Kerajaan Tidore (Kesultanan Tidore) adalah kerajaan Islam yang terletak di Kepulauan Indonesia Timur, yakni berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara. Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaannya sekitar abad ke-16 sampai dengan abad ke-18. Pada masa kejayaannya kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan pulau-pulau di pesisir Papua bagian barat.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Tidore
Latar belakang berdirinya Kerajaan Tidore tidak terlepas dari berdirinya tiga kerajaan lainnya di Kepulauan Maluku (Kerajaan Ternate, Kerajaan Jailolo dan Kerajaan Bacan). Di dalam perkembangannya sendiri, Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore-lah yang berhasil mencapai kebesaran dan keberhasilan dibandingkan dengan Kerajaan Bacan maupun Kerajaan Jailolo. Kerajaan Tidore pun berhasil menjadi salah satu pusat perdagangan yang dikunjungi oleh para pedagang asing, baik dari Arab, Jawa, Melayu, Makassar dan para pedagang eropa seperti Inggris, Portugis, Belanda dan Spanyol.
Keberhasilan Tidore menjadi salah satu pusat perdagangan tidak terlepas dari letak geografis Kerajaan Tidore yang berada di Kepulauan Maluku antara Pulau Sulawesi dan Papua. Letak geografis Kerajaan Tidore ini adalah letak yang strategis bagi perniagaan pada saat itu. Di sisi lain, Kepulauan Maluku sendiri adalah sebagai penghasil rempah-rempah yang memang menjadi komoditas utama dalam perdagangan internasional hingga abad ke-17.
Sebelum masuknya agama Islam di Tidore, Tidore dikenal dengan nama Kie Duko, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api yang dinamakan Gunung Marijang. Kata Tidore sendiri berasal dari gabungan dua rangkaian kata yang berasal dari bahasa Tidore dan bahasa Arab. Penggabungan dua rangkaian kata dari dua bahasa ini bermula dari suatu peristiwa yang terjadi di Tidore. Menurut kisahnya, di daerah Tidore sering terjadi pertikaian antara para Momole (kepala suku), yang didukung oleh anggota komunitasnya masing-masing dalam memperebutkan wilayah kekuasaan pasukan. Pertikaian tersebut sering kali terjadi pertumpahan darah dan usaha untuk mengatasi pertikaian itu selalu mengalami kegagalan.
Diperkirakan tahun 846, rombongan Chardazabah, utusan dari khalifah al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah di Baghdad tiba di Tidore. Pada saat itu Tidore sedang terjadi pertikaian antara kepala suku. Untuk meredakan pertikaian tersebut, salah satu seorang anggota rombongan Ibnu Chardazabah, yang bernama Syekh Yakub turun tangan dengan menfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo. Pertemuan disepakati di atas sebuah batu besar yang terletak dikaki Gunung Marijang. Kesepakatanya adalah bahwa Momole yang tiba paling cepat dilokasi pertemuan akan menjadi pemenang dan memimpin pertemuan.
Di dalam peristiwa itu, setiap momole yang hadir dalam pertemuan tersebut selalu memeriahkan acara To Ado re. Namun ternyata beberapa orang Momole datang bersamaan, sehingga tidak ada yang kalah ataupun menang. Kemudian Syekh Yakub yang menjadi fasilitator juga tiba di lokasi dan berkata dengan dialeknya: Anta thadore. Karena diantara para momole tidak ada pemenangnya akhirnya Syech Yakublah yang menjadi pemimpin. Konon sejak saat itu mulai dikenal kata Tiodore, kombinasi dari dua kata: Ta Ado re dan Thadore. Demikianlah kata Tidore akhirnya ,menggantikan kata Kie duko dan menjadi nama dari wilayah itu.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun oleh catatan Kerajaan Tidore, Kerajaan Tidore didirikan oleh Jou Kolano pada tahun 1108. Akan tetapi, sumber itu tidak memberikan secara detail mengenai pusat Kerajaan Tidore. Sumber mengenai berdirinya Kerajaan Tidore yang diyakini berkaitan dengan kedatangan Djafar Noh yang juga diyakini mendirikan ketiga kerajaan lainnya (Kerajaan Ternate, Kerajaan Jailolo, dan Kerajaan Bacan).
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh F.S.A. de Clerq menyebutkan bahwa ketika Kerajaan Ternate melantik Kolano Baab Mashur Malamo pada 1257, Kerajaan Tidore belum berdiri. Kerajaan Tidore diperkirakan baru eksis pada tahun 1274. Berdasarkan catatan de Clerq, antara tahun 1277-1322 terdapat enam kolano yang bertakhta di Kerajaan Tidore;
- Busa Muangi
- Bubu
- Bali Banga
- Buku Madoya
- Kie Matiti
- Sele
Perkembangan Kerajaan Tidore Di Bawah Sultan Almansur
Kerajaan Tidore menerima agama Islam lebih kurang hampir bersamaan dengan islamisasi Kerajaan Ternate. Berdasarkan keterangan sejarah yang ada, raja Tidore yang memeluk agama Islam dan diaulat sebagai sultan pertama Kerajaan Tidore adalah Sultan Ciliriati atau Sultan Jamluddin yang berkuasa sejak 1405-1512. Perkembangan Kerajaan Tidore mulai terlihat dan tercatat dengan baik pada masa pemerintahan Sultan Almansur atau Sultan Mansur yang berkuasa sejak 1512-1526.
Sultan Kedua Kerajaan Tidore adalah Sultan Almansur/Sultan Mansur yang naik takhta pada tahun 1512. Pada masa pemerintahan Sultan Mansur, armada Spanyol pada 8 November tahun 1521 datang ke Kerajaan Tidore dan menjalin hubungan ekonomi dan militer untuk menghadapi Kerajaan Ternate yang sebelumnya telah bersekutu dengan Portugis. Beberapa armada yang tersisa dari ekspedisi Ferdinand de Magellan di Kepulauan Filipina akhirnya mendarat di Tidore pada 8 November 1521. Kedatangan armada ini segera disambut oleh Sultan Almansur dengan penuh keramahan.
Pada 10 November 1521 Sultan Almansur mengundang armada Spanyol ke istana Kerajaan Tidore. Di dalam pertemuan itu, Sultan Almansur mengizinkan Spanyol untuk melakukan perdagangan di Kerajaan Tidore di mana sepotong kain merah ditukar dengan cengkih 550 pon, 50 pasang gunting dengan satu bokor cengkih, tiga buah gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh Kerajaan Tidore habis, sehingga harus dicari di tempat lain seperti Moti, Makian dan Bacan.
Sejak kedatangan Spanyol ke Kerajaan Tidore, Sultan Almansur berhasil menjalin hubungan yang sangat baik dan membentuk persekutuan militer antara Kerajaan Tidore dan Spanyol untuk mengimbangi kekuatan Kerajaan Ternate yang telah terlebih dahulu menjalin kerjasama dengan Portugis. Demikianlah kerjasama antara Kerajaan Tidore dan Spanyol semakin berkembang, tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga di bidang militer.
Pada tahun 1524, didasari persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah perdagangan rempah-rempah, pasukan gabungan Kerajaan Ternate dan Portugis yang berjumlah 600 orang menyerbu Kerajaan Tidore dan berhasil masuk ke ibukota Kerajaan Tidore di Mareku. Hal yang menarik adalah, meski serangan gabungan tersebut mencapai ibukota Kerajaan Tidore, mereka tidak dapat menguasai Kerajaan Tidore sepenuhnya. Pasukan Kerajaan Ternate kemudian kembali ke Ternate, namun Portugis masih tetap berada di Kerajaan Tidore.
Pada tahun 1526 Sultan Almansur wafat, namun hingga tahun 1529 belum ditetapkan penggantinya. Sehingga menimbulkan persaingan antara Spanyol dan juga Portugis yang ingin memaksakan hegemoninya di Maluku. Kekosongan pemerintahan ini menyebabkan dualisme di mana Portugis dan Spanyol berusaha untuk ikut campur dalam urusan internal Kerajaan Tidore. Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan rakyat Kerajaan Tidore, sedangkan para bobato tidak dapat mengatasi permasalahan ini.
Kepemimpinan Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain
Pada 1529, penguasa Portugis dan Spanyol menandatangani perjanjian Zaragoza. Charles lalu melepaskan klaimnya atas Maluku dengan kompensasi 350.000 ducats. Tetapi, kompensasi ini tidak serta merta menyebabkan Spanyol keluar dari Maluku. Armada Spanyol masih tetap datang ke Maluku.
Setelah meninggalnya Sultan Almansur pada 1526 dan disepakatinya Perjanjian Zaragoza oleh Portugis dan Spanyol, Amiruddin Iskandar Zulkarnain dilantik sebagai sultan Kerajaan Tidore. Karena Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain atau yang sering dikenal oleh orang Barat dengan nama King Mir masih di bawah umur, maka pemerintahan dibantu oleh Kaicil Rade sebagai Mangkubumi.
Pada masa pemerintahannya inilah, Sultan Deyalo atau Sultan Hidayat dari Kerajaan Ternate diturunkan oleh Portugis dan meminta perlindungan kepada Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain. Penolakan Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain untuk menyerahkan Sultan Hidayat membuat Portugis menyerang Kerajaan Tidore. Namun ketika penyerangan itu dilakukan Sultan Hidayat telah melarikan diri ke Jailolo.
Pada tahun 1535 sebuah armada dengan kekuatan 170 serdadu Portugis dan dibantu beberapa ratus orang Ternate menyerang Tidore. Delapan buah pemukiman di tepi barat Tidore berhasil direbut, tetapi serangan pasukan koalisi Kerajaan Ternate-Portugis tersebut dapat dihentikan setelah pasukan Kerajaan Tidore mendapatkan dukungan yang kuat dari rakyat.
Pada awal tahun 1536 Pangeran Taruwese dari Kerajaan Ternate yang bersekutu dengan seorang petualang Portugis bernama Don Jonge kembali menyerbu ibukota Tidore dengan dukungan 100 serdadu Portugis dan 1000 pasukan Ternate. Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao memutuskan untuk kembali menyerang Kerajaan Tidore. Penyerangan ini Ibukota Tidore, yang baru dibangun akibat serbuan tahun lalu, habis dijarah kemudian dibakar.
Pada 27 Oktober 1536, Gubernur Portugis yang baru, Antonio Galvao, tiba di Ternate. Ketika Antonio Galvao sedang sibuk menata ulang segala yang telah dirusaki gubernur sebelumnya, Tristiao de Ataide, Antonio Galvao memperoleh informasi bahwa para sultan Maluku tengah bermusyawarah di Tidore untuk merencanakan penyerangan terhadap dirinya. Antonio Galvao kemudian pergi ke Talangame berangkat dengan dua kapal besar, sebuah brigantine (kapal bertiang dua) dan beberapa buah juanga di bawah pimpinan kaptennya, masing-masing Gonzalo Vas, Fernao Leitao, Francisco de Monray dan Balthazar Viloso. Pasukan yang ikut serta dalam ekspedisi ini adalah 170 tentara regular, 100 penembak jitu, 120 budak dan sejumlah bangsawan serta ksatria Portugis.
Sementara di Tidore, kesultanan-kesultanan yang bersekutu memiliki 40 hingga 50 ribu tentara di bawah pimpinan Kapita Laut Tidore, Kaicil Rade. Pasukan ini dilengkapi dengan bom, senapan, tombak, pedang, dan perisai hasil jarahan dari orang-orang Portugis dan Spanyol. Di samping itu terdapat juga pasukan berkuda dan pasukan pemanah. Pertempuran sengit antara Portugis dengan koalisi sultan-sultan Maluku pun terjadi. Namun, pertempuran itu berhasil dimenangkan oleh Portugis pada 21 Desember 1536.
Namun, dibalik kekalahan itu, telah terjadi persahabatan antara Antonio Galvao dengan Kaicil Rade dari Kerajaan Tidore. Dan berkat Kaicil Rade-lah Portugis meninggalkan Kerajaan Tidore. Berikut ini adalah isi perjanjian damai antara Portugis dengan Kerajaan Tidore:
- Semua rempah-rempah hanya boleh dijual kepada Portugis dengan harga sama yang dibayarkan Portugis kepada Ternate;
- Portugis akan menarik armadanya dari Tidore.
Setelah tercipta perdamaian antara Kerajaan Tidore dengan Portugis, atas prakarsa Kaicil Rade dan Antonio Galvao, Kerajaan Bacan dan Jailolo pun juga membuat perdamaian dengan Portugis berdasarkan syarat-syarat yang sama: monopoli perdagangan rempah-rempah oleh Portugis, dan Portugis harus keluar dari wilayah mereka.
Kepemimpinan Sultan Saifuddin
Pada tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen meninggal dunia dan digantikan oleh Sultan Saifuddin. Selama masa pemerintahan Sultan Saifuddin, Kerajaan Tidore tidak pernah terlibat dalam peperangan maupun menggunakan senjata untuk menyelesaikan permasalahan. Sultan Saifuddin sangat menjaga jarak dengan bangsa asing seperti Portugis, Spanyol maupun VOC.
Salah satu gagasan Saifuddin yang kuat dan tetap diperjuangkannya secara konsisten adalah membangun kembali Maluku yang bertopang di atas 4 pilar: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Ketika bertemu dengan Gubernur Maluku, Padtbrugge, Sultan Saifuddin menyatakan bahwa menghidupkan kembali Jailolo adalah sebuah tuntutan sejarah. Sebab, Maluku di masa lalu terdiri atas empat kerajaan (Moloku Kie Raha), bukan tiga kerajaan seperti sekarang.
Apabila Kerajaan Jailolo ikut menegakkan Maluku sebagai salah satu dari keempat pilar tersebut, Sultan Saifuddin yakin bahwa Maluku yang damai dan sejahtera akan terwujud. Sultan Saifuddin juga mengemukakan bahwa kehadiran kekuasaan asing seperti Portugis, Spanyol dan Belanda, serta aksi-aksi politik dan militer yang dilakukannya telah menyebabkan Maluku terpecah-pecah, merusak sendi-sendi persatuannya dan melemahkan posisi Maluku.
Kebijakan lain dari Sultan Saifuddin adalah berupaya memperoleh legitimasi di seberang laut Tidore seperti Kepulauan Raja Ampat dan Papua daratan. Pada 13 Maret 1667, Speelman berkunjung ke Ternate yang pada 15 Maret 1667 berhasil bertemu dengan Sultan Saifuddin. Di dalam pertemuan itu Sultan Saifuddin memasukkan masalah kepulauan raja Ampat dan Papua daratan sebagai salah satu agenda perundingan, di samping masalah monopoli cengkih yang telah lama dituntut VOC. Dalam perundingan ini, Saifuddin berhasil “menukar” hak monopoli atas cengkih dengan pengakuan VOC terhadap hak-hak Kerajaan Tidore atas Kepulauan Raja Ampat dan Papua daratan.
Pengakuan VOC atas hak teritorial Kerajaan Tidore ini merupakan prestasi terbesar yang diberikan oleh Sultan Saifuddin. Kandungan pokok perjanjian yang disepakati pada 26-28 Maret 1667, antara Kerajaan Tidore dengan VOC adalah:
1. VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kerajaan Tidore atas kepulauan Raja Ampat dan Papua daratan;
2. Kerajaan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada Kompeni.
Sultan Saifuddin adalah sultan yang pragmatis, tidak seperti sultan-sultan Kerajaan Tidore sebelumnya yang bersikap non-kooperatif dengan Belanda yang dikarenakan memandang “kafir”. Sultan Saifuddin yang membuat perjanjian dengan VOCdengan memberikan hak monopoli kepada VOC adalah suatu hal yang keliru dan mendapatkan reaksi keras dari rakyat dan kelompok anti-monopoli VOC. Namun, Sultan Saifuddin berhasil mematahkan opini-opini yang beredar kepada dirinya termasuk isu Sultan Saifuddin telah menggadaikan Kerajaan Tidore.
Sultan Saifuddin menginginkan perluasan wilayah Kerajaan Tidore dengan memanfaatkan situasi Kerajaan Ternate yang sudah melemah pasca meninggalnya Sultan Baabullah. Meskipun memberikan hak monopoli bagi VOC, Kerajaan Tidore di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin mampu memakmurkan rakyatnya. Sultan Saifuddin lebih memilih untuk hidup sederhana. Bagi hasil dari monopoli VOC terhadap rempah-rempah dipergunakan Sultan Saifuddin untuk memakmurkan rakyatnya. Sultan Saifuddin meninggal dunia pada 2 Oktober 1687 setelah cukup lama menderita penyakit lepra.
Kerajaan Tidore Pasca Sultan Saifuddin
Semenjak tahun 1687-1716 Kerajaan Tidore seolah-olah tenggelam dalam percaturan politik Maluku. Tidak banyak yang dilakukan oleh raja-raja Kerajaan Tidore bagi perkembangan politik dan ekonomi kerajaan. Justru, yang terjadi Kerajaan Tidore harus menhadapi pergolakan-pergolakan yang terjadi pada tahun 1716, wilayah Kerajaan Tidore yang terletak di Halmahera Timur mulai bergolak. Rakyat Weda, Patani, Maba, Bicoli, dan Gebe memberontak karena beratnya beban upeti yang mesti mereka persembahkan kepada pihak kerajaan.
Tantangan di Halmahera Timur membuat Sultan Amir meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan. Meskipun berhasil, namun pamor Kerajaan Tidore mulai mengalami kemerosotan. Kemunduran Kerajaan Tidore menyebabkan VOC mengambil-alih beberapa wilayah kekuasaannya di Maluku Tengah. Pada 1768, Sultan Tidore, Sultan Jamaluddin (1756-1780) melepaskan hak-hak kesultanannya atas Seram Timur kepada VOC dengan alasan bahwa kawasan itu selalu digunakan orang Makassar, Bugis dan Bali untuk perdagangan gelap.
Pada bulan Mei 1779, Gubernur Maluku, William Jacob Cransen, menuduh Kaicil Asgar dan Raja Muda Bacan telah bekerja sama dan membantu komplotan perompak dan penyelundup Mindanao pimpinan Iranum. Karena itu, kekuasaan keduanya dibatasi. Di Tidore, VOC membentuk sebuah pemerintahan transisi yang dikepalai 5 kepala pemerintahan (regent) di bawah pimpinan Kaicil Gajira. Pembentukan pemerintahan transisi ini dimaksudkan untuk menggembosi kekuasaan Sultan Jamaluddin.
Pada 1780, VOC menuduh Kerajaan Tidore dan Kerajaan Bacan melakukan penyelundupan dengan bantuan para parompak di Mindanao. Sultan Jamaluddin mencoba melakukan pelawanan dengan membangkang perintah-perintah Kompeni, tetapi akibatnya sangat gawat. VOC mencopot Sultan Jamaluddin dari takhta Kerajaan Tidore dan menggantikannya dengan Patra Alam, sekalipun sebelumnya (1779) Sultan Jamaluddin dan para bobato-nya telah mengumumkan pengakuan atas kedaulatan VOC. Setelah diturunkan dari singgasananya, Sultan Jamaluddin beserta keluarganya ditangkap pada 2 Juli 1780. Sultan Jamaluddin diasingkan ke Batavia, kemudian dipindahkan ke Sri Lanka dan meninggal di sana.
Campur tangan VOC yang terlalu jauh terhadap urusan internal Kerajaan Tidore ini tidak disenangi oleh Kaicil Nuku dan rakyat, yang berpuncak pada penyerangan rakyat ke istana Sultan Patra Alam pada 1783. Patra Alam akhirnya dicopot VOC dari takhta Kerajaan Tidore kemudian diasingkan ke Pulau Jawa.
Asal muasal pencopotan Patra Alam adalah berkaitan dengan masalah perdagangan ilegal. Selain itu, menurut adat istiadat Tidore, Patra Alam tidak berhak menjabat sebagai Sultan Tidore, karena hanya merupakan keturunan raja muda, bukan sultan. Kaicil Nuku menentang kebijakan penobatan Patra Alam sebagai Sultan Tidore, karena merasa paling berhak atas takhta Tidore. Beberapa pekan sebelum pelantikan Patra Alam, Nuku meloloskan diri ke luar Tidore dan pergi ke Patani untuk mengorganisasi sebuah pemberontakan melawan VOC dan Sultan Tidore. Puncak keterpurukan Kerajaan Tidore terjadi pada masa pemerintahan Sultan Kamaluddin (1784- 1797). Sultan yang gemar berjudi ini terpaksa melarikan diri ke Ternate untuk menghindari penyerbuan Kaicil Nuku.
Sultan Nuku: Puncak Kejayaan Kerajaan Tidore
Kaicil Nuku yang berhasil meloloskan diri dari Tidore menjelang penobatan Patra Alam, kemudian mendirikan markas besar perlawanannya di antara Patani dan Weda. Kaicil Nuku mengirim pembantu-pembantunya ke Maba, Seram Timur, Kepulauan Raja Ampat serta Papua untuk mencari dukungan. Nuku juga merekrut orang-orang Mindanao yang ada di Patani, orang-orang Tobelo, Galela dan Loloda yang bermukim di Halmahera Timur dan Seram Pasir. Kepada para pembantunya, Kaicil Nuku menginstruksikan agar mengontak orang Spanyol dan Inggris jika bertemu di perairan Maluku untuk membantunya melikuidasi kekuasaan Kompeni.
Pada 1780, Kaicil Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan kesultanannya sebagai sebuah negara merdeka yang lepas dari kekuasaan VOC. Kerajaan Tidore yang dimaksudkannya meliputi seluruh wilayah Kerajaan Tidore yang utuh, termasuk Makian dan Kayoa, di samping Halmahera Tengah dan Timur, kepualaun Raja Ampat dan Papua daratan, seluruh Seram Timur, pulau-pulau Keffing, Geser, Seram Laut, pulau-pulau Garang, Watubela, dan Tor. Setelah berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Sultan Nuku berhasil membebaskan kesultanannya dari kekuasaan VOC dan mengembalikan pamornya. Penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Kerajaan Tidore di bawah Sultan Nuku.
Ada empat konsep politik yang ingin diwujudkan oleh Sultan Nuku. Pertama, mempersatukan seluruh wilayah kesultanan Tidore sebagai suatu kebulatan yang utuh. Kedua, memulihkan kembali empat pilar kekuasaan kerajaan Maluku. Ketiga, mengupayakan sebuah persekutuan antara keempat kerajaan Maluku. Keempat, mengenyahkan kekuasaan dan penjajahan asing dari Maluku.
Bagi Kerajaan Tidore sendiri, keempat gagasan politik Sultan Nuku itu berhasil dijalankan. Sultan Nuku berhasil menghidupkan kembali kebesaran Kerajaan Tidore dengan kembali menguasai seluruh wilayah Kerajaan Tidore seutuhnya. Ia juga berhasil menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo, sehingga untuk pertama kalinya dalam jangka waktu yang relatif cukup lama, Maluku berdiri tegak di atas empat pilar seperti di masa awal kelahirannya. Selanjutnya, ia berhasil menciptakan persekutuan tiga dari empat kerajaan Maluku: Tidore, Bacan, dan Jailolo, kecuali Ternate. Sementara terusirnya Belanda untuk sementara waktu dari Kerajaan Tidore merupakan keberhasilan Sultan Nuku yang lain.
Kerajaan Tidore Pasca Sultan Nuku
Setelah Sultan Nuku wafat, situasi kelam Tidore berulang kembali. Perebutan kekuasaan oleh pengganti-pengganti Sultan Nuku dan campur tangan pemerintah Belanda dalam suksesi Kerajaan Tidore, menyebabkan pamor Kerajaan Tidore terpuruk kembali menjadi kekuatan politik yang lemah. Orang yang dibina oleh Sultan Nuku dan selalu menyertainya dalam setiap aktivitasnya adalah adik tirinya sendiri, Kaicil Zainal Abidin. Tokoh inilah yang diwasiatkan oleh Sultan Nuku untuk menggantikannya. Para anggota Dewan Kerajaan dan bobato Tidore menetapkan Muhammad Zainal Abidin sebagai Sultan Tidore ke-20 untuk menggantikan Sultan Nuku pada 1805.
Pengangkatan Sultan Zainal Abidin yang hanya dilakukan para bobato dan Dewan Kerajaan Tidore tentu saja tidak berkenan di hati Gubernur Carel Lodewijk Wieling, lantaran tidak meminta persetujuannya. Karena itu, Belanda mulai mencari sebab melengserkan Sultan Zainal Abidin. Puncaknya, Pada 1807, Belanda sekali lagi menyerbu Soasio dan membumihanguskannya. Ibukota darurat Kesultanan Tidore pun dipindahkan ke Pulau Maitara, yang ketika itu dikenal sebagai tempat tetirah para bangsawan Tidore dan dikenal juga dengan nama Noorwegen. Baru pada 1810 ibukota Kerajaan Tidore dikembalikan ke Soasio. Setelah takluknya ibukota Kerajaan Tidore ini menjadi awal meleburnya eksistensi Kerajaan Tidore ke dalam kekuasaan bangsa Barat.
Kondisi Politik Kerajaan Tidore
Pada tahun 1495 , Sultan Ciriliyati/Sultan Jamaluddin naik tahta dan menjadi penguasa Kerajaan Tidore pertama yang menggunakan gelar sultan. Pada saat itu pusat Kerajaan Tidore terletak di Gam Tina. Namun, ketika Sultan Mansur naik takhta pada 1512, Sultan Mansur memindahkan pusat Kerajaan Tidore dengan mendirikan perkampungan baru di Rum, Tidore utara. Posisi ibu kota terbaru berdekatan dengan Kerajaan Ternate, dan terletak diantara Tanjung Mafugogo dan Pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan arus yang tenang, lokasi ibukota baru dari Kerajaan Tidore ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Di dalam perjalanan sejarahnya telah terjadi beberapa kali perpindahan ibukota Kerajaan Tidore yang disebabkan oleh pelbagai faktor. Pada tahun 1600, ibukota Kerajaan Tidore dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo/Sultan Alaudin Syah ke Toloa, selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan memanasnya hubungan dengan Kerajaan Ternate di mana posisi ibu kota Kerajaan Tidore sangat dekat dengan Kerajaan Ternate, sehingga menimbulkan kekhawatiran dan sangat rawan mendapatkan serangan dari Kerajaan Ternate.
Faktor lain yang menyebabkan perpindahan ibukota Kerajaan Tidore ini didorong oleh keinginan Sultan Alaudin Syah untuk berdakwah di komunitas Kolano Tomabanga yang masih menganut kepercayaan lokal agar segera menganut agama Islam. Perpindahan ibukota Kerajaan Tidore yang terakhir adalah ke Limau Timore pada masa Sultan Saifudin/Sultan Jou Kota. Limau Timore kemudian berganti nama menjadi Soasio hingga sekarang.
Struktur pemerintahan Kerajaan Tidore dapat diketahui pada masa pemerintahan Sultan Syafiuddin dengan rincian sebagai berikut;
- Pehak Bobato, Urusan Pemerintahan dikepalai oleh Jogugu. anggota-anggotanya:
a. Hukum
b. Sangadji
c. Gimalaha
d. Fomanyira - Pehak Kompania, Urusan Pertahanan dikepalai oleh Kapita-kapita/Mayor :
a. Leitenan
b. Alfiris
c. Jodati
d. Serjanti
e. Kapita Kie
f. Jou Mayor, dan
g. Kapita Ngofa - Pehak Jurutulis, Urusan Tata-Usaha dikepalai oleh Tullamo (Sekneg). Anggota-anggotanya :
a. Loaloa (Juru tulis)
b. Beberapa Menteri Dalam, yaitu:
1) Sadaha, (Kepala Rumah Tangga Kerajaan)
2) Sowohi Kiye, (Protokoler Kerajaan Bidang Kerohanian), - Sowohi Cina, (Protokoler Khusus Urusan Orang Cina),
- Sahabandar, (Urusan Administrasi Pelayaran).
- Fomanyira Ngare, (Hubungan Masyarakat Kerajaan)
- Pehak Lebee, urusan Agama/Syari’ah dikepalai oleh seorang Kadhi. Anggota-anggotanya : Imam-imam, Khotib-khotib, dan Modin-modin
Raja-Raja Kerajaan Tidore
Berikut ini adalah daftar raja-raja yang memerintah di Kerajaan Tidore;
- Sultan Ciliriati/Sultan Jamluddin (1405-1512)
- Sultan Mansyur (1512-1526)
- Sultan Aminuddin Iskandar Zulkarnain (1526-1535)
- Sultan Rijali Mansu (1535-1569)
- Sultan Iskandar Isani/ Sultan Amiril Mathlan Syah (1569-1568)
- Sultan Gapi Baguna/Sultan Bifadlil Siradjuddin Arifin (1568-1600)
- Sultan Fola Madjino/Sultan Zainuddin (1600-1626)
- Sultan Ngora Malamo/Sultan Alaudin (1626-1631)
- Sultan Gorontalo/Sultan Saifuddin (1631-1642)
- Sultan Saidi (1642-1653)
- Sultan Mole Manginyau/Sultan Malikidin (1653-1657)
- Sultan Saifuddin/Sultan Djuo Kota (1657-1674)
- Sultan Hamzah Fahruddin (1674-1705)
- Sultan Abdul Fadhlil Masyur (1705-1708)
- Sultan Hasanuddin Kaicil Garcia (1708-1728)
- Sultan Amir Bifodlil Aziz Muhidin Malikul Manan (1728-1757)
- Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin (1757-1779)
- Sultan Patra Alam (1780-1783)
- Sultan Hairul Alam Kamaludin Asgar (1784-1797)
- Sultan Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mabus Kaicil Paparangan Jou Barakatai atau Sultan Nuku (1797-1805)
- Sultan Zainal Abidin (1805-1810)
- Sultan Motahuddin Mohammad Tahir (1810-1821)
- Sultan Ahmadul Mansur Sirajuddin Syah (1821-1856)
- Sultan Ahmad Syaifuddin Alting (1856-1892)
- Sultan Ahmad Fatahuddin Nur Syah Kaicil Jauhar alam (1892-1894)
- Sultan Ahmad Kawiyuddin Alting (1894-1906)
- Sultan Zainal Abidin Sjah (1947-1967)
- Sultan H. Jafar Syah (1999-2012)
- Sultan Husain Syah (2012-sekarang)
Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Tidore
Masyarakat di Kerajaan Tidore merupakan penganut agama islam yang taat, dan di Kerajaan Tidore sendiri telah menjadi pusat pengembangan agama Islam di kawasan kepulauan Indonesia bagian timur. Karena kuatnya pengaruh agama Sslam dalam kehidupan masyarakat Kerajaan Tidore, maka para ulama memiliki status dan peran yang penting di masyarakat. Kuatnya relasi antara masyarakat Kerajaan Tidore dengan agama Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka: Adat ge Mauri Syara, Syara Mauri Kitabullah (adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah).
Dalam usaha menjaga keharmonisan dengan alam, masyakat Kerajaan Tidore menyelenggarakan beragam jenis upacara adat. Diantara upacara tersebut adalah upacara Legu Gam Adat Negeri, Lufu Kie Daera se Toloku (mengintari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara Ngam Fugo, Dola Gumi, Joko Hale dan sebagainya.
Untuk berkomunikasi sehari-hari masyarakat Kerajaan Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolog dalam rumpun non-Austonesia. Dengan bahasa ini pula, masyarakat Kerajaan Tidore kemudian mengembangkan sastra lisan dan tulisan. Bentuk sastra lisan yang populer adalah Dola bodolo ( semacam peribahasa atau pantun kilat), dalil tifa (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau gendang), Kabata (sastra lisan yang dipertunjukan oleh dua regu dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal dan sebagainya). Sebagian diantara sastra lisan ini dismpaikan dan dipertunjukan dengan iringan alat tifa, sejenis gendang.sastra tulisan juga sangat berkembang di Kerajaan Tidore.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang bercocok tanam di ladang. Tanaman yang banyak ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar, dan ubi kayu. Selain itu banyak juga ditanam Cengkehm pala dan kelapa. Inilah yang menjadikan Tidore terkenal, dikunjungi pedagang asing dari Cina, India dan Arab, dan akhirnya menjadi rebutan para kolonial Kulit Putih.
Puncak kejayaan Kerajaan Tidore terjadi sebanyak dua kali, yakni pada masa pemerintahan Sultan Mansyur dan Sultan Nuku. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Kerajaan Tidore melakukan ekspansi ke selatan Pulau Halmahera dan daerah Papua bagian Barat. Sedangkan pada masa pemerintahan Sultan Nuku, Kerajaan Tidore berhasil membentangkan kekuasannya hingga kawasan Samudra Pasifik.
Puncak Kejayaan Kerajaan Tidore
Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Kerajaan Tidore terdiri dari dua bagian;
- Nyili Gam
a) Yade Soa-Sio se Sangadji se Gimelaha
b) Nyili Gamtumdi
c) Nyili Gamtufkange
d) Nyili Lofo-Lofo
- Nyili Papua (Nyili Gulu-Gulu).
a) Kolano Ngaruha (Raja Ampat)
b) Papua Gam Sio
c) Mavor Soa Raha
Pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1797-1805) Kerajaan Tidore berhasil melebarkan kekuasaannya hingga ke beberapa kepulauan di pasifik selatan, diantaranya; Mikronesia, Melanesia, kepulauan Solomon, kepulauan Marianas, kepulauan Marshal, Ngulu, Fiji, Vanuatu dan kepulauan Kapita Gamrange. Disebutkan pula bahwa hingga hari ini beberapa pulau atau kota masih menggunakan identitas nama daerah dengan embel-embel Nuku, antara lain; kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Alova, Nuku Fetau, Nuku Haifa, Nuku Maboro, Nuku Wange, Nuku Nau, Nuku Oro dan Nuku Nono. Meskipun hingga kini, belum dapat dipastikan apakah benar Sultan Nuku telah melebarkan pengaruh kekuasaannya hingga ke Samudra Pasifik. Sebab belum ada sumber-sumber sejarah yang dapat memastikan kebenaran hal itu.
Kemunduran Kerajaan Tidore
Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan karena politik adu domba dengan Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing (Spanyol dan Portugis kemudian oleh VOC) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, di bawah kepemimpinan Sultan Khairun dan kemudian Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku dan berhasil menaklukkan Kerajaan Ternate. Takluknya Kerajaan Ternate juga berdampak pada merosotnya eksistensi Kerajaan Tidore.
Daftar Bacaan
- Amal, M. Adnan. 2016. Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: KPG
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.