Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan pada 23 Agustus – 2 November 1949 adalah perundingan terakhir yang dilakukan oleh Belanda dan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak. Indonesia dan Belanda menyetujui untuk diadakannya Konferensi Meja Bundaryang dilaksanakan di Den Haag, Belanda sebagai persetujuan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam bentuk serikat. Di bawah ini akan dijelaskan tentang sejarah Konferensi Meja Bundar.
Latar Belakang
Setelah disepakatinya perjanjian Roem-Royen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (Indonesia dan Belanda) pada 7 Mei 1949, kedua negara mulai mempersiapkan diri untuk menatap Konferensi Meja Bundar yang akan dilaksanakan di Den Haag, Belanda. Namun, sebelum Konferensi Meja Bundar dilaksanakan, Republik Indonesia terlebih dahulu menggelar Konferensi Inter-Indonesia yang dilakukan antara Pemerintah Kerajaan Belanda, Republik Indonesia dan BFO (Bijenkomst voor Federal Overleg) mengenai syarat-syarat perundingan Konferensi Meja Bundar.
Konferensi Inter-Indonesia yang dilaksanakan oleh Belanda-Republik Indonesia-BFO ini dilakukan pada 22 Juni 1949 dengan mencapai kesepakatan bahwa Konferensi Meja Bundar akan dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 1949 dan berlangsung paling lama dua bulan yang akan diikuti oleh Belanda, Republik Indonesia dan BFO.
Di samping itu di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 juga diadakan konferensi antara RI dan BFO, yang kemudian dilanjutkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli sampai 2 Agustus 1949. Hasil konferensi itu ialah BFO tidak keberatan menerima penyerahan kedaulatan dari Belanda asal penyerahan itu tanpa syarat, artinya penyerahan kedaulatan itu tanpa ikatan-ikatan politik ataupun ekonomi. Dengan selesainya konferensi antara Belanda-BFO-RI pada tanggal 22 Juni 1949 dan konferensi antara BFO-RI pada tanggal 2 Agustus maka tugas selanjutnya ialah mengadakan Konferensi Meja Bundar.
Jalannya Perundingan Konferensi Meja Bundar
Setelah Konferensi Inter-Indonesia baik yang diadakan di Yogyakarta maupun di Jakarta serta sesudah berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri secara musyawarah di dalam Konferensi Inter-Indonesia, bangsa Indonesia secara keseluruhan siap menghadapi KMB. Sebagai hasil dari perundingan antara delegasi Republik Indonesia, delegasi BFO, dan delegasi Belanda, maka pada tanggal 22 Juni 1949 telah didapat persesuaian pendapat (meeting of Minds) mengenai Konferensi Meja Bundar yang dicantumkan dalam sebuah memorandum.
Pada tanggal 4 Agustus 1949 pihak Republik Indonesia telah berhasil menetapkan wakil-wakilnya dalam Konferensi Meja Bundar, dan tanggal 4 Agustus 1949 itu pula diadakan perubahan pada bentuk kabinet Republik Indonesia. Sjafruddin Prawiranegara diangkat menjadi wakil perdana menteri berkedudukan di Sumatera dan Sultan Hamengkubuwono menjadi Menteri Pertahanan merangkap sebagai wakil Perdana Menteri selama Moh. Hatta memimpin delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar.
Konferensi Meja Bundar yang menurut rencana akan diadakan pada tanggal 3 Agustus 1949 ternyata baru dapat diadakan pada tanggal 23 Agustus 1949 di S’gravemhage, Den Haag, Belanda. Pembukaan Konferensi Meja Bundar itu dilakukan oleh Perdana Menteri Belanda Drees selaku ketua Konferensi Meja Bundar. Di bawah ini adalah delegasi yang dikirimkan oleh ketiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar
Wakil Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar:
- Moh. Hatta sebagai ketua delegasi
- Moh. Roem sebagai wakil ketua
Beberapa anggota:
- T. B. Simatupang
- Supomo
- J. Leimena
- Djuanda
- Sukiman Wirjosandjojo, dan
- Sumitro Djojohadikusumo.
Wakil BFO dalam Konferensi Meja Bundar:
- Sultan Hamid II sebagai ketua delegasi
- Ide Anak Agung Gde Agung sebagai wakil ketua delegasi.
Wakil Belanda dalam Konferensi Meja Bundar:
- Johan van Maarseveen sebagai ketua delegasi
- van Vredenburgh sebagai wakil ketua delegasi.
Di samping itu hadir pula delegasi dari UNCI dalam Konferensi Meja Bundar yang mempunyai wewenang untuk memberi bantuan kepada pihak yang bersengketa dalam perundingan itu. Wakil delegasi UNCI yang hadir antara lain:
- T. K. Critchley,
- R. Hereman, dan
- Merle Cochran.
Untuk pelaksanaan Konferensi Meja Bundar itu disusun suatu komisi yang kemudian disebut Komisi Pusat, yang anggotanya ialah semua ketua delegasi dari ketiga negara itu dan semua anggota UNCI. Komisi pusat itu membawahi 5 komisi yaitu: Komisi Politik dan Konstitusional, Komisi Keuangan dan Ekonomi, Komisi Militer, Komisi Sosial, dan Komisi Kebudayaan.
Komisi Politik dan Konstitusional dibagi menjadi beberapa subkomisi, yaitu : subkomisi urusan politik dan konstitusional, subkomisi urusan Uni Indonesia-Belanda dan Piagam Pengakuan Kedaulatan, subkomisi urusan hubungan dengan luar negeri. Dari ketiga subkomisi itu, khusus subkomisi politik dan konstitusional dibagi menjadi 3 seksi yaitu : seksi mengenai konstitusi sementara RIS, seksi mengenai kebangsaan dan kewarganegaraan, dan seksi mengenai soal Irian Barat.
Pada saatKonferensi Meja Bundar sedang berlangsung suatu hal yang tidak dapat dihindari ialah timbulnya ketegangan antara kedua belah pihak. Ketegangan mulai muncul dalam pembicaraan soal kerjasama antara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Belanda. Dalam pembicaraan itu delegasi Belanda menafsirkan bahwa kerjasama antara RIS-Belanda nantinya akan dikepalai oleh Ratu Belanda yang disebut Mahkota Uni. Mahkota Uni dijabat oleh Ratu Juliana secara turun-temurun.
Delegasi Republik Indonesia dan BFO menolak usul itu, karena apabila diterima berarti Indonesia masuk dalam ikatan Kerajaan Belanda. Tetapi seandainya uni yang dikepalai Ratu Belanda itu ada, maka harus dipandang sebagai simbol saja dan tidak mempunyai fungsi dalam hukum internasional. Perdebatan mengenai soal Uni Indonesia-Belanda ini terjadi hingga tanggal 16 September 1949 sehingga perundingan mengalami kemandekan.
Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kemandekan dalam Konferensi Meja Bundar, maka pada tanggal 17 September 1949 dibentuk panitia kecil yang beranggotakan van Rooyen, Moh. Roem, dan Ide Anak Agung Gde Agung. Panitia kecil ini mengadakan sidangnya di Namur, Belgia. Oleh karena perundingan itu mengalami kesulitan, maka akhirnya delegasi UNCI diundang.
Delegasi UNCI yang kemudian hadir ialah Merle Cochran. Merle Cochran secara pribadi mengajukan usul kompromi yaitu bahwa Kepala Uni melambangkan dan menjelmakan kerjasama secara sukarela dan kekal antara sekutu-sekutu Uni. Pada tanggal 18 September 1949 kedua pihak menerima usul itu. Bagi Republik Indonesia dan BFO, rumusan itu sesuai dengan pendiriannya karena dasarnya sukarela, sedang bagi Belanda, Uni rumusan Merle Cochran itu mengandung pengertian bahwa Belanda dapat mengawetkan dan mengekalkan kerjasama itu.
Di bidang ketatanegaraan dan politik ternyata tidak hanya soal Uni saja yang mengalami kesulitan dalam pembicaraan itu. Soal Irian Barat juga merupakan masalah yang memerlukan waktu lama penyelesaiannya. Delegasi Belanda dalam pembicaraan itu mengatakan bahwa Pemerintah Belanda tidak akan mengikutkan Irian Barat dalam pengakuan kedaulatan nanti.
Sebaliknya delegasi Republik Indonesia maupun BFO tetap menuntut agar pengakuan kedaulatan nanti harus secara bulat tanpa syarat yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Belanda merasa keberatan atas tuntutan delegasi Republik Indonesia dan BFO untuk menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia Serikat dalam pengakuan kedaulatan nanti. Karena tuntutan itu maka delegasi Belanda mengancam akan mengundurkan diri dari Konferensi Meja Bundar.
Pada tanggal 29 Oktober 1949 soal Irian Barat dibawa ke komisi Pusat untuk dirundingkan. Dalam perundingan itu yang hadir ialah van Maarseveen, Moh. Hatta, dan Sultan Hamid II. Dalam pembicaraan itu Hatta menyatakan bahwa Hindia Belanda selamanya diperintah sebagai satu kesatuan dan belum pernah didengar tentang pemisahan Irian Barat dari Hindia Belanda.
Delegasi BFO pada prinsipnya sama pendapatnya dengan delegasi Republik Indonesia untuk menyerahkan Irian Barat dalam pengakuan kedaulatan nanti. Karena tuntutan delegasi Republik Indonesia maupun BFO belum sesuai dengan prinsip Pemerintah Belanda untuk menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia Serikat dalam pengakuan kedaulatan nanti.
Delegasi dari UNCI kemudian menawarkan usul kompromi yaitu agar status Irian Barat tetap berada di bawah Pemerintah Belanda dengan syarat bahwa setelah berakhir tahun pertama dari saat pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat status Irian Barat harus dirundingkan lagi antara RIS dengan Belanda. Pihak yang bersengketa baik dari Republik Indonesia, BFO maupun Belanda belum mau menerima usul kompromi itu, sehingga perundingan mengalami kemacetan lagi.
Pada tanggal 31 Oktober 1949 seksi mengenai Irian Barat mengadakan rapat lagi, yang dihadiri oleh delegasi RI, BFO, dan Belanda serta seorang anggota UNCI. Pada rapat itu ketiga delegasi mencapai kata sepakat untuk menerima unsul kompromi dari UNCI yaitu Irian Barat harus diserahkan kepada Pemerintah Belanda. Delegasi BFO mula- mula tidak menyetujui usul delegasi UNCI itu, tetapi setelah mendapat penjelasan dari ketua delegasi Republik Indonesia, Moh. Hatta maka BFO mau menerima juga usul UNCI itu. Dengan diterimanya usul dari UNCI oleh ketiga delegasi itu maka soal Irian Barat dianggap sudah selesai.
Seksi lain yang masih termasuk subkomisi ketatanegaraan, politik, dan konstitusional ialah seksi mengenai konstitusi Republik Indonesia Serikat. Rapat mengenai konstitusi RIS dapat berjalan lancar, karena sudah disiapkan lebih dulu pada waktu diadakan konferensi antara RI-BFO pada tanggal 22 Juli-2 Agustus 1949 di Yogyakarta dan Jakarta. Pembicaraan mengenai konstitusi RIS tidak diadakan dalam rapat KMB, melainkan di luar KMB yang hanya dihadiri oleh delegasi BFO dan Republik Indonesia, sedangkan delegasi Belanda hanya diberi tahu hasilnya. Konstitusi itu disetujui oleh delegasi BFO dan Republik Indonesia pada tanggal 29 Oktober 1949 di Scheveningen, yang kemudian pada tanggal 31 Oktober 1949 dibawa ke Komisi Pusat Konferensi Meja Bundar.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat ditandatangani oleh:
- Moh. Hatta dari Republik Indonesia,
- Ide Anak Agung Gde Agung dari Indonesia Timur,
- Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat,
- A. P. Sosronegoro dari Kalimantan Timur,
- Wiriaatmadja dari Pasundan,
- Mohammad Apan dari Riau,
- Abdoel Malik dari Sumatera Selatan,
- Kaliamsjah Sinaga dari Sumatera Timur,
- Soeparno dari Madura,
- A. A. Rivai dari Banjar,
- Saleh Ahmad dari Bangka,
- K. A. M. Joesoef dari Belitung,
- M. Ali dari Jawa Timur, dan
- M. Jamani dari Kalimantan Tenggara.
Di samping persoalan mengenai ketatanegaraan, politik dan hukum, pembicaraan lain mengalami kesulitan ialah masalah keuangan. Kesulitan itu dikarenakan oleh perbedaan pendapat antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi Belanda mengenai masalah hutang-piutang. Dalam pembicaraan mengenai utang-piutang itu delegasi Belanda menyatakan bahwa Pemerintahan RIS nanti harus mengembalikan hutang Belanda sebanyak 6,1 milyar gulden kepada Pemerintah Belanda.
Hutang itu bagi delegasi Republik Indonesia terlalu berat, karenanya delegasi dari Republik Indonesia menolak tuntutan itu. Dalam jawabannya delegasi Republik Indonesia mengatakan bahwa sebenarnya Pemerintah Republik Indonesia Serikat tidak perlu membayar hutang Hindia-Belanda, karena Pemerintah RI sudah ada sejak proklamasi 17 Agustus 1945.
Menanggapi hal itu Pemerintah Kerajaan Belanda justru harus mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Sebaliknya delegasi Belanda mengatakan bahwa Pemerintah Kerajaan Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, karena itu tetap menuntut agar Pemerintah RIS nanti harus membayar hutang Hindia-Belanda. Pembicaraan mengenai hutang itu sampai akhir bulan Sepetember 1949 belum dapat diselesaikan.
Di dalam mengatasi persoalan hutang-piutang itu maka dibentuklah panitia kecil yang anggotanya terdiri dari 3 orang, seorang wakil dari RI, seorang wakil Belanda, dan seorang wakil UNCI. Panitia itu mengadakan rapat di Baarn pada tanggal 2 Oktober 1949. Walaupun di bawah UNCI perundingan itu juga belum dapat mencari jalan keluar.
Pada pokoknya delegasi Republik Indonesia mau menerima tuntutan Belanda untuk membayar hutang Hindia Belanda asal terbatas pada hutang yang dahulu dipakai untuk kepentingan Indonesia, sedang hutang yang dipakai untuk membiayai aksi militer Belanda, delegasi Republik Indonesia tetap menolak. Karena belum ada kecocokan pendapat dari kedua pihak maka delegasi Republik Indonesia mengusulkan agar pembicaraan ditunda. Delegasi Belanda tidak mau menerima tawaran itu, dan mendesak agar masalah hutang Hindia Belanda dibicarakan dahulu, setelah itu baru pengakuan kedaulatan. Kedua pihak tetap bertahan pada pendiriannya masing- masing, sehingga pembicaraan mengenai soal hutang-piutang itu belum dapat diselesaikan.
Pihak Republik dan Belanda menyadari apabila soal hutang-piutang itu belum terselesaikan maka Konferensi Meja Bundar akan mengalami keagalan. Untuk mengatasi persoalan itu maka dibentuk panitia kecil lagi yang beranggotakan : H. Djuanda dari Republik Indonesia, Inderakusuma dari BFO, Hirschfelt dari Belanda, serta Merle Cochran dari UNCI. Panitia kecil ini pada tanggal 24 Oktober 1949 mengadakan sidang di Hoge Veluwe.
Merle Cochran secara giat berusaha menerobos kemacetan itu, dengan menekan kedua pihak agar mau menerima usul Merle Cochran. Merle Cochran berhasil mendekatkan pendirian kedua pihak yang akhirnya dapat menghasilkan suatu persetujuan. Persetujuan itu menyebutkan bahwa RIS akan mengambil oper hutang Hindia-Belanda sejumlah 4300 juta gulden, dari tuntutan Pemerintah Belanda sejumlah 6100 juta gulden, yang terdiri dari hutang dalam negeri 3000 juta gulden, dan hutang luar negeri 3100 juta gulden.
Dengan selesainya pembicaraan mengenai hutang yang harus dibayar negara RIS nanti kepada Pemerintah Hindia Belanda, maka dihasilkan suatu persetujuan di mana hutang yang harus ditanggung oleh negara Republik Indonesia Serikat nanti telah dihapuskan sejumlah 2 milyar gulden. Menurut pasal 25 dalam Konferensi Meja Bundar, hutang- hutang yang menjadi tanggungan negara RIS dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
- Mengenai hutang defisit Hindia-Belanda pada masa sesudah perang;
- Mengenai hutang kepada negara pihak ketiga;
- Mengenai hutang kepada Kerajaan Belanda;
- Mengenai hutang pada saat penyerahan kedaulatan.
Di samping masalah hutang, komisi Ekonomi dan Keuangan juga berhasil mencapai persetujuan tentang pemindahan uang dari RIS ke Negeri Belanda untuk kepentingan perusahaan Belanda, misalnya, bunga dan pengangsuran pinjaman, iuran untuk dana dan jaminan sosial bagi para pegawai Belanda dan pembayaran lain- lainnya.
Komisi Militer juga mengalami kesulitan dalam pembicaraan masalah militer. Kesulitan itu dikarenakan oleh perbedaan pendapat mengenai kapal perang Belanda di Indonesia. Belanda menghendaki agar kapal perang Belanda ditarik ke negaranya, sedangkan Republik Indonesia menghendaki agar kapal perang Belanda diserahkan kepada Pemerintah RIS.
Pembicaraan itu akhirnya mengeluarkan suatu keputusan yang meliputi : tentara Belanda atau Koninklijk Leger (KL) akan ditarik dari Indonesia setelah penyerahan kedaulatan, sementara menunggu pengangkutan ke Negeri Belanda dilarang mengadakan operasi militer terkecuali atas permintaan Pemerintah RIS. Setelah penyerahan kedaulatan, maka RIS bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri. Anggota angkatan perang yang disebut tentara Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands Indische leger (KNIL) dan batalion-batalion federal akan ditampung dalam Angkatan Perang RIS (APRIS).
Untuk komisi kebudayaan, ketiga delegasi dalam Konferensi Meja Bundar berhasil mencapai kata sepakat bahwa hubungan kebudayaan pengaturannya atas dasar sukarela dan bersifat timbal balik, dalam arti bahwa hubungan itu saling menguntungkan. Ketiga pihak juga menyetujui diadakannya tukar-menukar para guru besar maupun para ahli untuk memajukan ilmu pengetahuan. Di samping itu disetujui pula agar benda-benda yang mempunyai nilai sejarah dan budaya dikembalikan kepada Pemerintahan RIS.
Dalam komisi sosial persetujuan yang tercapai ialah status para pegawai Belanda setelah pengakuan kedaulatan. Pemerintah RIS pada dasarnya mau menerima para pegawai Belanda pada saat pengakuan kedaulatan sampai selama dua tahun setelah pengakuan kedaulatan. Pemerintah RIS tidak akan mengeluarkan peraturan yang merugikan para pegawai Pemerintahan RIS yang berkebangsaan Belanda.
Pada tanggal 31 oktober 1949 semua pasal yang telah dirumuskan dalam perundingan disepakati bersama oleh ketiga delegasi kecuali soal Irian Barat. Selanjutnya pada tanggal 1 November 1949 Komisi Pusat mengadakan rapat. Rapat itu memutuskan bahwa semua hasil Konferensi Meja Bundar dituang ke dalam resolusi induk, yang terdiri dari :
- Rencana Piagam Penyerahan Kedaulatan;
- Rencana Peraturan Dasar Uni dan lampiran- lampirannya;
- Persetujuan khusus dan persetujuan peralihan mengenai kedudukan pegawai sipil;
- Kerjasama di lapangan militer.
Resolusi induk itu kemudian ditandatangani oleh ketua delegasi Belanda van Maarseveen, ketua delegasi Republik Indonesia Moh. Hatta, dan ketua delegasi BFO Sultan Hamid II pada tanggal 2 November 1949. Ikut pula menandatangani resolusi induk itu dari UNCI R. Hereman (ketua), dan Merle Cochran serta Critchley (anggota). Setelah disetujui oleh ketiga delegasi maka resolusi induk itu kemudian disahkan oleh Perdana Menteri Belanda Drees selaku ketua Konferensi Meja Bundar . Dengan disahkannya resolusi induk itu, maka Konferensi Meja Bundar ditutup oleh Perdana Menteri Belanda Willem Drees.
Hasil Perundingan Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan pada 23 Agustus – 2 November 1949 menghasilkan beberapa kesepakatan antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federal Overleg dan Kerajaan Belanda antara lain:
- Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat;
- Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinya; rancangan konstitusi telah diumumkan oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Uni Indonesia-Belanda;
- Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
Selain itu terdapat pula keterangan tambahan di dalam hasil Konferensi Meja Bundar yang antara lain;
- Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Masalah Papua Barat ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun;
- Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda sebagai kepala negara;
- Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa korvet (kapal perang kecil) akan diserahkan kepada RIS;
- Tentara Kerajaan Belanda (KL) selekas mungkin ditarik mundur, sedang Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa para anggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan APRIS;
- Pengambilalihan utang Hindia-Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.