Kritik Sumber Sejarah

Kritik Sumber Sejarah Kritik sumber sejarah adalah suatu metode analisis yang digunakan oleh sejarawan untuk mengevaluasi keandalan dan kebenaran informasi yang terdapat dalam sumber-sumber sejarah. Metode ini melibatkan analisis terhadap sumber-sumber sejarah yang berupa dokumen tertulis, artefak, laporan, foto, rekaman suara, dan sumber-sumber sejarah lainnya.

Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang kritik sumber sejarah atau tahapan verifikasi terhadap sumber-sumber sejarah yang telah didapatkan dari tahapan heuristik sebagai tahapan dalam penelitian sejarah. Jadi, kritik sumber sejarah ini adalah sebagai tahapan yang ketiga di dalam penelitian sejarah.

Fungsi Dan Tujuan Kritik Sumber Sejarah

Sebelum memahami lebih dalam lagi tentang apa yang dimaksud dengan kritik sumber sejarah, adakalanya dipahami pula apa fungsi dan tujuan dari kritik sumber sejarah. Sehingga dapat dipahami dan diketahui apa fungsi dari kritik sumber sejarah dan mengapa harus melakukan kritik sumber sejarah?.

Di dalam usaha mencari kebenaran (truth), seorang sejarawan maupun penulis sejarah dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar (palsu), apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil. Permasalahannya dalam kehidupan nyata sehari-hari, manusia selain telah banyak berbuat yang benar tidak jarang pula membuat kesalahan-kesalahan (disengaja ataupun tidak disengaja), bahkan ada pula yang tidak segan-segan untuk melakukan pemalsuan atau kejahatan lainnya.

Di dalam surat-surat pembaca di surat kabar atau majalah, misalnya seringkali ditemui pembaca-pembaca yang kritis mencoba membantah atau meluruskan asal dan/atau isi berita atau artikel yang telah dimuat sebelumnya, dan seringkali diralat oleh penulis atau surat kabar atau majalah yang bersangkutan.

kritik sumber sejarah

Sehubungan dengan segala kemungkinan di atas, untuk dapat memutuskan ini semua seorang sejarawan maupun penulis sejarah harus mengerahkan segala kemampuan pikirannya, bahkan seringkali ia harus menggabungkan antara pengetahuan, sikap ragu (skeptis), percaya begitu saja, menggunakan akal sehat, dan melakukan tebakan inteligen. Inilah fungsi kritik sumber sejarah sehingga karya sejarah merupakan produk dari suatu proses ilmuah yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hasil dari suatu fantasi, manipulasi atau fabrikasi seorang sejarawan maupun penulis sejarah.

Contoh lain misalnya, di dalam menulis tema sejarah politik tentang Sarekat Islam di Surakarta 1911-1940. Tentunya kita sudah belajar dari sumber sekunder tentang dualisme kekuasaan, di satu pihak ada Belanda dan di lain pihak ada kekuasaan pribumi, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Birokrasi, pegawai, penduduk, kebudayaan, dan kehidupan sehari-hari mengikuti pembagian berdasarkan dua kekuatan politik itu. Di dalam penjelasan mengenai kritik eksternal dan kritik internal dalam kritik sumber sejarah menggunakan tema sejarah politik tentang Sarekat Islam di Surakarta 1911-1940.

Setelah mengetahui secara persisnya mengenai topik penelitian yang akan dikaji, dan telah melakukan pencarian sumber-sumber sejarah yang dianggap bersesuaian dengan topik penelitian yang telah dipilih, maka tahap selanjutnya adalah verifikasi. Verifikasi atau kritik sumber sejarah atau keabsahan sumber perlu dilakukan untuk meyakinkan apakah sumber tersebut benar-benar memberikan keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi di masa lalu atau tidak. Kritik sumber sejarah umumnya dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini menyangkut verifikasi sumber yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu sendiri.

Jenis Kritik Sumber Sejarah

Di dalam metode sejarah, kritik sumber sejarah terdapat dua macam; (1) kritik sumber sejarah dengan melakukan pengecekan autentisitas atau keaslian sumber atau kritik ekstern, dan (2) kritik sumber sejarah dengan melakukan pengecekan kredibilitas atau kebiasaan yang dipercayai atau kritik intern. Di bawah ini akan dibahas mengenai dua macam kritik sumber sejarah itu;

Kritik Eksternal atau Autenisitas

Dapat diumpamakan apabila kita menemukan sebuah surat, notulen, rapat, dan daftar langganan sebuah majalah. Kertasnya sudah menguning, baik surat, notulen atau daftar. Baru menemukan dokumen saja sudah suatu prestasi, rasanya tidak sampai hati untuk tidak memercayainya. Untuk membuktikan keaslian sumber, rasanya terlalu mengada-ada, sebab untuk apa orang memalsukan dokumen yang tidak berharga itu?. Surat, notulen dan daftar itu harus kita teliti: kertasnya, tintanya, gaya tulisannya, bahasanya, kalimatnya, ungkapannya, kata-katanya, hurufnya, dan semua penampilan luarnya, guna mengetahui autentitasnya. Selain pada dokumen tertulis, juga pada artifact, sumber lisan, dan sumber kuantitatif, sehingga harus membuktikan keasliannya. Di bawah ini akan diulas tentang kritik sumber sejarah secara eksternal.

Pengertian Kritik Eksternal

Hal awal yang dilakukan dalam melakukan kritik sumber sejarah adalah dengan melakukan kritik eksternal. Sebagaimana yang dimaksudkan dari istilahnya (kritik eksternal), kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu, maka terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan yang ketat.

