Kesenian Zaman Kerajaan Islam

Kesenian Pada Zaman Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia

Kesenian Zaman Kerajaan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan seni yang berkembangan pada masa awal hingga kejayaan islam. Tidak dapat diragukan lagi bahwa kesenian sebagai salah satu unsur universal kebudayaan yang dalam hal ini kebudayaan Islam termasuk di dalamnya. Dari segi pandang Islam dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits sesungguhnya kegiatan kesenian juga tidak dapat dipisahkan, kecuali yang bertentangan dengan akidah Islam yang mengharamkan sikap yang mengarah kepada kemusyrikan. Di dalam penyebaran ajaran Islam di Kepulauan Nusantara, kesenian dijadikan sebagai media penyebaran ajaran Islam.

Beberapa Contoh Kesenian Zaman Kerajaan Islam di Indonesia

Di bawah ini adalah beberapa jenis kesenian zaman kerajaan Islam di Indonesia;

  1. Seni Sastra
  2. Seni Bangunan (Arsitektur)
  3. Ragam Hias

Seni Sastra

Naskah-naskah kuno yang berjumlah ribuan pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Kepulauan Indonesia diantaranya ada yang berbentuk babad, hikayat, atau tambo-tambo kerajaan, keagamaan Islam mengenai fiqh, tasawuf, dan tarekatnya, akidah, primbon, tafsir Al-Qur’an, Hadis Nabi, dan lain-lain serta naskah-naskah kuno dan klasik mengandung banyak informasi tentang periode zaman Islam di Kepulauan Nusantara.

Meskipun kedatangan Islam dan penyebarannya telah dimulai pada abad ke-7 melalui Selat Malaka dan secara bertahap abad ke-11 di Jawa Timur yang disusul dengan penyebarannya ke pulau-pulau lain di Kepulauan Nusantara. Namun, hasil-hasil seni sastra yang terdeteksi paling awal berasal dari abad ke-14 dan abad-abad ke-16 – 19. Di antara hasil seni sastra pada masa Islam awal adalah Hikayat Raja-raja Pasai yang ditulis dalam huruf Jawi sesuai dengan perkembangan bahasa Melayu Kuno masa Kerajaan Sriwijaya yang mendapat pembaruan menjadi bahasa Melayu Klasik di Kerajaan Samudra Pasai.

Pusat seni sastra juga berkembang di kerajaan Malaka, tetapi setelah direbut Portugis pada 1511 pusat kegiatan penulisan sastra pindah ke kerajaan Aceh Darussalam yang mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Tsani pada abad ke-17. Hal itu dikarenakan kegiatan para ulama dan pemikir keagamaan Islam seperti Al-Jauhari, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Samatrani, Nuruddin Raniri, Syeikh Kuala dan lain-lain. Mereka membuat karya seni sastra Islam kecuali dalam bahasa Arab juga banyak dalam bahasa Melayu yang menggunakan huruf-huruf Jawi yaitu huruf Arab tertentu yang diberi tanda-tanda harakat serta titik satu atau tiga di bawah atau di atasnya yang disesuaikan dengan fonem atau ucapan serta ejaan dalam bahasa Melayu.

Sebenarnya, awal kesusasteraan Islam ditandai dengan penerimaan pokok-pokok ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis) dan hukum-hukum Islam (Syari’ah) yang indikator pokoknya sudah ada dalam kandungan Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu. Kemunculan dan perkembangan seni sastra Islam disulut oleh semangat puitik dan estetik Al-Qur’an. Peran sastrawan di dalam penyebaran ajaran Islam. Mereka menulis dan menyebarluaskan kisah-kisah Nabi Muhammad SAW, para sahabat, wali, dan pahlawan Islam terkenal.

Dikatakan bahwa sastrawanlah yang telah mentransformasikan simbol-simbol Al-Qur’an dan sejarah Islam menjadi simbol budaya masyarakat muslim. Contoh seni syair yang populer di Indonesia tentang kisah kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad SAW antara lain Kasidah Burdah dan Kasidah Barjanji yang dinyanyikan pada setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad. Selain itu, masih banyak contoh hasil sastra lama seperti Alf Lailah wa Lailah, Hikayat Bayan Budiman, Kalilah wa Dimnah dan Mantiq at-Tayr karya Fariduddin ‘Attar, Syair Burung Pingai karya Hamzah Fansuri, dan karya-karya sastra lainnya.

Peran huruf dan bahasa Arab dalam penyebaran ajaran Islam di Asia Tenggara termasuk Indonesia sangat penting. Bukti-bukti penggunaan bahasa serta huruf Arab dapat ditemukan pada nisan-nisan kubur antara lain adalah Fatimah binti Maimun bin Hibatullah di Leran dari tahun 1082 dengan huruf jenis Kufik Timur, nisan kubur Sultan Malik as-Saleh dari Gampong-Samudra tahun 1297 dengan jenis tulisan Tuluth, nisan kubur Maulana Malik Ibrahim di Gresik tahun 1419 juga berbentuk huruf Tuluth, demikian pula nisan kubur Sultanah Nahrisyah pada tahun 1428 dari Kerajaan Samudra Pasai.

Huruf dan bahasa Arab yang dipakai sebagai alat komunikasi yang mungkin masih terbatas ternyata digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu yang disebut huruf Jawi untuk daerah-daerah yang masyarakatnya menggunakan bahasa Melayu. Naskah-naskah yang menggunakan sastra Melayu yang ditulis dalam huruf Jawi dari abad ke-16 hingga abad ke-19 terdapat di berbagai daerah bukan hanya daerah-daerah Sumatra, tetapi juga di Nusa Tenggara, Maluku, dan Kalimantan.

Jika di daerah-daerah yang masyarakatnya menggunakan bahasa Melayu digunakan tulisan Jawi, di daerah-daerah seperti di Jawa yang berbahasa Sunda, Jawa dan Madura huruf Arab yang digunakan untuk penulisan seni sastra keagamaan dan babad-babad atau cerita pada umumnya disebut dengan sebutan pegon yang sudah tentu disesuaikan dengan fonem bahasa tersebut. Banyak naskah dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Madura bertuliskan Pegon sebagaimana yang dikenali dari katalogus-katalaogus.

Karya-karya sastra itu pada umumnya juga merupakan sebuah pertentangan pendapat antar penulisnya, sebagaimana yang terlihat semisal pada kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali yang dianggap sebagai kitab tandingan dari Manunggaling Kawula Gusti karya Syekh Lemah Abang. Selain itu pertikaian juga terjadi antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-samatrani yang mengajarkan tasawuf wandat al-wujud sedangkan Nuruddin ar-Raniri membuat ajaran wandatul suhud.

Seni Bangunan

kesenian zaman kerajaan islam
Masjid Menara Kudus adalah salah satu seni bangunan yang dibuat pada masa Kerajaan Islam di Indonesia

Masjid merupakan wujud seni bangunan hasil islamisasi yang bersifat sakral. Dengan kehadiran Islam dan terbentuknya komunitas muslim sejak abad ke-7 di Indonesia bagian barat, sekitar Selat Malaka dan diteruskan dengan proses penyebarannya hingga terbentuknya kerajaan Islam pada abad ke-13, dengan kenyataan ini, seharusnya telah didirikan sejumlah masjid-masjid pada saat itu.

Namun kenyataannya, dari situs bekas kerajaan Islam tertua yang ada di Indonesia belum ditemukan sisa-sisa peninggalannya. Yang dapat dikenali melalui keterangan Ibnu Battuta ketika ia mengunjungi Samudra Pasai pada tahun 1345 pada masa pemerintahan Sultan Malik al-Dhahir. Dalam catatannya dikatakan bahwa Ibnu Batutta menuju masjid untuk menjumpai sultan yang akan melaksanakan sembahyang Jumat. Ia juga menyebutkan adanya maksura tempat khusus untuk sultan ketika sembahyang. Akan tetapi, ia tidak menceritakan bagaimana bentuk masjid itu.

Bentuk-bentuk masjid kuno yang dapat diperhatikan hingga sekarang telah mengalami beberapa kali perbaikan adalah Masjid Agung atau Masjid Jami’ di beberapa ibu kota kerajaan-kerajaan Islam dari abad ke-16 sampai dengan abad ke-18. Masjid-masjid dari abad-abad tersebut masih dapat disaksikan ciri-ciri khasnya dibadningkan dengan masjid-masjid lain terutama di negeri-negeri Islam lainnya.

Di ibu kota kerajaan Islam di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lainnya di mana terdapat alun-alun, seperti di Demak, Cirebon, Banten, Kota Gede, Surakarta, Yogyakarta, dan lainnya bangunan Masjid Agung itu ditempatkan di sebelah barat alun-alun sebagai pusat keagamaan.

Masjid Agung Demak diperkirakan didirikan pada akhir abad ke-15 M yang mungkin ditandai dengan adanya gambar atau relief kura-kura pada dinding mihrabnya yang diartikan sebagai sengkala memet 1401 Saka atau 1479 M. Mungkin tidak begitu berbeda dengan Candrasengkala memet itu dengan candrasengkala dalam babad-babad yang memuat kata-kata sirna ilang kertaning bhumi.

Menurut Babad Demak, Babad Tanah Jawi, dan babad-babad lainnya, arsitek Masjid Agung Demak adalah Sunan Kalijaga dan dikatakan pula bahwa beliaulah yang membetulkan kedudukan dan arah kiblat secara tepat serta membuat salah satu sakaguru dari tatal kayu sehingga dikenal dengan nama Saka Tatal yang berada di timur laut. Sakaguru di sebelah barat laut dibuat oleh Sunan Bonang, sedang sakaguru di sebelah barat daya dibuat oleh Sunan Gunungjati, dan sakaguru di tenggara dibuat oleh Sunan Ampel. Masjid-masjid agung atau raya yang berasal dari abad ke-16 hingga abad ke-18 yang terdapat di berbagai ibu kota kerajaan-kerajaan Islam pada umumnya memiliki ciri-ciri khas, yaitu;

  1. Denahnya berbentuk bujur sangkar atau persegi empat dan pejal atau masif;
  2. Atapnya bertumpang atau bersusun dua, tiga, lima, bahkan lebih;
  3. Di bagian depan atau samping terdapat serambi;
  4. Halaman masjid dikelilingi tembok dengan sebuah atau tiga buah gerbang;
  5. Di antara masjid-masjid itu di bagian depan atau samping terdapat kolam air.

Keraton atau istana dari zaman kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia juga termasuk ke dalam seni bangunan Islam. Keraton adalah suatu tempat yang bukan sekedar tempat kediaman raja, tetapi sekaligus juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Di ibu kota kerajaan-krajaan Islam terutama di Jawa lokasi istana brada di sebelah selatan alun-alun menghadap ke arah utara. Keraton-keraton di Surakarta dan Yogyakarta dari abad ke-18 diapit oleh dua alun-alun, yaitu alun-alun utara (lor) dan alun-alun selatan (kidul).

Kedua alun-alun tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda; alun-alun utara (lor) berfungsi sebagai tempat pertemuan masyarakat yang bersifat pemerintahan, tetapi alun-alun selatan(kidul) hanya berfungsi untuk upacara kematian seakan-akan mempunyai unsur tradisi kehinduan karena Dewa Yama, yaitu dewa kematian berada di selatan.

Keraton-keraton di Jawa yang menghadap ke utara biasanya mempunyai tiga halaman; di halaman ke-1 berdiri keraton atau dalem. Kertaon terutama dalem itulah yang dianggap bersifat semisakral. Mungkin hal ini mengandung tradisi dari masa Indonesia Hindu/Buddha yang menganggap keraton itu tempat dewa-dewa raja yang di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya masih ada meskipun sebenarnya Islam tidak mengenal kultus dewa-raja.

Di luar Jawa antara lain keraton atau istana di Kerajaan Aceh Darussalam juga menurut berita asing terbagi menjadi tiga halaman. Pembagian tiga bagian atau halaman itu seperti yang trjadi pada masa Hindu-Buddha dimana di dalam pembagian kompleks percandian terutama dari Jawa Timur seperti Candi Panataran di zaman Majapahit dan di Bali kompleks Pura yang disebut jaba, jaba tengah, jero (tempat tersuci). Demikian pula penempatan makam para Wali Sanga, antara lain makam Sunan Kudus, makam Sunan Drajat, dan lainnya.

Halaman pertama baik keraton maupun untuk kompleks makam biasanya diberi gerbang dalam bentuk candi-bentar seperti candi yang dibelah, dan antara halaman kedua dengan ketiga diberi gerbang yang disebut kori-agung bentuk gerbang yang bagian atasnya tertutup. Di salah satu sisi halaman pertama dibuat sitinggil yaitu bangunan yang bidang tanahnya ditinggikan di mana bangunan-bangunan dengan masing-masing fungsinya seperti untuk raja/sultan dan keluarga serta para pembesar dapat menyaksikan upacara-upacara kenegaraan yang dilaksanakan di alun-alun, tempat berkumpul masyarakat umum turut menyaksikan serangkaian upacara-upacara. Sebutan stinggil di luar Jawa antara lain di Kerajaan Banjar disebut dengan nama sitiluhur.

Pada halaman ketiga sebelum memasuki keraton itu sendiri terdapat bangunan tempat penerimaan tamu yang disebut srimanganti. Setelah itu memasuki keraton menuju pendopo tempat rapat para pejabat pemerintahan kerajaan, dan ada pula tmpat yang khusus untuk menghadap raja/sultan. Di dalam keraton ada juga bagian yang khusus untuk putri-putri raja yang disebut dengan kaputren, sedangkan untuk para putra-putra raja disebut dengan kaputran. Bentuk atap bangunan keraton atau istana pada umumnya berbentuk limasan yang dibedakan dari bentuk atap pendopo bahkan masjid, yaitu bentuk joglo yang meruncing ke atas karena tiang pendukungnya terutama empat tiang yang disebut sakaguru.

Keraton-keraton pada masa kerajaan-kerajaan Islam yang didirikan sejak abad ke-16 terlebih setelah ada pengaruh seni bangunan Islam dan Eropa bukan hanya menggunakan kayu saja melainkan juga bahan bata-bata seperti yang terlihat di Banten, Cirebon (Kasepuhan), Aceh Darussalam, Penyengat, bekas kerajaan di Kuta Gede, Plered, Kartasura, dan lainnya. Pada keraton-keraton itu nampak sekali percampuran teknik serta bahan tradisional dengan beberapa sentuhan pengaruh barat terutama di dalam bentuk dan hiasan tiang-tiang. Percampuran itu masih dapat terlihat sekarang di keraton Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta.

Ragam Hias

Mengenai ragam hias yang erat dengan penerapannnya kepada seni arsitektur serta pada benda-benda lainnya terutama yang paling lazim adalah menyoal kaligrafi. Kaligrafi pola-pola ragam hias sejak awal menyukai pola-pola yang diambil dari pola ragam hias tumbuhan (floralisik) dan pola geometrik. Islam memang sejak awal menyingkirkan pola ragam hias yang diambil dari dunia hewan dan manusia atau makhluk hidup (antropomorphik).

Peninggalan berupa nisan-nisan kubur, seperti nisan kubur Fatimah binti Maimun bin Hibatullah (1082) ditemukan di Leran Gresik, Jawa Timur. Nisan itu ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dengan tulisan kaligrafi Kufik Timur. Kemudian nisan kubur Sultan Malik as-Saleh (1297) di Gampong Samudra, bentuk tulisan kaligrafinya ialah jenis Thuluth, dan demikan pula nisan kubur dari Sultanah Nahrisyah (1428) dan dari Gresik makam Maulana Malik Ibrahim (1419) bertulisan kaligrafi jenis Thuluth.

Di Jawa pada abad ke-16 mungkin pengaruh adanya ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi masih dapat dirasakan, karena ternyata terdapat relief pada paras yang terdapat pada dinding masjid di Mantingan penyamaran gambaran makhluk hidup seperti: gajah, ular, kepiting, kera, dan lainnya dengan penuh ragam hias yang memberikan gambaran tumbuh-tumbuhan seperti jenis waluh-waluhan.

Ragam hias juga banyak macamnya yang ditmukan pada nisan kubur yang berupa pola-pola dedaunan atau patra dan hiasan geometrik seperti tali-temali, segitiga, belah ketupat, bintang, lingkaran tunggal atau ganda, kurawal, dan lainnya. Kecuali dari nisan-nisan kubur juga terdapat pada hiasan periuk belanga. Contoh-contohnya terdapat pada nisan-nisan kubur batu Aceh, dan dari pecahan periuk belanga dari situs Banten Lama.

Ragam hias dan masa kerajaan-kerajaan Islam baik yang geometris maupun yang floralistik juga didapatkan pada berbagai barang seperti kain batik, benda-benda pusaka, dan benda-benda keperluan sehari-hari. Pada beberapa ragam hias batik bahkan ditambahkan hiasan antropomorfik seprti burung funix, gambar ular naga, dan lainnya. Demikian pula ada beberapa naskah kuno diberi gambaran makhluk hidup seperti burung, ikan, dan lainnya yang berasal dari pengaruh tarekat Sattariyah, dari brbagai ragam hias yang dikenali sekarang seringkali sudah bercampur dengan ragam hias lokal yang berasal dari ragam hias Islam dan ragam hias dari negeri-negeri lainnya.

error: Content is protected !!