Kerajaan Ternate adalah kerajaan yang terletak di wilayah Indonesia Timur atau Kepulauan Nusantara Timur. Kerajaan Ternate berdiri pada tahun 1257 oleh Baab Mashur Malamo. Di dalam perkembangannya, Kerajaan Ternate memiliki posisi dan peran yang penting dalam peta politik dan ekonomi di kawasan timur Kepulauan Nusantara sejak pertengahan abad ke-13 sampai dengan abad ke-17.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Ternate
Kerajaan Ternate atau dahulu disebut dengan nama Kerajaan Gapi merupakan salah satu dari empat kerajaan awal yang bercorak Islam di Maluku. Kerajaan Ternate berdiri tidak terlepas dari pengaruh Jafar Sadik yang telah membagi wilayah Maluku menjadi empat kerajaan (Jailolo, Bacan, Ternate dan Tidore). Sejak awal abad pertama Masehi, daerah Kepulauan Indonesia telah dikenal sebagai penghasil rempah-rempah dan terutama adalah Maluku yang menjadi pusat dari penghasil rempah-rempah tidak luput dari perkembangan perekonomian dan perpolitikan di Kepulauan Nusantara.
Pulau Gapi atau yang disebut dengan Ternate hari ini sebenarnya telah mulai ramai dikunjungi sejak awal abad ke-13. Ramainya pulau Ternate berkaitan erat dengan perpindahan masyarakat yang berasal dari Halmahera akibat adanya konflik antara Raja Jailolo dengan kelompok-kelompok politik lokal. Kelompok politik lokal ini kemudian melarikan diri ke berbagai tempat di bagian barat Pulau Halmahera seperti Ternate, Tidore, Moti dan Makian.
Di Ternate, pada tahun 1250 kelompok politik lokal ini mendirikan pemukiman di dekat puncak Gunung Gamalama untuk menghilangkan jejak dari pengejaran pasukan Kerajaan Jailolo. Dari sinilah dibentuk komunitas-komunitas dan yang tertua adalah Komunitas Tobona. Setelah itu kemudian di Ternate muncul beberapa komunitas lain yang juga berasal dari Halmahera diantaranya adalah Formadiahi pada tahun 1254 yang disusul selanjutnya hingga tahun 1257 dengan didirikannya komunitas Sampala.
Komunitas-komunitas ini dipimpin oleh seorang momole. Komunitas Tobona dipimpin oleh momole Guna, Komunitas Formadiahi dipimpin oleh momole Matiti dan Komunitas Sampala yang terletak di tepi pantai dipimpin oleh momole Ciko (Siko). Sehingga terdapat tiga komunitas yang masing-masing dikepalai oleh seorang momole atau kepala marga. Melalui momole inilah yang pertama kalinya mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang untuk mencari rempah-rempah.
Memasuki pertengahan abad ke-13 M, penduduk Pulau Gapi atau Pulau Ternate mulai cenderung heterogen. Hal ini disebabkan oleh adanya kedatangan para pedagang yang berasal dari Jawa, Arab, Melayu dan juga Cina di mana para pedagang itu secara musiman menetap di Pulau Ternate. Dikarenakan semakin meningkatnya aktivitas perdagangan dan juga adanya ancaman dari para perompak, maka atas prakarsa momole Guna yang berasal dari Kampung Tobona, masyarakat Pulau Ternate mulai melakukan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi dan mengangkat seorang pemimpin tunggal yang akan dinobatkan sebagai Raja di Ternate.
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti dimana musyawarah ketiga komunitas itu dilaksanakan. Akan tetapi, berdasarkan hasil musyawarah itu, pada tahun 1257, momole Ciko yang memimpin komunitas Sampalu dipilih oleh masyarakat Pulau Ternate sebagai Kolano (Kolano adalah sebutan raja tidak hanya di Ternate, begitu juga di ketiga kerajaan lainnya (Bacan, Jailolo dan Tidore) dengan gelar Baab Mashur Malamo.
Baab Mashur Malamo kemudian mulai membangun pusat kerajaan di Kampung Sampala sebagai pusat kekuasaan dan membangun ibukota baru di tepi pantai yang diberi nama Gam Lamo atau kampung besar (negeri besar) yang kemudian sering disebut dengan Gamalama. Baab Mashur Malamo berkuasa sejak 1257-1277. Setelah pemerintahannya Kerajaan Ternate dipimpin oleh Kaicil Yamin (1277 -1284), Kaicil Siale (1284-1298), Kamalu (1298-1304) dan Kaicil Ngara Lamo (1304-1317).
Politik Ekspansionis Dan Pembangunan Bandar Niaga Ternate
Setelah berdiri menjadi sebuah kerajaan, Kerajaan Ternate mulai menunjukkan sikap ekspansif yang diawali pada masa pemerintahan Kaicil Ngara Malamo (Kolano Ngara Malamo). Sikap ekspansif ini mulai ditunjukkan dengan menguasai beberapa desa di wilayah Kerajaan Jailolo. Beberapa klan yang memimpin ekspansi ini adalah klan Tomaito, Tomagola, Limatahu dan Marsaoli. Pada akhir abad ke-15, klan Tomaito mengirimkan ekspedisi ke kepulauan Sula dan membawa kawasan ini menjadi daerah seberang laut Ternate yang pertama. Untuk jasa-jasanya, Raja Ternate mengangkat klan Tomaito sebagai salahakan (Gubernur) kepulauan Sula dan Sulabesi.
Setelah wafatnya Kolano Ngara Malamo, sebagai peletak dasar politik ekspansionis Kerajaan Ternate, pada tahun1317, ia digantikan oleh Patsyaranya Malamo (1317-1322), yang kemudian digantikan oleh Sida Arif Malamo (1317- 1331). Di bawah kepemimpinan Sida Arif Malamo inilah Kerajaan Ternate mulai membangun bandar niaganya untuk kepentingan perdagangan internasional.
Pada masa pemerintahan Sida Arif Malamo, Ternate, Tidore, dan Bacan mulai kedatangan pedagang manca negara maupun dari Kepulauan nusantara. Dari mancanegara adalah pedagang- pedagang Cina, Arab dan Gujarat. Sementara para pedagang nusantara datang dari Jawa, Malaka, dan Makassar. Para pedagang ini mulai menetap atau membuka pos-pos niaga di Ternate, Tidore, dan Makian.
Keadaan ini direspon secara cepat oleh Sida Arif Malamo dengan memberikan kemudahan-kemudahan yang diperlukan para pedagang tersebut. Pelabuhan Ternate kemudian muncul sebagai kota dagang dengan berbagai fasilitas yang menarik kedatangan para pedagang.
Kolano Sida Arif Malamo mendirikan pasar untuk mempertemukan para pedagang asing dan nusantara tersebut. Di pasar Ternate, rakyat menggelar dagangannya mulai dari rempah-rempah, bahan makanan seperti sagu dan ikan, buah-buahan dari Moro, daging, hasil pandai besi seperti parang dan alat-alat pertanian, hingga beragam kebutuhan hidup lainnya. Sementara para pedagang asing dan nusantara menjual tekstil, berbagai perhiasan emas perak dan batu mulia, beras, dan alat-alat keperluan rumah tangga, seperti kaca, piring, mangkuk dari porselen dan sebagainya.
Kolano Sida Arif Malamo juga mengisi waktu luangnya untuk bergaul dengan para pedagang asing. Ia bahkan belajar bahasa Arab dan Cina, serta mengenakan jubah dan destar serta pakaian yang digunakan para pedagang Cina. Sida Arif Malamo menghimbau rakyatnya mempelajari teknologi pembuatan perahu junk dan cara menggunakan layar serta navigasi.
Kolano Sida Arif Malamo juga berupaya meredam permasalahan-permasalahan yang terjadi disekitar jalur perdagangan maritim dengan mengadakan pertemuan di Moti yang dihadiri oleh Kolano dari Kerajaan Tidore, Kerajaan Jailolo dan Kerajaan Bacan. Pertemuan keempat kerajaan ini dikenal dengan Pertemuan Moti atau Moti Verbound yang dilaksanakan pada 1322. Sejak pertemuan ini, Kepulauan Maluku mengalami masa damai dan aman dari berbagai intrik politik dan permusuhan antar-kerajaan.
Akan Tetapi, perdamaian yang ditegakkan dengan susah payah itu tidak bertahan lama ketika Tulu Malamo naik takhta pada 1343. Kolano Ternate yang ambisius ini membatalkan perjanjian Moti. Pernyataan pembatalan Perjanjian Moti disusul oleh Tulu Malamo dengan penyerbuan ke Makian, sebuah Bandar pedagangan rempah-rempah manca negara. Alasan penyerbuan ini adalah penguasaan sumber kekayaan rempah-rempah, karena pulau ini menghasilkan cengkih berkualitas prima (cengkih Raja). Setelah Makian, Kepulauan Sula diserbu oleh Kolano Ngolo Macahaya atau Bayanullah (1350-1375), menyusul Jailolo oleh Marhum (1465-1486).
Kedatangan Agama Islam di Kerajaan Ternate
Seiring berkembangnya waktu, Kampung Ternate menjadi semakin terkenal dan populer sehingga orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Kerajaan Ternate dibandingkan dengan Kerajaan Gapi. Kerajaan Ternate kemudian menjelma menjadi salah satu kerajaan besar bercorak Islam di timur Kepulauan Indonesia. Perlu diketahui sebelum masuknya ajaran agama Islam di Ternate, Ternate secara khususnya dan Kepulauan Maluku secara umumnya tidak tersentuh oleh pengaruh dari ajaran agama Hindu. Ajaran agama Islam yang kemudian berkembang di Ternate diyakini berasal dari Malaka, Kalimantan dan kemudian dari Jawa.
Pengaruh Islamisasi yang berasal dari Jawa terutama Gresik dan kemudian dari Kalimantan terutama Banjarmasin di Kerajaan Ternate ini dapat terlihat dari pola yang sama dengan Islamisasi yang terjadi di Jawa (Mataram) dan Kalimantan di mana Islamisasi terjadi mula-mula dikalangan elit kerajaan. Memang, tidak ada sumber yang jelas kapan agama Islam datang di Maluku khususnya di Ternate. Hal yang memungkinkan adalah sejak banyaknya para pedagang Arab yang beragama Islam berdatangan ke Ternate. Kedatangan mereka disebabkan oleh kenyataan bahwa sejak abad ke-13 posisi Ternate telah dikenal dalam aktivitas perdagangan internasional sebagai tempat penghasil rempah-rempah.
Meskipun dianggap memiliki pola Islamisasi yang sama dengan Mataram dan Kalimantan, belum dapat dipastikan bahwa raja-raja dan kalangan elit Kerajaan Ternate telah memeluk agama Islam, meskipun mereka telah menggunakan nama yang “bernuansa Islam”. Kalangan elit Kerajaan Ternate baru dapat dipastikan memeluk ajaran agama Islam pada pertengahan abad ke-15. Hal ini dapat diketahui dari penguasa Kerajaan Ternate, Kolano Marhum memeluk ajaran agama Islam bersama dengan seluruh kerabat dan pejabat istana. Meskipun Marhum masih menggunakan gelar “Kolano” tetapi pada masa akhir pemerintahannya Kerajaan Ternate mulai mengalami proses Islamisasi yang intens.
Tokoh yang berperan dalam Islamisasi Kerajaan Ternate adalah Datu Maula Husein yang berhasil menjalin persahabatan dengan Kolano Marhum. Datu MaulaHusein berasal dari Minangkabau yang sebelum pergi ke Ternate telah tinggal selama beberapa waktu di Gresik. Datu Maula Husein datang ke Ternate sebagai seorang pedagang dan pendakwah. Ia sangat pandai membaca Al-Qur’an dan mahir membuat kaligrafi yang indah. Hal inilah yang membuat rakyat Ternate amat tertarik dengan keahlian Datu Maula Husein dan meminta diajarkan. Dari sinilah bermula islamisasi Kerajaan Ternate yang mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin, putra Kolano Marhum.
Putra Kolano Marhum, Zainal Abidin yang berkuasa sejak tahun 1486 memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai terislamisasinya Kerajaan Ternate dengan meninggalkan gelar “Kolano” dan menggantinya dengan gelar “Sultan”. Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin, agama Islam diakui sebagai agama resmi Kerajaan Ternate dan syariat Islam pun ditegakkan.
Sebagai sultan Kerajaan Ternate yang baru, Sultan Zainal Abidin membuat beberapa kebijakan, antara lain:
- Gelar Kolano yang digunakan raja-raja sebelumnya diganti dengan gelar Sultan yang dianggap lebih Islami;
- Ternate dengan resmi menerima Islam sebagai agama kerajaan dan sejak itu menjadi kesultanan;
- Lembaga baru dalam struktur pemerintahan dibentuk dengan diangkatnya “Lembaga Jolebe” atau bobato berjubah putih – bertugas membantu sultan dalam urusan keagamaan Islam – untuk mendampingi bobato berjubah hitam yang telah ada – bertugas membantu sultan dalam urusan pemerintahan;
- Sultan adalah Pembina agama Islam atau Amir al-din yang membawahi jolebe berjubah putih. Jolebe terdiri dari seorang Kalem (Qadhi), 4 orang Imam, 8 orang Khatib dan 16 orang Moding, yang membantu Amir al-din menjalankan fungsi-fungsi keagamaan dan syariat Islam.
Sultan Zainal Abidin yang memperoleh pendidikan agama Islam dari Datu Maula Husein kemudian melanjutkan pendidikannya ke Gresik pada tahun 1495. Kepergian Sultan Zainal Abidin ini untuk memperkuat pengetahuannya tentang agama Islam, Sultan Zainal Abidin berguru pada Sunan Giri di Jawa dan disanalah ia dikenal dengan sebutan Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).
Sultan Zainal Abidin kemudian kembali setelah tiga bulan berada di Gresik. Di perjalanan pulang, Sultan Zainal Abidin sempat mampir ke Makassar dan Ambon, serta membawa pulang beberapa ulama dan mubaligh asal Jawa yang kemudian menetap di Ternate, di sebuah pemukiman yang dikenal dengan nama Fala Jawa (rumah orang Jawa).
Perhatian Sultan Zainal Abidin yang tinggi terhadap agama Islam dan berkembangnya Pelabuhan Ternate telah menyebabkan para pedagang terutama dari Arab, India (Gujarat), Tionghoa dan Persia mulai berdatangan ke Ternate yang pada periode selanjutnya sekitar abad ke-16 diikuti pula oleh para pedagang dari Eropa seperti Inggris, Portugis, Belanda dan juga Spanyol. Kedatangan orang Eropa ke Ternate terutama dalam hal mencari pala dan juga cengkeh. Selain dengan Ternate, orang-orang Eropa juga berupaya untuk menjalin hubungan dengan Tidore, Jailolo dan Bacan. Hubungan dengan orang Eropa ini tetap berjalan hingga memasuki abad ke-17.
Kepemimpinan Sultan Bayanullah
Pada tahun 1500 Sultan Zainal Abidin meninggal dunia dan digantikan oleh Sultan Bayanullah. Sultan Bayanullah dikalangan bangsa Barat dikenal dengan nama Abu Lais atau Sultan Boleif. Sultan Bayanullah dikenal sebagai pribadi yang sangat pandai, seorang terpelajar, berjiwa ksatria dan sebagai pedagang yang ulung. Sultan Bayanullah berupaya untuk menegakkan sejumlah peraturan antara lain:
- Pembatasan poligami. Rakyat Maluku utara baik yang sudah beragama maupun yang belum, seperti yang dikeluhkan Franciscus Xaverius sendiri, bahwa: mereka tidak dapat hidup tanpa poligami. Sultan Bayanullah mengenakan sejumlah persyaratan berat, sehingga secara formal hampir tidak ada celah lagi yang dapat membawa seseorang untuk berpoligami;
- Larangan kumpul kebo dan pergundikan. Kedua kebiasaan ini terutama dilakukan para bobato. Ada bobato yang memelihara gundik hingga puluhan orang. Sultan Bayan membuat peraturan: bobato yang memelihara gundik tanpa persetujuannya akan dipecat. Sampai akhir hayatnya, Sultan Bayanullah hanya memiliki seorang istri, yaitu Nyai Cili Boki Raja Nukila, puteri Sultan Almansur dari Tidore, dengan 2 orang putera masing-masing bernama Deyalo (Hidayat) dan Boheyat (Abu Hayat);
- Biaya dan peningset dalam perkawinan yang berlebihan dipangkas. Peningset yang memberatkan dan permintaan-permintaan dari keluarga perempuan yang berlebihan dilarang. Ia menerapkan syarat Ijab Kabul perkawinan baik hal itu dilakukan secara Islam maupun adat;
- Perempuan wajib berpakaian secara pantas. Pemakaian cidaku (cawat) di kalangan laki- laki dilarang. Yang ketahuan memakai cidaku akan dihukum.
Kebijakan Sultan Bayanullah lainnya yang berkaitan dengan penyebaran ajaran agama Islam adalah peraturannya yang menentukan bahwa untuk diangkat dalam jabatan Bobato, baik di pusat maupun di daerah, seseorang harus beragama Islam. Dengan peraturan ini, hampir semua Bobato kerajaan adalah Muslim. Dengan demikian, melalui pengaruh para Bobato, rakyat Maluku didorong untuk memeluk agama Islam.
Pada tahun 1511 Samarau yang berasal dari klan Tomagola diperintahkan oleh Sultan Bayanullah untuk mencari daerah baru demi perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Ternate. Ekspedisi ini ingin mengulang keberhasilan Klan Tomaito dalam menaklukan Kepulauan Sula dan Sulabesi. Samarau awalnya berhasil menaklukan Pulau Buru, kemudian menuju Ambon dan berhasil memaksa pemimpin Ambon menyerah. Setelah itu, Samarau diangkat sebagai salahakan di Ambon, sedangkan Tomaito diangkat sebagai salahakan di Kepulauan Sula dan Sulabesi.
Kedatangan Portugis ke Ternate
Hubungan Portugis dengan Kerajaan Ternate dimulai setelah Portugis berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511. Memasuki bulan Desember 1511, Alfonso de Albuquerque mengirimkan ekspedisi tiga kapal menuju Kepulauan Maluku. Pada tahun 1512, Salahakan Samarau melaporkan kepada Sultan Bayanullah tentang kedatangan armada Portugis pimpinan Antonio de Abreau di Banda, dan tentang Francisco Serrao yang mengalami nasib buruk dan masih berada di Ambon. Sultan Bayanullah lalu mengirim beberapa juanga dan mengutus Jogugu Kuliba serta kalem Faidua untuk dan atas nama Sultan Bayanullah menjemput Fransisco Serrao.
Di Kepulauan Maluku nampak terjadi kompetisi antara Sultan Bayanullah dari Kerajaan Ternate dengan Sultan Almansur dari Kerajaan Tidore untuk menjemput Fransisco Serrao di Ambon. Perlombaan ini bermotif ekonomi dan juga militer. Akan tetapi, nampaknya yang berhasil menjemput Fransisco Serrao adalah utusan Sultan Bayanullah dari Kerajaan Ternate, sehingga Kerajaan Ternate-lah yang berhasil lebih dulu mendapat sekutu dalam bidang ekonomi dan militer.
Sewaktu mendarat di Ternate, Sultan Bayanullah sendiri-lah yang menjemput Fransisco Serrao. Dalam perundingan pada hari-hari berikutnya, Fransisco Serrao berhasil meyakinkan Sultan Bayanullah tentang “kejujurannya” sebagai pembeli tunggal rempah-rempah KerajaanTernate dengan harga bersaing dan syarat-syarat lunak. Tawaran Fransisco Serrao diterima Sultan Bayanullah, bahkan Sultan Bayanullah mengangkat Fransisco Serrao sebagai konselor pribadi. Fransisco Serrao segera mengutus salah satu dari sembilan orang anak buahnya kepada Raja Muda Portugis di Goa untuk menyampaikan hasil permufakatannya dengan Sultan Ternate. Perjanjian Bayan-Serrao meliputi pula pendirian sebuah pos dagang Portugis di Ternate.
Fransisco Serrao yang menjadi penasehat Kerajaan Ternate, pada 1512 juga mengirim surat kepada Ferdinand de Magellan, seorang sahabat akrabnya dan salah satu petualang besar Portugis. Dalam surat itu Fransisco Serrao memaparkan rute perjalanan ke kepulauan rempah-rempah, khususnya ke Ternate dan Tidore. Surat dari Fransisco Serrao kepada Ferdinand de Magellan itu telah membantu memetakan lokasi kepulauan rempah- rempah dan mendorong Ferdinand de Magellan melakukan ekspedisi ke Tidore, setelah membelot ke Spanyol karena rencananya didukung oleh Raja Spanyol. Fransisco Serrao yang beistrikan perempuan Jawa, lama bermukim di Ternate lantaran jabatannya sebagai penasehat Sultan Bayanullah. Fransisco Serrao sendiri bahkan meninggal dan dikuburkan di Ternate.
Pertempuran Ternate-Portugis Menghadapi Tidore-Spanyol
Bagi Portugis, Kehadiran mereka di Kerajaan Ternate tentu bukan sekedar untuk berdagang, melainkan untuk menguasai penghasil rempah-rempah itu dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku. Untuk melaksanakan keinginannya itu, maka Portugis harus dapat menguasai Kerajaan Ternate. Sultan Bayanullah meninggal pada tahun 1522 dengan meninggalkan pewaris yang masih belia. Istrinya, Permaisuri Nukila dan adik Sultan Bayanullah, Pangeran Taruwese bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang berasal dari Tidore bermaksud untuk menyatukan Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore dibawah kekuasaan salah satu putranya antara Pangeran Hidayat (Deyalo) maupun Pangeran Abu Hayat (Boheat).
Sedangkan di sisi lain, adik Sultan Bayanullah, Pangeran Taruwese menginginkan takhta Kerajaan Ternate untuk dirinya sendiri. Sehingga terjadilah perselisihan antara Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore. Portugis berupaya untuk memanfaatkan perselisihan itu dengan menyetujui persekutuan dengan Pangeran Taruwese untuk menghadapi Kerajaan Tidore. Pada tahun 1521 armada Spanyol mendarat di Ternate. Ketika mengetahui Portugis telah sampai terlebih dahulu, maka armada Spanyol mengarahkan tujuannya ke Kerajaan Tidore. Di Kerajaan Tidore, Spanyol disambut dengan baik di mana Kerajaan Tidore berharap akan bantuan Spanyol untuk menghadapi Kerajaan Ternate yang telah bersekutu dengan Portugis.
Pada tahun 1522 terjadi peperangan yang melibatkan kedua belah pihak, di satu pihak koalisi antara Kerajaan Ternate dan Portugis dan disisi yang lain adalah koalisi antara Kerajaan Tidore dengan Spanyol. Di dalam pertempuran itu, koalisi Portugis dan Kerajaan Ternate berhasil memenangkan peperangan yang menyebabkan Paus harus turun tangan menyelesaikan persengketaan antara Portugis dan Spanyol dengan mengeluarkan Perjanjian Zaragoza (Saragosa/Zaragosa). Berdasarkan perjanjian itu, Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Maluku untuk kemudian diserahkan kepada Portugis.
Spanyol yang meninggalkan Kepulauan Maluku menyebabkan Portugis lebih leluasa untuk memaksakan manuvernya untuk menerapkan monopolinya di Kepulauan Maluku. Setidaknya Portugis dapat dengan tenang melakukan itu sebelum kedatangan Inggris dan Belanda di Kepulauan Maluku.
Campur Tangan Portugis di dalam Kerajaan Ternate
Pada tahun 1528, setelah kemenangan Kerajaan Ternate atas Kerajaan Tidore Pangeran Hidayat (Deyalo) diangkat sebagai Sultan Ternate dalam usia 20 tahun. Pada tahun 1529 Pangeran Hidayat berseteru dengan Pangeran Taruwese, pamannya sendiri yang menyebabkan dirinya disingkirkan dari takhta oleh persekongkolan Portugis dengan Pangeran Taruwese. Menyadari bahaya yang mengintai dirinya, Pangeran Hidayat melarikan diri ke Kerajaan Tidore untuk meminta perlindungan kepada pamannya, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain.
Pelarian Pangeran Hidayat ke Kerajaan Tidore diketahui oleh Portugis, Sehingga Portugis dan mangkubumi Kerajaan Ternate, Pati Sarangi (suami kedua dari Nyai Cili Nukila, ayah tiri dari Pangeran Hidayat) memaksa agar Sultan Amiruddin menyerahkan Pangeran Hidayat. Namun, permintaan itu ditolak oleh Sultan Amiruddin. Penolakan ini menyebabkan Kerajaan Ternate-Portugis menyerang Kerajaan Tidore. Akan tetapi, Pangeran Hidayat berhasil melarikan diri menuju Jailolo.
Pangeran Taruwese di Kerajan Ternate dikenal sangat dekat dengan Gubernur Portugis di Ternate, de Menzes. Hubungan keduanya mulai retak ketika Portugis mulai ikut campur dalam urusan internal Kerajaan Ternate. Perseteruan itu menyebabkan Portugis “meminjam tangan” rakyat Ternate untuk membunuh Pangeran Taruwese. Setelah Pangeran Taruwese terbunuh, Abu Hayat (Boheyat), adik dari Pangeran Hidayat sebagai Sultan Ternate pada 1529.
Setelah diangkat sebagai sultan, Sultan Abu Hayat menunjukkan sikap bermusuhan dengan Portugis dengan menginginkan Portugis tidak ikut campur tangan dalam urusan internal Kerajaan Ternate. Meskipun begitu, Sultan Abu Hayat masih berharap adanya bantuan dari Gubernur Portugis, Gonzalo Pereire. Akan tetapi, Gonzalo Pereire kemudian dibunuh oleh orang Portugis sendiri dengan bantuan orang Ternate.
Terbunuhnya Gonzalo Pereire ini justru dijadikan alasan oleh Portugis bahwa Sultan Abu Hayat terlibat dalam pembunuhan ini. Oleh sebab itu, Sultan Abu Hayat ditangkap atas tuduhan pembunuhan. Pada tahun 1532 Vincente da Fonceca sebagai Gubernur Portugis yang baru, membebaskan Sultan Abu Hayat dan mengembalikan kedudukannya sebagai Sultan Ternate. Namun, Sultan Abu Hayat tidak dapat melaksanakan pemerintahannya dengan baik, sehingga rakyat Kerajaan Ternate kemudian menyerbu istananya dan saudara tirinya, Tabariji menangkap serta mengasingkannya ke Malaka.
Gubernur Portugis, Vincente da Fonceca kemudian berhasil membujuk Dewan Kerajaan Ternate untuk mengangkat Pangeran Tabariji sebagai sultan Kerajaan Ternate. Setelah naik takhta, Sultan Tabariji justru menunjukkan sikap bermusuhan terhadap Portugis yang menyebabkan dirinya difitnah dan dibuang ke Goa, India.
Hubungan Kerajaan Ternate dengan Portugis mulai retak setelah Portugis mulai memaksakan monopoli rempah-rempah di Ternate. Hal itu menyebabkan perselisihan yang berujung pada pertempuran antara Kerajaan Ternate dengan Portugis. Perlakuan Portugis terhadap kalangan kerajaan dan rakyat Kerajaan Ternate membuat Sultan Khairun yang naik takhta menggantikan Sultan Tabariji sejak 1535 bertekad untuk mengusir Portugis dari Kerajaan Ternate dan Kepulauan Maluku.
Hubungan buruk yang terjadi antara Portugis dengan Kerajaan Ternate semenjak Portugis menginjakkan kakinya di Kerajaan Ternate semakin memuncak ketika Tristiao de Ataide tiba di Ternate pada 1533. Melihat adanya peluang, Tristiao de Ataide mengambil alih kepemimpinan benteng Gamlamo dengan kekerasan dari Gubernur Potugis di Ternate, Vincente de Fonceca. Tristiao de Ataide kemudian menangkap Vincente de Fonceca dan mengirimnya ke Goa untuk dipenjarakan di sana. Setelah berhasil menyingkirkan Vincente de Fonceca, Tristiao de Ataide kemudian menjabat sebagai Gubernur Portugis di Ternate.
Disingkarkannya Sultan Tabariji dan diangkatnya Sultan Khairun Jamil sebagai Sultan Kerajaan Ternate
Tristiao de Ataide adalah seorang gubernur yang kejam. Kekejamannya dipamerkan dengan maksud agar ditakuti dan dikagumi oleh banyak orang. Pada masa awal pemerintahannya sebagai Gubernur Portugis di Ternate, Tristiao de Ataide masih memiliki hubungan yang nampaknya cukup baik dengan Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore. Hal ini terlihat dengan adanya bantuan yang diberikan oleh Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore, saat ia menyerang Kerajaan Bacan dan Kerajaan Jailolo. Di Bacan, Tristiao de Ataide memeras para bangsawan dengan tuntutan sejumlah uang, kalau tidak maka pekuburan para sultan dan kaum bangsawan Bacan lainnya akan digusur dan diratakan dengan tanah. Tuntutan ini akhirnya dipenuhi juga oleh sultan Bacan dengan membayar sejumlah besar uang.
Hubungan yang nampak cukup baik antara Tristiao de Ataide dengan Kerajaan Ternate mulai menjadi konflik ketika berselisih dengan Sultan Tabariji dalam urusan perdagangan cengkih. Tristiao de Ataide memanfaatkan penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Ternate terhadap orang-orang Mamuya yang baru memeluk agama Kristen dan membunuh Raja Moro, Don Joao. Akibat dari peristiwa ini, menjadikan alasan bagi Tristiao de Ataide kemudian menangkap dan memenjarakan Sultan Tabariji, termasuk ibunya, Nyai Cili Nukila dan keluarganya, serta sejumlah bobato (menteri-menteri) Kerajaan Ternate. Mereka kemudian dikirim ke Goa untuk diadili oleh Raja Muda Portugis atas tuduhan pengkhiantan. Tristiao de Ataide pun juga menyita seluruh kekayaan Nyai Cili Nukila dan suaminya, Pati Sarangi untuk pribadinya sendiri.
Ditangkapnya Sultan Tabariji menyebabkan Tristiao de Ataide dengan terpaksa mengangkat adik tiri Sultan Tabariji, Sultan Khairun Jamil sebagai Sultan Ternate yang baru pada tahun 1535 atas desakan rakyat Kerajaan Ternate. Tindakan Tristiao de Ataide telah menyulut kemarahan rakyat Kerajaan Ternate. Tristiao de Ataide memerintahkan pasukannya untuk merampas seluruh makanan yang dimikiki rakyat Tobona dirampas ketika pasukannya kekurangan bahan makanan. Kimalaha Tobona kemudian memprotes tindakan Tristiao de Ataide, namun ditangkap dan dipenjarakan hingga beberapa hari. Setelah dikeluarkan dari penjara, Tristiao de Ataide memerintahkan dua ekor anjingnya untuk memburu Kimalaha Tobona kemudian menggitnya sampai tewas dan mayatnya yang telah tercabik-cabik oleh gigitan anjing dibuang ke laut.
Selain itu, Tristiao de Ataide juga memenjarakan paman Sultan Bayanullah, Kuliba, yang menjemput Serrao ke Ambon. Hanya dengan permintaan yang sangat dari Sultan Tabariji, Kuliba kemudian dibebaskan oleh Portugis dengan cara yang memalukan, setelah lehernya dikalungi dengan daging dan darah babi pada saat meninggalkan Benteng Gamlamo. Tristiao de Ataide kemudian kembali menyerang Jailolo dan merampas kekayaan rakyat Jailolo yang menyebabkan kemarahan rakyat Jailolo.
Sultan Tabariji mendeklarasikan Kerajaan Ternate sebagai Kerajaan Kristen
Kembali pada nasib Sultan Tabariji di Goa, Sultan Tabariji bertemu dengan seorang bangsawan Portugis, Jordao de Freitas dan bersahabat baik dengannya. Jordao de Freitas kemudian membujuk Sultan Tabariji untuk berpindah keyakinan menjadi penganut ajaran agama Kristen Katolik agar memperoleh bantuan dari Portugis meraih kembali takhtanya sebagai Sultan Kerajaan Ternate. Sultan Tabariji sangat tertarik dengan ajakan ini yang menyebabkan dirinya kemudian menjadi penganut ajaran agama Kristen Katolik agar dapat memperoleh kembali takhtanya. Sultan Tabariji kemudian dibaptis dan mengganti namanya dengan Don Manuel.
Don Manuel Tabariji kemudian membuat surat hibah yang memberikan pulau Ambon dan pulau-pulau diantara Pulau Buru dan Pulau Seram kepada Jordao de Freitas dan anak keturunannya yang resmi maupun tidak selama keluarganya itu hidup. Dokumen ini dikukuhkan kembali pada tahun 1543 dan 1564. Don Manuel Tabariji kemudian memproklamasikan Kerajaan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan menjadi bagian dari Kerajaan portugal.
Di hadapan Raja Muda Portugis di Goa, Don Manuel Tabariji mengajukan pledoi untuk menangkis tuduhan-tuduhan Gubernur Tristiao Ataide atas dirinya sebagai pengkhianat, yang menyebabkan ia dimakzulkan, ditangkap dan diasingkan. Don Manuel Tabariji menolak semua tuduhan Tristiao de Ataide yang tidak adil dan didasarkan semata-mata pada keterangan orang-orang yang tidak menyukainya. Pledoi Tabariji begitu meyakinkan Raja Muda dan pembesar-pembesar Portugis yang mengadilinya, sehingga ia dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Raja Muda Portugis kemudian memutuskan bahwa Don Manuel Tabariji memperoleh rehabilitasi, dan haknya atas takhta Kerajaan Ternate dipulihkan. Sehingga Don Manuel Tabariji harus segera dikembalikan ke Kerajaan Ternate.
Dapat diduga bahwa keputusan Raja Muda yang membebaskan Don Manuel Tabariji dari tuduhan Tristiao de Ataide, tidak terlepas dari hibah wasiatnya yang menyerahkan Ambon dan sekitarnya kepada Jordao de Freitas, dan pernyataannya akan menjadikan Kerajaan Ternate sebagai sebuah kerajaan Kristen yang tunduk pada Kerajaan Portugal. Demikian pula, beralihnya Tabariji ke agama Kristen Katolik turut menjadi pertimbangan Raja Muda Portugis di Goa untuk membebaskan Tabariji.
Beberapa saat setelah pembebasan dan pemulihan haknya atas Kerajaan Ternate, Tabariji memproklamasikan perubahan status Kerajaan Ternate dari sebuah Kerajaan Islam independen menjadi sebuah Kerajaan Kristen di bawah kedaulatan Raja Portugal. Tetapi, proklamasi ini tidak memberikan dampak yuridis pada status Kerajaan Ternate.
Don Manuel Tabariji akhirnya dipulangkan ke Kerajaan Ternate dengan sebuah kapal yang dinahkodai de Pinto. Dalam pelayaran kembali ke Ternate, Don Manuel Tabariji disertai dengan Jordao de Freitas yang akan memangku jabatannya sebagai komandan benteng Gamlamo yang baru. Jordao de Freitas ditugaskan untuk menggeser Sultan Khairun dan mendudukkan kembali Tabariji ke atas takhta Kerajaan Ternate. Tetapi, ketika tiba di Malaka, keduanya mengetahui bahwa rakyat Ternate telah menobatkan Khairun sebagai Sultan Ternate pada tahun 1535.
Mengetahui kondisi ini, Jordao de Freitas mulai menyadari kesulitan yang akan dihadapinya apabila bersikeras untuk mendudukkan Tabariji ke atas takhta Kerajaan Ternate. Jordao de Freitas kemudian memutuskan meninggakan Don Manuel Tabariji di Malaka, dan berlayar sendirian ke Ternate pada bulan November 1544.
Setibanya di Ternate, Jordao de Freitas mengumumkan kepada seluruh rakyat Ternate bahwa Sultan yang lama, Sultan Tabariji, sementara telah dalam perjalanan pulang kembali ke Ternate. Sedangkan Sultan Khairun dan Kapita Laut Samarau kemungkinan besar akan diasingkan ke Goa. Jardo de Freitas juga menyatakan tak seorangpun dapat menolak untuk di-Kristenkan, sebab Ibu Suri (Nyai Cili Nukila) dan ayah Tabariji (Pati Sarangi) telah melepaskan keyakinan Islamnya.
Mengetahui akan kembalinya Don Manuel Tabariji atas takhtanya di Kerajaan Ternate dan telah mengkonversi kepercayaannya, Gubernur Portugis di Ternate, Tristiao de Ataide kemudian mencari-cari alasan untuk memutuskan menangkap Sultan Khairun dan Kapita Laut Samarau agar diadili di Malaka atas tuduhan pengkhianatan. Sultan Khairun dan Kapita Laut Samarau kemudian ditangkap dan dibawa ke Malaka untuk diadili. Dengan begitu, Portugis bersiap untuk mendudukkan kembali Don Manuel Tabariji sebagai raja Kerajaan Ternate yang kemudian akan menjadi Kerajaan Kristen di bawah Kerajaan Portugal.
Setelah Sultan Khairun dan Kapita Laut Samarau tiba di Malaka, tidak lama kemudian Don Manuel Tabariji jatuh sakit dan meninggal pada 30 Juni 1545. Dengan meninggalnya Don Manuel Tabariji, Sultan Khariun dibebaskan dan dipulangkan kembali ke Ternate. Namun, setelah dibebaskan Sultan Khairun memilih untuk pergi ke Goa menemui Raja Muda Portugis sebelum kembali ke Ternate.
Pada bulan Februari 1546 Sultan Khairun tiba di Goa dan diterima oleh Raja Muda Portugis. Sultan Khairun menjelaskan bahwa pertikaiannya dengan Don Manuel Tabariji sudah selesai dan ingin menanyakan perihal dirinya yang dilengserkan secara tidak hormat yang menyebabkan dirinya diasingkan ke Malaka. Pertanyaan Sultan Khairun tidak dapat dijawab secara memuaskan oleh Raja Muda Portugis di Goa, Raja Muda Portugis hanya memberikan jawaban tidak keberatan mengembalikan takhta Kerajaan Ternate kepada Sultan Khairun dan akan mengganti Jordao de Freitas dengan Bernaldin de Sousa sebagai komandan benteng Gamlamo serta dimintai pertanggung jawabannya atas kebohongan yang telah dilakukan kepada rakyat Ternate soal kembalinya Don Manuel Tabariji sebagai Raja Kristen.
Kepemimpinan Sultan Khairun Jamil
Pada bulan November 1546 Sultan Khairun kembali tiba di Ternate dan duduk kembali di singgasananya sebagai raja Kerajaan Ternate. Sultan Khairun kemudian membuat pernyataan;
1) Deklarasi resmi untuk menyatakan batalnya akta hibah yang dibuat Tabariji di Goa, yang menyerahkan Ambon, Buru dan Seram serta pulau-pulau sekitarnya kepada Jordao de Freitas.
2) Menyatakan tidak sah dan batal secara hukum, pernyataan Tabariji yang menyatakan Ternate sebagai Kerajaan Kristen di bawah Kerajaan Portugal.
Sultan Khairun bercita-cita membangun dan menjadikan Kepulauan Maluku sebagai kekuatan yang tangguh. Sultan Khairun menginginkan agar Kerajaan Jailolo bangkit sebagai kerajaan yang kuat dan bergabung dengan Kerajaan Ternate dalam suatu konfederasi yang akan dipimpinnya sendiri. Untuk itu ia membina hubungan khusus dengan Katarabumi, Kolano Jailolo yang dapat memahami ide-ide Sultan Khairun. Dengan Kerajaan Tidore, yang selalu menjadi seteru dan saingan Ternate, Sultan Khairun menginginkan agar kedua kerajaan ini dapat bersatu dalam sebuah ikatan uni Ternate-Tidore. Untuk itu, Sultan Khairun melakukan pekawinan politik dengan puteri raja Kerajaan Tidore, Amiruddin Iskandar Zulkarnain.
Sultan Khairun adalah sultan yang sangat memegang teguh ajaran agama Islam. Sultan Khairun tidak tertarik dengan ajaran agama Kristen meskipun beberapa bobato serta para bangsawan seperti Nyai Cili Nukila, dan suaminya (Pati Sarangi), sangaji Gamkonora dan Sultan Bacan Alauddin I dan seluruh keluarganya serta sangaji Labuha dan rakyatnya memeluk agama Kristen. Sultan Khairun sangat berhubungan erat dengan Fransiscus Xaverius tetapi tidak pernah terpengaruh untuk mengkonversi agamanya. Kepada Fransiscus Xaverius, Sultan Khariun mengatakan;
“….baik Islam maupun Kristen mempunyai tujuan sama. Oleh sebab itu, saya tidak perlu mengganti keyakinan saya dengan mengikuti keyakinan Anda.”
Sultan Khairun sendiri sempat mengirim putranya, Baabullah untuk memasuki Sekolah Tinggi Jesuit Kolese Santo Paulus di Goa. Meskipun Sultan Khairun sangat fanatik terhadap agama Islam, namun ia adalah orang yang sangat toleran. Sultan Khairun bersahabat dengan Fransiscus Xaverius dan para pastor lainnya. Bahkan, ia pernah menyampaikan keinginannya kepada Fransiscus Xaverius agar salah seorang putranya dapat memeluk agama Kristen untuk dipersiapkan menjadi Raja Kerajaan Moro. Sultan Khairun dikenal sebagai sosok yang sangat bijak dan memlihara hubungan baik dengan umat Kristen Moro serta Misi Jesuit yang beroperasi di Ternate dan Moro.
Perlawanan Kerajaan Ternate Terhadap Portugis
Sejak 1546, kegiatan misionaris di Moro kembali meningkat setelah mendapat kunjungan Magister Xaverius. Rohaniwan yang dikirim ke sana semakin banyak. Evangelisasi perkampungan-perkampungan induk Kristen di Morotia – seperti Tolo, Mamuya, Pune, dan Sugala – berkembang amat pesat. Demikian pula, Sakita, Mira, Cio, dan Rao di Morotai mengalami hal serupa. Konversi agama yang dilakukan Raja Moro di Mamuya dan Sangaji Tolo membawa pengaruh cukup signifikan.
Kegiatan evangelisasi juga sering menuai bentrokan antar pemeluk agama. Bentrokan yang terjadi antara orang Muslim Galela dan Raja Mamuya beserta pengikutnya, dan pembunuhan terhadap vicaris Simon Vaz di Sao, misalnya, telah menimbulkan banyak korban di kedua pihak.
Peristiwa pembunuhan Simon Vaz telah menebarkan benih permusuhan antara Gubernur Portugis dengan para sultan Maluku, khususnya Sultan Khairun. Sementara kemajuan evangelisasi yang begitu pesat dan klaim Misi bahwa sekitar 35.000 orang telah beralih agama hingga 1553 di Moro, telah menimbulkan kekhawatiran Sultan Khairun. Pada 1560, Sultan mengundang para sultan Maluku lainnya untuk membahas laju perkembangan Kristenisasi di Moro dalam suatu pertemuan rahasia. Dengan suara bulat para sultan memutuskan untuk menghentikan laju evangelisasi dan menyingkirkan orang-orang Portugis dari Moro dan Maluku.
Sultan Khairun juga menjalin persekutuan dengan Kerajaan Aceh dan Kerajaan Demak untuk bersama menghalau pengaruh Portugis. Portugis yang menghadapi perlawanan secara bersamaan dari Kerajaan Aceh, Kerajaan Demak dan Kerajaan Ternate merasa kewalahan. Kerajaan Ternate yang berada di bawah pimpinan Sultan Khairun berhasil mendesak kekuatan Portugis di Maluku yang tidak mendapatkan bantuan dari Malaka. Sehingga, Portugis mengajukan perdamaian kepada Sultan Khairun. Keinginan Portugis pun dikabulkan oleh Sultan Khairun di mana Sultan Khairun kemudian diundang oleh Gubernur Portugis, Lopez de Mesquita untuk melakukan perundingan.
Pada tahun 1566, Diego Lopez de Mesquita menjabat sebagai Gubernur Portugis di Ternate. Diego Lopez de Mesquita kemudian mengajak Sultan Khairun berunding dan berdamai. Tetapi, perdamaian antara Portugis dengan Kerajaan Ternate baru dapat terwujud pada 1569, setelah Sultan Khairun dan Diego Lopez de Mesquita terlibat dalam perundingan yang lebih intens. Keduanya memutuskan mengakhiri konflik bersenjata di Moro.
Berdasarkan perjanjian itu, Diego Lopez de Mesquita memandang perdamaian tersebut lebih menguntungkan Sultan Khairun. Hal ini disebabkan oleh karena pemukiman-pemukiman Kristen, seperti di Sugala, Pune, dan Mamuya, penduduk pribumi Kristen ramai-ramai murtad dan meninggalkan agama Kristen. Diego Lopez de Mesquita kemudian menyusun skenario untuk menyingkirkan Khairun. Untuk meyakinkan Sultan Khairun akan tujuan baiknya, pada tahun 1570 de Mesquita mengusulkan agar perjanjian perdamaian 1569 diperbarui.
Sultan Khairun menerima usul ini, Sultan Khairun sendiri datang menemui Gubernur Diego Lopez de Mesquita tanpa pengawalan. Di dalam pertemuan itu keduanya bersumpah dengan Kitab Suci di tangannya masing-masing untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh perjanjian perdamaian yang baru dikukuhkan kembali. Setelah perjanjian perdamaian diperbarui, kemudian diselenggarakan pesta di dalam benteng Gamlamo. Di dalam pertemuan itu, Sultan Khairun dijebak dan ditangkap hingga akhirnya dipancung oleh Portugis. Insiden pemancungan Sultan Khairun ini telah menyulut kembali amarah dari rakyat Kerajaan Ternate untuk mengusir Portugis. Putra Sultan Khairun, Sultan Baabullah naik takhta pada tahun 1570 menggantikan Sultan Khairun yang dibunuh oleh Portugis.
Puncak Kejayaan Kerajaan Ternate di Bawah Kepemimpinan Sultan Baabullah
Babullah Datu Syah atau yang lebih dikenal dengan Sultan Baabullah naik takhta Kerajaan Ternate menggantikan ayahnya, Sultan Khairun yang tewas di dalam Benteng Gamlamo. Dalam pidato penobatannya, Sultan Babullah bersumpah menuntut balas kematian ayahnya dan akan berjuang sampai orang-orang Portugis meninggakan negerinya. Sultan Baabulah juga bersumpah akan menjunjung tinggi agama Islam dan menjadikan Kerajaan Ternate sebagai kesultanan yang besar dan kuat secara militer, tanpa melupakan upaya untuk persatuan dan persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangganya.
Setelah naik takhta, Sultan Baabullah menciptakan hubungan baru Ternate-Portugis. Semua prakarsa yang sebelumnya selalu berawal dari Portugis, kini berasal dari Kerajaan Ternate. Hal ini berarti semua kontrol atas Kerajaan Ternate dilakukan oleh Kerajaan Ternate itu sendiri, yang ditangani oleh Sultan Baabullah dengan bantuan para bobato-nya. Kemudahan-kemudahan yang telah diberikan Sultan Khairun kepada Misi Jesuit dihentikan. Sultan Baabullah bahkan memerintahkan pasukannya memburu orang Portugis sampai ke manapun dan membunuh mereka.
Orang Kristen diperintahkan Sultan Baabullah berkumpul di Ternate, dan bagi para pribumi diberikan opsi: kembali ke agama asal yakni Islam, atau menjadi tawanan. Dalam perjalanan ke Ternate, banyak orang Kristen yang tenggelam akibat badai dan topan yang menghantam perahu mereka. Mayoritas pribumi Kristen Moro menerima alternatif kembali ke Islam, sementara sebagian kecil menerima kenyataan menjadi tawanan. Yang menjadi Muslim kembali dipulangkan ke kampung halamannya di Moro, dan proses pemurtadan Kristen terjadi secara besar-besaran di seluruh Moro dan Bacan. Banyak penduduk lokal yang membakar gerejanya sendiri, menghancurkan altar dan benda-benda suci lainnya. Sepeninggal Sultan Khairun, konversi keyakinan orang Islam ke agama Kristen dilarang dan dihentikan.
Tindakan-tindakan Sultan Baabullah ini didukung oleh pemimpin-pemimpin Islam dan menyatakan bahwa sosok Sultan Baabullah sebagai “pembela Islam.” Tetapi, dengan terjadinya konversi besar-besaran ke dalam agama Islam dan berbagai kerusuhan yang menyertainya, orang-orang Portugis di Moro dan Bacan mulai dievakuasi ke benteng mereka di Ternate.
Sebagai penguasa baru, Sultan Baabullah mengirim Kapita Kolasineo memimpin armada ke Ambon dan sekitarnya. Armada ini mula-mula tiba di Buru, sebuah wilayah dengan pemukiman orang-orang Islam yang loyal kepada Sultan Ternate dan selalu siap dengan juanga serta tenaga tempur. Dari Buru, Kolasineo menuju Residi dan Kombelo di kepulauan Hoamoal, dan kemudian menuju Hitu di Ambon untuk menambah perahu dan personil. Setelah itu, mulailah armada ini menggempur orang-orang Portugis yang berada di dalam benteng mereka di Ambon.
Sementara itu, diperoleh berita bahwa pasukan Sultan Baabullah di Moro telah merampas empat buah perahu Portugis yang penuh bahan makanan dan siap berlayar ke Ternate. Sultan Baabullah lalu menyiapkan ekspedisi untuk menyerang Moro, yang diawali dari Galela dan bergerak menuju pantai utara dan pantai selatan Halmahera utara, kemudian ke timur menuju Morotai. Semua orang Portugis yang ditemui dibunuh. Ketika pasukan Sultan Baabullah tiba di Tolo, mereka mendapat perlawanan sengit dari orang Kristen yang bahu-membahu dengan pasukan Portugis mempertahankan pemukiman itu. Akibat serangan pasukan Sultan Baabullah,banyak jatuh korban, terutama rakyat Kristen pribumi penduduk Moro, dan sebagian orang Portugis di situ.
Pada 1570, Sultan Baabullah mulai mengepung Benteng Gamlamo, tetapi pengepungan iru belum dilakukan secara ketat. Sebelum Bacan menyerah, suplai makanan selalu dikirim dari pulau ini kepada penghuni benteng. Suplai serupa juga datang dari Moro dan Tidore. Orang Portugis dan penghuni benteng Gamlamo, walaupun dalam pengawasan, masih dibolehkan keluar mencari bahan pangan di siang hari. Tetapi, ketika Portugis berusaha menghubungi Goa dan Malaka guna memperoleh bantuan, pengepungan mulai diperketat oleh Sultan Baabullah.
Selama tiga tahun pengepungan (1570-1573), hampir tidak ada pelayaran regular karena cuaca buruk. Selama itu, hanya empat pelayaran regular tiba di Ternate, tetapi tidak satupun dari kapal-kapal itu dapat menerobos blokade ke dalam Benteng Gamlamo. Pengepungan menjadi lebih efisien ketika kelaparan dan penyakit mulai menelan korban jiwa, baik dari kalangan orang-orang Portugis maupun Kristen pribumi penghuni Benteng Gamlamo.
Pada tahun terakhir pengepungan, hanya 400 dari 900 penghuni benteng yang masih tersisa dan mampu bertahan hidup. Sumber-sumber lokal menuturkan bahwa ular, tikus, anjing, kucing, bahkan cicak, telah menjadi santapan penghuni benteng. Bagi yang sakit, selain menggunakan dedaunan dan akar-akar tumbuhan, pemanggilan roh-roh nenek moyang juga menjadi medium pengobatan. Moral orang-orang Portugis telah merosot secara ekstrim.
Pada akhir 1575, Sultan Baabullah menerima informasi bahwa beberapa kapal Portugis berada di sekitar pulau Mayau (Batang dua), yang terletak antara Manado dan Ternate. Kehadiran kapal-kapal tersebut telah menimbulkan kekhawatiran bahwa kapal-kapal itu membawa pasukan dan bala bantuan lainnya. Karena itu, Sultan Baabullah memerintahkan pasukannya menyerbu Benteng Gamlamo.
Akan tetapi, sebelum penyerbuan dilakukan, Gubernur Portugis terakhir yang berada di dalam benteng Gamlamo yaitu Nuno Pareira de Lacerda menawarkan perdamaian. Sultan Baabullah mengutus kakaknya, Kaicil Tolo, untuk memberitahu Pareira de Lacerda bahwa orang Maluku kini telah bersatu padu dan siap melawan mereka. Tak ada lagi harapan atau pilihan lain yang dapat menyelamatkan mereka, dan jangan sekali-kali berharap bantuan dari luar.
Di bawah syarat-syarat yang didiktekan oleh Sultan Baabullah, Pareira de Lacerda akhirnya setuju mengakhiri peperangan. Portugis setuju menyerah tanpa syarat. Mereka meminta agar Sultan Baabullah menyediakan perahu untuk mengevakuasi mereka ke Ambon dan keluar meninggalkan Ternate. Portugis lalu menyerah kepada Sultan Baabullah pada 26 Desember 1575.
Pada 29 Desember 1575, kapal suplai dari Malaka tiba di pelabuhan Talangame Ternate. Sultan Baabullah memerintahkan agar kapal itu berlabuh dan membeli rempah-rempah (cengkih) sebagaimana biasanya. Kapal inilah yang kemudian mengangkut orang Portugis dan Kristen pribumi lainnya meninggalkan Ternate menuju Ambon kemudian menuju Malaka.
Sultan Baabullah kemudian mengirim surat kepada Raja Portugal meminta keadilan dan pertanggungjawaban atas kematian ayahnya, Sultan Khairun. Kepada Gubernur Portugis terakhir yang akan meninggalkan Ternate, Sultan Baabullah mengatakan bahwa ia akan memelihara benteng Gamlamo untuk Raja Portugal, dan mengizinkan seorang kapten dengan 12 anggota tentara tinggal di benteng itu untuk menangani kepentingan-kepentingan Portugis yang mendesak. Ketika garnisun kecil itu meninggalkan benteng Gamlamo, Sultan Baabullah mengambil alih dan menjadikannya sebagai kediaman resmi Sultan Ternate.
Kebanyakan orang Portugis dan Kristen pribumi yang meninggalkan Ternate, menetap di Ambon. Tetapi, ada juga yang tetap menetap di Ternate karena telah menikah dengan perempuan pribumi Ternate. Ketika Kerajaan Tidore membuka kesempatan menerima orang-orang Portugis untuk menetap, mereka pindah dan menetap secara permanen di sana.
Keputusan Kerajaan Tidore menerima pemukim Portugis ditujukan untuk menggalakkan perdagangan rempah-rempah dan membuka pasar dagang rempah-rempah internasional yang dapat menyaingi Ternate. Selain itu, dengan bantuan orang Portugis yang tersisa, Tidore dapat melawan Ternate. Akan tetapi, cita-cita Kerajaan Tidore ini digagalkan Sultan Baabullah dengan penyerbuannya ke pemukiman-pemukiman Tidore di pesisir utara, yang mengakibatkan penduduknya mengungsi ke hutan pegunungan. Kedatangan 100 orang Portugis untuk membangun sebuah benteng dekat istana di ibukota Kerajaan Tidore, merupakan upaya para petinggi Kerajaan Tidore untuk memproteksi diri dari kemungkinan serbuan Sultan Baabullah berikutnya. Namun, hal itu tidak pernah dilakukan oleh Sultan Baabullah.
Perluasan Wilayah Kerajaan Ternate di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah
Pada tahun 1576 Sultan Baabullah mengirim Rubohongi dari klan Tomagola ke Hoamoal, Buru, Manipa, Ambalau, Kelang, dan Buano, untuk menjadikan daerah ini tertutup bagi kegiatan bisnis Portugis di Ambon. Rubohongi sengaja dipilih oleh Sultan Baabullah, karena ia adalah tokoh paling setia dan terpercaya. Selain itu, ayah Rubohongi, Salahakan Samarauadalah orang kepercayaan Sultan Khairun yang merupakan penakluk daerah-daerah tersebut. Rubohongi juga ditugaskan menertibkan daerah-daerah tersebut dari segala ancaman, mengingat potensinya sebagai penghasil utama rempah-rempah di seluruh Maluku Tengah.
Pada tahun 1580, Sultan Baabullah mengirim sebuah ekspedisi gabungan Ternate-Sula untuk menaklukkan negeri-negeri di sepanjang pantai timur Sulawesi yaitu Banggai, Tobungku, Tiboro, Pangasain, yang semuanya dapat dikuasainya dengan mudah. Ekspedisi ini dipimpin Kapita Sula, Kapalaya, yang terkenal karena memiliki banyak ilmu hitam. Akan tetapi, Kapalaya menemui perlawanan sengit di Buton. Bahkan, setelah Buton berhasil ditaklukkan, perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Buton secara sporadis masih terus berlangsung.
Sultan Baabullah menjadikan Buton sebagai pasar dagang rempah-rempah Maluku dengan menyediakan semua produk Maluku, sehingga pedagang-pedagang dari Jawa, Melayu, Arab dan Cina dapat membeli rempah-rempah Maluku di Buton. Setelah menganeksasi Buton, Sultan Baabullah mengambil alih Selayar tanpa perlawanan yang berarti. Aneksasi Selayar menggenapi kekuasaan Sultan Baabullah atas 72 pulau yang kesemuanya berpenghuni. Pada titik inilah ia digelari “Penguasa atas 72 pulau” (Heer van twee en zeventig eilanden).
Setelah aneksasi Selayar, Sultan Baabullah membuat perjanjian dengan Kerajaan Makassar mengenai persekutuan antara Kerajaan Ternate dan Kerajaan Makassar. Ada dua syarat yang diajukan Sultan Baabullah: pertama, Raja Goa akan memeluk agama Islam; kedua, operasi Portugis termasuk penyiaran agama Kristen dalam wilayah kekuasaan Goa dilarang. Untuk menandatangani perjanjian ini, Sultan Baabullah menyempatkan diri datang ke Makassar.
Kedatangan Inggris ke Kerajaan Ternate
Pada 14 Nopember 1579, seorang petualang berkebangsaan Inggris Francis Drake, tiba di Moti dari Australia dengan kapal Golden Hind dan empat kapal lain. Setelah lego jangkar, seorang Deputi Sultan Baabullah naik ke atas kapal dan menjemput Francis Drake untuk dibawa ke Ternate. Kapal Golden Hind menyusul keesokan harinya ke Ternate. Sultan Baabullah mengundang Francis Drake ke istananya dan menerimanya dengan upacara kebesaran. Dalam pembicaraannya dengan Sultan Baabullah, Francis Drake menyatakan bahwa kedatangannya ke Maluku semata-mata untuk berdagang. Sultan Baabullah menyambut gembira kedatangannya di Kerajaan Ternate.
Setelah melakukan pembicaraa dengan Sultan Baabullah, Francis Drake kemudian mengundang Sultan Baabullah bertandang ke kapalnya. Undangan ini diterima Sultan Baabullah. Keesokan harinya, dengan diantar 4 buah juanga yang penuh hiasan rumbai-rumbai dan dengan iringan sejumlah bobato, Sultan Baabullah menuju ke Golden Hind. Setelah mengelilingi Golden Hind sebanyak empat kali, juanga yang ditumpangi Sultan Baabullah merapat ke Golden Hind. Golden Hind dan keempat kapal lain menembakkan meriam beberapa kali, sebagai tanda penghormatan. Ketika Sultan Baabullah menaiki tangga, trompet dibunyikan menyusul barisan musik memainkan beberapa lagu. Setelah melihat-lihat kapal dan beramah- tamah dengan para perwira, Sultan Baabullah permisi untuk kembali dan berjanji akan datang lagi.
Keesokan harinya, Sultan Baabullah mengutus seorang saudaranya membawa sepucuk surat undangan yang meminta Francis Drake dan seluruh perwira armadanya menghadiri jamuan makan di istananya. Francis Drake memenuhi undangan itu, dan pada hari berikutnya Francis Drake dan seluruh perwira armadanya mendarat dan menuju istana Sultan dalam benteng Gamlamo. Francis Drake dan rombongan disambut rakyat sampai di tangga istana. Di sini, Francis Drake terkejut ketika berjabat tangan dengan dua orang kulit putih yang ikut menyambutnya. Konon kedua orang itu berasal dari Turki dan Italia.
Pada pertemuan kali ini Sultan Baabullah mengenakan pakaian kebesaran. Jasnya terbuat dari serat benang emas, dan sepatunya terbuat dari beludru merah yang disulam dengan benang emas. Dari pinggang ke bawah ia mengenakan kain bersulam emas, hiasan kepalanya bertatahkan emas selebar satu setengah inci. Di lehernya tergantung rantai emas murni yang besar-besar. Cincin di tangan kirinya bermata intan, batu zamrud, berlian merah delima, dan pirus. Sementara di tangan kanannya terdapat sebuah gelang yang ditabur dengan empat batu permata yang amat indah, dan di jari-jari tangannya terdapat cincin berbatu pirus yang besar dan indah, serta beberapa cincin intan permata lebih kecil yang ditatah dengan sangat indah. Di sebelah tempat duduk Sultan, berdiri seorang sahaya pemegang kipas yang tersulam dengan batu nilam.
Setelah Sultan Baabullah dan Francis Drake usai berunding, dihidangkan makanan dari sagu, nasi dengan lauk dari kambing, ikan bubara bakar, kepiting kenari dan ayam yang dimasak dengan ramuan cengkih. Francis Drake hanya membeli lima kwintal cengkih karena kapalnya telah sarat dengan barang- barang hasil rampokan dari kapal-kapal Spanyol yang ditemuinya dalam pelayaran. Ketika akan bertolak, Francis Drake berjanji akan kembali ke Maluku. Sultan Baabullah sempat menitipkan sepucuk surat untuk Ratu Inggris, Elizabeth I, yang isinya mengajak kerajaan Inggris bekerjasama dengan Kerajaan Ternate dalam bidang perdagangan, dan permintaan bantuan untuk mengusir Portugis.
Sejumlah besar juanga Kerajaan Ternate, termasuk milik kerajaan yang ditumpangi Sultan Baabullah ikut mengantar Drake hingga ke laut lepas. Tetapi, belum terlalu jauh meninggalkan Ternate, kapal Francis Drake diamuk topan. Untuk meringankan beban kapal, Francis Drake memerintahkan anak buahnya membuang sebuah meriam terbesar yang ada di kapalnya. Sultan Baabullah memerintahkan sebuah operasi penyelaman guna mengangkat meriam itu. Para penyelam Ternate akhirnya berhasil mengapungkan meriam itu, lalu ditarik ke darat dan ditempatkan di balik tembok Benteng Gamlamo.
Wafatnya Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate Menghadapi Koalisi Portugis dan Spanyol
Pada 1580, kerajaan Portugis dan Spanyol bergabung di bawah sebuah uni yang dipimpin Raja Spanyol. Spanyol sendiri, yang sejak 1521 bermitra dengan Tidore, berkeinginan kuat melenyapkan Sultan Babullah untuk membalas kekalahan Portugis. Setelah 1580, pasca Uni Spanyol-Portugal, Spanyol mengirimkan beberapa ekspedisi dari Manila salah satu pusat kekuasaannya di Timur untuk menaklukkan Benteng Gamlamo.
Spanyol mengirimikan ekspedisi pertama, di bawah pimpinan Francisco de Buenos. Ekspedisi ini berlangsung dari Maret hingga April 1582, dengan tujuan mengontrol kembali situasi militer di wilayah Kepulauan Maluku. Ekspedisi kedua, dipimpin Don Juan Ronquillo, meninggalkan Manila pada September 1582 dan kembali ke Tidore pada April 1583. Ekspedisi ini bertemu dengan pelayaran Duenas untuk memenuhi permintaan mendesak dari komandan Diego de Azambuja di Tidore yang mengajukan permintaan ke Manila. Ekspedisi ini tak menghasilkan apapun, selain membawa pulang sejumlah cengkih.
Pada tahun 1583, Gubernur Spanyol di Manila, Don Consalo Ronquillo, memutuskan menangkap hidup-hidup Sultan Babullah dan membangun kembali kekuasaan Uni Spanyol- Portugis di Maluku. Ia mengumpulkan para misionaris yang penah bertugas di Maluku untuk memperoleh informasi. Sebelum itu, ia mengirim Francisco de Duenas yang lancar berbahasa Melayu dengan menyamar sebagai pedagang Cina untuk mengumpulkan data-data intelijen.
Setelah semua data diperoleh, Ronquillo memberangkatkan 300 tentara Spanyol dibantu 1500 tentara Filipina yang berlayar dalam sebuah armada berkekuatan 15 kapal. Komandan armada di tangan seorang Portugis yang ambisius, Pedro Sarmiento. Sebagai konselor ditunjuk Paul de Lima, seorang peranakan Portugis berkulit hitam kelahiran Ternate yang fasih berbahasa Ternate dan Melayu. Setibanya di Ambon, armada yang berlayar di bawah bendera Portugis ini merekrut sejumlah orang Hitu.
Tidak berapa lama setelah Sultan Baabullah kembali dari Makassar, armada Portugis dengan kekuatan 15 kapal dan memuat sekitar 2000 pasukan campuran Spanyol-Filipina-Hitu telah berlabuh di pelabuhan Ternate. Dengan tipu daya dan kebohongan, pemimpin armada, Pedro Sarmiento, menyatakan bahwa kunjungan armadanya ke Ternate dari Ambon adalah untuk menjalin kembali persahabatan Ternate-Portugis dengan melupakan riwayat suram masa lalu. Ia mengundang Bab bertandang ke kapalnya dan Bab bersedia. Sementara itu 40 pemuda Hitu yang kekar dan kuat telah dipilih untuk menjebak Sultan Baabullah.
Ketika Sultan Baabullah dan pengiringnya berada di atas geladak, mereka diringkus dan dijebloskan ke dalam geladak paling bawah. Komandan armada memerintahkan seluruh kapal segera berangkat menuju Ambon. Sultan Babullah dan para bobatonya baru sadar bahwa mereka telah terjebak dan masuk perangkap Portugis. Dalam keadaan tak berdaya, Bab dan bobatonya serta 100 pengiring berada dalam tahanan Portugis. Dengan mata tertutup dan kaki dirantai, kapal berlayar menuju Ambon.
Sewaktu berlabuh di Ambon, ada beberapa orang Ternate naik ke kapal dan mencoba membebaskan Sultan Baabullah serta menghimbau agar ia mau melarikan diri. Tetapi, tawaran ini ditolak. Sumber-sumber berita tidak menjelaskan siapa yang ingin menyelamatkan Sultan Baabullah. Portugis sendiri merahasiakan sedemikian rupa, sehingga baik Salahakan maupun masyarakat Ternate di Ambon tidak mengetahui penahanan Sultan Baabullah. Setelah ditahan beberapa waktu di Ambon, Sultan Baabullah dibawa ke Malaka untuk selanjutnya ke Goa. Perlakuan buruk yang dialaminya selama masa tahanan menyebabkan Sultan Baabullah jatuh sakit dan meninggal pada 25 Mei 1583 dalam pelayaran antara Malaka-Goa. Mayatnya ditenggelamkan di laut antara Malaka dan Goa.
Kerajaan Ternate Setelah Meninggalnya Sultan Baabullah
Sebelum meninggal, Sultan Baabulah pernah berwasiat kepada saudaranya, kaicil Tolo, agar ia digantikan oleh putra keduanya yang paling ia sayangi yaitu Saiduddin Barakati atau Saidi, bukan digantikan oleh putera tertuanya Mandar Syah. Oleh sebab itu Saiduddin Barakati naik takhta sebagai Sultan Ternate berdasarkan wasiat dari Sultan Baabullah. Setelah naik takhta, Sultan Saidi melanjutkan konfrontasi Kerajaan Ternate terhadap Portugis dan Spanyol.
Portugis-Spanyol yang berharap akan adanya kesempatan untuk menguasai Kerajaan Ternate atas bantuan dari Kerajaan Tidore. Sultan Saidi kemudian mengirimkan pasukan untuk merebut Moti di mana Portugis-Spanyol melakukan ekspedisi ketiga pada bulan April 1584, dipimpin oleh Pedro Sarmiento. Pertempuran antara tentara Kerajaan Ternate dengan Portugis-Spanyol pun terjadi di Moti dengan kemenangan Portugis-Spanyol. Pulau Moti oleh Spanyol kemudian diserahkan kepada Kerajaan Tidore. Spanyol-Portugis kemudian mengirimkan 400 tentara untuk menyerang Benteng Gamlamo, namun usaha ini tidak berhasil. Ekspedisi Portugis-Spanyol ini pun berlayar kembali dalam bulan November tahun yang sama.
Setelah kekalahan di Moti, Sultan Saidi mendapatkan oposisi yang serius dari pamannya sendiri, Pangeran Tolo, saudara Sultan Baabullah yang berambisi atas takhta Kerajaan Ternate. Persaingan ini menjadi problematika yang pelik di samping menimbulkan konflik internal di Kerajaan Ternate, hal ini ditambah dengan keinginan Portugis-Spanyol atas wilayah Kerajaan Ternate yang juga mendapatkan bantuan dari Kerajaan Tidore. Celakanya, Pangeran Tolo menyurati dan mendesak Spanyol untuk melakukan penyerangan atas Kerajaan Ternate.
Mendapatkan dukungan dari internal Kerajaan Tidore membuat Gubernur Jenderal Spanyol di Manilla, de Vera mengirimkan ekspedisi yang dipimpin oleh Don Juan Marones. Ekspedisi ini mulai berlayar dari Manila pada bulan Maret 1585. Ketika ekspedisi ini mendekati Bacan, kapal-kapal mereka dihantam oleh angin topan yang menyebabkan beberapa kapal yang membawa perbekalan dan persenjatan serta sebagian besar tentara tenggelam.
Hanya sebagian kecil saja yang berhasil sampai di Kerajaan Tidore dan disambut oleh Pangeran Tolo beserta tokoh-tokoh oposisi Sultan Saidi beserta Sultan Tidore dan Bacan. Sisa-sisa pasukan Spanyol tetap memaksakan diri untuk menyerang Ternate, namun pasukan itu menemui kesia-siaan. Laksamana Don Juan Marones terpaksa menarik sisa pasukannya dan kembali ke Manila pada bulan Juni 1585.
Pada tahun 1591-1592 terjadi pertempuran di Benteng Gamlamo antara KKerajaan Ternate yang dipimpin Sultan Saidi menghadapi Pangeran Tolo yang dibantu oleh Kerajaan Tidore, Bacan dan Sulawesi Utara. Namun, serangan ini dapat dipatahkan oleh Sultan Saidi. Di sisi lain tentara Kerajaan Ternate yang berada di Ambon berupaya untuk merebut benteng Portugis, namun mengalami kegagalan yang memaksa tentara Kerajaan Ternate harus meninggalkan Ambon.
Pada tahun 1593, Gubernur Jendral Spanyol di Manilla de Vera, digantikan oleh Gomez Perez Das Marinas. Gubernur yang baru itu kemudian merancang sebuah ekspedisi yang terdiri dari 6 kapal layar dan mengangkut 2.000 tentara yang diantaranya 1000 orang tentara yang berasal dari Spanyol dan 1000 tentara Filipina. Armada ini berkumpul di Cebu, Filipina Selatan. Gubernur dan 80 staf berkebangsaan Spanyol, termasuk sejumlah bangsawan Filipina, naik ke kapal tempur yang semuanya akan berkumpul di Cebu. Sejumlah 250 orang Cina dipaksa ikut menjadi pendayung, dengan janji upah yang tinggi. Mereka berasal dari Kanton dan rata-rata berprofesi sebagai pedagang dan pengrajin.
Gomez Perez Das Marinas kemudian memimpin armada ini berangkat dari Cebu pada bulan Oktober 1593. Namun, sebelum armada itu meninggalkan perairan Filipina, orang-orang Cina yang dipaksa menjadi pendayung melakukan pembunuhan terhadap Gomez Perez Das Marinas dan 80 staf yang berasal dari Spanyol. Sehingga armada laut itu terpaksa kembali ke Manilla dan membatalkan ekspedisinya. Mendengar kematian Gubernur Jenderal Spanyol di Manilla, Gomez Perez Das Marinas, membuat Sultan Saidi menjadi percaya diri apabila menghadapi serangan dari Spanyol maupun Portugis.
Kedatangan Belanda ke Kepulauan Maluku: Kemunduran Kerajaan Ternate
Pada tahun 1588, Laksamana Jacob Corneliszoon van Neck tiba di Ternate dengan kapal Amsterdam dan Utrecht. Kedua kapal ini berada di Ternate dari akhir Mei hingga awal Juni 1588. Sultan Saidi bertemu dengan Jacob Corneliszoon van Neck dan berhasil memperoleh senjata yang ditukar dengan cengkih. Pada tahun 1598 Cornelis de Houtman memimpin ekspedisi dengan 22 kapal Belanda yang berhasil mendarat di Ternate.
Pada 8 Januari 1599, ekspedisi Belanda yang lain tiba di Ternate dengan kapal Zeeland dan Gelderland di bawah pimpinan Wijbrand van Warwijk dan Jacob Heemskerk yang datang dari Banten. Wijbrand Van Warwijk mengundang Sultan Saidi untuk datang ke kapalnya. Karena curiga dan takut terulang kembali musibah yang menimpa ayahnya, Sultan Babullah, Sultan Saidi menolak untuk datang. Tetapi setelah dijelaskan bahwa orang Belanda tidak akan melakukan tindakan pengecut seperti yang dilakukan Portugis, Sultan Saidi mau menerima undangan itu.
Sultan pun menemui Wijbrand van Warwijk tidak mau menaiki kapal Belanda. Sultan Saidi tetap berada di atas juanga Kerajaan Ternate. Sultan Saidi kemudian memberikan hadiah dua setengah pikul rempah-rempah yang ditukar dengan beberapa pucuk senjata. Setelah itu Sultan Saidi meninggalkan Wijbrand van Warwijk. Pada 15 Januari 1599, pertemuan antara keduanya pun kembali terjadi, namun, Sultan Saidi tetap tidak mau menaikki kapal Belanda. Ia kembali memerintahkan seorang juru bahasa untuk berbicara dengan Wijbrand van Warwijk. Barulah pada keesokan harinya Sultan Saidi mau menaikki kapal Belanda dengan ditemani oleh 3 orang bobato.
Pada 17 Januari 1599 Wijbrand van Warwijk mengunjungi istana Kerajaan Ternate dengan membawa beberapa potong kain laken, sebuah cermin besar dan beberapa pucuk senapan. Beberapa hari kemudian Sultan Saidi membalas kunjungan itu dengan memberikan 620 pon rempah-rempah dan di balas oleh Wijbrand van Warwijk dengan sejumlah barang pecah-belah. Sebuah perundingan kemudian pun terjalin antara Sultan Saidi dan Wijbrand van Warwijk di mana menghasilkan kesepakatan terkait dengan transaksi rempah-rempah. Sultan Saidi berhak menetapkan harga rempah-rempah dan di bayar tunai oleh Wijbrand van Warwijk tanpa menawarnya.
Pada 28 Juli 1599, Wijbrand van Warwijk kembali lagi ke Ternate dan sempat berunding dengan Sultan di atas kapal. Di dalam perundingan ini disepakati bahwa Wijbrand van Warwijk akan menempatkan 5 orang anak buahnya di Ternate untuk melakukan tukar-menukar barang dan rempah-rempah langsung kepada rakyat. Kelima orang itu dipimpin oleh Frank van der Does. Pada 19 Agustus 1599 Wijbrand van Warwijk menjemput anak buahnya dan kembali ke negerinya dengan muatan rempah-rempah.
Pada 2 Juli 1601, Jacob Corneliszoon van Neck tiba di Ternate dari Goa dengan 2 buah kapal: Amsterdam dan Gauda. Sultan Saidi sendiri sempat naik ke kapal untuk mengucapkan selamat datang. Bersama Sultan Saidi naik pula Frank van der Does dan 3 dari 5 agen Belanda yang ditugaskan Wijbrand van Warwijk tinggal di Ternate sejak 1599. Orang-Orang Portugis di Tidore berusaha untuk menerima Jacob Corneliszoon van Neck di Tidore. Namun, Jacob Corneliszoon van Neck menolaknya dengan alasan telah membuat janji dengan Sultan Saidi. Penolakan yang dilakukan oleh Jacob Corneliszoon van Neck menyebabkan kapal-kapal Portugis dilayarkan dari Tidore untuk menyerang kapal-kapal Belanda. Namun, serangan itu berhasil digagalkan oleh armada laut Belanda.
Pada 9 Juli 1601, Jacob Corneliszoon van Neck mengunjungi Sultan Saidi di istananya, untuk berpamitan. Sultan Saidi menghimbau Jacob Corneliszoon van Neck menunda kepulangannya sambil menunggu Wijbrand van Warwijk tiba, agar bersama-sama dapat menggempur Portugis di Tidore. Akan tetapi, Jacob Corneliszoon van Neck menyatakan bahwa ia tidak dapat menunda pelayarannya sampai Wijbrand van Warwijk tiba di Ternate. Pada 31 Juli 1601, Jacob Corneliszoon van Neck meninggalkan Ternate menuju Patani. Jan Pieterzoon bersama 4 kawannya ditunjuk sebagai agen yang tinggal di Ternate untuk membeli rempah-rempah.
Pada 7 Pebruari 1602, lima buah kapal Belanda (Gilderland, Zeeland, Utrecht, de Wachter dan sebuah kapal cepat berukuran kecil) tiba di Ternate. Armada ini dipimpin oleh Walfret Hermanzoon, tetapi tidak lama berada di Ternate karena peristiwa perampokan yang menimpa salah satu kapal mereka. Sebuah kapal kecil Portugis dengan memperalat orang-orang Tidore mendekati armada yang tengah berlabuh. Orang-orang Tidore itu lalu naik ke kapal Belanda dan merampok logistik berupa bahan makanan, tepung gandung, beras, anggur, minyak goreng, dan lainnya. Pada 7 Maret 1602, armada Belanda itu meninggalkan Ternate karena logistiknya telah menipis.
Pada 1602 ini, Sultan Saidi mengirimkan armada-armada yang terdiri dari 50 juanga dengan 800 prajurit pimpinan Kaicil Baba, salah seorang pamannya, untuk membantu masyarakat muslim Mindanao menentang Spanyol. Setelah serangkaian pertempuran terjadi, pasukan Ternate dan Melayu terpukul mundur. Armada Kaicil Baba akhirnya kembali ke Ternate. Tetapi ketika pasukan Melayu kembali lagi menghalau Spanyol, banyak orang Ternate menjadi relawan dan bergabung dengan pasukan Melayu.
Sementara itu, sebuah armada Spanyol pimpinan Juan Gallanato bertolak dari Manila di akhir 1602, dan pada Pebruari 1603 bertemu dengan armada Furtado di dekat Ternate. Tujuan Armada ini adalah menyerang benteng Gamlamo. Tetapi pasukan Ternate dengan bantuan Belanda berhasil menghalau armada Spanyol itu, dan Gallanato kembali ke Manila dengan tangan hampa. Ekspedisi Spanyol ini adalah yang keenam kalinya dengan tujuan merebut kembali Benteng Gamlamo.
Pada Juli 1605, tiba di Ternate sebuah kapal Inggris pimpinan Henry Middleton. Sebelumnya, kapal itu singgah di Makian dan membeli 16 ton cengkih. Transaksi ini mendapat reaksi keras terutama dari unsur-unsur VOC yang mulai eksis di Ambon. Henry Middleton adalah pedagang swasta (country trader) Inggris, yang datang membawa sepucuk surat dari Raja James. Isi surat itu meminta Sultan Saidi mengizinkan Inggris mendirikan pos dagangnya di Ternate.
Sultan Saidi tidak begitu memperhatikan pentingnya nilai pershabatan dengan Inggris ketimbang Belanda. Dalam jawabannya, Saidi menyatakan bahwa orang Inggris tidak pernah membantu Ternate melawan Portugis dan berbuat terlalu sedikit sejak Francis Drake mengunjungi negeri ini pada 1579. Pada saat itu, Sultan Babullah pernah menitipkan sebuah cincin untuk Ratu Elizabeth “untuk memperingati aliansi Ternate-Inggris”, tetapi Inggris tidak pernah mengirim bantuan. Karenanya, Saidi menyurati Pangeran Mauritius dari negeri Belanda untuk memohon izin mengirim produk negerinya dengan kualitas terbaik ke Belanda, “teman dan pembebasnya”, sebagai penukar pengiriman senjata yang tengah dinantikan.
Perang Kerajaan Ternate-Spanyol
Gubernur Jenderal Spanyol yang baru di Manila, Don Pedro da Cunha, telah lama mengamati kebijakan Sultan Saidi dengan orang-orang Belanda. Antara 1588-1602, Saidi telah menerima lima kunjungan armada Belanda, masing-masing dipimpin Laksamana Jacob Corneliszoon van Neck (1588), Cornelis de Houtman (1598), Wijbrand van Warwijk dan Heemskerk (1599), van der Hagen (1600), Jacob Corneliszoon van Neck (1601) dan Hermanzoon (1602). Gubernur Jenderal da Cunha menyimpulkan bahwa jika Belanda kembali lagi ke Ternate, Sultan Saidi akan meminta bantuan mereka untuk menggempur Spanyol di Tidore. Don Pedro Da Cunha akhirnya memutuskan menggempur Kerajaan Ternate dan menangkap Sultan Saidi.
Pada 26 Maret 1606 sebuah ekspedisi besar Spanyol tiba di Ternate dipimpin Gubernur Jenderal Spanyol di Filipina, Don Pedro da Cunha. Don Pedro da Cunha memimpin armada yang terdiri dari 36 kapal Spanyol-Portugis, 1423 tentara Spanyol, 344 pasukan orang-orang Tagalog dan Pampangan, 679 orang dari berbagai daerah di Filipina dan bangsa-bangsa lain, dan 649 pendayung Cina di mana semuanya berjumlah 3095 orang.
Pasukan besar ini menggempur tentara Kerajaan Ternate yang mempertahankan Benteng Gamlamo, dengan bantuan dari Tidore. Akhirnya, benteng itu jatuh ke tangan penyerbu dalam suatu pertempuran yang tidak seimbang. Walaupun benteng Gamlamo pada masa Sultan Baabulah telah diperkuat dengan tembok tinggi yang mengelilinginya, akan tetapi pasukan Spanyol dengan mudah dapat merebutnya. Sultan Saidi melarikan diri, mula-mula ke Jailolo lalu ke Sahu.
Pada 28 Maret 1606 pertahanan terakir Ternate di Takoma menyerah tanpa syarat. Otoritas Spanyol dan juga Sultan Tidore, menghimbau agar Sultan Saidi kembali ke Ternate untuk diberi perlindungan. Sultan Saidi menerima himbauan ini dan beberapa hari kemudian, kapal komando Don Pedro da Cunha membawa Saidi di Pelabuhan Talangame. Sultan Saidi kemudian disambut oleh Don Pedro da Cunha dan Sultan Tidore, Mole Majimu.
Sultan Saidi dan Mole Majimu serta Don Pedro da Cunha kemudian menyepakati sebuah perjanjian yang berisi;
1) Sultan Saidi menyerah kepada Spanyol dan Kerajaan Tidore;
2) Penyerahan Benteng Gamlamo dan kota Gamlamo;
3) Sultan Saidi menyerahkan seluruh penduduk dan pemukiman mereka, termasuk bekas Kerajaan Moro serta pulau Morotai dan Rao.
Pada 10 April 1606, tentara Spanyol di Ternate mulai mengibarkan bendera Spanyol di berbagai tempat di Ternate “atas nama yang Maha Mulia Raja Spanyol”. Dengan jatuhnya Ternate ke dalam kekuasaan Spanyol, mulailah proses pengambilalihan aset-aset penting milik Kerajaan Ternate.
Benteng Portugis dijadikan markas garnisun, dan pasukan ditempatkan di dalamnya. Gereja Sao Paolo direstorasi dan dikembalikan kepada Misi Jesuit untuk memulai kembali kegiatan mereka. Mesjid Raya Gamlamo dialihkan ke Misi Jesuit dan dijadikan biara. Namanya diganti dari Sigi Lamo (mesjid Agung) menjadi Biara San Francisco. Rumah adik perempuan sultan dinamakan San Augustin, dan rumah seorang bangsawan kaya diberi nama Santo Dominggo. Sultan Saidi dan para Sangaji dipaksa bersumpah tidak mengganggu atau mempersulit seorang Muslim yang akan menkonversi agamanya menjadi Kristen.
Dalam pasal-pasal Kapitulasi Ternate kepada Spanyol, yang ditandatangani pada Nopember 1606, Ternate setuju mengembalikan semua budak milik orang Portugis dan Spanyol yang telah menjadi Muslim dan melarang budak-budak beragama Kristen menjadi Muslim, sekalipun yang bersangkutan memintanya.
Memanfaatkan situasi dari ketidakberdayaan Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore menuntut dikembalikannya delapan desa di Pulau Makian yang sebelumnya telah direbut oleh Kerajaan Ternate (Sabale, Talafao, Tafasoho, Ngofabobawa, Bobawa, Tabalala, Lagona, dan Mogoe). Selain desa-desa itu, Don Pedro da Cunha memerintahkan 9 desa lainnya dibagi antara Ternate dan Tidore. Sultan Alauddin dari Kerajaan Bacan juga ikut protes dan minta Ternate mengembalikan Pulau Kayoa, Adoba, dan Bailoro, serta beberapa desa di Seram dan pemukiman Risabata, Balomata dan lainnya yang telah diambil oleh Kerajaan Ternate.
Don Pedro da Cunha khawatir akan adanya persekongkolan antara Sultan Saidi yang ditahan di sebuah rumah di Gamlamo dengan rakyat Ternate dan Belanda untuk bersama-sama menggempur Spanyol di Benteng Gamlamo. Don Pedro da Cunha akhirnya memutuskan untuk mengasingkan Sultan Saidi dan seluruh keluarganya ke Manilla. Sementara itu, untuk mengantisipasi adanya persekongkolan Sultan Saidi dengan rakyat Ternate dan Belanda, Spanyol memperkuat pertahanannya dengan menempatkan 600 tentara untuk mempertahankan Kota Ternate.
Pada Mei 1606, Sultan Saidi dan keluarganya naik ke kapal Patrona yang dipimpin oleh Kapten Villagra bersiap menuju Manilla. Sedangkan permaisuri Sultan Saidi, Celicaya, Jogugu Hidayat, Kapita laut Ali dan Kimalaha Aja menolak untuk menyerah kepada Spanyol. Dalam proses pengasingan Sultan Saidi, Kaicil Hamzah dan Kaicil Kafari ditugaskan oleh Spanyol untuk melaksanakan pengasingan ini. Keduanya sebenarnya masih merupakan keluarga dari Sultan Saidi, namun menurut Spanyol keduanya dapat diajak bekerjasama.
Penjajahan Spanyol di Ternate
Setelah Sultan Saidi menyerah dan diasingkan ke Manila, Spanyol dan pasukan koalisinya yakni Kerajaan Tidore, dikirim ke Pulau Halmahera untuk melakukan penaklukan selanjutnya. Mula-mula Gamkonora digempur, menyusul Bisoa, Galela, Pune, dan Mamuya. Penduduk negeri-negeri itu sebelumnya telah menganut agama Katolik di masa kekuasaan Portugis. Bersama penduduk Tolo dan Samafo, mereka mengirim utusan untuk menghormati ekspedisi Spanyol dengan musik, dan mengusung lambang perdamaian berwujud jantung pisang serta cengkih berwarna merah putih. Mereka mengutuk Sultan Saidi dan Sultan Babullah atas pemurtadan agama mereka. Mereka berjanji akan segera kembali ke agama Kristen.
Di luar Halmahera, pasukan koalisi menyerbu Mira di Morotai dan Pulau Dayan ditaklukkan oleh pasukan Kerajaan Tidore. Komandan ekspedisi Spanyol, Juan de Esquivel, mengirim utusan kepada petinggi wilayah-wilayah taklukan Kerajaan Ternate di Sulawesi Utara dengan membawa cinderamata sejumlah busana buatan Spanyol, dan mengumumkan kemerdekaan mereka dari Kerajaan Ternate. Juan de Esquivel juga menawarkan kepada daerah-daerah itu “perlindungan”. Setelah kembali dari Buol dan Toli-toli, utusan Spanyol menyampaikan sepucuk surat kepada Juan de Esquivel yang berisi permintaan penduduk agar kedua daerah itu dipersenjatai untuk melawan bajak laut Makassar.
Pada awal November 1606 Spanyol telah berhasil menganeksasi seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore pun telah mendapatkan beberapa wilayah yang memang menjadi keinginan mereka. Pada 27 November 1606 para petinggi Kerajaan Ternate menandatangani perjanjian dengan Spanyol yang sebelumnya telah diminta kepada Sultan Saidi setelah menyerah kepada Sultan Saidi yang semuanya berjumlah 10 pasal. Perjanjian antara Kerajaan Ternate dengan Spanyol antara lain:
- Mengakui Raja Spanyol sebagai junjungan mereka;
- Spanyol akan memperoleh sepertiga dari semua upeti yang biasa diterima Sultan Ternate, dan dua per tiga sisanya menjadi hak para bobato;
- Tunduk tanpa syarat kepada pemerintah Spanyol di Ternate;
- Tidak melakukan hubungan dagang dengan siapapun tanpa ijin dari Spanyol;
- Tidak memberikan bantuan kepada pemberontak pribumi yang melawan Spanyol;
- Mengembalikan semua emas, perak, dan perhiasan serta benda-benda keagamaan lainnya kepada Spanyol;
- Tidak akan memaksa seorang Kristen, termasuk budak, beralih ke agama Islam;
- Anak negeri dilarang berperang antara sesamanya;
- Dilarang berbicara dan berdagang dengan orang Belanda;
- Mengumumkan semua ketentuan di atas kepada rakyat kawula Ternate baik di pusat maupun di daerah-daerah seberang laut.
Perjanjian tersebut merupakan kemenangan besar Spanyol atas Kerajaan Ternate pasca penyerbuan benteng Gamlamo. Pada tanggal 10 April 1606, Spanyol mengibarkan benderanya pada beberapa daerah, dan “atas nama Sri Paduka Raja Spanyol, Ternate diambil alih.” Setelah disepakatinya perjanjian tersebut dan diasingkannya Sultan Saidi ke Manilla, maka Sultan Mudaffar diangkat menjadi Sultan Kerajaan Ternate.
VOC Melawan Spanyol di Ternate
Pada saat penyerbuan Spanyol atas ibukota Gamlamo terdapat 2 orang bobato Ternate yang berhasil meloloskan diri, masing-masing Jogugu Hidayat dan Kapita Laut, Kaicil Ali. Jogugu Hidayat memerintahkan Kaicil Ali (ketika itu baru berumur 20 tahun), dengan ditemani Kimalaha Aja segera berangkat ke Banten untuk meminta bantuan Belanda. Kaicil Ali berhasil menemui Laksamana Matelief de Jonge pada bulan Desember 1606 dan meminta bantuan VOC untuk menyingkirkan Spanyol dari Ternate. Kaicil Ali juga membeberkan tentang penangkapan dan pengasingan Sultan Saidi Ke Manilla.
Laksamana Matelief de Jonge menyetujui permintaan bantuan Kaicil Ali dengan beberapa syarat yang akan dirundingkan setelah armada Belanda tiba di Ternate. Pada 29 Maret 1607, Matelief de Jonge dan Kaicil Ali berangkat dari Banten menuju Banten. Ketika sampai di Ambon VOC mengajukan beberapa syarat kepada Kaicil Ali yang disetujui;
1) Pemberian hak monopoli terhadap perdagangan rempah-rempah;
2) Penyediaan sejumlah pasukan tempur;
3) Izin mendirikan benteng dan pemukiman bagi penduduk Belanda;
4) Kerajaan Ternate menanggung seluruh biaya perang.
Pada akhir bulan April 1607 sebuah armada Belanda terdiri 7 buah kapal dan 2 kapal pemburu, berikut 530 tentara Belanda dan 50 serdadu Ambon, bersama Laksamana Matelief de Jonge dan Kaicil Ali menuju Ternate dari Ambon. Armada ini tiba di Ternate pada 13 Mei 1607. Sebelumnya, Laksamana Matelief de Jonge meminta informasi Kaicil Ali tentang jumlah pasukan Spanyol yang ada di Ternate berikut seluruh pasukan Kerajaan Ternate yang ada. Menurut Ali, jumlah tentara Spanyol di Benteng Gamlamo kira-kira 600 orang, sementara pasukan Kerajaan Ternate sendiri sekitar 1000 personil. Matelief de Jonge agak kecewa setelah mengetahui bahwa pasukan Spanyol berjumlah lebih dari 1000 orang dan pasukan Kerajaan Ternate sendiri hanya berjumlah 300 orang.
Mengetahui bahwa kekuatan pasukan Spanyol melebihi perkiraan sebelumnya, Matelief de Jonge meminta kepada jogugu Hidayat agar mengerahkan orang-orang Ternate dan Jailolo untuk membangun benteng. Pembangunan benteng itu dilakukan setiap hari tanpa henti. Setelah benteng itu selesai, kemudian diberi nama Benteng Melayu yang kemudian nanti nama benteng itu diubah menjadi Benteng Oranje. Matelief de Jonge kemudian meminta agar Sultan Mudaffar yang sedang melarikan diri ke Jailolo untuk kembali pulang dan menandatangani perjanjian yang telah dibuat antara VOC dengan Kaicil Ali.
Pada 26 Juni 1607 ditegaskan kembali perihal perjanjian antara Kerajaan Ternate dengan VOC yang berisi:
- Belanda berkewajiban membantu Kerajaan Ternate mengusir Spanyol dan diberi wewenang penuh untuk mengatur perencanaan dan pelaksanaannya. Semua biaya perang akan ditentukan besarnya oleh Dewan Hindia dan akan dibebankan kepada Kerajaan Ternate;
- Garnisun Belanda yang dibentuk akan ditempatkan dalam daerah kekuasaan Kesultanan dan akan dibiayai oleh Kesultanan;
- Belanda berjanji akan melindungi kawula Kerajaan Ternate, baik yang ada di Ternate maupun di daerah seberang laut yang masuk ke dalam lingkup kerajaan seperti Buru, Kambelo, Ruhu, Mau, Sangir Talaud, Moro, dan Mindanao, serta mencegah agar rakyat Ternate tidak memberikan kepatuhannya kepada Spanyol;
4. Kerajaan Ternate tidak akan menjual rempah-rempahnya kepada bangsa manapun atau kepada siapapun, kecuali kepada Belanda; - Tanpa persetujuan kedua belah pihak, tidak boleh diadakan perdamaian dengan Spanyol, termasuk Kesultanan Tidore;
- Belanda diizinkan membangun benteng di dekat perkampungan Melayu.
Setelah Sultan Mudaffar tiba dan menandatangani perjanjian itu, VOC segera membangun pemukiman mereka yang diberi nama Willemstad (Takoma). Benteng Melayu kemudian diperkuat oleh 150 tentara VOC. Pada tahun 1608 VOC mengangkat Paulus van Caerden sebagai Gubernur Jenderal di Ternate. Setelah Paulus van Caerden tiba di Ternate, ia mengubah nama Benteng Melayu menjadi Benteng Oranje. Paulus van Caerden tidak pernah melakukan serangan sama sekali terhadap Spanyol, melainkan lebih berkonsentrasi terhadap praktik monopoli atas perdagangan rempah-rempah.
Selama enam bulan VOC dan Kerajaan Ternate yang melakukan persiapan di Benteng Melayu telah bersiap untuk menghadapi Spanyol. VOC dan Kerajaan Ternate tidak langsung menyerang Benteng Gamlamo, namun memilih untuk menyerang Bacan, Tidore dan Makian yang menjadi pusat konsentrasi Spanyol di luar Pulau Ternate. Serangan itu dimulai pada 25 Juni 1608 yang dipimpin langsung oleh Paulus van Caerden dengan kekuatan 70 tentara menyerang Makian dan dibantu oleh sebagian besar tentara Kerajaan Ternate.
Meskipun Makian berhasil dikuasai, pasukan bantuan VOC yang datang dari Ternate untuk memperkuat Makian pada 3 Agustus 1608 mendapati Paulus van Caerden telah tertangkap oleh Spanyol dan dibawa ke Benteng Gamlamo. Beberapa hari kemudian Paulus van Caerden dibebaskan dan langsung berangkat menuju Banten.
Pada 22 September 1609, Laksamana Simon Janszoon Hoen memimpin pasukan koalisi VOC-Ternate untuk menggempur kekuatan Portugis-Spanyol di Tidore. Simon Janszoon Hoen membawa dua buah juanga Kerajaan Ternate dengan mayoritas pasukan berasal dari Kerajaan Ternate. Namun, serangan ini berhasil dikalahkan oleh pasukan koalisi Spanyol-Tidore dan memaksan Simon Janszoon Hoen kembali ke Ternate.
Setibatnya di Ternate, Simon Janszoon Hoen didesak oleh jogugu Hidayat (Mangkubumi Ternate) untuk menyerang Bacan yang ditujukan langsung pada ibukota Bacan di Labuha. Akan tetapi, setelah adanya perbincangan antara Simon Janszoon Hoen dengan adik Sultan Bacan, penyerangan itu tidak jadi dilakukan, namun VOC diperbolehkan merenovasi dan menggunakan benteng peninggalan Portugis di Bacan yang kemudian oleh Simon Janszoon Hoen diubah namanya menjadi Benteng Barneveld. Setelah renovasi benteng selesai, terjadi kesepakatan antara VOC-Ternate-Bacan yang tidak akan saling serang dan berupaya mengusir Spanyol dari daerah mereka masing-masing.
Pada tahun 1610, Sultan Mudaffar dilantik sebagai Sultan Ternate ke-9 atas desakan VOC kepada Dewan Kerajaan Ternate. Karena usia yang masih belia, ia belum dapat menjalanan kekuasaannya secara penuh. Menurut keputusan Dewan Kerajaan, ia harus didampingi sebuah komisi yang terdiri dari delapan orang (Komisi Tufkange), dan dipimpin seorang Belanda bernama Gerard van der Buis. Jogugu Hidayat dan Kapita Laut Kaicil Ali, termasuk ke dalam keanggotaan komisi ini. Sultan Mudaffar lebih senang tinggal di Benteng Oranje dibandingkan dengan istananya sendiri, hal ini dilakukan karena dirinya khawatir akan adanya pengkhianatan.
Pada bulan Maret 1610 Don Jeronimo de Silva, komandan militer Spanyol di Benteng Gamlamo memerintahkan pasukannya menyerbu Bacan. Ibukota Labuha mulai ditembaki oleh kapal-kapal Spanyol, namun pasukan koalisi VOC-Ternate-Bacan berhasil memaksa Spanyol kembali ke Benteng Gamlamo. Setelah berhasil menghalau serangan Spanyol, pasukan koalisi VOC-Ternate-Bacan menuju Pulau Makian dan berhasil mengusir Spanyol dari pulau itu. Setelah berhasil menguasai sebagian Pulau Makian, VOC membangun tiga buah benteng untuk memperkuat posisinya di pulau itu.
Spanyol yang gagal menyerang Bacan dan terusir dari Makian, mengarahkan perhatiannya ke Jailolo. Spanyol kemudian menyerang Jailolo pada tahun 1611. Penyerangan ini berhasil dan menyebabkan Sultan Jailolo harus mengungsi dan tinggal di Ternate. Pada tahun 1620 Jailolo dapat direbut oleh Kerajaan Ternate atas bantuan VOC. Setelah Ternate menguasai Jailolo, penduduk Moro dipindahkan ke Jailolo untuk mengatasi berkurangnya jumlah penduduk di Jailolo yang terjadi setelah ekspansi Portugis ke Jailolo pasca Kolano Katarabumi.
Pada bulan April 1627, VOC dan Sultan Mudaffar mengerahkan tentaranya untuk mengusir Spanyol dan Kerajaan Tidore dari Makian. Peperangan di Makian ini berhasil mengusir Spanyol dan Tidore atas monopoli mereka di Pulau Makian. Setelah perang di Makian, Sultan Mudaffar meninggal pada 16 Juni 1627 berbarengan dengan kematian ayahnya Sultan Saidi yang diasingkan di Manilla.
Kerajaan Ternate di bawah Kepemimpinan Sultan Hamzah
Kaicil Hamzah, putra Sultan Saidi yang sudah tinggal sejak Februari 1627 mendengar kematian Sultan Mudaffar, mendesak Dewan Kerajaan Ternate menobatkan dirinya sebagai sultan pengganti Sultan Mudaffar. Selama di Benteng Gamlamo, Hamzah diajari oleh Pastor Don Pedro da Cunha sebab Hamzah telah mengkonversi kepercayaannya menjadi penganut Katolik. Desakan Hamzah kepada Dewan Kerajaan Ternate ditolak, sebab Hamzah bukanlah seorang muslim di mana mustahil suatu Kerajaan Islam dipimpin oleh seorang yang bukan muslim.
Setelah ditolak, Hamzah kemudian berjanji untuk kembali ke agama Islam, namun Gubernur VOC di Ternate, Le Fabre menganggap pelantikan Hamzah adalah suatu hal yang tidak masuk akal sebab pernah murtad dan tidak didukung oleh rakyat banyak, bahkan sangaji Makian, Gamkonora dan Sahu menolak pelantikan Hamzah. Pendukung utama Hamzah, Hukum Soasio menakut-nakuti keluarga kerajaan dengan mengatakan apabila Hamzah tidak dilantik, maka ia akan kembali ke Manilla dan mengerahkan pasukan Spanyol untuk menyerbu Ternate. Karena khawatir akan serangan yang terjadi pada tahun 1606 kembali lagi, dan melihat VOC belum mampu menyingkirkan Spanyol dari Ternate, Dewan Kerajaan Spanyol akhirnya menyetujui pelantikkan Hamzah dengan syarat dukungan VOC juga sangat diperlukan.
Gubernur Jenderal Spanyol di Manilla berharap bahwa Hamzah akan membantu Spanyol, sehingga memberikan dukungan penuh kepada Hamzah. Namun, setelah pelantikannya, Hamzah lebih banyak memberikan dukungan bagi VOC dibandingkan kepada Spanyol. Hal ini terbukti pada bulan April 1628 Hamzah mengirim perintah kepada salahakan Lelitao di Ambon agar semua pejabat Kerajaan Ternate di sana melarang rakyat menjual rempah-rempah kecuali kepada VOC.
Setelah dilantik menjadi Sultan Kerajaan Ternate yang baru pada tahun 1627, Hamzah harus melakukan penaklukan di daerah-daerah seberang laut yang berupaya merongrong otoritas Kerajaan Ternate. Di Banggai dan Buton, Kerajaan Makassar mulai menunjukkan ancamannya, di Sula dan Seram mulai muncul pemberontakan. Oleh sebab itu, Sultan Hamzah memerintahkan kepada Kapita Laut Ali melakukan ekspedisi dengan kekuatan 27 juanga dan dilengkapi dengan 1500 tentara. Namun, ekspedisi Kapita Laut Ali membawa hasil yang sangat minim, otoritas Kerajaan Ternate belum dapat secara maksimal dipulihkan. Pada tahun 1632 Kapita Laut Ali yang sedang berada di Buton meninggal karena menghadapi ekspedisi Kerajaan Makassar.
Pemberontakan di Seram dan pergolakan di pantai timur Sulawesi tidak dapat diatasi oleh Sultan Hamzah. Hal ini menuai banyak kritik terhadap pemerintahannya yang dinilai mulai otoriter dan mengabaikan para bobato. Pada Januari 1634, Kaicil Sibori Laksamana dikirim oleh Sultan Hamzah ke Ambon untuk menjabat sebagai sadaha dan berunding dengan Gubernur VOC di Ambon untuk menyelesaikan permasalah perdagangan illegal yang dilakukan oleh para pedagang, terutama pedagang Jawa, Makassar dan Melayu yang selalu dikeluhkan oleh VOC kepada Kerajaan Ternate. Namun, perundingan ini tidak membawa hasil yang maksimal.
Pada tahun 1641, salahakan Luhu dengan bantuan dari Kerajaan Makassar sekitar 1200 tentara mulai menggempur pos-pos VOC di Hoamoal. Kerajaan Makassar berupaya untuk mematahkan monopoli VOC atas produksi rempah-rempah. Selain bantuan dari Kerajaan Makassar, Luhu mendapat bantuan dari Kapita Hitu, Kakiali. Sultan Hamzah kemudian menyurati Gubernur VOC di Ambon, Demmer untuk membunuh salahakan Luhu beserta keluarganya serta menyurati para sangaji di Hoamoal agar tidak mendukung tindakan salahakan Luhu. Pada 16 Juni 1643 salahakan Luhu dieksekusi di depan Benteng Victoria. Setelah eksekusi salahakan Luhu, Tulukabessy dan Kakiali yang mendukung Luhu berhasil dibunuh dan menyebabkan perlawanan berhenti pada tahun 1646.
Setelah eksekusi Luhu, Sultan Hamzah mengangkat Majira sebagai salahakan. Pada tahun 1644-1648 dukungan terhadap Sultan Hamzah semakin merosot, hal ini berawal dari ketidakmampuan Sultan Hamzah menyelesaikan masalah Hoamoal dan Hitu serta banyak daerah seperti di Gorontalo, Sula dan Talibu serta beberapa wilayah di timur Sulawesi yang tidak tersentuh dan akhirnya dikuasai oleh Kerajaan Makassar. Pada bulan Mei 1648 Sultan Hamzah meninggal dan mewarisi hutang sebanyak 12.000 ringgit kepada VOC. Kedudukannya sebagai sultan digantikan oleh Mandar Syah, Putera Sultan Mudaffar.
Kerajaan Ternate di Bawah Kepemimpinan Sultan Mandar Syah
Pada 6 Juni 1648, Mandar Syah dilantik sebagai Sultan Ternate ke-11 menggantikan Sultan Hamzah. Pada bulan Juni 1650, Sultan Mandar Syah yang baru 2 tahun berkuasa, menyurati kepada Gubernur VOC di Ambon yang berisikan kesediaannya melepaskan beberapa negeri di Seram seperti Kaibobo, Elepaputi, Amahai, dan Makariki kepada VOC. Gubernur Ambon sangat menghargai kebijakan ini, tetapi di Ternate sendiri muncul reaksi keras, karena Mandar Syah bertindak secara otoriter dan mengambil keputusan tanpa sepengetahuan para hukum dan bobato.
Sejumlah petinggi kerajaan dan keluarga istana seperti Jogugu Kaicil Musa, Kapita Laut Kaicil Saidi dan kalangan bangsawan Tomagola, di antaranya Marafaula, Hukum Tua Laulata dan Salahakan Sula Terbilo, termasuk Salahakan Majira dan adik Sultan Mandar Syah sendiri, Kaicil Manila menolak kebijakan tersebut. Penolakan ini telah menimbulkan ketegangan yang menyebabkan kerusuhan.
Di dalam kerusuhan ini Mandar Syah bersama pemaisuri dan anak-anaknya melarikan diri dan minta perlindungan kepada Belanda. Ia ditempatkan di dalam benteng Oranje yang dikawal sekitar 100 orang. Pengawal yang demikian banyak menimbulkan kesulitan bagi komandan benteng Oranje dalam memberikan makan dan fasilitas lainnya. Yang sangat menjengkelkan petinggi VOC dalam benteng, ialah tabiat para pengawal Mandar Syah yang suka “mengambil” barang penghuni benteng lainnya.
Pemerintahan Sultan Mandar Syah dapat dikatakan sebagai pemimpin yang telah kehilangan kebebasan dan keberanian. Sebab Sultan Mandar Syah sangat bergantung pada VOC di mana hal ini nampak pada upaya-upaya menyelesaikan permasalahan yang berada di internal Kerajaan Ternate sangat dicampuri oleh VOC. Selain itu permasalahan yang terletak diluar Pulau Ternate seluruhnya diserahkan kepada VOC. Dengan begitu, maka Kerajaan Ternate dapat dikatakan tidak memiliki otoritasnya lagi sebagai kekuatan politik.
Praktik Monopoli VOC di Ternate
Memasuki tahun 1652 harga rempah-rempah di pasar internasional mengalami penurunan tajam. Untuk menaikkan kembali harga rempah-rempah, produksi harus dikurangi dan pohon-pohon cengkih harus ditebang. Pohon-pohon yang akan ditebang adalah yang terdapat di Maluku, kepulauan Seram dan Buru yang selama ini selalu diganggu para penyelundup dan hak-hak monopoli VOC seringkali dilanggar. Yang tidak dikenakan eradikasi hanyalah pohon-pohon cengkih yang tumbuh di Pulau Ambon dan Seram.
Untuk menjalankan rencana pendongkrakan harga cengkih, VOC berunding dengan Sultan Mandar Syah. Pada awal 1652, sebuah perjanjian berhasil disepakati yang berisi bahwa Sultan Mandar Syah mengizinkan VOC melakukan eradikasi pohon cengkih, dan sebagai kompensasinya Sultan Mandar Syah akan menerima recognitie penningen (pembayaran untuk suatu pelayanan yang pasti) yang besarnya disepakati, sementara rakyat pemilik pohon cengkih yang ditebang memperoleh ganti rugi yang amat kecil dan merugikan.
Kebijakan eradikasi pohon cengkih mempunyai akibat luas pada rakyat di pulau-pulau penghasil utama cengkih, seperti di Pulau Moti, Makian, Bacan, Ternate, dan Tidore. Di daerah-daerah ini mulai timbul apatisme. Rakyat Makian mengganti pohon-pohon cengkih mereka yang ditebang dengan kenari. Para bobato yang juga pemilik pohon-pohon cengkih yang selama ini menjual hasilnya sendiri, kini ditugaskan berlayar dari pulau ke pulau mengawasi penebangan pohon-pohon cengkih melalui kebijakan hongi tochten. Para bobato akan disalahkan apabila ada pohon cengkih yang tidak ditebang.
Selain memperoleh recognitie penningen, Sultan Mandar Syah juga memperoleh bonus berupa bahan pakaian dan perhiasan yang mahal. Sementara recognitie penningen yang semestinya diterima para bobato secara tunai, diganti Sultan atau petinggi istana dengan pemberian pakaian model India, perhiasan dan barang pecah belah lain yang harganya jauh di bawah jumlah yang semestinya diterima. Pendapatan para Bobato sebelum dan sesudah penebangan pohon-pohon cengkih menjadi amat merosot. Hal ini menyebabkan para bobato lebih banyak bergantung pada sultan dan kerajaan.
Pada bulan November 1651, Arnold de Vlamming tiba di Ternate dan mengajak Sultan Mandar Syah beserta sejumlah petinggi kesultanan ke Batavia. Rombongan ini tiba pada bulan Desember 1651. Karena kunjungan Sultan Mandar Syah ini adalah yang pertama, ia disambut penuh kehormatan. Sultan Mandar Syah memperoleh penghormatan militer ketika memasuki gerbang Benteng Batavia. Dengan didampingi Kaicil Kalamata, Mandar Syah kemudian berunding dengan Gubernur Jendral VOC, Karel Reinierszoon, dan anggota Dewan Hindia.
Pada 31 Januari 1652, suatu perjanjian antara Kerajaan Ternate dan VOC yang berisi:
- Kerajaan Ternate tidak boleh lagi mengangkat Salahakan baru untuk kawasan Hoamoal, dan sejak perjanjian ini ditandatangani, wilayah tersebut langsung berada di bawah pemerintahan VOC di Ambon.
- Sultan Ternate memberi izin kepada VOC untuk menebang semua pohon cengkih yang terdapat dalam wilayah kesultanan Ternate, termasuk di Hoamoal dan pulau-pulau sekitarnya.
- VOC akan membayar ganti rugi setiap tahun kepada Sultan dan pejabat-pejabat kesultanan Ternate, dengan rincian sebagai berikut: a. Untuk Sultan: 2000 ringgit; b. Kaicil Kalamata: 500 ringgit; c. Para pembesar kesultanan sebesar 1500 ringgit (dibagi rata di antara mereka); d. Para sangaji Makian sebesar 500 ringgit (dibagi rata di antara mereka).
- Kompeni akan melakukan pelayaran untuk menebang pohon-pohon cengkih, dan sebagai ganti rugi Kerajaan Ternate akan memperoleh 12.000 ringgit tiap tahun
- Pulau Moya dan Tofure akan dikembalikan kepada Kesultanan Ternate.
Penandatangan perjanjian ini dari pihak Kerajaan Ternate adalah Sultan Mandar Syah, Sangaji Malayu Tamim Amsara, dan perwakilan Makian, masing-masing Sangaji Tahane oleh Tomi, Sangaji Moti oleh Tulaba, dan Sangaji Dowora oleh Jani Sopi Sawahi. Dari pihak VOC adalah Yan Maatsuiker, Gerard Demmer, Carel Haitsink, dan Arnold de Vlamming. Sementara dari Dewan Hindia adalah Cornelis Caesar dan Willem Verstigen. Selain menandatangani perjanjian dengan VOC, Sultan Mandar Syah juga menurunkan Kaicil Kalamata sebagai raja Kerajaan Jailolo.
Di sisi lain, Pulau Buton yang secara de facto merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Ternate mulai terancam dengan ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Makassar. Meskipun Sultan Mandar Syah dan VOC tiba di Buton dalam perjalanan pulang ke Maluku, nyatanya tidak lama Sultan Mandar Syah meninggalkan Buton dan membiarkan Kapita Laut Saidi berjuang sendirian melawan pasukan Kerajaan Makassar. Hal ini menyebabkan jatuhnya Pulau Buton ke tangan kerajaan Makassar
Perlawanan Kerajaan Ternate terhadap VOC
Pertentangan yang diawali dengan datangnya Gubernur Adriaen Maertenszoon Block yang mendirikan landraad leitimor pada tahun 1615. Gubernur Adriaen Maertenszoon Block merupakan orang VOC yang melanggar isi perjanjian yang telah dibuat antara VOC dan rakyat Kerajaan Ternate. Di daerah Hoamoal yang merupakan daerah kekuasaan Ternate dia menggempur habis kota pelabuhan tersebut karena rakyat didaerah itu ingin melepaskan hubungannya dengan Inggris.
Dengan maksud mencegah perdagangan gelap, Adriaen Maertenszoon Block membangun benteng di Hoamoal. Apa yang dilakukan VOC mengakibatkan kekacauan di Maluku. Para sangaji menjadi saknsi dengan kemampuan Gimelaha Sabodin dalam menghadapi VOC. Gimelaha Sabodin pernah menandatangani suatu perjanjian dengan pihak VOC yang isinya mencegah pembajakan di laut sekitar Pulau Seram. Untuk mengatasi keadaan ini, kemudian Sultan Ternate mengirim surat melalui temannya yang bergabung dengan armada VOC yang isinya meminta agar penduduk Hoamoal dan sekitarnya tetap setia dan taat kepada Sabodin.
Tindakan yang dilakukan VOC ternyata tidak menyelesaikan masalah, karena di satu pihak rakyat merasa dipaksa, dilain pihak VOC tidak dapat mempertahankan paksaan itu untuk jangka waktu yang lama. Bahkan muncul protes dari Gimelaha-gimelaha antara lain Gimelaha di Gamsangi yang menyatakan bahwa VOC telah melanggar wewenang yang telah ditetapkan sendirin dalam perjanjian-perjanjian yang telah dibuat. Menghadapi situasi yang dilematis tersebut akhirnya Kesultanan Ternate membuat keputusan yang isinya menyatakan bahwa semua yang beragama islam harus taat kepada penguasa yang beragama Islam yaitu Suktan Ternaten sedangkan penduduk yang beragama Kristen harus mengakui kekuasaan VOC.
Masalah ini berkembang menjadi berlarut-larut karena masing-masing pihak bertahan pada pendiriannya. Kedua belah pihak yang bertikai yaitu VOC (Belanda) dengan rakyat Ternate akhirnya membawa masalah ini kepada Gubernur dan Sultan Ternate yang pada waktu diperintah oleh Sultan Hamzah. Sultan Hamzah menerapkan politik untuk tidak memusuhi VOC secara terbuka. Laksamana Kaicili Ali dikirim sebagai utusan Sultan Hamzah dalam upaya menyelesaikan konflik yang dihadapi VOC dan Ternate. Melalui suatu perundingan antara Sultan Ternate dengan Dewan Kerajaan tercapailah satu kesepakatan yang isinya adalah sebagai berikut:
a. Semua pertikaian dianggap telah selesai;
b. Monopoli Belanda diperkuat;
c. Pedagang-pedagang Makasar dianggap sebagai musuh bersama;
d. Orang-orang pelarian tidak boleh di-Islamkan atau di-Kristenkan tetapi harus diserahkan kembali kepada pihak yang bersangkutan.
Perlawanan-perlawanan tersebut berlangsung bahkan semakin berkobar. Tindakan-tindakan yang dilakukan Belanda lebih lanjut telah membangkitkan semangat rakyat untuk terus melakukan perlawanan. Pada tahun 1635 untuk memudahkan pengawasan dan mengontrol harga rempah-rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar-besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten, akibatnya rakyat mengobarkan perlawanan.
Pada tahun 1641, dipimpin oleh Raja Muda Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate-Hitu-Makassar menggempur kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
Pada tahun 1650 bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandar Syah yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Sultan Mandar Syah. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah Pangeran Saidi, Pangeran Majira dan Pangeran Kalumata. Pangeran Saidi adalah seorang Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan Kerajaan Ternate, Pangeran Majira adalah Raja Muda Ambon sementara Pangeran Kalumata adalah adik Sultan Mandar Syah.
Hasil perundingan Ternate dengan Gubernur Jendral VOC di Batavia yang dituangkan dalam pesetujuan tanggal 31 Januari 1652 tentang eradikasi pohon-pohon cengkih, ditolak oleh beberapa Sangaji Halmahera Utara sepanjang yang menyangkut daerah mereka. Para Sangaji yang menolak cukup banyak. Alasan penolakannya sederhana: mereka tidak dilibatkan dalam perundingan yang menghasilkan persetujuan itu. Mereka menuntut agar suatu perundingan bilateral yang menyangkut daerah mereka kembali dibuka dan pesertanya cukup antar para Sangaji itu dengan VOC, tanpa perlu melibatkan Sultan Ternate.
VOC terpaksa memenuhi tuntutan para Sangaji itu dan perundingan dilakukan langsung di Halmahera Utara. Para Sangaji yang ikut serta dalam perundingan itu adalah Sangaji Mamuya, Samafo, Kimalaha Cawu, Sangaji Tolo, Rao, Sopi, Mira, Sakita, Tohowafe, dan Jontolo. Sementara itu, para pemuka masyarakat Makian juga mempertanyakan hal serupa. Ketika Sultan Mandar Syah dan Arnold de Vlamming singgah sebentar di Makian dalam pelayaran dari Ambon ke Ternate, para pemuka pulau penghasil cengkih terbesar itu mendatangi Sultan Mandar Syah dan Arnold de Vlamming untuk meminta penjelasan lebih rinci tentang ganti rugi atas penebangan pohon cengkih mereka.
Sultan Mandar Syah maupun Arnold de Vlamming mengundang mereka ke Benteng Oranje di Ternate untuk memperoleh penjelasan. Pada 26 Juni 1655, suatu pertemuan berlangsung di benteng Oranje untuk menjelaskan secara rinci segala hal yang berkaitan dengan pejanjian 31 Januari 1652. Masalah harga cengkih juga dibahas dalam pertemuan itu, khususnya cengkih yang ditimbun rakyat sambil menunggu membaiknya harga.
Kapita Laut Saidi dan Salahakan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah dengan melakukan penyerangan terhadap pos-pos VOC dan membiarkan para pedagang Makassar memasuki wilayah Maluku Tengah. sementara Pangeran Kalumata bergabung dengan raja Kerajaan Makassar, Sultan Hasanuddin. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan Mandar Syah dari takhta dan mengangkat Sultan Manilha pada tahun 1650-1655 namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan.
Pada tanggal 22 Juli 1655 pasukan VOC kembali melakukan serangan terhadap benteng Asahude. Kali ini persiapan penyerangan lebih matang dan lebih besar. Pada malam hari pasukan VOC mendaki Gunung Asahude dimana benteng itu berada dan pagi harinya meriam-meriam VOC berhasil ditembakkan ke arah benteng. Pertempuran sengitpun terjadi antara pasukan rakyat dengan pasukan VOC. Dengan peralatan perang seadanya rakyat mempertahankan benteng mati-matian.
Akhirnya pasukan VOC berhasil merebut Benteng Asahude. Gimelaha Majira dengan segera mengosongkan benteng Asahude tersebut dan melarikan diri ke Makasar. Sementara itu Kapita Laut Saidi yang pada awalnya berhasil meloloskan diri kemudian di bawa ke hadapan Gubernur Devleming dan disiksa secara kejam hingga tewas. Pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan Mandar Syah dan hidup dalam pengasingan. Sedangkan para pejabat daerah lainnya ditangkap dan dibuang ke Batavia. Dengan jatuhnya benteng pertahanan terakhir ini maka kekuasaan VOC berhasil ditegakkan di Kerajaan Ternate. Sehingga Kerajaan Ternate secara umum jatuh dibawah kekuasaan VOC sejak tahun 1655 sampai 1790.
Kerajaan Ternate Setelah Pemerintahan Sultan Mandar Syah
Meskipun secara konstitusional Kerajaan Ternate telah berada di bawah kekuasaan VOC. Pada bulan Januari 1675 Sultan Mandar Syah wafat dan digantikan putera tertuanya, Kaicil Sibori Amsterdam yang bergelar Sultan Muhammad Nurul Islam atau Sultan Sibori berupaya untuk melepaskan Kerajaan Ternate dari kekuasaan VOC. Namun, hal ini menjadi sulit akibat sikap dan pikiran Sultan Sibori yang sering berubah-ubah.
Hal terburuk yang dikenang dari Sultan Sibori adalah sangat gembira melihat orang yang teraniaya dan bila perlu meregang nyawa. Ia menyuruh membangun sebuah bak air di depan istananya, dan menyuruh budaknya membenamkan orang yang tak disukainya ke dalam bak tersebut sampai mati. Ia seorang sultan yang selalu haus darah dan kejam terhadap istri-istrinya, dan memperlakukan mereka dengan sangat buruk. Hal serupa juga dilakukan terhadap rakyatnya.
Kerajaan Ternate di bawah kepemimpinan Sultan Sibori
Sultan Sibori yang baru dilantik setahun, mengirimkan utusannya ke Batavia untuk melakukan perundingan dengan VOC. Pada 12 Oktober 1676, suatu perjanjian yang sangat merugikan Ternate ditandatangani para utusan Ternate dengan Gubernur Jenderal Jan Maatsuyker. Pokok perjanjian itu menetapkan:
- Wilayah seberang laut KerajaanTernate di kepulauan Ambon digabungkan ke dalam provinsi;
- Akan diangkat penguasa-penguasa khusus di pulau Buru, Ambalau, Buano, dan Kelang.
Setelah meratifikasi pejanjian tersebut, Sibori memperoleh bintang penghargaan dari VOC. Namun, tidak disadarinya bahwa dengan perjanjian tersebut Kerajaan Ternate telah melepaskan seluruh kedaulatannya atas Maluku Tengah. Bermula dengan Seram, kini praktis Ternate kehilangan daerah taklukannya di seluruh Maluku Tengah.
Masalah lain yang menghadang Sibori adalah daerah seberang laut Ternate di Sulawesi Utara dan Tengah yang mulai bergolak. Di Kepulauan Sangir Talaud, Gorontalo, Limboto, Toli- toli, Jorobonto, Moutong, teluk Tamimi, Parigi, Kayali, serta lainnya di pantai timur dan utara Sulawesi otoritas Kerajaan Ternate mulai memudar. Sultan Sibori menyadari benar kasus ini, dan dia sendiri menghendaki agar peristiwa yang terjadi di Buton tidak terulang lagi.
Berdasarkan pada situasi itu, Sultan Sibori segera mendekati Gubenur Maluku, Padtbrugge, dan meminta bantuan VOC untuk memulihkan situasi di daerah- daerah tersebut. Sebagai argumennya, Sibori menunjuk pejanjian Ternate-Belanda tahun 1652 dan tahun 1676 di mana VOC berkewajiban membantu Kerajaan Ternate bila diperlukan. Padtbrugge dapat menerima alasan Sibori dan berjanji memberikan bantuan yang diinginkan, sebagai balas budi penyerahan wilayah Kerajaan Ternate di Maluku Tengah.
Dengan bantuan VOC, Kerajaan Ternate menyerang Gorontalo dan Limboto serta daerah- daerah pesisir timur Sulawesi untuk memulihkan loyalitas. Bahkan, pemulihan Sangir Talaud dilakukan sendiri oleh Sultan Sibori tanpa bantuan Belanda. Untuk sementara Kerajaan Ternate dapat berpuas diri karena berhasil memulihkan loyalitas daerah-daerah tersebut. Tetapi, loyalitas yang dipulihkan itu belum sekuat seperti pada masa pemerintahan Sultan Baabullah.
Sultan Sibori Melawan VOC
Pada 1680, Sibori mengutus Pati Lima ke Ambon dengan kuasa penuh. Pati Lima membawa surat edaran Sibori yang ditujukan kepada semua orang Islam di Ambon, Hitu, Buru, dan Manipa. Dalam surat itu, Sibori menyerukan agar kaum Muslimin di daerah-daerah tersebut, demi akidah, menyerbu dan membunuh orang-orang Belanda, terkecuali mereka yang bersedia menjadi kawula Kesultanan Ternate. Himbauan juga dikemukakan kepada para imam di negeri-negeri itu, salah satunya adalah Hasan Sulaiman, mantan imam dan tokoh masyarakat Hitu.
Beberapa waktu kemudian, Pati Lima bertemu dengan Hasan Sulaiman di Hitu untuk membahas seruan Sultan Sibori. Gubernur Ambon yang menerima laporan tentang surat edaran Sibori, segera mengambil tindakan memburu Pati Lima beserta pengikut-pengikutnya dan menangkap mereka. Pati Lima sendiri berhasil disergap dan ditangkap di negeri Hatuwane, di pulau Honimoa, dan langsung dikirim ke benteng Victoria di Ambon. Dari tangannya berhasil disita surat edaran Sultan Sibori. Setelah diinterogasi, Pati Lima mengakui bahwa misinya adalah membunuh orang-orang Belanda atas suruhan Sibori. Pati Lima kemudian diadili dan dijatuhi hukuman gantung. Akibat surat edaran Sultan Sibori, Gubernur Ambon memerintahkan semua keluarga Belanda yang berdomisili di Ambon mengamankan diri mereka dan di malam hari berlindung di Benteng Victoria.
Setelah misi Pati Lima terbongkar, para bobato Kerajaan Ternate merencanakan menyerah kepada VOC di Benteng Oranje. Mereka adalah Kaicil Alam, yang ketika itu menjabat Jogugu Kerajan Ternate, Kimalaha Marsaoli dan Boki Gamalama, istri Kaicil Alam. Setelah itu, tentara VOC kemudian menggempur istana Kerajaan Ternate dan melakukan perusakan terhadap apapun. Sultan Sibori kemudian kalah dan terpaksa menyingkir ke Kerajaan Jailolo.
Runtuhnya Kedaulatan Kerajaan Ternate
Setelah tidak berhasil memperoleh bantuan Sultan Mindanao, Sibori dan para bobatonya mulai berpindah-pindah tempat antara Jailolo dan Sahu. Orang-orang kepercayaannya ada yang mulai berkhianat dan menyeberang ke pihak Belanda. Belanda menjanjikan hadiah besar akan diberikan kepada yang menangkap Sibori hidup-hidup.
Upaya menangkap Sibori dalam keadaan hidup dapat dilakukan secara mudah berkat informasi para pengkhianat. Akhirnya, Sultan Sibori ditangkap pada suatu pagi ketika sedang mandi dan dipijat istrinya. Sultan dan permaisurinya, Mihir, ditangkap dan dinaikkan ke atas kapal Oranje yang langsung berangkat ke Batavia pada 30 Agustus 1681. Ia menjalani masa hukumannya di Batavia, sementara permaisurinya Mihir kembali ke Tidore. Kepergian Sibori ini diantar oleh Gubernur Padtbrugge.
Pada tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian dengan VOC yang berisi:
- Hak Gubernur VOC untuk duduk dalam Dewan Kerajaan Ternate.
- Semua eksekusi hukuman mati harus dengan persetujuan VOC
- Setiap pergantian sultan harus dengan persetujuan VOC.
Perjanjian 7 Juli itu intinya Kerajaan Ternate sebagai bagian dari Kerajaan Belanda. Dengan demikian, riwayat Kerajaan Ternate sebagai kerajaan yang berdaulat telah runtuh. Meskipun hanya sebagai simbol saja, bukan berarti para pemimpin Kerajaan Ternate selanjutnya tidak berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman Belanda.
Raja-Raja yang Memerintah di Kerajaan Ternate
- Baab Mashur Malamo (1257-1277)
- Jamin Qadrat (1277-1284)
- Komala Abu Said (1284-1298)
- Bakuku (1298-1304)
- Ngara Malamo (1304-1317)
- Patsranga Malamo (1317-1322)
- Sida Arif Malamo (1322-1331)
- Panji Malamo (1331-1332)
- Syah Alam (1332-1343)
- Tulu Malamo (1343-1347)
- Kie Mabiji/Abu Hayat I (1347-1350)
- Ngolo Macahaya (1350-1357)
- Momole (1357-1359)
- Gapi Malamo I (1359-1372)
- Gapi Baguna I (1372-1377)
- Komala Pulu (1377-1432)
- Marhum/Gapi Baguna II (1432-1486)
- Zainal Abidin (1486-1500)
- Bayanullah (1500-1522)
- Hidayatullah (1522-1529)
- Abu Hayat II (1529-1533)
- Tabariji (1533-1534)
- Khairun Jamil (1535-1570)
- Baabullah Datu Syah (1570-1583)
- Said Barakat Syah (1583-1606)
- Mudaffar Syah I (1607-1627)
- Hamzah (1627-1648)
- Mandarsyah (1648-1650)
- Manila (1650-1655)
- Mandarsyah/periode kedua (1655-1675)
- Sibori (1675-1689)
- Said Fatahullah (1689-1714)
- Amir Iskandar Zulkarnain Syaifuddin (1714-1751)
- Ayan Syah (1751-1754)
- Syah Mardan (1755-1763)
- Jalaluddin (1763-1774)
- Harunsyah (1774-1781)
- Achral (1781-1796)
- Muhammad Yasin (1796-1801)
- Muhammad Ali (1807-1821)
- Muhammad Sarmoli (1821-1823)
- Muhammad Zain (1823-1859)
- Muhammad Arsyad (1859-1876)
- Ayanhar (1879-1900)
- Muhammad Ilham/Kolano Ara Rimoi (1900-1902)
- Haji Muhammad Usman Syah (1902-1915)
- Iskandar Muhammad Jabir Syah (1929-1975)
- Drs. Haji Mudaffar Syah/Mudaffar II (1975-2015)
- Syarifuddin Bin Iskandar Muhammad Djabir Sjah (2016-2019)
Struktur Birokrasi Kerajaan Ternate
Diantara empat kerajaan (Jailolo, Bacan, Ternate dan Tidore) hanya Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore yang memiliki pengaruh penting dalam politik, ekonomi dan militer. Kerajaan Ternate berhasil menanamkan pengaruhnya terhadap Ambon dan bagian barat Pulau Seram. Pada abad ke-16 pengaruh Kerajaan Ternate terutama saat pemerintahan Sultan Khairun (1535-1570) dan putranya, Sultan Baabullah (1570-1583) berhasil melebarkan kekuasaannya dari Mindanao di utara dan Flores di Selatan.
Sultan Baabullah juga berhasil menguasai daerah Sulawesi Utara (Manado, Gorontalo dan Kepulauan Sangir Talaud) hingga pantai timur Sulawesi Tengah (Kayeli, Tobungku dan Banggai), Buton hingga Seram Barat dan Banda. Kerajaan Ternate juga berhasil memaksakan pengaruhnya atas wilayah kekuasaan Kerajaan Jailolo, Kerajaan Loloda dan Kerajaan Moro yang diakhiri dengan lenyapnya eksistensi dari ketiga kerajaan tersebut.
Di daerah Maluku, pada awal abad ke-16, menurut keterangan yang diberikan oleh Tome Pires, bahwa kerajaan terbesar di sana adalah Ternate dan Tidore dengan penduduk yang belum memeluk Islam. Walaupun demikian, disebutkan selanjutnya bahwa di sana sudah ada beberapa pedagang muslim di beberapa pelabuhan besar di beberapa kepulauan, seperti Salamon, Lontar, dan Komber. Disebutkan pula oleh Tome Pires bahwa Banda hanya sebuah kampung dan kepala sukunya disebut cabiles dengan pemerintahan yang dibantu oleh beberapa orang tua-tua di kampung.
Di beberapa kepulauan lain di Maluku, Tome Pires bertemu dan berbicara dengan pedagang-pedagang muslim yang bermukim di situ. Pires memperoleh keterangan bahwa daerah-daerah itu, terutama Ternate, telah memeluk agama Islam kira-kira 50 tahun yang lalu. Apabila merujuk pada kunjungan Tome Pires (1512-1515) kemungkinan agama Islam telah dianut oleh masyarakat ternate sekitar tahun 1460-an. Disebutkan bahwa raja Ternate adalah seorang muslim yang bernama Sultan Ben Acorala (Barbarosa menyebut dan Pigafetta menyebutnya raja Abuleis) sedangkan dalam transkripsi ke dalam bahasa Indonesia adalah Sultan Bayanullah.
Keterangan yang diberikan oleh Tome Pires diperkuat Antonio Galvao yang menyebutkan raja Ternate bernama Vongi menikah dengan seorang putri dari Patih Jawa dan kemudian menjadi seorang muslim. Anaknya, Boleif, menggantikan Vongi dan pada masa pemerintahannya, Fransisco Serrao tiba di Maluku bersama sembilan orang Portugis lainnya. Sebelum Vongi masuk Islam gelar yang dipakai adalah Kolano.
Tokoh bernama Vongi yang dimaksud oleh Tome Pires dan Antonio Galvao adalah Zainal Abidin, Putra Kolano Marhum (raja ternate). Zainal Abidin mulai berkuasa sejak 1486, Ketika diangkat sebagai raja Ternate, Zainal Abidin masih menggunakan gelar kolano, namun ia mengganti gelar itu dengan gelar “sultan”. Sehingga sejak saat itulah raja-raja Ternate mulai meninggalkan gelar kolano dan menggunakan gelar sultan.
Sistem penobatan raja di Maluku jika berdasarkan keterangan dari Antonio Galvao adalah bahwa raja Ternate yang pertama masuk Islam pada 1460 adalah Vongi. Di Ternate yang berhak naik tahta apabila ada pengangkatan raja adalah putra raja yang tertua dan berasal dari permaisuri. Keterangan selanjutnya dari Antonio Galvao mengenai pengangkatan raja;
“Sang pangeran pada saat penobatannya memakai pakaian yang terbagus yang ia miliki, lalu dengan mahkota emas di kepalanya duduk di singgasana dengan pengiringnya yang selalu siap mengawal. Di pintu gerbang pun ditempatkan pengawal yang berpakaian perang. Para bangsawan yang menghadiri penobatan juga memakai pakaian terindah yang mereka miliki. Setelah berkumpul, mereka lalu melakukan sembahyang. Setelah mencium raja sebagai lambang kesetiaannya kepada raja.”
Sesudah upacara dilakukan di istana, semua menuju masjid. Raja naik kereta yang dikawal oleh pasukan bersenjata dengan pedang terhunus di tangan. Di depan kereta berkibar bendera kerajaan yang disebut dengan panji, yang melambangkan kebesaran raja. Panji tersebut dipasang pada kayu yang terbuat dari pohon palam berwarna merah dan putih dari atas ke bawah. Warna ini merupakan simbol raja. Musik yang dibunyikan adalah gong dan gamelan. Selain itu, terdapat juga musik yang digunakan berupa serunai dan tifa. Setelah peresmian dan pentasbihan raja di masjid, raja yang dinobatkan itu pun kembali ke bangsal kerajaan.
Antonio Galvao memberikan keterangan tentang kekuasaan raja Ternate. Disebutkan bahwa pengadilan dan badan hukum tidak ada atau tepatnya tidak ada hukum tertulis, yang ada hanyalah keputusan berdasarkan alasan-alasan yang masuk akal. Menteri berbicara dan menetapkan keputusan atas nama raja.
Perlambang raja dari Kerajaan Ternate berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Antonio Galvao ada beberapa alat yang merupakan simbol raja, yaitu mahkota, kerta kerajaan yang hanya dipakai pada waktu penobatan raja atau untuk melakukan perjalanan penting, kemudian payung, bendera kerajaan yang berwarna merah pada bagian atas dan berwarna putih pada bagian bawah, serta keris dan pedang.
Sistem pemerintahan Kerajaan Ternate adalah monarki yang memadukan unsur-unsur adat dan tradisi. Di mana sebagai puncak kekuasaan tertinggi adalah seorang raja yang dibantu oleh Bobato (menteri) yang dikepalai oleh seorang jogogu (perdana menteri) jabatan ini biasanya diisi oleh orang-orang dekat dan kepercayaan raja. Pemimpin militer dijabat oleh seorang Kapita Laut (Panglima Laut) yang biasanya dijabat oleh putera mahkota maupun putra raja yang lainnya.
Wilayah Kerajaan Ternate terbagi menjadi beberapa Jiko (distrik) yang dipimpin oleh seorang Jiko Ma kolano yang membawahi sejumlah Soa (komunitas setingkat desa) yang dikepalai seorang Kimalaha. Disamping seorang Sangaji atau Jiko Ma Kolano yang menjalankan tugas pemerintahan, raja juga mengangkat seorang Utusang yang bertugas untuk mengurus kepentingan kerajaan, seperti mengumpulkan upeti dan tugas-tugas khusus lainnya. Pada daerah-daerah yang bukan taklukan dan sudah memiliki raja, diperkenankan untuk tetap memegang kekuasaan dan daerahnya dijadikan sebagai daerah bawahan (vassal).
Kondisi Ekonomi
Secara umum, Kepulauan Maluku memang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah terutama adalah Cengkeh. Cengkeh awal mulanya tumbuh dengan liar di Pulau Ternate dan baru dibudidayakan sejak tahun 1450. Selain di Pulau Ternate, cengkeh juga tumbuh di Tidore, Moti, Makian dan Kasiruta. Kekayaan akan rempah-rempah inilah yang menyebabkan Kerajaan Ternate disinggahi oleh para pedagang yang berasal dari Jawa, Melayu, Arab, Persia dan Gujarat untuk membeli rempah-rempah.
Dengan ramainya para pedagang yang singgah ke Kerajaan Ternate, telah menjadikan Kerajaan terutama raja atau sultan beserta keluarganya menjadi sangat kaya dan makmur. Masyarakat Kerajaan Ternate tentu saja memfokuskan aktivitas ekonominya pada perkebunan rempah-rempah yang setelah panen, rempah-rempah itu dijual kepada para pedagang asing yang datang ke Kerajaan Ternate.
Kondisi Sosial dan Keagamaan
Sebelum ajaran Islam masuk ke Ternate, masyarakat Kerajaan Ternate menganut kepercayaan lokal. Hal ini memang disebabkan daerah Maluku memang luput dari pengaruh ajaran agama Hindu. Hegemoni Kerajaan Majapahit memang berhasil menguasai seluruh Kepulauan Nusantara, namun memang Kerajaan Majapahit sendiri tidak pernah memaksa kepada wilayah taklukannya untuk juga menganut ajaran agama Hindu. Sehingga kepercayaan lokal masih mendapatkan tempat di dalam masyarakat. Selain itu, di Maluku sendiri pun tidak ditemukan bukti-bukti dari adanya Hinduisasi seperti penemuan candi maupun prasasti yang sangat identik dengan peninggalan zaman Hindu.
Daftar Bacaan
- Amal, M. Adnan. 2016. Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: KPG
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.