultan oleh utusan Syarif Mekah bernama Ismail yang ketika bertemu dengan Merah Selu telah mengajarkan agama Islam dan ajaran Rasul Muhammad. Merah Selu ternyata paham tentang apa yang diajarkan oleh syekh tersebut, dan segera dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Malik as-Saleh.”

Berdasarkan keterangan di atas, nampaknya seorang Sultan Samudra Pasai diangkat oleh seorang Syarif Mekah yang merupakan utusan dari Dinasti Mamluk. Dengan demikian sebenarnya menunjukkan bahwa Kerajaan Samudra Pasai ini bukanlah sebuah kerajaan yang benar-benar merdeka, melainkan seolah adalah bagian dari kekuasaan Dinasti Mamluk.

Jika melihat geografi wilayah Aceh, khususnya wilayah Samudra Pasai, merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara India, Arab, dan Kepulauan Nusantara. Aceh sendiri di dalam perkembangannya kemudian menjadi pusat perdagangan Islam yang sangat penting, begitu pula dengan Samudra Pasai.

Pada lapisan kelompok birokrasi terlihat adanya kelompok orang-orang besar, perdana menteri, menteri, tentara, pegawai, dan lain-lain. Secara langsung juga disebutkan adanya orang-orang yang bergerak di bidang perdagangan, misalnya disebutkannya orang-orang yang berniaga, orang berlayar. orang pekan, nahkoda, dan lain-lain.

Meskipun orang-orang Arab tidak sebanyak orang-orang yang berasal dari India yang berdiam di Pasai, namun kelompok ini amat berpengaruh pada tingkat pemerintahan, atau atas kekuasaan raja. Keadaan ini diperlihatkan sejak awal terbentuknya kesultanan Samudra Pasai.

Pada masa pemerintahan Malikus Saleh, sebagai raja pertama di kerajaan itu, terdapat sejumlah orang-orang besar dalam negeri itu. Seorang bernama Tun Sri Kaya dan seorang lagi Tun Baba Kaya . Nama-nama itu jelas menunjukkan kedudukan orang-orang besar itu dalam Kerajaan Samudra Pasai. Hal ini sesuai dengan penyebutan orang-orang besar kerajaan di Semenanjung Melayu dan Kerajaan Aceh Darussalam sebagai Orang Kaya. Kedua orang besar di Kerajaan Pasai tersebut masing-masing bernama Sayid Ali Ghitauddin dan Sayid Asmayuddin.

Selain dua orang besar dari kelompok orang-orang Arab yang disebutkan, selanjutnyajuga terdapat dua orang utusan Kerajaan Pasai yang dikirim ke istana Cina pada tahun 1282. Kedua utusan ini adalah Sulaiman dan Samsuddin. Pada waktu lbnu Batutah mengunjungi kerajaan itu pada masa pemerintahan Malikus Zahir (putera Malikus Saleh), ia juga melihat adanya dua orang besar di Istana Pasai dari kelompok orang-orang Arab. Mereka itu adalah Qadi Sharif Amir Sayyid dari Shiraz dan Tajuddin dari lsfahan.

Dari beberapa pemberitaan itu menunjukkan kepada kita bahwa orang-orang Arab penyebar agama Islam ke Pasai itu, terutama dari kelompok ahli agama Islam menduduki posisi penting sebagai orang besar Kerajaan Pasai. Jabatan orang besar itu selalu ditempati oleh dua orang pejabat. Di samping itu diversitas etnis yang menghuni Pasai pada masa jayanya menunjukkan bahwa kota itu menjadi ajang lintas bukan saja barang dan jasa, tetapi juga sekaligus orang sebagai pelaku ekonominya. Suatu kota antara lain dapat dilihat diversitas etnisnya, di mana para warga kota bukan semata-mata terdiri atas warga yang berasal seketurunan.

Dari Hikayat Raja-Raja Pasai itu dapat diketahui untuk mengikat tali persahabatan dengan daerah kerajaan yang kedudukannya sejajar, dilakukan pula perkawinan seperti yang dilakukan oleh Malik as-Saleh yang menikah dengan salah seorang putri raja Perlak.