Jadi, serupa dengan evidensi yang diajukan di dalam suatu pengadilan. Atas dasar berbagai alasan atau syarat, setiap sumber harus dinyatakan dahulu otentik dan integral. Saksi mata atau penulis itu harus diketahui sebagai orang yang dapat dipercayai (credible).

Kesaksian (testimoni) itu sendiri harus dapat dipahami dengan jelas. Pemeriksaan yang ketat ini mempunyai alasan yang kuat sehubungan dengan beberapa sumber telah dibuktikan palsu; dalam penelitian (investigasi) yang dilakukan telah ditemukan bahwa sumber-sumber itu telah dipalsu atau dibuat-buat atau istilah kata lainnya di fabricated. Beberapa sumber lain meskipun asli, ternyata dengan berbagai alasan telah memberikan kesaksian-kesaksian yang tidak dapat diandalkan (unreliable).

Cara Melakukan Kritik Eksternal Sumber Sejarah

Kritik sumber sejarah dengan melakukan kritik eksternal dilakukan dengan cara sebelum sumber-sumber sejarah dapat digunakan dengan aman, paling tidak ada sejumlah lima pertanyaan yang harus dijawab dengan cukup memuaskan;

  1. Siapa yang mengatakan itu?
  2. Apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah diubah?
  3. Apa sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan kesaksiannya itu?
  4. Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata (witness) yang kompeten – apakah ia mengetahui fakta itu?
  5. Apakah saksi itu mengatakan yang sebenarnya (truth) dan memberikan kepada kita fakta yang diketahui itu?

Adalah fungsi kritik eksternal memeriksa sumber sejarah atas dasar dua hal:

  1. Kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang ini atau pada waktu ini (authenticity).
  2. Kesaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan (uncorupted), tanpa ada suatu tambahan-tambahan atau penghilangan-penghilangan yang substansial (integrity).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam melakukan kritik eksternal sumber sejarah, diantaranya adalah otensitas, mendeteksi data palsu, integritas dan penyuntingan.

Otensitas

Kritik sumber sejarah secara eksternal dilakukan dengan pengecekan otensitas sumber tersebut. Sebuah sumber sejarah (catatan harian, surat, buku adalah otentik atau asli jika itu benar-benar adalah adalah produk dari orang yang dianggap sebagai pemiliknya produk dari orang yang dianggap sebagai pemiliknya (atau dari periode yang dipercayai sebagai masanya jika tidak mungkin menandai pengarangnya). Sebenarnya kata “asli” (genuine) dan “otentik” (authentic) tidak selalu sinonim. Sumber asli artinya sumber yang tidak dipalsu, sedangkan sumber otentik ialah sumber yang melaporkan dengan benar mengenai sesuatu subjek yang tampaknya benar.

Seorang jurnalis misalnya mungkin menulis suatu artikel tentang suatu kerusuhan yang tidak disaksikanya sendiri. Tulisannya itu dikatakan asli, tetapi tidak otentik. Lain halnya dengan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dituliskan oleh Soekarno dan ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta dan dibacakan tanggal 17 Agustus 1945 dapat dikatakan otentik dan asli. Sedangkan ketikan naskah Proklamasi yang ditandatangani oleh Soekarno-Hatta yang disalin oleh seseorang dapat dikatakan salinan itu otentik tetapi tidak asli.

Mengidentifikasi penulis adalah langkah pertama dalam menegakkan otensitas. Terkadang penulis tidak dapat ditandai, tetapi tidak berarti bahwa sumber itu hasil suatu pemalsuan. Dokumen-dokumen yang anonim (tidak menggunakan nama penulis atau pengarang) dapat saja dikatakan otentik. Banyak dokumen dan penerbitan (publikasi) pertama-tama muncul tidak menggunakan nama pengarang atau nama menggunakan nama samaran (pseudonim), dan penelitian kemudian dapat saja berhasil mengidentifikasi beberapa penulisnya. Pada abad ke-19, misalnya, hampir semua jurnalisme adalah anonim.

Penulis-penulis lain dapat lepas dari diteksi tetapi penelitian telah menegakkan secara pasti bahwa sumber itu adalah suatu produk dari suatu periode atau tahun tertentu, dan biasanya ini sudah cukup untuk menegakkan otentisitasnya. Pokoknya ditekankan bahwa asal dari sebuah sumber dapat diragukan dan oleh karenanya otentisitasnya harus dipertanyakan sampai penulisnya benar-benar dapat diketahui. Dan bahkan meskipun kemudian penuisnya dapat diketahui, publikasinya dapat kurang otentik karena itu bukan yang seharusnya.

Baca Juga  Sumber-Sumber Sejarah

Jadi, otentisitas adalah lebih dari pada pemberian suatu nama (attribution) atau suatu periode kepada suatu sumber sejarah. Diperlukan informasi yang lengkap seperti tanggal dari penulisan(komposisi) atau dihasilkan (produksi); tempat dari penulisan atau dihasilkan; originalitas dari penulisan. Pokoknya semua informasi yang mungkin ada tentang asal-mula sumber itu.

Di sini yang diinginkan adalah otentisitas lengkap. Artinya, semakin banyak diketahui tentang asal-usul dari suatu catatan atau peninggalan, menjadi seakin mudah untuk menegakkan kredibilitas (keandalan) dari catatan atau peninggalan itu, Kredibilitas terletak pada kompetensi (competence) dan kebenaran (veracity) dari saksi mata (witness), dan pengetahuan ini sering kali diperoleh dari suatu penelitian mengenai asal-usul dari sumber itu.

Ada beberapa sumber yang ditulis oleh lebih dari seorang, dan bila ini demikian, maka adalah sangat penting untuk menyebutkan semua orang yang dianggap bertanggung jawab atas sumber itu. Buku dengan judul “30 Tahun Indonesia Merdeka“, semisal ditulis oleh beberapa orang dalam satu tim penyusun (ditambah tim penilai).

