Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari (Kerajaan Singhasari) memulai eksistensinya setelah berakhirnya riwayat Kerajaan Kediri ditangan Ken Arok (Ken Angrok) yang telah berhasil mengalahkan Kertajaya (Dandang Gendis), raja terakhir dari Kerajaan Kediri pada sebuah pertempuran tahun 1222. Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Kertanegara yang berhasil melakukan perluasan wilayah Kerajaan Singasari melalui gagasan penyatuan Nusantara yang dilakukan melalui ekspedisi Pamalayu. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang sejarah Kerajaan Singasari.
Ken Arok dan Berdirinya Kerajaan Singasari
Ken Arok adalah anak seorang petani dari Desa Pangkur, di sebelah timur Gunung Kawi, daerah Malang dan ibunya bernama Ken Endok yang bersuamikan Gajah Para. Sumber-sumber yang menjelaskan tentang Ken Arok adalah berdasarkan pada keterangan yang diberikan di dalam kitab Pararaton dan Negarakrtagama; Setelah Ken Arok berhasil menjadi akuwu di Tumapel, berkat keberhasilannya dalam membunuh Tunggul Ametung, akuwu Tumapel sebelumnya. Ken Arok suatu hari didatangi oleh para brahmana dari Daha. Mereka datang untuk meminta perlindungan kepada Ken Arok dari tindakan raja Daha.
Para brahmana itu kemudian menobatkan Ken Arok menjadi raja Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwwabhumi. Sri Ranggah Rajasa adalah penggempur musuh dan seorang pahlawan yang bijak. Semua orang tunduk sujud menyembah sebagai tanda bakti. Daerah kekuasaanya adalah daerah subur yang luas di sebelah timur Gunung Kawi sebagai tempat menunaikkan dharmma-nya dengan ibukotanya adalah Kutharaja.
Dengan izin dan restu para brahmana itu pula Sri Ranggah Rajasa, ia memakai nama Bhatara Guru, dan mengadakan penyerangan ke Daha melawan Raja Dandang Gendhis. Dalam peperangan di dekat Ganter, Ken Arok dapat mengalahkan Raja Dandang Gendis dan pasukannya. Setelah pertempuran itu, seluruh Kerajaan Daha akhirnya dapat dikuasai oleh Ken Arok pada tahun 1222. Sehingga bersatulah Jenggala dan Kediri di bawah kekuasaannya. Takluknya Kerajaan Daha menjadikan Ken Arok sebagai maharaja di Tumapel. Pada tahun 1170 Saka (1227 M) Sri Ranggah Rajasa berpulang ke swargaloka, dan dicandikan di Kagenengan sebagai Siwa dan Usana sebagai Buddha.
Selain kedua sumber tersebut (Pararaton dan Negarakrtagama) terdapat pula keterangan yang diberikan dari kitab-kitab kidung, diantaranya; Kidung Hasra Wijaya dan Kidung Serat Arok. Namun, keduanya tidak memberikan kejelasan mengenai kesejarahan Ken Arok. Bahkan, yang cukup mengherankan adalah tidak ditemukannya bukti prasasti yang dikeluarkan atas perintah Ken Arok, meskipun hal itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu kemustahilan.
Mengenai kesejarahan Ken Arok dapat ditemukan melalui bukti-bukti yang diberikan dari empat buah prasasti, meskipun prasasti itu diterbitkan bukan atas dasar perintah dari Ken Arok. Prasasti-prasasti itu diantaranya; prasasti Balawi (1305 M), prasasti Maribong (1264 M), prasasti Kusmala (1350 M), dan prasasti Mula-Malurung (1255 M). Ken Arok sebagai penguasa di Kerajaan Singasari memiliki empat orang anak dari Ken Dedes, diantaranya; Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya dan Dewi Rimbu. Sedangkan dari Ken Umang, Ken Arok juga memiliki empat orang anak, diantaranya; Panji Tohjaya, panji Sudhatu, Panji Wregula, dan Dewi Rambu.
Masa Pemerintahan Anusapati
Setelah Ken Arok meninggal, penggantinya adalah Anusapati. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Kitab Pararaton, Anusapati bukanlah anak dari Ken Arok dan Ken Dedes, melainkan anak Ken Dedes dengan Tunggul Ameutung. Saat Ken Dedes diperistri oleh Ken Arok, Ken Dedes sedang hamil tiga bulan. Sesudah dewasa, Anusapati mengetahui dari Ken Dedes bahwa Ken Arok bukanlah ayahnya. Ayahnya yang sebenarnya adalah akuwu Tunggul Ametung yang telah tewas dibunuh oleh Ken Arok. Setelah Anusapati mengetahui penyebab kematian ayahnya itu, ia ingin membalas dendam kepada Ken Arok. Anusapati kemudian memerintahkan seorang pengalasan dari Batil, di mana pengalasan itu berhasil membunuh Ken Arok.