Beberapa daerah kecil yang ada di bawah naungan Kerajaan Samudra Pasai diserahkan kepada anak raja yang sedang memerintah yang bergelar Tun Beraim Bapa yang menguasi daerah Pekan Ratu, bahkan dimasukkan dalam sistem pengawasannya. Ketika Kerajaan Samudra Pasai mendapat serangan dari negeri Keling, yang diminta pertolongan untuk mengusir musuh adalah Tun Beraim Bapa.

Pada masa pemerintahan Ahmad Malik az-Zahir, terletak agak jauh ke selatan Kerajaan Samudra Pasai, terletak negeri Tamiang yang diperintah oleh raja Dinok. Setelah ditaklukan, Tamiang diperintah oleh seorang pembesar istana Kerajaan Samudra Pasai yang bergelar Raja Setia Muda. Penempatan Raja Setia Muda sebagai raja di Tamiang adalah jelas untuk memudahkan pengawasan terhadap daerah Tamiang yang baru saja ditaklukan oleh Kerajaan Samudra Pasai.

Hikayat Raja-Raja Pasai menyebutkan daerah yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Samudra Pasai adalah; Pasai, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpang di hulu Sungai, Buloh Telang, Benua, Samudra, Perlak, Hambu Aer, Rama Candi, Tukas dan Pekan. Sesudah Kerajaan Samudra Pasai jatuh akibat invasi Kerajaan Majapahit pada abad ke-15, kedudukannya digantikan oleh Kerajaan Tamiang. Di Tamiang tidak lazim menyebut kepala pemerintahan dengan nama uleebalang tetapi dengan sebutan raja.

Kehidupan Sosial-Ekonomi

Letak wilayah kerajaan itu sedemikian rupa, berarti merupakan bagian dari Kepulauan Nusantara yang memiliki ciri-ciri tersendiri bila dilihat dari sifat-sifat geografisnya. suhu udara di pennukaan laut Nusantara tergolong tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang berada di sebelah utara dan sebelah selatannya. Daerah dataran rendah yang mernbujur rnernanjang sejajar dengan garis pantai di Selat Malaka ini, termasuk daerah yang subur karena mendapat pengaruh dari gunung berapi Peut Sagoe.

Di samping berada dalarn lingkungan alam yang bersuhu tinggi. Wilayah Kerajaan Samudera Pasai juga termasuk ke dalam daerah yang amat dipengaruhi oleh angin muson. Angin muson ini tampaknya juga membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan kerajaan ini pada awal pertumbuhannya. Perdagangan internasional yang dijalankan dengan perahu-perahu layar amat berkaitan erat dengan arah angin yang bertiup pada musim-musim tertentu.

Wilayah Kerajaan Pasai yang terletak pada aliran lembah sungai sungai adalah tanah pertanian yang subur. Padi yang ditanam penduduk di daerah dataran rendah pada abad ke-14 dapat dipanen sebanyak dua kali setahun. Memasuki abad ke-15 daerah ini bertambah makmur lagi dengan dimasukkannya tanaman lada dari Malabar. Selain hasil pertanian yang ditanam di dataran rendah. dataran tinggi di daerah pedalaman juga menghasilkan berbagai hasil hutan yang dapat diangkut ke daerah pantai dengan melalui sungai-sungai yang lebar dan panjang.

Hubungan melalui sungai antara daerah pesisir pantai dengan daerah pedalaman membawa pengaruh yang cukup besar bagiperkembangan kesultanan ini. Berbagai barang hasil hutan yang dihasilkan daerah dataran tinggi dapat dijadikan komoditi ekspor oleh pusat kesultanan yang terletak di tepi pantai. Sebaliknya barang-barang yang dibutuhkan dacrah pedalaman yang berasal dari dunia luar dapatdiperdagangkan kepada penduduk pedalaman.

Suatu hal yang perlu diperjelas bahwa memang tidak terdapat sumber keterangan yang jelas tentang pola hubungan antara pusat kesultanan di tepi pantai dengan penduduk pedalaman. Apa lagi pola hubungan itu dilihat dari segi politik. Tidak ada sumber keterangan yang menyebutkan adanya penguasaan langsung secara politik terhadap penduduk pedalaman. Hanya saja dapat diperkirakan bahwa hubungan dalam bidang-perdagangan dengan sistem barter sudah pasti telah terjadi.

Hasil beras yang dihasilkan penduduk Pasai tampaknya belum lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri penduduk setempat, karena dapat dilihat dengan adanya pemasukan besar yang berasal dari Jawa Timur. Berbeda halnya dengan produksi lada di daerah itu, semua produksinya menjadi komoditi ekspor yang sangat diminati oleh pedagang-pedagang dari Arab maupun Tiongkok.

Faktor kesuburan tanah amat penting bagi munculnya pusat-pusat pemukiman penduduk di kawasan Asia Tenggara. Pada daerah-daerah subur. sejak awal abad Masehi muncul pusat-pusat pemukiman penduduk, namun pusat-pusat serupa itu kurang bisa berkembang sebagai pusat-pusat politik karena hambatan keadaan alam secara fisik.

Pusat-pusat politik pada lembah-lembah sungai sulit mengadakan komunikasi dengan wilayah lain karena dibatasi oleh pegunungan, karena itu pusat-pusat politik itu menjadi terisolasi. Mereka hanya dapat berhubungan dengan daerah pedalamannya saja yang dihubungkan oleh sungai-sungai. Karena itu dalam perkembangan Kerajaan Pasai dapat dilihat bahwa. terjadi pemusatan kekuasaan pada muara sungai di tempat ini pusat kekuasaan tidak berhasil memperluas wilayahnya ke luar wilayah inti itu.

Kehidupan ekonomi Kerajaan Samudra Pasai sebagian besar dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan yang disebabkan oleh letak Kerajaan Samudra Pasai yang dinilai strategis. Letak yang strategis ini oleh karena berbatasan dengan Selat Malaka yang menjadi pusat aktivitas perdagangan internasional dan sebagai pertemuan para pedagang yang berasal dari Jazirah Arab, India dan Cina.

Selat Malaka sebagai jalur perdagangan yang dipergunakan oleh lalu lintas pelayaran internasional telah dimulai sejak awal abad Masehi. Bukti-bukti arkeologis memperkirakan bahwa hubungan perdagangan antara kawasan pantai timur Pulau Sumatra itu telah ada sejak masa-masa jauh sebelumnya. Selat Malaka dengan pemukiman-pemukiman masyarakatnya baik yang ada di pesisir timur Sumatera maupun di pesisir barat Semenanjung Melayu, sejak masa pra-aksara sudah mempunyai peranan penting sebagai jalur pelayaran dan perdagangan.

Baca Juga  Australopithecus Afarensis: Hominid Tertua

Ketika kerajaan Sriwijaya berhasil mengembangkan hegemoninya di Selat Malaka pada sekitar abad ke- 7 dan ke-8, pedagang-pedagang Arab telah banyak yang berlayar dan berdagang ke Asia Timur dan Asia Tenggara. Cerita yang berasal dari Cina, Dinasti Tang menyebutkan tentang telah terbentuknya pusat-pusat pemukiman orang Islam di Kanton dan juga di salah satu pesisir Pulau Sumatera.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Pulau Sumatera, terutama pantai barat Selat Malaka, dalam abad-abad itu telah ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang Islam yang berasal dari Asia Barat dalam perjalanannya pulang-pergi ke Asia Timur, karena itu dapat pula dikatakan bahwa penduduk di Pulau Sumatera telah terkait dalam perdagangan internasional jarak jauh sejak abad-abad tersebut.

lbn Syahriar memberikan keterangan pada awal abad ke-10 menerangkan tentang meluasnya perdagangan orang-orang Islam ke Asia Tenggara. la menyebutkan antara lain Fansur dan Lambri dengan demikian Aceh pada abad ke-10 itu telah termasuk ke dalam jaringan perdagangan internasional.

Pada saat pedagang Cina berkurang mengunjungi India dan Indonesia, pedagang-pedagang Arab mengisi kekosongan itu baik yang berlayar langsung dari Arab maupun dari India. Pada akhir abad ke-7 memang orang-orang Arab telah berlayar secara lebih teratur di kawasan Asia Tenggara, terutama mencari rempah-rempah dan bahan obat-obatan. Orang-orang India dari PuIicat Nagapatnam, dan Masulipatnam dari pantai Coromandel bergabung dengan mereka. Pasai dan Pidie di paniai utara Pulau Sumatera menjadi tempat persinggahan mereka, sementara di pantai barat, bandar-bandar perdagangan yang disinggahi ialah Barus, lndrapura, Tiku, dan Pariaman

Pedagang-pedagang Arab ini bahkan semakin mendesak masuk ke sebelah selatan Cina. Mereka juga melakukan perdagangan secara meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Barang-barang yang mereka cari yaitu lada, rempah-rempah lainnya dan kayu wangi. Kebanyakan mereka datang dari India dengan barang-barang dagangan mereka.

Produksi pertanian dari Sumatera menyebabkan para pedagang Arab yang mencari barang-barang itu memusatkan kegiatan perdagangannya ke sana. Pasai yang terletak pada jalur perdagangan antara India dan Cina rnenjadi ternpat persinggahan para pedagang tersebut. Hal ini ditambah lagi oleh pengaruh angin muson yang seringkali menyebabkan para pedagang tersebut harus tinggal dalarn waktu yang cukup lama di sana guna menunggu arah angin yang sesuai dengan rnaksud pelayaran rnereka. Kedua faktor yang disebutkan itu sekurang-kurangnya menjadi faktor yang menyebabkan terlibatnya Pasai dalam perdagangan internasional.

Faktor lain yang sangat menentukan bagi terlibatnya Pasai dalam perdagangan international ini ialah runtuhnya kekuasaan Sriwijaya sebagai pengontrol lalulintas perdagangan di Selat Malaka. Kekosongan kekuasaan yang mengontrol perdagangan di kawasan itu telah memungkinkan Pasai berkembang menjadi bandar perdagangan yang penting di kawasan Selat Malaka.

Pada waktu Pasai akan mulai bangkit, pada abad ke-12 dan ke-13 di Sumatera bagian utara memang terjadi perdagangan yang ramai. Kerajaan Kampai yang pada masa sebelumnya adalah vasal dari Sriwijaya, dengan melemahnya kekuasaan penguasa Sriwijaya, berhasil melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang merdeka. Banyak perahu dagang yang bandar itu. Di samping itu disebutkan pula bahwa perahu-perahu dagang milik pedagang setempat berlayar sampai, ke India Selatan.

Di samping Kampai, di kawasan itu juga muncul Haru dan Tamiang yang telah dikenal sumber-sumber Cina pada akhir abad ke-13. Dalam ekspansi Ku Bilai Khan tahun 1282, Kerajaan Haru diminta untuk mengakui kekuasaan Cina, demikian pula halnya dengan Kerajaan Tamiang. Kedua kerajaan ini mengirimkan utusannya ke Cina pada tahun 1295.

Catatan pada awal Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatera seperti Samudera, Lamuri, Perlak, Tamiang, dan Haru. Tamiang dan Haru memang dipaksa oleh Mongol untuk mengirimkan upetinya. Kerajaan Samudera mulai mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol pada tahun 1282.

Pada tahun itu penguasa Pasai menjalin hubungan dengan Cina melalui perutusan Cina yang kembali dari India Selatan dan singgah di Samudera. Peristiwa ini dianggap sebagai permulaan kontak antara Samudera (Pasai) dengan Cina. Mengingat pada praktek pengembangan kekuasaan Cina di Asia Tenggara, tindakan Pasai ini dapat dipandang sebagai upaya diplomatik dalam rangka penyerahannya sebagai kekuasaan baru di Selat Malaka. Langkah ini perlu diambil untuk menjaga keberadaannya di kawasan Asia Tenggara.

Di dalam catatan perjalanan Marco Polo (1292) hanya menyebut Perlak sebagai daerah yang sebagaian penduduknya telah beragama Islam sedang daerah lainnya seperti Basma, Samara Dagroian, dan Lamri masih belum mengenal Islam, hal ini tidak dapat menutup kenyataan adanya batu nisan berangka 1297 dari Malik as-Saleh, raja Pasai yang menjadi bukti bahwa telah muncul dan berkembang kerajaan Islam di sana.

Lokasi Basma dan Samara, seperti yang tercatat di dalam perjalanan Marco Polo, menunjukkan bahwa kedua tempat itu tentunya penting sebagai pelabuhan. Di dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, selain Samudra Pasai ada tempat lain yang disebut Samarlangga yaitu sebuah daerah yang ditaklukan oleh Malik as-Saleh. Sementara itu, Samudra pada saat yang sangat berdekatan dengan perjalanan Marco Polo, adalah sebuah tempat yang banyak dikunjungi oleh pedagang muslim.

lbukota Kerajaan Samudra Pasai ini banyak dikunjungi oleh para pedagang sehingga perdagangan menjadi amat penting. Penduduk ini sudah menggunakan Liang logam yang terbuat dari emas dan timah. Mata uang emas itu disebut dinar dan berisi 7/10 emas murni yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Sultan Malik Az-zahir.

Mata uang yang beredar di wilayah Kerajaan Samudra Pasai yang disebut dirham/derham/deureuham dibuat dari emas 17-18 karat, dengan diameter satu sentimeter dengan berat 0,57 gram. Selain derham emas juga dipergunakan derham dari timah, yang menurut Kusmiati dipergunakan sebagai alat tukar langsung di pasar. Diberitakan pula bahwa Kerajaan Samudra Pasai telah menggunakan mata uang Portugis, yaitu crusade. Kerajaan Samudra Pasai selain sebagai pelabuhan internasional, juga memiliki komoditas utama seperti lada, sutra, kapur barus, dan sebagainya.

Perahu-perahu dagang yang berlayar ke sana dapat menjalankan perdagangannya dengan bebas karena begitu baiknya pengaturan perdagangan yang ditetapkan oleh penguasa tersebut. Meskipun bandar perdagangan ini cukup ramai dalam aktivitas perdagangan, namun Pasai, sama halnya dengan Kerajaan Pidie, tidak memiliki satupun Jung.

Alat angkutan yang dimiliki Kerajaan Samudra Pasai hanyalah berupa lanchera yang diperkirakan tidak lebih dari empat buah. lanchera ini pun tidak dibuat di Pasai, tetapi dibeli di Malaka. Tidak dapat dibuatnya Jung atau !anchera di Pasai disebabkan tidak tersedianya kayu jati di Pasai sebagai kayu yang dapat dipakai untuk membangun alat angkutan tersebut.

Pada masa kejayaan Kerajaan Samudra Pasai, ibukota kerajaan itu dihuni oleh kurang lebih 20.000 penduduk. Dari jum lah itu diperkirakan 65% di antaranya adalah orang-orang Keling. Suatu perbandingan yang menarik bahwa yang disebut dengan kota-kota besar pada waktu itu penduduknya berkisar antara 5.000 sampai 50 .000 penduduk; dengan demikian ibukota Kerajaan Pasai pada waktu itu sudah dapat digolongkan ke dalam kelompok kota besar di dunia pada zamannya.

Rumah-rumah penduduk didirikan di atas tiang-tiang dari pohon pinang atau kelapa yang tinggi , dan dipergunakan rotan sebagaipengikatnya. Kebanyakan rumah-rumah ini didirikan pada tepi pantai dengan mata pencaharian menangkap ikan dan menanam padi. Bandar Malaka pada awal perkembangannya mengimpor budak yang berasal dari Pasai.

Barang-barang yang diangkut para pedagang itu, baik lada maupun barang-barang lainnya dikenakan pajak satu maze untuk setiap bahar ialah menangkap ikan di laut. Pada daerah ini penduduk dapat menanam padi yang dapat dipanen selama dua kali setahun. Selain itu, penduduk juga memelihara sapi yang susunya dapat dijual.

lbukota Kerajaan Samudra Pasai sebagai bandar perdagangan, di samping dihuni oleh penduduk setempat, juga didatangi oleh berbagai kelompok pedagang dari luar. Pedagang-pedagang yang datang ke Pasai dengan berbagai jenis barang-barang dagangannya adalah orang-orang muslim dari berbagai negeri dan orang Keling. Di antara mereka yang paling penting adalah pedagang-pedagang dari Bengal. Kelompok pedagang lainnya adalah orang-orang Rum, Turki, Arab Persia, Gujarat, Keling, Melayu, Jawa, dan Siam.

Kelompok pedagang ini selain berdiam di Pasai, sebagian juga bermukim di Pidie, dan kemudian setelah munculnya Malaka, sebagian juga berdiam di bandar itu. Para pedagang ini tidak pernah melakukan perdagangan dengan Pasai melalui arah timur, kecuali dengan Malaka.

Besarnya pajak yang dipungut penguasa Kerajaan Samudra Pasai di ibukota kerajaan tersebut adalah sebesar I maze atau 16 tael uang Malaka terhadap setiap bahar barang yang diekspor. Penetapan itu juga tergantung dari kapal atau jung. Makanan tidak dikenakan cukai, melainkan cukup dengan memberi hadiah saja kepada raja . Untuk barang-barang dagangan yang berasal dari Barat dikenakan pajak sebesar 6%. Budak dijual dengan harga lima maze emas. Bandar Malaka pada awal perkembangannya mengimpor budak yang berasal dari Pasai.

Sebagai bandar perdagangan, Pasai menghasilkan komoditi ekspor tersendiri. Yang cukup banyak dihasilkan ialah lada. Setiap tahunnya Pasai dapat mengekspor 8.000 sampai dengan 10.000 bahar. Harga per bahar lada sekitar 20 potong perak, masing-masing berat enam tael. Selain itu, Pasai juga mengekspor sutera dan benzoin.

Benzoin adalah hasil daerah itu sendiri, demikian juga halnya dengan beras yang dihasilkan penduduk setempat. Berhubung dengan penanaman lada yang cukup luas dihasilkan penduduk dilihat dari nilai ekspor setiap tahunnya, kebutuhan bahan makanan itu tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduknya, karena itu bahan makanan beras terpaksa diimpor dari Jawa Timur. Dari Jawa Timur itu pulalah kemudian pada waktu perkembangan Bandar Malaka, beras dimasukkan.

Dalam soal pengaturan beras impor dari Jawa Timur guna memenuhi kebutuhan penduduk Kesultanan Pasai dapat dilihat betapa bijaksananya penguasa di Pasai. Berhubung kebutuhan beras amat tergantung dari impor dari luar Pasai, terutama dari Jawa Timur, untuk rnemastikan terpenuhinya cadangan bahan makanan itu, penguasa Pasai membebaskan pajak masuk atas beras-beras impor tersebut. Selain bahan makanan, barang-barang impor lain yang dimasukkan ke Pasai yaitu sutera berwarna yang berasal dari Cina. Selain itu diimpor pula barang-barang tembikar, tembaga, besi, dan kain yang berasal dari Cina.

Sebagai bandar perdagangan internasional di kawasan Asia Tenggara, pada masa kejayaannya, bandar Pasai dapat berfungsi dengan baik terutama karena letaknya yang strategis pada pertengahan jalan perdagangan antara Arab dengan Cina. Menurut Abu Dulaf, Pasai dapat menjadi tempat singgahan utama para pedagang Arab yang menuju ke Cina. Pada masa tertentu para pedagang Arab yang membutuhkan barang-barang dari Cina, hanya cukup berlayar sampai ke Pasai saja. Keadaan ini disebabkan jauhnya jarak antara Arab dengan Cina dan juga adanya perbedaan agama.

Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Cheng Ho dengan memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kerajaan Samudra Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide.

Perdagangan di Kerajaan Samudra Pasai mulai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir. Menurut keterangan yang diberikan oleh Ibnu Battuta bahwa perdagangan di Samudra Pasai semakin ramai dan maju oleh karena didukung oleh armada angkatan lautnya yang kuat sehingga para pedagang nyaman berdagang di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Samudra Pasai. Kemajuan perekonomian dan ramainya pelabuhan itu telah menjadikan kehidupan masyarakat Kerajaan Samudra Pasai mencapai taraf kehidupan yang makmur.

Selain itu, Samudra Pasai juga berkaitan dengan masalah pendapat kerajaan-kerajaan ialah pajak dari barang-barang yang diekspor dan diimpor. Di bidang keagamaan sebagaimana telah diberitakan Ibnu Batutta tentang kehadiran para ulama dari Persia, Syria dan Isfahan. Ibnu Batutta menceritakan bagaimana taatnya sultan dari Kerajaan Samudra Pasai terhadap agama Islam dari Mazhab Syafi’i, dan ia selalu dikelilingi oleh ahli-ahli teologi Islam.

Puncak Kejayaan

Menurut Tome Pires, Kerajaan Samudra Pasai mencapai puncaknya pada awal abad ke-16. Kerajaan Samudra Pasai mengalami kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, dan terutama ekonomi perdagangan. Diceritakan pula bahwa Kerajaan Samudra Pasai selalu mengadakan hubungan persahabatan dengan Malaka, bahkan hubungan persahabatan itu diperkuat dengan perkawinan. Para pedagang yang pernah mengunjungi Pasai berasal dari berbagai negara seperti, Rumi, Turki, Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, dan Pegu. Sementara barang komoditas yang diperdagangkan adalah lada, sutera, dan kapur barus.

Di samping komoditas itu sebagai penghasil pendapatan Kerajaan Samudra Pasai, juga diperoleh pendapat dari pajak yang dipungut dari pajak barang ekspor dan impor. Dalam sumber-sumber sejarah juga dijelaskan, bahwa Kerajaan Samudra Pasai telah menggunakan mata uang yang terbuat dari emas seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis dan juga terdapat mata uang dramas.

Pada awal abad ke-16 M mungkin masa memuncaknya Kerajaan Samudra Pasai sebagaimana diberitakan Tome Pires tengah mengalami berbagai kemajuan di bidang politik pemerintahan, di bidang perekonomian dan perdagangan. Diceritakan tentang Kerajaan Pasai selalu mengadakan hubungan persahabatan dengan Malaka bahkan juga mengikat perkawinan. Para pendatang yang hadir di pasai dari berbagai negeri, seperti Rumi, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Keling, Bengali, Melayu, Jawa, Bruas, Siam, Kedah, dan Pegu.

Kemunduran Kerajaan Samudra Pasai

Meskipun Kerajaan Samudra Pasai mengalami puncak kejayaannya pada permulaan abad ke-16, namun sejak Portugis berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511 dan meluaskan kekuasaannya, Kerajaan Samudra Pasai mulai mengalami kemunduran. Di sisi lain, Kerajaan-kerajaan Islam yang terletak di pesisir, seperti Aru, Pedir, dan lainnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam yang sejak abad ke-16 M semakin mengalami perkembangan politik, ekonomi-perdagangan, kebudayaan, dan keagamaan.

Berdasarkan faktor-faktor inilah eksistensi Kerajaan Samudra Pasai mulai terancam dan tidak dapat menghindari kemundurannya. Kerajaan Aceh yang mulai muncul sebagai kerajaan yang mandiri dan berhasil memantapkan posisinya sebagai kekuatan politik mulai melakukan serangannya terhadap kedaulatan Kerajaan Samudra Pasai. Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah, Kerajaan Aceh melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Samudra Pasai yang menyebabkan Kerajaan Samudra Pasai berhasil dikuasai oleh Kerajaan Aceh pada tahun 1521. Penyerangan Kerajaan Aceh itulah yang menjadi penyebab utama keruntuhan Kerajaan Samudra Pasai.

Daftar Bacaan

  • Azra, Azyumardi. 1998. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
  • Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.Yogyakarta : Ombak.
  • Ismail, Muhammad Gade. 1997. Pasai Dalam Perjalanan Sejarah: Abad Ke-13 Sampai Abad ke-16. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI.
  • Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca