Konferensi Malino adalah konferensi yang dilaksanakan pada tanggal 16 – 25 Juli 1946 di Kota Malino, Sulawesi Selatan. Tujuan diadakannya Konferensi Malino adalah untuk membahas rencana pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi di wilayah Indonesia serta rencana pembentukan negara yang meliputi daerah-daerah di Indonesia bagian Timur. Konferensi Malino dihadiri oleh 39 orang dari 19 daerah yang berasal dari Kalimantan (Borneo) dan Timur Besar (De Groote Oost).
Latar Belakang Diselenggarakannya Konferensi Malino
Semasa Perang Dunia II di Front Pasifik SEAC (South-East Asia Command) memutuskan untuk membentuk komando khusus di wilayah Indonesia dengan membentuk AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Pasukan AFNEI ini awalnya dibentuk untuk melancarkan serangan terhadap Jepang yang berkuasa di Indonesia. Namun, sebelum pasukan ini melakukan operasinya, Jepang telah terlebih dahulu menyerah kepada Sekutu.
Oleh sebab menyerahnya Jepang kepada Sekutu, maka tugas AFNEI pun mengalami perubahan dari tugas militer menjadi tugas administratif terutama untuk menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil. Namun, di dalam menjalankan tugasnya jumlah pasukan AFNEI tidak cukup banyak untuk menelusuri seluruh wilayah Indonesia. AFNEI hanya dapat menjalankan tugasnya di Pulau Sumatra dan Jawa saja, sehingga untuk wilayah Indonesia bagian timur pasukan Australia-lah yang menjalankan tugas tersebut.
Dilaksanakannya Konferensi Malino
Melihat kondisi yang terjadi di Indonesia Timur jauh lebih mudah dibandingkan dengan yang terjadi di Sumatra dan Jawa, pemerintah NICA yang dipimpin oleh Gubernur Jendral Hindia-Belanda H.J. van Mook telah mempersiapkan keputusan tanggal 8 Juli 1946 yang menyinggung tentang ketatanegaraan daerah-daerah tersebut. Pada tanggal 14 Juli 1946 H.J. van Mook menuju ke Makassar yang menjadi Markas Besar NICA.
Setelah pasukan Australia berhasil menjalankan tugas yang sama dengan AFNEI di Indonesia Timur, Australia atas nama pasukan Sekutu menyerahkan kembali wilayah Indonesia timur kepada Belanda melalui Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, H.J. van Mook pada 15 Juli 1946 di Lapangan Karebosi, Makassar. Penyerahan tanggung jawab pemerintahan ini kepada Pemerintah Hindia-Belanda meliputi wilayah Kalimantan (Borneo) dan Timur Besar (De Groote Oost).

Dengan penyerahan tanggung jawab dari tentara Sekutu ini maka pemerintah Belanda (NICA) mendapatkan kembali wilayah Indonesia Timur secara de jure dan de facto dengan mudah, tidak seperti di Sumatra dan Jawa di mana NICA menghadapi tantangan dari rakyat Indonesia dengan pertempuran yang sangat sengit hingga pertengahan tahun 1946. Di hari yang sama, H.J. van Mook dan sejumlah wakil dari wilayah Borneo dan De Groote Oost meninggalkan Makassar untuk mengadakan Konferensi Malino yang berlangsung pada tanggal 16 Juli – 25 Juli 1946 di Kota Malino, Sulawesi Selatan.
Konferensi Malino ini diadakan di dalam sebuah gereja kecil (kapel). Konferensi Malino ini dihadiri oleh 39 orang dari 19 daerah yang ada di Kalimantan (Borneo) dan Timur Besar (De Groote Oost). Daerah-daerah itu antara lain;
- Bali
- Lombok
- Riau
- Sulawesi Selatan
- Bangka Belitung
- Borneo Barat
- Borneo Timur
- Borneo Selatan
- Minahasa
- Sangir Talaud
- Gorontalo
- Sulawesi Tengah
- Nieuwe Guinea
- Flores
- Timor
- Sumba
- Sumbawa
- Maluku Selatan
- Maluku Utara
Kehadiran wakil-wakil itu didominasi raja-raja dan pegawai Belanda yang memerinah di daerahnya masing-masing dengan tujuan membahas rencana pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi di Indonesia serta rencana pembentukan negara yang meliputi daerah-daerah di Indonesia bagian Timur.
H. J. van Mook membuka konferensi dengan menyatakan bahwa Konferensi Malino diadakan setelah sebelumnya memberikan pernyataannya kepada Perdana Menteri Republik Indonesia, Sutan Syahrir. Melalui Konferensi Malino ini, H.J. van Mook berniat untuk membangung Negara Federalis Indonesia yang meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Timur Besar. Di dalam Konferensi Malino juga direncanakan pembentukan Negara Indonesia Timur yang akan diperintah oleh suatu kabinet parlementer dan dikepalai oleh seorang presiden. Selain itu, juga akan dibentuk suatu dewan perwakilan rakyat di mana semuanya akan berkedudukan di Makassar.
Setelah pidato pembukaan yang dilakukan oleh H.J. van Mook, kemudian para peserta Konferensi Malino diminta untuk menyampaikan tanggapannya mengenai pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT). Sultan Ternate, Iskandar Muhammad Djabir Sjah memberikan pandangannya dengan menyatakan;
“ …bahwa keinginan penduduk swapraja Ternate, Tidore, dan Bacan agar Konferensi Malino dapat mengambil keputusan-keputusan bersejarah bagi Indonesia. Menyatakan apabila rakyat Maluku Utara memperoleh kemerdekaannya, maka rakyat Maluku Utara akan setara dengan rakyat Nederland dalam ikatan persaudaraan. Kesamaan derajat dan status inilah yang hendaknya ingin dicapai. Apabila parlemen telah terbentuk untuk Indonesia Timur dan Borneo (Kalimantan) hendaklah dibentuk suatu senat atau majelis tinggi yang anggota-anggotanya berasal dari unsur swapraja (zelfbestuurrders), pemimpin persekutuan hukum, dan pemuka masyarakat.”
Sultan Ternate, Iskandar Muhammad Djabir Sjah
Selain itu juga terdapat peserta lain yang memberikan tanggapan seperti pendapat dari wakil Maluku Selatan, R. J. Matekohy dan wakil dari Minahasa, E.D. Dengah dan J.P. Mangula menghendaki bahwa jika Negara Indonesia Timur (NIT) telah terbentuk, maka Kalimantan harus dipisahkan sehingga federasi Indonesia hanya meliputi Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) terdiri atas Sulawesi, Bali, Maluku, Nusa Tenggara dan Nieuwe Guinea.
Najamudin Daeng Malawe (Sulawesi Selatan) menginginkan rakyat Indonesia diberikan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan I Gusti Bagus Oka (Bali) mengharapkan dengan adanya Konferensi Malino dapat menjadi salah satu batu pijakan bagi kemerdekaan Indonesia. Sedangkan Frans Kaiseipo (Nieuwe Guinea) mengunkapkan penggantian nama Papua menjadi Irian yang menurut bahasa lokal memliki arti “Sinar yang menghalangi kabut”.
Chasan Boesoerie dan Salim Azizuddin yang merupakan wakil dari Maluku Utara meminta bendera NIT adalah Merah Putih dengan Indonesia Raya sebagai lagu nasional. Selain itu juga terdapat tanggapan-tanggapan dari Sarapie (Sangir Talaud), Frans Kaisepo (Nieuwe Guinea) dan Katili (Gorontalo), yang sebenarnya para peserta Konferensi Malino memiliki pendapat yang sama yakni adanya kerjasama yang erat antara Indonesia dan Belanda.
Hasil Konferensi Malino
Negara kesatuan dianggap rawan akan adanya perpecahan. Oleh sebab itu, bentuk negara federal dianggap lebih mampu untuk mengakomodir berbagai golongan di Indonesia. Hal ini bersesuaian dengan penjelasan yang diberikan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda H.J. van Mook;
“Untuk menjamin terwujudnya otonomi yang sungguh-sungguh bagi daerah dan bagi bangsa Indonesia dan bagi perkembangan yang seimbang di antara daerah-daerah, Indonesia harus dibangun dalam bentuk federasi yang terdiri dari negara bagian, dengan catatan susunan pemerintahannya disesuaikan dengan taraf kemajuan masing-masing negara.”
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda H.J. van Mook
Di dalam Konferensi Malino yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.J. van Mook tersebut dibentuk Komisariat Umum Pemerintah (Algemeene Regeeringscommissaris) untuk Kalimantan dan Timur Besar yang dikepalai oleh Dr. W. Hoven. Selain itu diangkat pula menjadi anggota luar biasa Dewan Kepala-kepala Departemen (Raad van Departementshooden) untuk urusan kenegaraan antara lain;
- Tjokorda Raka Sukawati (Bali),
- Najamuddin Daeng Malewa (Sulawesi Selatan),
- E. D. Dengah (Minahasa),
- Tahya (Maluku Selatan),
- Dr. Liem Tjae Le (Bangka, Belitung, Riau),
- Ibrahim Sedar (Kalimantan Selatan) dan
- Oeray Saleh (Kalimantan Barat),
Dewan Kepala-Kepala Departmen atau Raad van Departementshooden ini disebut pula sebagai “Komisi Tujuh”. Peraturan pembentukan negara-negara bagian diputuskan dalam konferensi berikutnya yang akan dilaksanakan di Denpasar, Bali. Sebelum itu akan dilangsungkan konferensi dengan wakil golongan minoritas di Pangkal Pinang, Pulau Bangka.
Diakhir Konferensi Malino, pada 26 Juli 1946 dikeluarkan resolusi sebagai hasil Konferensi Malino yatu;
- Indonesia akan bernama Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan menjadi sebuah negara federasi yang mencakup semua wilayah Hindia-Belanda;
- Federasi yang terbentuk harus terdiri atas empat wilayah yang antara lain: Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Besar. Sunda Kecil akan digabungkan ke dalam wilayah Kalimantan sedangkan Bangka, Belitung akan digabungkan ke dalam wilayah Sumatra.
- Mengadakan rapat pada konferensi selanjutnya untuk penyelenggaraan dan usul untuk perubahan tata negara Kalimantan (Borneo) dan Timur Besar (De Groote Oost).
- Persetujuan dengan usul supaya tujuh wakil Indonesia dan Malino mendapat tempat untuk persiapan dari perubahan tata negara Kalimantan, Timur Besar, Bangka, Belitung dan Riau.
Selain membahas tentang urusan kenegaraan dan bentuk pemerintahan, Konferensi Malino juga membahas tentang permasalahan ekonomi. Beberapa usulan tentang perekonomian di dalam Konferensi Malino antara lain:
- Penghasilan awal hasil bumi di sekitar Kalimantan dan Timur Besar dipergunakan untuk pembangunan daerah terlebih dahulu;
- Perniagaan internasional di kawasan itu dipercayakan kepada kalangan swasta dan perkebunan-perkebunan dilindungi;
- Monopoli di bidang ekonomi dihilangkan;
- Penghapusan pembekuan deposito zaman perang;
- Diadakannya pinjaman untuk perdagangan dan koperasi;
- Pelayaran dengan perahu motor ditingkatkan; dan
- Mengangkat wakil-wakil bidang ekonomi di daerah-daerah.
Konferensi Malino ditutup pada tanggal 25 Juli 1946 yang akan dilanjutkan dengan agenda peraturan pembentukan negara-negara bagian dalam konferensi yang akan dilakukan di Kota Denpasar, Bali. Konferensi Malino dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT). Konferensi Malino yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal H.J. van Mook ini sebenarnya bertujuan untuk memecah-belah bangsa Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka di Indonesia Timur. Dengan begitu, Belanda berharap akan dapat dengan mudah mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk mengakui kedaulatan Belanda kembali di Indonesia.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.