Dokumen-dokumen lembaran resmi negara, pidato-pidato kenegaraan Presiden, Perdana Menteri, atau menteri-menteri (termasuk Lampiran-lampiran yang tebal yang menyertainya) umumnya mustahil ditulis tanpa bantuan dan kerja sama dari suatu staf ahli tertentu. Dalam hal yang serupa ini sah saja bila menyebutkan pejabat yang menandatangani atau Presiden, Perdana Menteri atau pun Menterinya.

Dengan demikian, memang belum ada aturan yang benar-benar baku yang dapat diberikan untuk memutuskan berapa banyak yang harus dibuktikan sebelum sebuah sumber dapat diterima sebagai sesuatu yang asli. Namun, tetap saja perlu untuk mengetahui sesuatu tentang asal-usul dari sumber itu. Semakin banyak yang diketahui tentang dokumen itu, semakin banyak pula yang dapat digunakan oleh sejarawan dari sumber itu. Masalahnya tidak selalu perlu mengidentifikasikan orang yang menulis dokumen itu karena kecil kemungkinan atau mustahil untuk melakukannya.

Surat-surat pembaca kepada para editor surat-surat kabar jarang ditandatangani dengan nama sesungguhnya oleh para penulis karena mereka menggunakan nama samaran. Tetapi kita dapat berasumsi bahwa editor tahu penulis-penulis tersebut, mereka adalah warga negara, dapat dipercaya dan surat kabar juga memberi tanggal surat-surat itu, sebagai sumber pengetahuan mengenai pendapat umum surat-surat pembaca ini tidak dapat diragukan adalah sumber otentik.

Mendeteksi Sumber Palsu

Mendeteksi sumber palsu harus dilakukan dalam melakukan kritik sumber sejarah secara eksternal. Hal ini dilakukan dikarenakan kecanggihan dari sumber teknologi pada saat ini dapat memudahkan pemalsu sumber sejarah memudahkan kegiatannya untuk memalsukan sumber-sumber. Banyak dokumen rahasia negara dala interaksi antara negara yang sedang berkonflik dijajakan oleh para pemalsu kepada kedutaan, intel, atau, koresponden surat kabar yang dikatakan asli tetapi kenyataannya adalah palsu. Hal ini tentu saja dengan maksud untuk mengacaukan hubungan atau untuk dapat mengambil keuntungan material pribadi. Hal sedemikian ini pernah terjadi di tahun 1980-an diberitakan tentang ditemukannya “Catatan Harian Hitler” tetapi setelah diteliti dengan cermat ternyata data ini adalah palsu.

Sebenarnya sumber-sumber palsu itu tidak terbatas pada catatan-catatan saja. Peninggalan-peninggalan juga dapat dipalsukan. Tengkorak manusia atau binatang purba dapat saja dipasukan. Lalu bagaimana mendeteksi catatan dan/atau peninggalan palsu itu? Bagaimana diketahui bahwa suatu koleksi sejarah adalah sumber-sumber asli? Adakah jaminan bahwa tempat penyimpanan sumber-sumber sejarah itu tidak menerima sumber palsu? Jaminan itu sebenarnya ada. Dengan melakukan saringan yang ketat ujian otentitas dokumen, terutama terhadap dokumen-dokumen yang dicurigai telah dipalsukan. Seringkali arsip-arsip telah melakukan ini sebab kalau tidak arsip akan menjadi gudang tumpukan kertas-kertas yang tidak ada gunanya.

Sementara itu juga para sejarawan tidak mempunyai hak untuk menggunakan dokumen ini sebagai sumber-sumber sejarah sampai dokumen ini lulus dari ujian dengan memuaskan. Bahkan keraguan pun sudah cukup untuk menghindarkan para sejarawan untuk menggunakan sumber tersebut sampai keragu-raguan itu dihilangkan. Tentu saja ada beberapa dokumen palsu berhasil lolos dan bertahan selama beberapa waktu tetapi pada akhirnya terungkap juga kepalsuanya.

Ujian-ujian terhadap sumber-sumber ini adalah aplikasi kritik eksternal dan internal dan biasanya dibagi atas empat kategori diantaranya adalah (1) kriteria fisik, (2) garis asal-usul dari dokumen atau sumber, (3) tulisan tangan, (4) isi dari sumber. Di bawah ini akan diberikan penjelasan terhadap penerapan dari empat kategori tersebut.

  1. Kriteria Fisik

Hal yang perlu dilakukan dalam mendeteksi sumber palsu sebagai upaya melakukan kritik sumber sejarah adalah dengan mengecek kriteria fisik dari sebuah sumber atau dokumen. Terkadang dokumen gagal tes pertama, yaitu tes kriteria fisik. Misalnya, jika kertas dibuktikan oleh ujian kimia dari suatu periode yang berbeda dari periode yang diklaim oleh dokumen itu, atau tinta atau cat tidak dikenal dari periode yang dikatakan zaman dari dokumen itu, Misalnya, kertas-kertas lebar dan tinta yang umumnya digunakan dalam penulisan pada abad ke-17 dan atau abad ke-18 yang digunakan oleh para pejabat VOC, ternyata menggunakan kertas kuarto dan tinta dari abad ke-20. Dengan demikian maka dokumen tersebut telah gagal dalam tes pertama mengenai kriteria fisik.

  1. Garis Asal-Usul Dokumen Atau Sumber

Hal selanjutnya yang dilakukan dalam mendeteksi sumber palsu adalah dengan mengamati garis asal-usul dokumen atau sumber. Jika asal-usul dokumen atau sumber tidak jelas maka perlu diragukan karena sampai kepada kita melalui suatu garis pemilik-pemilik yang tidak dikenal.

  1. Tulisan Tangan

Perlu diketahui, bahwa tulisan tangan dapat membuktikan kepalsuan dari suatu dokumen. Oleh sebab itu, suatu perbadingan perlu dilakukan di antara dokumen-dokumen yang dianggap penulis dikenal otentik dan dokumen yang sedang diperiksa yang kemudian terbukti palsu.

  1. Isi Dari Sumber

Langkah selanjutnya dalam melakukan kritik sumber sejarah terutama untuk mendeteksi sumber palsu adalah dengan mengecek isi dari sumber. Dari isi (content) suatu dokumen atau sumber dapat ditemukan, misalnya, anakronisme, kesalahan-kesalahan yang dianggap penulis sebenarnya tidak melakukannya, atau pandangan-pandangan yang dinyatakan bertentangan dengan pandangan-pandangan yang sudah dikenal dari penulis yang sebenarnya.

Demikianlah ujian otentisitas sumber merupakan sebuah keharusan sehingga sebuah dokumen palsu hampir tidak dapat lolos ini tanpa menimbulkan kecurigaan. Bagaimanapun pandainya pemalsuan, adalah sulit untuknya melepaskan diri dari deteksi ini. Ujian secara terus-menerus dan pengeritik-pengeritik adalah jaminan bahwa sumber-sumber sejarah palsu tidak akan mendapatkan jalan masuk ke dalam perpustakaan dan arsip negara kita.

Integritas

Upaya melakukan kritik sumber sejarah selanjutnya adalah mengenai integritas. Sejarawan tidak cukup puas dengan pengetahuan bahwa sebuah sumber adalah otentik atau asli saja, Ia juga harus mengetahui apakah sumber itu tetap terpelihara otentisitasnya selama transmisi dari saksi mata aslinya sampai dengan kepada dirinya. Apakah kesaksian yang telah diberikan ketika ditransmisikan tidak mengalami perubahan-perubahan?. Apabila kesaksian itu secara substansial diubah pada suatu waktu sejak diberikan pertama kali dan perubahan-perubahan ini tidak dapat dibedakan dari kesaksian asli, maka sumber itu dapat dikatakan sudah tidak otentik lagi. Berdasarkan pada kenyataan di atas, sumber itu telah kehilangan integritasnya.

Jadi, integritas itu adalah satu aspek dari otentisitas dan sebagai aspek yang sangat penting. Suatu sumber mempunyai otentisitas yang tetap jika kesaksian yang asli tetap terpelihara tanpa korupsi atau ubahan-ubahan (corruptions) meskipun ditransmisikan dari masa ke masa. Jika ini semua benar-benar diketahui maka dapat dikatakan bahwa fakta dari kesaksian (fact of testimony) telah ditegakkan bagi sejarawan.

Korupsi atau ubahan dapat berupa penambahan, pengurangan, penghilangan atau penggantian dalam teks asli dan ini mungkin saja disengaja ataupun tidak disebgaja dalam sumber asli atau dalam salinan-salinan aslinya. Sebab-sebab dari adanya pengubahan ini mungkin karena interpolasi (pembuatan tambahan yang acap kali menyesatkan) yang disengaja atau penghapusan dalam sumber asli, atau karena penyalinan yang ceroboh dari penulis-penulis (scribes), tukang ketik, dan alat-alat cetak (printers), maupun juga disebabkan oleh pekerjaan editorial yang tidak kompeten. Tambahan-tambahan atau penghilangan-penghilangan ini dapat berarti suatu perubahan substansial dalam kesaksian atau dapat juga berakibat suatu perubahan yang tidak berarti.

Ini adalah pekerjaan para ahli khusus, misalkan para filolog dalam melakukan kritik tekstual (textual critiscism) untuk menegakkan fakta-fakta ini. Para sejarawan acapkali harus bergantung pada para ahli ini untuk mendapatkan jaminan bahwa sumber-sumber sejarah secara substansial masih integral. Terutama sekali yang berkaitan dengan manuskrip-manuskrip dari periode-periode kuno dan tidak menutup kemungkinan bagi periode sesudahnya. Akan tetapi, pada saat-saat mendesak jika ahli ini tidak ada dan sejarawan itu sendiri terpaksa menjadi pelopornya, maka ia harus dapat menegakkan sendiri otentisitas dan integritas dari sumber-sumbernya.

Adanya pengubahan-pengubahan karena kekeliruan dalam menyalin adalah hal umum dan acapkali secara substansial dapat merubah arti sebuah teks. Oleh sebab itu, untuk mencegah kekeliruan menyalin atau dalam verifikasi perlu dilakukan kolasi (collation) yaitu dengan membandingkan manuskrip asli dan salinan. Caranya ialah seorang membaca naskah asi dan sejarawan mengikuti naskah salinan. Dengan cara ini dapat diketahui apa yang ditambah, diubah, dikurangi, atau dihilangkan, termasuk pula tanda-tanda baca seperti titik, koma dan sebagainya.

Baca Juga  Sejarah Dan Ilmu-Ilmu Sosial

Para sejarawan telah menemukan interpolasi macam lain yang cukup mengganggu yaitu perubahan-perubahan yang dibuat oleh penulis-penulis sendiri dala catatan-catatan harian mereka. Entri (masukkan) asli yang menyatakan pendapat dan opini kontemporer diubah lama setelah peristiwa terjadi, dan apa yang tampak sebagai suatu opini pada waktu peristiwa terjadi, dan apa yang tampak sebagai suatu opini pada waktu peritiwa terjadi pada kenyataannya merupakan pertimbangan sesaat dari penulis sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang berturut-turut serta reaksi umum atas kejadian. Untunglah perubahan-perubahan itu dapat ditandai sehinga entri asli dapat dibedakan dengan entri kemudian.

Penyuntingan

Bagian terakhir dari upaya melakukan kritik sumber sejarah secara eksternal adalah dengan melakukan penyuntingan. Dokumen-dokumen yang disunting (edit) secara sembarangan dan tidak kompeten dapat merusak banyak sumber sejarah. Aturan-aturan mengedit sebenarnya sederhana meskipun cukup ketat. Dokumen-dokumen harus diedit sebagaimana aslinya. Kalau ada perubahan-perubahan yang dibuat, penyunting harus memberitahukan pembacanya atau pemakainya. Aplikasi dari aturan-aturan sederhana ini menuntut kerajinan yang teliti. Terutama mahasiswa sejarah yang kurang dapat memahami kegunaan dari tanda-tanda baca sebab penambahan atau penghilangan koma atau titik dapat merubah arti secara.

Aturan-aturan menyunting merupakan pelajaran praktis yang sangat penting bagi para mahasiswa ilmu sejarah. Dalam tugas membuat makalah-makalah berkala (terms papers), misalnya, mereka dituntut menggunakan kutipan-kutipan dari materi yang dikumpulkan untuk makalah itu. Penggunaan kutipan-kutipan yang tepat adalah suatu tugas penyuntingan (editorial) mereka dalam ukuran kecil, dan oleh karena itu adalah wajib bagi para mahasiswa mengetahui aturan-aturan itu dalam penyusunan dan penulisan makalah mereka.

Kritik Intern Atau Kredibilitas

Selain melakukan kritik sumber sejarah secara eksternal, hal selanjutnya tentu harus dilakukan kritik sumber sejarah secara internal. Sesudah dapat ditentukan bahwa dokumen yang telah diverifikasi berdasarkan kritik eksternal itu adalah dokumen yang autentik, maka perlu diteliti apakah dokumen itu dapat dipercaya.

Kini, merujuk pada kasus pada kritik eksternal di atas tentang Sarekat Islam, apabila akan meneliti surat pengangkatan sebagai ketua koperasi batik di Surakarta. Sehingga haruslah dapat dibuktikan bahwa apakah benar Sarekat Islam punya koperasi batik, tahun itu ketua koperasinya tidak ada, dan orang itu adalah anggota Sarekat Islam. Dan kredibilitas foto, misalnya foto ucapan selamat dalam upacara penyumpahan, itu akan tampak dalam pertanyaan, apakah waktu itu sudah lazim ada ucapan selamat atas pengangkatan seseorang? kalau semuanya positif, tidak ada cara lain kecuali mengakui bahwa dokumen yang dimaksud adalah dokumen yang kredibel (credible). Di bawah ini akan dijelaskan tentang kritik sumber sejarah secara internal.

Pengertian Kritik Internal

Kritik sumber sejarah secara internal sebagaimana maksudnya menekankan aspek intern atau dalam yaitu isi dari sumber: kesaksian (testimoni). Setelah fakta kesaksian (fact of testimony) ditegakkan melalui kritik eksternal, selanjutnya harus dilakukan evaluasi terhadap kesaksian itu. Seorang sejarawan harus dapat memutuskan apakah kesaksian itu dapat diandalkan (reliable) atau tidak. Keputusan ini didasarkan atas penemuan dua penyidikan (inkuiri):

Arti sebenarnya dari kesaksian itu harus dipahami. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan oleh penulis? Adalah mustahil untuk mengevaluasi sesuatu kesaksian kecuali orang mengetahui secara jelas apa yang telah dikatakan. Sesuatu yang telah dikatakan tidak selalu jelas sehingga tidak mudah untuk memahami apa sebenarnya maksudnya.

Setelah fakta kesaksian dibuktikan dan setelah arti sebenarnya dari isinya telah dibuat sejelas mungkin, selanjutnya kredibilitas saksi harus ditegakkan. Saksi atau penulis harus jelas menunjukkan kompetensi (competence) dan verasitas (kebenaran, veracity). Sejarawan harus yakin bahwa saksi mempunyai kemampuan (kapasitas) mental dan kesempatan untuk mengamati dan saksi menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan suatu pengertian yang benar mengenai kejadian itu. Peneliti harus yakin akan nilai moral atau kejujuran dari saksi dan bahwa ia sedang mengatakan yang sebenarnya tentang kejadian yang dia amati itu. Dengan kata lain, sejarawan harus yakin bahwa saksi tidak berbohong atau menipu kita. Jadi, adalah tugas kritik internal untuk menegakkan fakta-fakta ini.

Arti Sebenarnya Dari Kesaksian

Seorang sejarawan maupun penulis sejarah harus dapat menetapkan arti sebenarnya (real sense) dari kesaksian itu: apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh saksi ataupun penulis. Karena bahasa tidak statis dan selalu mengalami perubahan, menentukan arti sebenarnya kadang-kadang menimbulkan suatu masalah yang serius. Sebab, kata-kata mempunyai dua pengertian:

  1. Arti Harfiah (literal)

Harfiah adalah pengertian gramatikal dari kata literal, yang berasal dari bahasa latin litera, huruf. Misalnya, berarti “menurut huruf”.

  1. Arti Sesungguhnya (real)

Kata-kata tidak selalu digunakan dalam pengertian literal. Arti literal dapat saja telah ditinggalkan dan suatu arti baru dilekatkan pada kata itu, atau kata digunakan dalam suatu pengertian kiasan atau metafora. Pengertian real dari suatu kata adalah arti yang dilekatkan oleh penulis atau saksi. Ini dapat mempunyai pengertian literal, atau suatu pengertian kiasan atau mungkin seluruhnya suatu pengertian baru yang diterima secara umum oleh publik, atau mungkin itu semacam omongan ganda (double talk) yaitu mengandung arti lain bagi publik umumnya.

Demikianlah seorang penulis sejarah maupun sejarawan harus mempunyai semacam latihan retorik dan hermeneutis untuk mengetahui bahasa dalam mana sumber atau dokumen ditulis. Bahasa dari suatu bangsa berubah dari generasi ke generasi, dan juga pengertian mengenai idiom-idiom dari waktu dokumen asli itu adalah perlu. Jadi kata-kata dan ungkapan-ungkapan, dapat mempunyai pengertian-pengertian yang berbeda. Pernyataan “bahasa diplomatik” dapat mengandung satu dari ketiga arti ini:

  1. Bahasa sebenarnya dari para diplomat dalam surat menyurat (korespondensi);
  2. Ungkapan-ungkapan teknis yang telah menjadi bagian dari bahasa diplomatik yang umum diterima;
  3. Pernyataan terjaga (guarded understatment) yang memungkinkan para diplomat membuat pernyataan tajam dengan kata-kata sopan.

Ilmu semantik merupakan pengetahuan yang berharga bagi para sejarawan. Sebagai bagian dari linguistik semantik mengkaji tentang arti dari kata-kata dan kalimat; bagaimana kata-kata berubah artinya; bagaiman arti kata meluas atau menyempit; bagaimana kata-kata lain diadopsi untuk menyatakan arti kata-kata yang telah kehilangan arti asli dan menjadi arkais (kuno). Ini merupakan suatu proses yang berkelanjutan karena ide-ide baru selalu menuntut pernyataan baru sementara ide-ide lama ditinggalkan, dan kecenderungan adalah mengkhususkan suatu istilah umum atau memberikan suatu arti baru kepada sebuah kata lama.

Dalam kosa kata Indonesia baru, misalnya, banyak kata lama dihidupkan kembali atau mendapat arti baru, atau disejajarkan dengan istilah-istilah asing seperti kata canggih, oknum, diamankan, kendala, keterbukaan, restu, pegarahan, dan sebagainya.

Ada sejumlah pertanyaan yang dapat dimunculkan untuk menuntun sejarawan maupun penulis sejarah dalam mengevaluasi kesaksian suatu sumber atau dokumen dalam melakukan kritik sumber sejarah. Misalnya; Apa tujuan penulis dalam menulis atau memberikan kesaksian ini? Apa kedudukan penulis dalam hidup, bagaimana sifatnya, pandangannya atau kecenderungan politiknya, pendidikannya? Apakah ia ahli dalam suatu bidang tertentu? Apa alasan dari tuisannya itu? Apakah dia berpidato dalam suatu pertemuan politik atau keagamaan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan dapat membantu menjelaskan apa yang ingin dikatakan oleh penulis.

Kredibilitas Kesaksian

Di dalam melakukan kritik sumber sejarah, kredibilitas kesaksian perlu dipertimbangkan oleh seorang sejarawan maupun penulis sejarah. Posisi sejarawan berada di antara mudah percaya dan ragu (skeptis). Seorang yang mudah percaya begitu saja siap menerima setiap pertanyaan, baik lisan maupun tulisan. Sebaliknya seseorang yang skeptis selalu siap menolak setiap pertanyaan. Dalam hal ini, sejarawan maupun penulis sejarah harus menghindari kedua sikap ini.

Pencarian sejarawan adalah untuk kebenaran substansial. Seorang saksi dapat salah dalam beberapa rincian tertentu namun ia masih benar secara substansial. Kredibilitas (dapat dipercaya) tidak harus ditolak secara a priori kecuali jika saksi secara keseluruhan telah dinyatakan tidak dapat dipercayai.

Jadi, kredibilitas kesaksian berasal dari kompetensi dan kebenaran saksi, dan dua kualifikasi ini tentu saja tidak dapat diterima begitu saja. harus diketahui bagaimana kemampuan saksi untuk mengamati, bagaimana kesempatannya untuk mengamati teruji benar atau tepat, bagaimana jaminan bagi kejujurannya, bagaimana kesaksiannya itu dibandingkan dengan saksi-saksi dengan memperhitungkan kemungkinan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh saksi lain.

Pada umumnya, yang menjadi sumber kesalahan ialah pengamatan yang keliru, ingatan yang salah prasangka, dan ketidakmampuan dalam mengutarakan dengan jelas pikiran-pikirannya. Sejarawan harus dapat menyadari akan semua sumber kesalahan ini, terutama ia harus berhati-hati terhadap kelemahan-kelemahan dari suatu ingatan yang salah dan prasangka.

Perlu disadari bahwa prasangka dan berat sebelah dapat menimbulkan salah paham atas sesuatu atau serangkaian kejadian-kejadian dan pada gilirannya dapat menghasilkan suatu pandangan yang memihak dalam mencatat peristiwa atau kejadian itu. Oleh sebab itu sejarawan yang bersandar penuh pada memoir dan otobiografi seseorang sebagai sumber sejarah harus menggunakannya dengan hati-hati.

Baca Juga  Hermeneutika Dalam Eksplanasi Sejarah

Sikap berat sebelah, prasangka, atau pembelaan diri dapat diamati dari karya seorang penulis dengan meneliti memoir atau otobiografinya. Perhatikan tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam rangkaian kejadian yang sama kemudian bandingkan memoir atau otobiografi yang mereka tulis kemudian mengenai peristiwa itu akan dapat mlihat bagaimana visi, persepsi, opini mereka yang berbeda kalau tidak dapat dikatakan bertentangan satu sama lain mengenai peristiwa yang sama tersebut.

Bandingkan otobiografi atau memoir dari tokoh-tokoh dalam sejarah Indonesia seperti Sukarno, Muhammad Hatta, Achmad Soebardjo, Adam Malik, B. M. Diah, Soediro, mengenai peristiwa yang berhubungan dengan Proklamasi kemerdekaan tahun 1945, misalnya. Selain saling mengisi, juga tidak jarang kita temui saling kecam atau usaha membela atau membenarkan diri masing-masing dalam perisitwa bersejarah itu.

Umumnya memoir atau otobiografi ditulis kemudian, sering kali sesudah pensiun atau berhenti dari suatu jabatan kenegaraan tertentu. Di negara-negara barat biasanya bersifat baru, umumnya karena desakan peerbit yang melihatnya dari segi keuntungan komersial. Misalnya, mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher menulis memoir sehubungan dengan masa-masa jabatannya sebagai Perdana Menteri perempuan Inggris pertama.

Di Asia, khususnya di Indonesia, relatif lama kemudian dengan alasan yang tidak selalu sama. Karena distansi waktu ini, penulisan memoir atau otobiografi tanpa bantuan dari jurnal atau sumber-sumber lain yang dapat dipercaya menuntut sejarawan untuk mengevaluasi dengan ekstra hati-hati. Masalahnya ketika tahun demi tahun berlalu, rincian ingatan berkurang kalau tidak menghilang. Banyak contoh kesalahan karena lupa dan sebagainya dalam penyusunan memoir atau otobiografi ini. Ditambah lagi dengan munculnya ide-ide baru dan pengamatan-pengamatan baru dan pengamatan-pengamatan baru ini kemudian mewarnai kesan-kesan asli dari peristiwa lama itu.

Selanjutnya kredibilitas dari catatan-catatan tertulis dapat ditemukan di dalam hakikat dan tujuan dari sumber-sumber tersebut karena masing-masing mempunyai kriteria tersendiri untuk dinilai. Meskipun semuanya adalah sumber sejarah, tetapi tidak semua mempunyai tujuan pertama untuk menampilkan kebenaran sejarah. Misalnya dapat diperhatikan seperti khotbah keagamaan, pidato kenegaraan, pernyataan pemerintah, lembaran negara, debat di lembaga legislatif, manifesto politik, biografi politik, memoir atau otobiografi, surat-surat diplomasi, surat yang ditandai “pribadi dan rahasia”, editorial surat kabar atau majalah, pernyataan pers, keputusan pengadilan, surat pengumuman atau edaran, iklan dan sebagainya.

Dari keragaman ini isinya dapat diklasifikasikan bermacam-macam dari yang amat subjektif emosional sampai kepada yang objektif. Oleh sebab itu, masing-masing mempunyai kriteria tersendiri dalam melakukan kritik internal ini.

Pengetahuan sejarawan dalam melakukan kritik sumber sejarah tentang diri saksi atau penulis dari kesaksian itu diperlukan dan pengetahuan ini harus dihubugkan dengan kesaksian atau kejadian yang tersebut dalam kesaksian. Semua informasi yang berhasil dikumpulkan tentang asal-usul sumber itu memberikan bantuan yang kuat dalam menegakkan kompetensi dan kebenaran dari saksi.

Kredibilitas kesaksian itu dikondisi pula oleh kualifikasi-kualifikasi dari saksi seperti usia (muda, sebaya, tua, pikun); watak (sinis, optimis, pesimis), pendidikan dan kedudukan (bangsawan, pejabat pemerintah, pegawai, majikan, buruh). Sejarawan tidak dapat mengharapkan kesaksian yang sama mengenai masalah tertentu dari seorang petani atau buruh buta huruf, pencuri, politikus, wanita, guru besar dan sebagainya. Ini menyangkit kemampuan, minat, profesi, serta kesempatan. Kualifikasi ini berkaitan dengan kecenderungan-kecenderungan kesaksian seperti emosional, membesar-besarkan masalah, berpikir sempit, memihak, mendistorsi kesaksian yang menguntungkan saksi.

Sejarawan lebih menyukai kesaksian lebih dari satu orang saksi meskipun karena kelangkaan ia terpaksa harus menerima kesaksian seorang saksi saja. Juga sejarawan menghendaki saksi-saksi itu kontemprer artinya dekat dengan kejadian yang dilaporkannya. Kemudian ia menghendaki pula saksi-sasksi yang kompetensi, kejujuran, pertimbangannya yang masuk akal dan tidak memihak dapat dijamin.

Sejarawan mengharapkan sedapat mungkin mengumpulkan semua saksi yang mempunyai kualifikasi tinggi sehingga kesaksian-kesaksian mereka dapat dibandingkan satu sama lain dan dengan demikian kesalahan-kesalahan dari salah seorang saksi dapat dihilangkan. Prosedur terakhir ini penting, karena sejarawan acapkali bersandar pula pada sumber-sumber lain yang otentik dan dapat dipercaya dalam menegakkan atau menolak kredibilitas dari seorang saksi baru.

Biasanya dalam membuat perbandingan sejarawan melakukannya hampir secara naluriah. Ketika sedang membaca sumber baru, secara wajar sejarawan mengecek isinya dengan fakta dan peristiwa-peristiwa sejarah yang jelas diketahui, dengan pengetahuan yang berasal dari sumber-sumber otentik dan dapat dipercayai lainnya. Sejarawan akan melacak kesalahan, menandai anakronisme, melihat kesesuaian, ketimpangan, atau perbedaan dengan sumber-sumber dari saksi-saksi. Di dalam membandingkan satu sumber dengan sumber-sumber lain untuk kredibilitas, terdapat tiga kemungkinan:

  1. Sumber-sumber lain dapat cocok dengan sumber A, sumber yang dibandingkan (concurring sources);
  2. Sumber-sumber lain berbeda dengan sumber A (dissenting sources);
  3. Sumber-sumber lain itu “diam” saja, artinya tidak menyebutkan apa-apa (silent sources)
Membandingkan Sumber Sejarah Untuk Kredibilitas

Diantara tiga kemungkinan di dalam membandingkan sumber dengan sumber-sumber lain untuk kredibilitas akan dibahas di bawah ini;

Sumber-Sumber Yang Sesuai (Concurring Sources)

Kredibilitas sumber, disini kita sebut saja Sumber A tidak lagi ditegakkan apabila sumber-sumber lain yang sesuai dengan kesaksiannya telah ditemukan. Apakah sumber-sumber yang sesuai ini independen (berdiri sendiri)? Jika tidak, maka ada alasan kuat untuk meragukannya, bahwa ada kemungkinan penyalinan sehingga terjadi ketergantungan (dependence) kepada satu sumber asli.

Titik berat pembuktian terletak pada jawaban atas pertanyaan: apakah sumber-sumber yang sesuai ini independen (berdiri sendiri) atau dependen (tergantung)? Persesuaian kesaksian dari saksi-saksi yang bebas berdiri sendiri (independen) dan dapat dipercaya yang dapat menegakkan kredibilitas suatu sumber tertentu. Jadi, saksi-saksi yang sesuai itu harus independen. Di bawah ini akan diberikan contoh melakukan kritik sumber sejarah dalam hal ini melakukan pengecekkan terhadap kredibilitas sumber-sumber yang sesuai;

Pada tahun 1693 terjadi pembunuhan atas permaisuri Sultan Dompu (Sumbawa). Sebagai tertuduh dalam pembunuhan ini ialah Sultan Bima Jamaluddin yang diadili di Ujung Pandang oleh suatu dewan raja-raja yang dipimpin oleh raja Bone, Arung Palaka. Sultan Jamaluddin dinyatakan bersalah dan dibuang ke Batavia sampai ia meninggal pada tahun 1696. Peristiwa pembunuhan ini dicatat di dalam Kronik Bima yang menggunakan bahasa Melayu dan huruf Arab-Melayu (Jawi), lengkap dengan jam, hari, tanggal, bulan Arab dan tahun 1105 Hijriah. Ternyata peristiwa pembunuhan ini juga tercatat dalam sumber Makassar (Gowa-Tallo) dan sumber Belanda (VOC). Dalam sumber Belanda, tentu saja peristiwa ini tercatat menggunakan bahasa Belanda dengan hari, tanggal, bulan dan tahun 1693 Masehi.

Jadi, berdasarkan kasus diatas, disini sumber Bima, sumber Makassar, dan sumber Belanda masing-masing berdiri sendiri (independen), tetapi sesuai (concur) sehingga saling mengisi mengenai suatu peristiwa yang sama.

Sumber-Sumber Berbeda (Dissenting Sources)

Berbeda dengan sumber-sumber yang sesuai di atas, bagaimana dengan kredibilitas sebuah sumber yang kesaksiannya berbeda dari atau bertentangan dengan sumber-sumber lain? Di sini tentu saja tergantung pada tingkat perbedaan, pada hakikat dari sumber-sumber yang berbeda-beda itu. Meskipun ada perbedaan pada rincian atau pada butir-butir atau hal-hal kecil namun semuanya tidak dapat membatalkan begitu saja kesaksian dari sumber yang dibicarakan.

Dicontohkan bahwa dua jenderal dari pihak yang samapun mempunyai perbedaan dan ketidaksepakatan, apalagi jika berhadapan dua pihak yang berlawanan. Bahkan kalau terdapat kesesuaian atau kecocokan yang sempurna di antara sumber-sumber itu maka perlu dicurigai akan adanya kerjasama dalam melakukan pemalsuan.

Tetapi, di mana terdapat pertentangan yang sungguh-sungguh antara sumber-sumber itu mengenai substansi dari kesaksian, maka kecil alasan untuk menggunakan salah satu sumber sampai kredibilitas dari satu atau yang lain dapat ditegakkan atas dasar alasan yang kuat. Hanya saja seorang sejarawan tidak boleh tergesa-gesa menyimpulkan bahwa terdapat kontradiksi yang sungguh-sungguh dan tidak terpecahkan dalam kesaksian-kesaksian itu.

Pada beberapa kondisi tertentu kontradiksi yang tajam dalam kesaksian telah dapat diperkirakan sebelumnya, atau kontradiksi-kontradiksi itu mungkin hanya tampaknya saja atau tidak cukup untuk membatalkan kesaksian-kesaksian yang ada. Kesaksian yang bertentangan dari pihak-pihak yang berlawanan atau bersaingan adalah umum, dan biasanya kebenaran akan ditemukan di antara kedua kutub itu.

Begitu pula kadang-kadang ada kesaksian yang begitu rumit dan amat bertentangan sehingga suatu kesimpulan yang masuk akal tampaknya mustahil. Menghadapi hal yang serupa ini, peneliti harus yakin bahwa kontradiksi itu tidak dibuat-buat. Tetapi acapkali dengan penerapan aturan-aturan yang sabar dan hati-hati pada akhirnya komplikasi-komplikasi semacam ini akan dapat diselesaikan juga.

Penting untuk diingat bahwa kritik sumber sejarah tidak menjamin kebenaran absolut dari suatu sumber, namun dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang peristiwa dan individu dalam konteks sejarah. Sejarawan juga perlu mempertimbangkan sumber-sumber lain untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap dan akurat tentang masa lalu.

Daftar Bacaan

  • Barzun, Jacques & Henry F. Graff. 1970. The Modern Researcher. New York: Harcourt, Brace & World.
  • Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
  • Gee, Wilson. 1950. Social Science Research Methods. New York: Aplleton-Century-Crofts, Inc.
  • Lucey, William Leo. 1984. History: Methods and Interpretation. New York & London: Garland Publishing Inc.
  • Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca