Lingkungan Masa Paleolitikum di Indonesia
Lingkungan masa paleolitikum di Indonesia, terutama berkaitan dengan kehidupan hewan dan tumbuhan dapat dideskripsikan berdasarkan pada fosil-fosil hewan dan tumbuhan yang telah berhasil ditemukan. Pada umumnya, diyakini bahwa hewan-hewan yang hidup pada masa paleolitikum (plestosen) di Indonesia merupakan hasil evolusi dari hewan-hewan pada periode sebelumnya, terutama pada zaman tersier. Kondisi ini pun tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan pula dialami oleh seluruh dunia pada masa paleolitikum. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang lingkungan masa paleolitikum di Indonesia khususnya berkaitan dengan kehidupan hewan dan tumbuhan.
Punah dan Berevolusi
Lingkungan masa paleolitikum di Indonesia tidak terlepas dari proses evolusi dan juga kepunahan beberapa spesies makhluk hidup yang pernah mendiami wilayah Kepulauan Indonesia. Berdasarkan pada evolusi dapat diketahui bahwa zaman Kenozoikum (Paleosen sampai dengan periode Holosen) merupakan masa puncak dari perkembangan hewan menyusui (mammalia). Dari berbagai jenis fosil yang telah ditemukan, dapat diketahui bahwa hampir semua jenis hewan mengalami proses evolusi. Di dalam proses perkembangannya dari setiap periode yang telah berlangsung selama jutaan tahun, ternyata terdapat beberapa jenis hewan yang punah atau mengalami perkembangan bentuk fisik pada suatu zaman tertentu, misalnya pada jenis hewan seperti kuda (Equus) dan gajah (Elephas).

Kepunahan maupun kemunculan jenis-jenis hewan tertentu oleh para geologi dan paleontologi kemudian digunakan untuk menandai suatu zaman. Misalnya dalam hasil keputusan Kongres Internasional di Inggris yang diselenggarakan pada tahun 1948, ditetapkan bahwa zaman Plestosen Bawah mulai berlangsung apabila dalam suatu lapisan tanah terdapat kerang-kerang laut tertentu sebagai hasil endapat laut yang ditutupi oleh lapisan tanah yang mengandung fosil-fosil hewan mamalia tertentu (Equus, Elephas, dan Leptobos) sebagai hasil endapan daratan.
Hewan dan Lingkungan Masa Paleolitikum di Indonesia
Kondisi kehidupan hewan dan lingkungan masa paleolitikum di Indonesia atau yang dikenal juga dengan masa Plestosen pada dasarnya tidaklah banyak memiliki perbedaan dari kehidupan manusia, dalam arti bahwa hewan-hewan juga sangat bergantung pada keadaan iklim dan juga tumbuhan. Setiap perubahan ikklim telah mengakibatkan berubahnya atau berpindahnya kelompok hewan. Perlu diketahui, bahwa gangguan lain terhadap kehidupan hewan, di samping perubahan iklim dan bencana alam, ialah sesama hewan dan yang memiliki andil terbesar adalah gangguan yang berasal dari manusia.
Pada masa Plestosen ini tingkat hidup manusia masih sangat bergantung pada alam dan kemampuan manusia dalam taraf berburu dan mengumpulkan makanan dan hasil alam yang terdapat disekelilingnya. Oleh sebab itu, perburuan manusia terhadap hewan merupakan salah satu usaha pokok dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi, dapatlah dipahami bahwa lenyapnya sebagian hewan pada masa Plestosen disebabkan oleh perburuan oleh manusia.
Usaha daripada perburuan hewan sudah tampak dilakukan pada masa Plestosen Tengah, antara lain oleh kelompok-kelompok hominid seperti Pithecanthropus erectus. Di Cina, jenis Pithecanthropus erectus pekinensis (Sinanthropus pekinensis) melakukan perburuan terhadap hewan-hewan seperti rusa, kuda, babi hutan, kijang, kerbau, kera, gajah, kuda nil, dan beberapa jenis hewan buas lainnya.
Hewan-hewan yang masih dapat hidup disebabkan oleh kemampuannya dalam membebaskan diri dari berbagai gangguan serta dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Dalam iklim dingin masa glasial, hewan-hewan mengembangkan bulu yang tebal, sedangkan tumbuhan bergeser ke daerah-daerah beriklim lebih panas yang lebih sesuai. Sebagai akibat dari pergeseran ini, hewan pemakan tumbuhan tersebut ikut bermigrasi, mengikuti perpindahan tumbuhan-tumbuhan itu. Bagi hewan karnivora (pemakan daging) yang hidupnya tergantung dari perburuan sesama hewan, migrasi hewan herbivora memberikan juga pengaruh atas cara hidupnya, yaitu bahwa mereka terpaksa mengikuti migrasi hewan herbivora ke daerah-daerah lain.
Manusia purba yang hidup di zaman glasial terpaksa juga mengikuti pola perpindahan tumbuhan dan hewan tersebut, karena hidup mereka masih dalam taraf berburu. Karena ada empat masa glasial beriklim dingin diselingi oleh tiga zaman antar-glasial yang panas, pola migrasi kehidupan di dunia dalam zaman plestosen juga bergeser bolak-balik sebanyak itu pula.
Migrasi Hewan
Lingkungan masa paleolitikum di Indonesia tidak terlepas dari adanya aktivitas perpindahan hewan yang terjadi antara lain dari Daratan Asia ke Kepulauan Indonesia pada masa Pliosen akhir dan Plestosen. Migrasi ini berlangsung melalui dua jurusan. Pertama dari arah barat, yaitu melalui Myanmar, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, dan terus menuju ke Nusa Tenggara. Kedua, lewat jalan utara yaitu dari Cina Selatan melalui Kepulauan Filipina dan menuju ke Sulawesi.
Adanya migrasi yang dilakukan hewan ini ditunjukkan oleh bukti-bukti bahwa di antara anggota fauna Jetis dan Trinil, telah ada beberapa anggota fauna “Sino-Malaya” yang mengambil jalan utara, misalnya, wau-wau, gibbon, tapir, beruang Malaya, dan Stegodon. Fosil Leptobos (Lembu Purba), gajah purba, Hippopotamus dan Epimachairodus (sejenis harimau yang terdapat di antara fauna Jetis dan Trinil, disebut dengan fauna “Siva-Malaya” karena menunjukkan persamaan dengan fauna Siwalik di India. Anggota fauna ini datang ke Indonesia melalui jalur Barat.
Migrasi hewan dan manusia dari daratan Asia ke Kepulauan Indonesia dimungkinkan oleh terbentuknya Paparan Sunda yang terletak disebelah barat pada masa Pliosen akhir dan Plestosen sebagai akibat dari turunnya permukaan air laut di Kepulauan Indonesia. Pada waktu yang bersamaan itu pula, terbentuk pula Paparan Sahul yang terletak di sebelah timur. Bagian barat, yang mencakup Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan, bergabung dengan wilayah Asia Tenggara Daratan. Sedangkan di bagian timur yang mencakup Papua bergabung dengan Daratan Australia. Hal ini mengakibatkan fauna pada masa Hlosen yang terdapat di daerah Paparan Sunda mempunyai persamaan dengan fauna yang terdapat di daratan Asia. Sedangkan yang terdapat di Papua memiliki persamaan dengan fauna yang berada di Australia.
Penyelidikan Zoogeografi
Deskripsi mengenai lingkungan masa paleolitikum di Indonesia didukung oleh adanya penyelidikan tentang persebaran fauna atau yang biasa disebut dengan zoogeografi. Di masa Holosen Kepulauan Indonesia memiliki arti penting karena Selat Lombok dan Selat Makassar merupakan garis batas jenis-jenis hewan yang mempunyai perbedaan secara fundamental. Alfred Russel Wallace berpendapat bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat perbedaan daerah zoogeografi yang lebih mencolok dibandingkan dengan keseluruhan persebaran hewan di dunia. Amerika Selatan dan Afrika yang dipisahkan oleh Samudra Atlantik, tidak begitu besar perbedaannya jika dibandingkan dengan perbedaan hewan-hewan yang terdapat di Asia dan Australia.
Alfred Russel Wallace menjelaskan selanjutnya bahwa Selat Lombok merupakan garis batas yang ditarik oleh Wallace berdasarkan pengetahuan yang didapatnya menjelang akhir abad ke-19. Data yang terkumpul hingga sekarang tentu sudah jauh berbeda. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan Wallace hanya mengetahui terdapat 20 spesies burung, sedangkan sekarang diketahui setidaknya terdapat 120 spesies burung. Begitu juga dengan fauna lainnya; reptil semula diketahui 5 spesies, kini terdapat 40 spesies dan seterusnya.
Berdasarkan pada data dan keterangan yang didapatkan dari Alfred Russel Wallace, Ernst Mayr menarik kesimpulan bahwa garis Wallace bukanlah garis batas antara daerah Indo-Malaya dan Australia, tetapi lebih banyak merupakan garis batas Paparan Sunda pada masa Plestosen. Untuk periode itu garis batas Paparan Sunda pada masa Plestosen bukanlah merupakan penghalang untuk terjadinya migrasi fauna daratan Asia ke Australia melalui Nusa Tenggara, karena di Flores, Timor dan Sumba juga ditemukan bentuk-bentuk fauna Asia yang berusia Plestosen.
Penelitian Fosil Hewan di Indonesia
Sejarah penelitian fosil hewan di Indonesia tidak dapat dilepaskan kepada usaha penelitian ke arah sejarah manusia purba dan kebudayaan yang dihasilkannya. Penelitian ini juga dapat memberikan keterangan mengenai lingkungan masa paleolitikum di Indonesia. Penelitian paleontologi di Indonesia adalah Eugene Dubois yang merupakan seorang dokter tentara Belanda yang pada akhir abad ke-19 menarik minat terhadap evolusi manusia purba. Eugene Dubois berpendapat bahwa manusia purba terdapat di daerah tropik, termasuk di Kepulauan Indonesia. Fosil hewan pertama yang ditemukan oleh Eugene Dubois di dalam ekskavasinya di Sumatra Barat berupa beberapa buah gigi mawas, sedangkan fosil manusia Pithecanthropus pertama yang ia temukan terletak di Trinil, Jawa Tengah pada tahun 1891.
Penelitian yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil pada tahun 1891 ternyata menarik minat Margarethe Lenore Selenka. Nyonya Selenka segera melakukan ekskavasi sekitar tahun 1907-1908 di daerah yang sama. Di dalam ekskavasi itu berhasil ditemukan sejumlah besar fosil hewan, namun ia tidak menemukan satupun fosil daripada manusia purba.
Penelitian fosil fauna berikutnya banyak dilakukan oleh para ahli geologi, yang sejak permulaan abad yang lalu mulai aktif melakukan penyelidikan paleontologi. Peningkatan penelitian itu dimungkinkan oleh berdirinya Dienst van Mijnwezen, sebuah instansi yang menangani kegiatan pertambangan pada tahun 1930. Tokoh-tokoh peneliti yang penting antara lain Rutten, Martin, Maarel, von Koenigswald, Haar dan Oppenoorth. Haar menemukan tulang-belulang fosil hewan yang tidak kurang dari 20.000 potong di daerah Ngandong, termasuk pula menemukan fosil tengkorak manusia sebanyak 11 buah dalam satu situs ekskavasi.
Fosil Hewan di Indonesia sebagian besar ditemukan di Pulau Jawa dan pada umumnya diketahui letak stratigrafinya sehingga dapat dilakukan klasifikasi. Fauna Jetis ditemukan pada lapisan Plestosen Tengah, dan fauna Ngandong pada lapisan Plestosen Atas. Di luar Pulau Jawa sebagaiman penemuan di Pulau Sulawesi, Flores, Sumba dan Timor, temuan fosil hewan umumnya hanya dapat diketahui dari kala Plestosen tanpa tingkatan usia yang dapat diidentifikasi dengan jelas.
Fauna Jetis
Fauna Jetis ditemukan di daerah sepanjang Pegunungan Kendeng, Mojokerto dan Sangiran. Hingga memasuki tahun 1927 Fauna Jetis masih belum diketahui sehingga sewaktu Rutten menemukan gigi Stegodon di Mojokerto, masih belum dapat diketahui jenisnya. Barulah setelah Cosijn menulis tentang fosil-fosil lainnya dari daerah yang sama, fauna Jetis dapat diketahui ciri-cirinya.
Fauna Jetis antara lain terdiri dari Epimachairodus, Leptobos, beberapa jenis Antilope, bermacam Sus, Hippopotamus, Cervus, Stegodon dan Elephas. Ralph von Koenigswald menganggap fauna jetis merupakan fauna khas Plestosen Bawah, dan karena itu Koenigswald menghubungkannya dengan fauna Pinjor di India yang memiliki usia sama.
Fauna Jetis dari Ordo Primata
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Primata;
No | Spesies |
---|---|
1 | Pithecanthropus modjokertensis |
2 | Symphalangus syndactylus |
3 | Pongo pygmaeus |
4 | Hyblobates moloch |
5 | Trachypithecus cristatus |
6 | Macaca fascicularis |
7 | Macaca sp. |
Fauna Jetis dari Ordo Proboscidea
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Proboscidea;
No | Spesies |
---|---|
1 | Stegodon trigonocephalus praecursor |
2 | Elephas sp. |
Fauna Jetis dari Ordo Ungulata
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Ungulata;
No | Spesies |
---|---|
1 | Rhinoceros sondaicus |
2 | Rhinoceros kendengindicus |
3 | Tapirus cf. indicus |
4 | Nestoritherium javanensis |
5 | Sus brachygnathus |
6 | Sus coerti |
7 | Sus sp. |
8 | Hippopotamus koenigswaldi |
9 | Cervus zwani |
10 | Cervus probl. |
11 | Cervus cf. hippelaphus |
Fauna Jetis dari Ordo Carnivora
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Carnivora;
No | Spesies |
---|---|
1 | Epimachairodus zwierzyckii |
2 | Felis paleojavanica |
3 | Felis tigris |
4 | Paradoxurus sp. |
5 | Arctistis binturong |
6 | Viverricula malaccensis |
7 | Viverra |
8 | Hyanena sp. |
9 | Mececyon merriami |
10 | Ursus cf. kokeni |
11 | Ursus malayanus |
12 | Lutra cf palaeoleptonyx |
Fauna Jetis dari Ordo Pholidota
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Pholidota;
No | Spesies |
---|---|
1 | Manis palaeojavanicus |
Fauna Jetis dari Ordo Rodentia
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Jetis yang berasal dari Ordo Rodentia;
No | Spesies |
---|---|
1 | Acanthion brachyrus |
2 | Hystrix sp. |
3 | Rhizomis sumatrensis |
4 | Muntiacus muntjac |
5 | Duboisa banteng modjokertensis |
6 | Tragulus kanchil |
7 | Antilope saatensis |
8 | Antilope sp. |
9 | Epiloptobos groeneveldtii |
Berdasarkan pada daftar fauna Jetis di atas menunjukkan bahwa mamalia mulai mendominasi lingkungan masa paleolitikum di Indonesia.
Fauna Trinil
Fauna Trinil terutama ditemukan di Trinil, Ngawi, Jawa Timur dan Sangiran, Jawa Tengah. Fauna Trinil ditemukan bersamaan dengan fosil manusia, terutama sekali di Trinil juga ditemukan bersamaan dengan fosil tumbuhan. Penelitian fauna Trinil dilakukan antara lain oleh Dubois, Martin, dan von Koenigswald. Ekskavasi besar besaran dan sistematis dilakukan oleh Selenka pada tahun 1907-1908.
Setelah tahun 1962 penelitian dilakukan oleh Proyek Penelitian Paleoantropologi Nasional, Departemen Geologi Institut Teknologi Bandung dan Direktorat Geologi. Penelitian ini terutama dilakukan di Sangiran, tempat ditemukannya alat-alat serpih yang hubungannya dengan fosil-fosil hewan belum dapat dipastikan. Namun, diperkirakan bahwa Pithecanthropus soloensis lah pembuat alat-alat serpih itu. Sehingga dapatlah diperkirakan bahwa keterkaitan antara alat serpih dan fosil-fosil hewan yaitu alat-alat serpih digunakan untuk menguliti hewan-hewan yang hendak dikonsumsi oleh Pithecanthropus soloensis.
Fauna Trinil tidak banyak berbeda dengan fauna Jetis, tetapi yang perlu dicatat adalah hewan jenis Chalicotherium, Leptobos, dan Epimachairodus yang berasal dari fauna Jetis telah punah. Hippopotamus dan Stegodon, yang masih hidup pada kala Plestosen Tengah mengalami perkembangan yang lebih maju. Jenis Antilope yang masih tinggal hanya Duboisia. Sementara itu, dalam fauna Trinil terdapat jenis-jenis kera dan dari jenis anthropoidea ditemukan fosil Pongo pygmaeus.
Fauna Trinil dari Ordo Carnivora
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Carnivora;
No | Spesies |
---|---|
1 | Felis tigris |
2 | Felis paleojavanica |
3 | Felis pardus |
4 | Felis bengalensis |
5 | Paradoxurus hermahroditus |
6 | Arcitistis binturong |
7 | Viverricula malaccensis |
8 | Lutra cf. sumatrana |
9 | Viverra div. spec. |
10 | Cuon sangiranensis |
11 | Mececyon trinilensis |
12 | Lutra cf. cinerea |
13 | Ursus malayanus |
Fauna Trinil dari Ordo Insectivora
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Insectivora;
No | Spesies |
---|---|
1 | Echinosorex sp. |
Fauna Trinil dari Ordo Rodentia
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Rodentia;
No | Spesies |
---|---|
1 | Lepus nigricollis |
2 | Lepus lapis |
3 | Acanthion brachyrus |
4 | Hystrix sp. |
5 | Rhyzomys cf sumatrensis |
6 | Rattus sp. |
Fauna Trinil dari Ordo Ungulata
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Ungulata;
No | Spesies |
---|---|
1 | Rhinoceros sondaicus |
2 | Rhinoceros kendengindicus |
3 | Tapirus cf. augustus |
4 | Duboisa banteng |
5 | Sus brachygnathus |
6 | Sus macroganthus |
7 | Muntiacus muntjac kendengensis |
8 | Tragulus Kanchil |
9 | Epiloptobos groeneveldtii |
10 | Cervus leydekkeri |
11 | Cervus hippelaphus |
12 | Bubalus sp. |
13 | Bubalus palaeokarabau |
14 | Bibos palaeosondaicus |
15 | Antilope (Duboisa) |
16 | Hippopotamus sivajavanicus |
Fauna Trinil dari Ordo Primata
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Primata;
No | Spesies |
---|---|
1 | Pithecanthropus erectus |
2 | Pithecanthropus soloensis |
3 | Pongo pygmaeus |
4 | Hyblobates cf. moloch |
5 | Trachypithecus cristatus |
6 | Macaca fasciularis |
7 | Symphalangus syndactylus |
Fauna Trinil dari Ordo Proboscidea
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Trinil yang berasal dari Ordo Proboscidea;
No | Spesies |
---|---|
1 | Stegodon trigonocephalus |
2 | Elephas hysudrindicus |
3 | Cryptomastodon martini |
Berdasarkan pada daftar fauna Trinil, seperti yang ditemukan di dalam fauna Jetis, menunjukkan bahwa mamalia mulai mendominasi lingkungan masa paleolitikum di Indonesia. Pada temuan yang termasuk ke dalam fauna trinil hewan berkuku (Ungulata) kemungkinan jenis hewan yang mendominasi dan menjadi hewan paling banyak dikonsumsi oleh hominid.
Fauna Punung
Fosil fauna yang berasal dari Punung dikumpulkan oleh Ralph von Koenigswald sebelum terjadinya Perang Dunia II berasal dari Mendolo Kidul (Punung I). Menurut Badoux fauna Punung terdiri atas beruang, tapir, Simia, Stegodon, Elephas namadicus, Echinosorex, symphalangus dan Hylobates. Pada penelitian tahun 1968 ditemukan penambahan fosil-fosil sebagai berikut: Presbytis pyrrhus, Sus brachygnathus, Bos so., Rattus rattus, dan Acanthion sp.
Fauna Ngandong
Fauna Ngandong ditemukan di dalam undak-undak Sungai Bengawan Solo di sekitaran daerah Desa Ngandong. Di undak-undak ini banyak ditemukan fosil hewan, terutama pada endapan yang mengandung pasir dan kerikil. Penelitian terhadap fauna Ngandong terutama dilakukan pada tahun 1931, sewaktu ter Haar mengadakan penelitia di desa-desa Trinil, Ngandong, Pitu dan Watualang. Di Desa Ngandong, ter Haar menemukan sebuah fosil Bubalus paleokarabau, ribuan potong fosil hewan dan 11 tengkorak fosil manusia. Fosil manusia ini kemudian oleh Oppenoorth diberi nama Homo (Javanthropus) soloensis.
Dari ekskavasi yang dilakukan pada tahun 1931 oleh ter Haar dapat diketahui bahwa di dalam fauna Ngandong jumlah fosil lembu dan rusa adalah yang paling banyak. Sedangkan ukuran kerbaunya lebih besar apabila dibandingkan dengan kerbau pada masa sekarang. Fosil harimau jarang sekali ditemukan, dan yang ada adalah fosil Felis paleojavanica dan Felis tigris soloensis. Fosil badak sama dengan bentuknya yang sekarang, sementara kuda nil memiliki persamaan dengan Hippopotamus namadicus dan Hippopotamus paleoindicus yang berasal dari India. Stegodon relatif memiliki ukuran yang lebih kecil dengan ukuran yang hampir sama dengan ukuran gajah Sumatra. Jadi ukurannya tidak sama dengan Elephas dengan tubuh yang lebih besar seperti Elephas namadicus yang berasal dari India.
Fauna Ngandong dari Ordo Primata
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Ngandong yang berasal dari Ordo Primata;
No | Spesies |
---|---|
1 | Pithecanthropus soloensis |
Fauna Ngandong dari Ordo Carnivora
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Ngandong yang berasal dari Ordo Carnivora;
No | Spesies |
---|---|
1 | Felis paleojavanicus |
2 | Felis tigris |
3 | Felis pardus |
Fauna Ngandong dari Ordo Ungulata (Perissodactyla)
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Ngandong yang berasal dari Ordo Ungulata (Perissodactyla);
No | Spesies |
---|---|
1 | Rhinoceros sondaicus |
Fauna Ngandong dari Ordo Ungulata (Artiodactyla)
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Ngandong yang berasal dari Ordo Ungulata (Artiodactyla);
No | Spesies |
---|---|
1 | Hexaprotodon ngandongensis |
2 | Muntiacus muntjac |
3 | Sus magronathus |
4 | Sus brachygnathus |
5 | Sus terhaari |
6 | Sus ex. aff. vittatus |
7 | Cervus hippelaphus |
8 | Cervus javanicus |
9 | Bubalus palaeokarabau |
10 | Bibos palaeo-sondaicus |
Fauna Ngandong dari Ordo Proboscidea
Berikut ini adalah beberapa spesies fauna Ngandong yang berasal dari Ordo Proboscidea;
No | Spesies |
---|---|
1 | Stegodon trigonocephalus |
2 | Elephas cf. namadicus |
Sama seperti temuan di beberapa wilayah di Pulau Jawa, fauna Ngandong pun didominasi oleh hewan berkuku (Ungulata)
Fauna Cabbenge
Fauna Cabbenge ditemukan oleh van Heekeren antara tahun 1946-1947 di Cabbenge, Sulawesi Selatan. Fauna Cabbenge diketahui berasal daru nasa Pliosen Akhir. Selain ditemukan fosil hewan, juga ditemukan pula keberadaan alat-alat serpih sebagaiman temuan yang terdapat di Trinil. Pada tahun 1950 penelitian dilanjutkan dan daerah temuan hewan diperluas lagi sampai di desa-desa Sompoh dan Celeko, yang terletak di sebelah utara Berru. Berdasarkan pada hasil temuan van Heekeren di kedua desa ini adalah Archidiskodon celebensis (jenis gajah purba), Stegodon sompoensis (jenis gajah katai), Celebochoerus heekerini (jenis babi raksasa), ikan hiu dan buaya.
Fosil-fosil hewan yang ditemukan di daerah Cabbenge antara lain Archidiskodon, Celebochoerrus, dan Anoa, yang memperlihatkan ciri-ciri pertumbuhan lokal. Penelitian fosil hewan dan alat-alat batu di daerah Cabbenege tersebut dilanjutkan pada tahun 1968 dan 1970.
Fauna Flores dan Timor
Penemuan Stegodon di Olabula, Flores oleh Verhoeven merupakan penemuan yang penting setelah berakhirnya Perang Dunia II. Berdasarkan pada hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Hooijer menunjukkan bahwa Stegodon yang hidup pada masa Plestosen di Indonesia bagian timur lebih kecil ukurannya apabila dibandingkan dengan Stegodon trigonocephalus yang hidup di Pulau Jawa. Meskipun begitu, Stegodon di Indonesia Timur dinilai memiliki geraham yang lebih tinggi (hypsodont). Menurut Hooijer di Flores pernah berkembang subspesies dari Stegodon yang dinamakan Stegodon trigonocephalus florensis. Penemuan fosil yang terjadi pada tahun 1960 oleh tim Direktorat Geologi dari Bandung. Sejumlah alat serpih dan kapak perimbas telah ditemukan pula di daerah-daerah temuan fosil hewan dan tempat-tempat lain di Flores.
Fosil Stegodon dan juga fosil kura-kura yang ditemukan di Pulau Timor ditemukan pada tahun 1964 oleh Verhoven di sebelah timur laut Atambua. Pada tahun 1969, Sartono melaporkan temuan Stegodon timorensis dari Welawa. Stegodon timorensis ini berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan Stegodon trigonocephalus florensis.
Pada tahun 1978 Rokhus Due Awe sebagai salah satu anggota kelompok peneliti gabungan antara Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional dan Departemen Geologi Bandung Insititut Teknologi Bandung berhasil menemukan rahang bawah Stegodon di Sumba, di sekitar Kampung Watu Mbaka. Fosil tersebut diberi nama Stegodon sumbaensis. Catatan tentang stratigrafi kala Plestosen di Sumba belum dilakukan secara lengkap, sehingga hingga kini masih sulit untuk menentukan usia yang lebih jelas terhadap fosil tersebut.
Berdasarkan pada keterangan yang didapatkan dari penemuan fosil hewan baik yang termasuk ke dalam katergori Fauna Jetis, Ngandong, Punung, Trinil, Cabbenge, Flores dan Timor, berikut ini adalah gambar, ilustrasi dan fosil dari hewan-hewan tersebut:
Penelitian Fosil Tumbuhan di Indonesia
Selain keterangan yang diberikan di dalam penelitian tentang hewan di Indonesia, penelitian tentang fosil tumbuhan pun tidak kalah menarik dan penting dalam menjelaskan lingkungan masa paleolitikum di Indonesia. Tentang kehidupan tumbuhan yang hidup pada masa Plestosen khususnya tumbuhan yang sezaman dengan Pithecanthropus, bahan-bahannya terutama didapatkan dari hasil-hasil ekskavasi yang dilakukan oleh Nyonya Selenka di Trinil pada tahun 1907-1908. Schuster, yang melakukan penyelidikan atas temuan fosil tumbuh-tumbuhan di dalam endapan batu lempung yang terletak di atas endapan lahar, menyatakan bahwa di antara fosil tumbuhan tersebut ada yang memberi petunjuk tentang iklim saat itu.
Tumbuhan yang dimaksud di dalam penyelidikan Schuster antara lain adalah Revesia wallichii dari famili Streculiaceae dan pohon jeruk, Feronia elephantum, yang juga terdapat di daerah India, tepatnya di kaki Pegunungan Himalaya terus ke selatan ke daerah Pulau Sailan (srilanka), Pohon salam (Altyngia exesa) masih hidup di daerah yang tingginya mencapai 1.000 meter dpl di daerah Madiun. Pohon Rasamala (Liquidambar excelsa), jenis pohon yang tinggi yang hidup di hutan-hutan di Jawa, tidak terdapat di bawah 600 meter atau lebih dari 1.200 meter diatas permukaan laut.
Dari temuan fosil tumbuhan di Trinil dapat diperbandingkan dengan tumbuhan yang hidup hingga saat ini, terutama di daerah yang tingginya antara 600-1200 meter, Schuster menumpulkan bahwa suhu di Trinil pada masa Plestosen Tengah kira-kira 6-8 C lebih rendah dibandingkan dengan suhu sekarang. Untuk dapat menguatkan argumennya, Schuster menunjukkan penemuan fosil tumbuhan yang berasal dari Rembang yang juga terdapat di Trinil. Schuster, Elbert dan Carthaus sependapat bahwa fosil tumbuhan dari Trinil itu merupakan tumbuhan-tumbuhan dataran rendah, karena mungkin sekali fosil tersebut berasal dari daerah hutan yang lebih tinggi letaknya dari Trinil, yang kemudian dihanyutkan oleh lahar atau air ke tempat yang lebih rendah dan selanjutnya ditemukan di situs itu.
Demikianlah penjelasan singkat tentang lingkungan masa paleolitikum di Indonesia yang mendeskripsikan tentang kehidupan hewan dan tumbuhan. Dari beberapa temuan baik berupa fosil hewan dan tumbuhan yang hidup pada masa paleolitikum diperkirakan ada beberapa jenis yang berasal dari masa sebelumnya, yaitu masa Pliosen. Sedangkan beberapa lainnya merupakan jenis baru yang muncul pada masa Plestosen. Semoga penjelasan tentang lingkungan masa paleolitikum di Indonesia di dalam artikel ini dapat bermanfaat.
Daftar Bacaan Lingkungan Masa Paleolitikum di Indonesia
- Leakey, L.S.B. 1960. Adam’s Ancestors: The Evolution of Man and His Culture. New York: Harper Torch Book.
- Mayr, Ernst. 1944. “Wallace’s Line in the Light of Recent Zoogeographic Studies”. The Quarterly Review of Biology, Vol. 19 No.1 (Mar., 1944): 1-14.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Sartono, S. 1973. “On Pleistocene migration routes of vertebrate fauna in Southeast Asia”. Geological Society of Malaysia, 6: 273-286.
- Sartono, S. 1978. “Undak Sungai Baksoko Berdasarkan Analisa Foto Udara”. Berita Penelitian Arkeologi, 19B.
- Storer, T. I. & R. L. Usinger. 1965. General Zoology. 4th Edition. New York: McGraw-Hill Book Company.