Setelah kematian Ken Arok, Anusapati mengambil alih kekuasaan Kerajaan Singasari selama lebih kurang dua puluh satu tahun (1227-1248). Selama masa pemerintahan Anusapati tidak banyak hal yang diketahui. Selanjutnya berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Kitab Pararaton, berita mengenai pembunuhan Ken Arok yang direncanakan oleh Anusapati terdengar pula oleh Panji Tohjaya, anak Ken Arok dengan Ken Umang. Rupa-rupanya Panji Tohjaya tidak senang atas kematian ayahnya, dan berusaha pula untuk menuntut balas. Kesempatan membalas kematian Ken Arok datang pada tahun 1248 M, Tohjaya berhasil membunuh Anusapati ketika keduanya sedang menyabung ayam. Anusapati kemudian didharmakan di Candi Kidal.
Panji Tohjaya
Berdasarkan Kitab Pararaton, Panji Tohjaya segera merebut kekuasaan atas takhta Kerajaan Singasari setelah kematian Anusapati. Meskipun terdapat perbedaan cerita seperti yang diberikan oleh prasasti Mula-Malurung. Menurut prasasti Mula-Malurung, Panji Tohjaya tidaklah langsung menggantikan Anusapati, melainkan ia menggantikan adik Anusapati yang bernama Nararyya Gunging Bhaya. Tohjaya dan Gunging Bhaya di dalam prasasti Mula-Malurung keduanya disebutkan sebagai paman dari Nararyya smining Rat (Wisnuwarddhana).
Namun, yang menjadi keanehan dalam perebutan takhta di Kerajaan Singasari adalah luputnya nama Mahisa Wonga Teleng (Anak tertua dari Ken Arok dan Ken Dedes). Jika menelisik pada garis keturunan raja, semestinya Mahisa Wonga Teleng-lah yang mempunyai hak menggantikan Ken Arok menjadi raja di Tumapel. Akan tetapi tidak ada sumber sejarah yang ditemukan dalam penyebutan nama Mahisa Wonga Teleng sebagai seorang raja di Tumapel. Bahkan, tidak ada satu pun sumber baik berupa kitab maupun prasasti yang menyebutkan bahwa Mahisa Wonga Teleng sebagai seorang rakyan mahamantri i hino, jabatan seorang putra mahkota kerajaan.
Terlepas dari pertanyaan mengenai siapa pengganti selanjutnya dari Anusapati, apakah Nararyya Gunging Bhaya maupun Anusapati langsung digantikan oleh Toh Jaya, tentulah yang menarik perhatian di sini adalah masa pemerintahan Toh Jaya yang hanya bertahan beberapa bulan saja. Berdasarkan keterangan yang berhasil dihimpun oleh Kitab Pararaton, pada masa pemerintahan Toh Jaya terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Rajasa dan orang-orang Sinelir. Orang-orang Rajasa dan orang-orang Sinelir berhasil menyerbu masuk ke dalam istana Kerajaan Singasari dan dalam penyerbuan itu Toh Jaya terluka dan melarikan diri ke Katanglumbang. Di dalam pelarian diri itu, Toh Jaya dikejar dan terhalang oleh sungai. Pertempuran berkobar kembali yang menyebabkan Toh Jaya gugur dan kemudian dicandikan di Katanglumbang.
Ranggawuni Dan Kebangkitan Kerajaan Singasari
Sepeninggal Toh Jaya, Ranggawuni (Wisnuwarddhana) dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Singasari dengan gelar Sri Jayawisnuwarddhana. Di dalam menjalankan pemerintahannya ia didampingi oleh Mahisa Campaka, anak dari Mahisa Wonga Teleng. Mahisa Campaka diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan nama gelara Narasinghamurtti. Ranggawuni dan Mahisa Campaka memerintah bersama layaknya Madhawa (Wisnu) dan Indra atau diibaratkan sebagai dua ekor ular dalam satu lubang.
Pada tahun 1255 M Ranggawuni mengeluarkan sebuah prasasti yang berkenaan dengan pengukuhan Desa Mula dan Desa Malurung menjadi daerah sima untuk Sang Pranaraja dan keturunan-keturunannya yang telah berjasa kepada raja. Di dalam prasasti itu Ranggawuni disebutkan dengan nama Nararyya Smining Rat dan istrinya bernama Nararyya Waning Hyun (Jayawardhani), anak pamannya. Di dalam prasasti itu disebutkan bahwa sepeninggal Panji Toh Jaya, semua pejabat kerajaan yang dipimpin oleh Sang Pamget Ranu Kabayan Sang Apanji Patipati menobatkan Nararyya Smining Rat sebagai raja di Tumapel.
Pada tahun 1264, Ranggawuni mengeluarkan sebuah prasasti untuk Desa Maribong yang termasuk wilayah Jipang. Di dalam prasasti ini disebutkan nama abhiseka Ranggawuni adalah Sri Jayawisnuwarddhana Sang Mapanji Smining Rat. Pada tahun 1267 Ranggawuni membangun sebuah perbentengan di Canggu Lor yang terletak di tepi Sungai Brantas, dan kemungkinan berkaitan dengan pembuatan benteng pertahanan dari serangan Mahibit, karena diperkirakan Mahibit pun terletak di tepian Sungai Brantas, dekat Terung.
Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1252 telah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Linggapati di Mahibit. Pemberontakan Linggapati berhasil dimusnahkan setelah pasukan Kerajaan Singasari yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan berhasil menerobos benteng pertahan Mahibit dan memusnahkan Linggapati pada tahun 1264.
Pada tahun 1268 M Ranggawuni meninggal dan dicandikan di Waleri (Blitar) dengan arca Siwa dan di Jajaghu dengan arca Buddha. Tidak lama setelah Ranggawuni (Wisnuwarddhana), Narasinghamurtti pun meninggal. Ia dicandikan di Kumitir dengan arca Siwa. Menurut keterangan yang diberikan di dalam Kitab Nagarakrtagama Narasinghamurtti memiliki anak bernama Dyah Lembu Tal, seorang perwira Kerajaan Singasari yang dicandikan di Mireng dengan arca Buddha. Lembu Tal memiliki seorang putra bernama Raden Wijaya yang kelak mendirikan Kerajaan Majapahit.
Kertanegara Dan Puncak Kejayaan Kerajaan Singasari
Berdasarkan keterangan yang diberikan di dalam Nagarakrtagama bahwa yuwaraja Kerajaan Singasari, Kertanegara (Kertanagara) dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Singasari pada tahun 1254, yakni sejak Ranggawuni masih hidup. Di mana penobatan Kertanegara ini juga disebutkan di dalam Prasasti Mula-Malurung (1255) yang diterbitkan semasa Ranggawuni memerintah. Namun, sebelum tahun 1268, Kertanegara belum memerintah Kerajaan Singasari, ia masih menjadi raja bawahan dan memiliki wewenang atas seluruh pemerintahan di Kediri. Jadi, sebelum Kertanegara menjadi raja di Kerajaan Singasari ia dibimbing oleh Ranggawuni.
Setelah Kertanegara dinobatkan menjadi raja Kerajaan Singasari dan pada tahun 1268, Kertanegara menerbitkan sebuah prasasti pada tahun 1269 yang disebut dengan prasasti Sarwwadharmma yang ditemukan di daerah Penampihan, dilereng Gunung Wilis, Kediri. Prasasti ini memberikan keterangan bahwa rakyat daerah Sarwwadharmma dengan perantaraan Sang Ramapati bersama Rakryan Apatih dan Sang Dharmmadhyaksa ri Kasaiwan Sang Apanji Tanutama, telah menghadap dan memohon kepada raja agar daerah mereka dilepaskan dari wilayah Thanibala menjadi suatu daerah swatantra.
Menurut mereka, pada masa pemerintahan Ranggawuni, daerah Sarwwadharmma telah ditetapkan menjadi daerah swatantra lepas dari wilayah Thanibala, yaitu ketika Panji Pati-pati menjabat sebagai dharmmadikarana. Permohonan itu dikabulkan oleh Kertanegara dan daerah Sarwwadharmma tidak lagi diwajibkan membayar bermacam-macam pungutan.
Kertanegara dikenal sebagai seorang raja yang sangat ekspansif dengan gagasannya yaitu perluasan cakrawala mandala ke luar Pulau Jawa, yang meliputi daerah seluruh dwipantara. Sebelum melakukan ekspansi ke luar Pulau Jawa, di awal pemerintahannya, Kertanegara harus berhadapan dengan pemberontakan di tahun 1270 yang dipimpin oleh Kalana Bhaya (Cayaraja). Dalam pemberontakan itu, Kalana Bhaya berhasil dibunuh.
Perluasan Daerah Kerajaan Singasari: Cakrawala Mandala
Setelah keberhasilan memadamkan pemberontakan Kalana Bhaya, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi untuk menaklukan Malayu. Pada tahun 1280 Kertanegara mengalahkan Mahisa Rangkah, dan pada tahun 1284 menaklukan Bali, di mana rajanya ditawan dan dibawa ke Kerajaan Singasari. Sehingga seluruh daerah-daerah lain tunduk di bawah kekuasaan Kertanegara diantaranya; Pahang, Malayu (Sumatra Barat), Madura, Gurun (Indonesia Timur), Bakulapura (Kalimantan) dan seluruh wilayah Pulau Jawa. Kekuasaan Kertanegara itu dinyatakan pula dalam prasasti yang tertera pada bagian belakang arca Camundi dari Desa Ardimulyo (Singasari) berangka 1292.

Sebuah prasasti pada alas arca Amoghapasa dari Sungai Langsat yang berangka tahun 1268 M juga memberikan petunjuk bahwa Malayu benar-benar tunduk kepada Kerajaan Singasari. Disebutkan bahwa arca Amoghapasa itu dengan keempat belas pengiringnya, beserta saptapratna, atau tujuh permata yang merupakan lambang seorang cakrawartin. Kertanegara memerintahkan beberapa pejabat kerajaan untuk membawa arca Amoghapsa itu, diantaranya adalah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan Hang Dipankaradasa, dan Rakyan Demung Pu Wira.
Dijelaskan pula bahwa rakyat Malayu dari keempat kasta bersukacita, terutama sekali adalah Raja Malayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. Dilukiskan pada alas arca Amoghapasa tersebut berupa kuda, cakra, permaisuri, ratna, menteri, hulubalang, dan gajah. Mungkin juga hal ini dimaksudkan bahwa raja Kertanegara benar-benar mengirimkan seorang putri, dua orang pejabat, seekor gajah, seekor kuda, senjata cakra dan permata kepada raja Mauliwarmmadewa. Akan tetapi, perlu digarisbawahi di dalam prasasti ini adalah bahwa kedudukan Kertanegara lebih tinggi dari Mauliwarmmadewa, sebab di dalam keterangan arca itu Kertanegara diberi gelar maharajadiraja, sedangkan Mauliwarmmadewa hanya memakai gelar maharaja.
Tindakan yang dilakukan oleh Kertanegara untuk meluaskan kekuasaannya ke luar Jawa rupa-rupanya juga didorong oleh ancaman dari daratan Cina, pada tahun 1260 M berkuasa kaisar Shih-tsu Kubilai Khan. Setelah mendeklarasikan berdirinya Dinasti Yuan pada tahun 1280 M, Kubilai Khan segera memulai dengan meminta pengakuan kekuasaan dari negara-negara yang sebelumnya telah mengakui kekuasaan raja-raja Cina dari Dinasti Sung. Permintaan pengakuan itu disertai dengan ancaman, jikalau tidak mau mengirimkan upeti dengan baik-baik kepada Kubilai Khan, maka mereka akan dipaksa dengan kekuatan senjata.
Utusan-utusan Kublai Khan mulai dikirimkan ke negeri-negeri seperti Birma, Kampeucha, dan Campa untuk pengakuan kekuasaan. Di mana negara-negara itu lebih memandang lebih aman untuk akhirnya mengirimkan utusan dengan membawa upeti kepada Kublai Khan, jika dibandingkan harus berhadapan dengan tentara Kublai Khan. Jawa pun tidak luput dari hal ini, di mana pada tahun 1290 dan 1291 utusan Kublai Khan datang ke Jawa menuntut dikirmkan ke Cina sebagai tanda tunduk kepada Kekaisaran Yuan. Hal inilah yang menyebabkan perubahan cara pandang Kertanegara di mana ia memutuskan untuk meluaskan kekuasaannya ke luar Pulau Jawa.
Kertanegara segera mengadakan hubungan persahabatan denngan Campa, sebagaimana yang tertera dalam prasasti Po Sah (1306), yang menyebutkan bahwa seorang permaisuri raja Campa ialah seorang putri dari Jawa bernama Tapasi, yang merupakan adik dari Kertanegara. Kertanegara memandang Kublai Khan sebagai saingan politiknya. Keberhasilan diplomasi dengan Campa ditunjukkan dengan sikap Raja Jayasinghawarman III menolak pendaratan dari tentara Kublai Khan yang ingin menambah perbekalan dalam perjalanan menuju Jawa. Selain itu, Jayasinghawarman III juga berusaha untuk melemahkan kekuasaan Kublai Khan dengan menyerang dan merebut kembali daerah-daerah Annam, meskipun penyerangan itu menuai kekalahan.
Selain mempersiapkan diri dari segi politik dan juga militer, Kertanegara, sebagaimana dijelaskan di dalam Negarakrtagama bahwa Kertanegara adalah raja yang tidak ada bandingannya diantara raja-raja di masa lampau. Dijelaskan bahwa Kertanegara sempurna di dalam sadguna (ilmu ketatanegaraan), paham akan segala ilmu pengetahuan, menguasai ajaran tatwopadesa (ilmu tentang hakikat), patuh pada hukum, teguh dalam menjalankan ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan pemujaan Jina, amat berusaha dalam menjalankan prayogakrya (ritus-ritus tantra), dan karena itu keturunan-keturunannya menjadi raja.
Selain itu disebutkan bahwa Kertanegara adalah raja yang tidak melalaikan kewajibannya, tidak pernah lupa daratan (luput ing mada), memerhatikan naya (kebijaksanaan) karena ia insaf akan kesulitan memerintah di dunia ini dalam zaman Kaliyuga. Itu pula sebabnya ia menganut agama Buddha, menirukan raja-raja yang telah memerintah sebelumnya. Dengan tekun ia mematuhi pancasila, menaati segala upacara petahbisan sebagaimana mestinya, mempelajari ilmu mantik dan tata bahasa, dan kitab-kitab lain. Dalam usia yang agak lanjut ia dengan tekun berusaha menyerap segal seluk-beluk kebatinan, terutama Tantra Subhuti, puja, yoga, dan samadi dilakukannya dengan sungguh-sunggu demi keselamatan duni, tidak terlupakan pula ganacakra (upacara keagamaan yang menyertai upacara inisiasi dalam aliran Tantrayana) dan anugerah kepada semua rakyat, dan terkenallah gelar Jina beliau, yaitu Jnanabajreswara.
Demikianlah persiapan Kertanegara secara fisik dan spiritual dalam menghadapi ancaman dan invasi dari Kublai Khan. Setelah dirinya merasa kuat, Utusan Kekaisaran Kublai Khan yang terakhir adalah Meng-ki (Meng-Ch’i) pada tahun 1289 yang mendapatkan jawaban berupa hukuman potong telinga dan wajahnya yang dirusak oleh Kertanegara. Perlakuan Kertanegara terhadap utusan itu dianggap sebagai penghinaan oleh Kublai Khan sehingga Kublai Khan merencanakan untuk menyerang Kertanegara. Pada awal tahun 1292 berangkatlah armada tentara Mongol untuk menaklukan Jawa dibawah pimpinan Shih-pi, Iki Mese, dan Kau Hsing. Jadi itulah, kisah dari kepemimpinan Kertanegara yang ekspansif, visioner dan tidak kenal kata menyerah terhadap kekuatan bangsa asing.
Perkembangan Politik dan Pemerintahan Kerajaan Singasari
Perkembangan politik dan pemerintahan Kerajaan Singasari sebagian besar dapat diketahui saat pemerintahan Kertanegara. Untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan teratur, Raja Kertanegara telah membentuk badan-badan pelaksana pemerintahan. Raja sebagai penguasa tertinggi dengan gelar Sri Maharaja. Kemudian raja mengangkat rakryan i hino, rakryan i sirikan dan rakryan i halu sebagai penasehat raja. Untuk membantu di dalam pemerintahan, raja mengangkat rakryan mapatih, rakryan demung dan rakryan kanuruhan. Selain itu juga terdapat pegawai-pegawai rendahan.
Di dalam usaha-usaha untuk menciptakan stabilitas politik dalam negeri, Kertanegara melakukan penataan dilingkungan para pejabat. Orang-orang yang tidak setuju dengan kebijakan Kertanegara diganti. Namun hal yang paling disayangkan adalah Arya Banyak Widhe sebagai rakryan demung dipindahkan ke Sumenep sebagai bupati dengan nama Arya Wiraraja. Arya Wiraraja inilah yang kelak menyusun rencana penyerangan Jayakatwang terhadap Kerajaan Singasari dan menyebabkan terbunuhnya Kertanegara.
Perkembangan Agama Kerajaan Singasari
Pada masa pemerintahan Kertanegara, agama Hindu maupun Buddha berkembang dengan beriringan. Hal ini ditunjukkan bahwa telah terjadi sinkretisme antara agama Hindu dan Buddha dalam bentuk Siwa-Buddha. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya aliran Tantrayana, dan Kertanegara adalah penganut dari aliran Tantrayana itu sendiri. Namun, ajaran-ajaran itu sebagian besar hanya dianut oleh kalangan istana. Sedangkan, masyarakat non-istana sebagian besar masih menganut kepercayaan lokal.
Keruntuhan Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Kertanegara. Namun, di sisi lain pada masa Kertanegara-lah keruntuhan Kerajaan Singasari dimulai. Usaha-usaha untuk memperluas wilayah dan mencari dukungan dan berbagai daerah terus dilakukan oleh kertanegara. Banyak pasukan Kerajaan Singhasari yang dikirim ke berbagai daerah. Antara lain adalah dikirim ke tanah Melayu.
Dikirimkannya pasukan Kerajaan Singasari ke berbagai daerah membuat kekuatan di ibukota kerajaan menjadi berkurang. Keadaan ini diketahui oleh pihak-pihak yang tidak menyukai Kertanegara, seperti Jayakatwang penguasa Kerajaan Gelang-Gelang dan Arya Wiraraja, Bupati Sumenep.
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya Kerajaan Kediri tidak-lah benar-benar dihancurkan oleh Kerajaan Singasari. Kediri tetap eksis dengan mengakui Kerajaan Singasari sebagai pimpinannya. Kediri diperintah oleh keturunan-keturunan Kertajaya (raja Kediri terakhir yang berhasil dikalahkan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M). Pada tahun 1271 M, Jayakatwang yang merupakan keturunan Kertajaya memindahkan pusat kekuasaan Kediri di Gelang-Gelang. Untuk menjaga hubungan baik dengan Jayakatwang, dengan cara adiknya yang bernama Turukbali menjadi istri Jayakatwang. Sedangkan anak Jayakatwang, Ardharaja diambil sebagai menantu Kertanegara. Akan tetapi, Jayakatwang berniat untuk melakukan pemberontakan dan mengembalikan kejayaan Kediri.
Pada tahun 1292 Jayakatwang kemudian menyusun rencana penyerangan terhadap Kerajaan Singasari. Rencana penyerangan disusun bersama dengan Arya Wiraraja. Arya Wiraraja-lah yang memberitahukan kepada Jayakatwang mengenai waktu yang tepat untuk melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Singasari. Di mana penyerangan itu dilakukan pada waktu sebagian besar kekuatan Kerajaan Singasari sedang ada di Malayu.
Serangan Jayakatwang ke Kerajaan Singasari mulai dilancarkan antara pertengahan bulan Mei dan pertengahan bulan Juni 1292. Prasasti Kudadu (1294) dan Kitab Pararaton menjelaskan bahwa tentara Gelang-gelang (Kediri) menyerang dari dua arah. Siasat penyerangan Jayakatwang berhasil membunuh Kertanegara. Dengan terbunuhnya Kertanegara pada tahun 1292, maka seluruh Kerajaan Singasari berhasil dikuasai oleh Jayakatwang.
Raja Kertanegara yang tewas dalam penyerangan Jayakatwang kemudian dicandikan di Singasari dengan tiga arca perwujudan yang melambangkan, trikaya, sebagai Siwa-Buddha dalam bentuk Bhairawa yang melambangkan nirmanakaya, sebagai Ardhanari lambang Sambhogakaya dan sebagai Jina dalam bentuk Aksobhya yang melambangkan dharmmakaya.
Daftar Bacaan
- Coedes, G. 1968. The Indianized States of Southeast Asia. Kuala Lumpur/Singapore: University of Malaya Press.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Krom, N. J. 1954. Zaman Hindu. Djakarta: Jajasan Pembangunan.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.
- van Leur, J. C. 1955. Indonesian Trade and Society. The Hague/Bandung: W. van Hoeve.