Marcus Tullius Cicero adalah seorang filsuf dan orator yang memiliki keterampilan handal dalam retorika, pengacara, penulis, dan negarawan Romawi kuno yang umumnya dianggap sebagai ahli pidato Latin dan ahli gaya prosa. Cicero hidup sezaman dengan tokoh-tokoh besar Republik Romawi, seperti Gaius Julius Caesar, Pompeius Magnus atau Pompey Agung, dan Marcus Crassus. Mereka ini membentuk triumvirat yang disebut sebagai Triumvirat Pertama.
Triumvirat adalah sebuah rezim politik yang didominasi oleh tiga orang penguasa, yang masing-masing disebut triumvir. Pembentukannya dapat secara formal atau informal, dan meskipun biasanya ketiganya berkedudukan sama di atas kertas, tetapi dalam kenyataan hal ini jarang terjadi. Istilah ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan suatu negara dengan tiga pemimpin militer yang berbeda, yang semuanya mengklaim sebagai pemimpin tunggal. Setelah mereka, muncul Triumvirat Kedua, yakni Octavian, Marc Anthony, dan Marcus Aemilius Lepidus, Marc Anthony-lah yang mengakhiri karier dan hidup Cicero.
Cicero adalah salah satu tokoh penting dari mazhab filsafat Stoa yang populer pada abad ke-4 SM – abad ke-2 M dan ia merupakan salah satu tokoh pada periode akhir yang lebih terkenal dengan sebutan Stoa Romawi. Selain itu, Cicero dan pemikirannya juga dianggap dekat dengan aliran Platonisme dan Epikureanisme. Pemikiran Cicero banyak dirujuk dalam pemikiran hukum dan tata negara, serta pemikiran filsafat lainnya. Salah satunya tokoh yang merujuk pemikiran Cicero adalah David Hume yang hidup pada abad ke-18.
Karya dan pemikiran Cicero juga dikagumi oleh beberapa tokoh Gereja Latin yang berpengaruh seperti Santo Agustinus dari Hippo, yang mengatakan bahwa karyanya Hortensius merupakan salah satu pendorong beralihnya ia kepada Kekristenan, dan St. Hieronimus yang mengalami kegelisahan karena mendapat penglihatan bahwa ia dituduh sebagai “pengikut Cicero dan bukannya Kristus” pada saat penghakiman khusus. Cicero juga dikenal sebagai negarawan yang berusaha menegakkan prinsip-prinsip republik di dalam perang sipil, kegagalannya menyebabkan perang sipil yang menghancurkan Republik Romawi. Tulisan-tulisannya meliputi retorika, naskah pidato, risalah filsafat dan politik, dan surat-surat.
Kehidupan Awal Marcus Tullius Cicero
Cicero lahir di Arpinum (sekarang bernama Arpino), sebuah kota yang berjarak ± 70 mil sebelah tenggara Roma, Italia. Ayah Cicero adalah seorang tuan tanah dan pejabat publik kekaisaran Romawi, sehingga dapat dikatakan bahwa Cicero lahir dari keluarga bangsawan Romawi. Oleh karena itu, Cicero dapat mengakses pendidikan di Roma, yaitu di bawah bimbingan Marcus Licinius Crassus (seorang anggota senat atau disebut Konsul tahun 95 SM), salah satu orator terbaik kala itu.
Sejak muda, Cicero langsung mendekatkan diri dengan aliran filsafat besar yang berkembang waktu itu: Stoa, Epikureanisme, dan para filsuf dari Akademi. Dia belajar filsafat di bawah Epikurean Phaedrus (140-70 SM); belajar Stoa dari Diodotus tokoh Stoa yang buta di Roma († 60 SM) dan dari Phillo dari Larissa (160-80 SM yang merupakan ketua Akademi. Sepanjang tahun 79-77 SM, ia mengunjungi Yunani untuk mempelajar iretorika dan filsafat kepada Posidonius di Rhodes, dan juga belajar di Akademi di bawah bimbingan Antiochus dari Ascalon di Athena. Jadi, Cicero mempelajari empat aliran filsafat yang ada pada waktu itu.
Cicero mampu mensintesiskan filsafat retorika gaya Romawi kuno dengan gaya Yunani. Selain belajar, Cicero juga melakukan banyak sekali aktivitas politik, hingga pada tahun 45 SM di usianya yang ke-60, filsafatnya benar-benar mencapai keluasan dan puncak kematangan. Dengan pendampingan sepupunya, Quintus Mucius Ascaevola, sang pontifex (imam) yang pernah menjadi konsul tahun 117 SM, Cicero bertumbuh menjadi seorang yang menaruh hormat kepada konservatisme nilai-nilai moderat dalam politik.
Karir Cicero
Cicero remaja pertama kali bekerja sebagai auditor Phillo di Akademi. Karena bakat yang dimiliki oleh Cicero, Cicero kemudian diminati oleh sekolah Mucii, sebuah tempat yang melahirkan banyak negarawan dan pemimpin yang duduk di senat. Di sana Cicero belajar hukum. Kemudian Cicero menjadi tentara di bawah Sulla dalam Perang Marsi.
Pada tahun 89-82 SM, Cicero menjadi tentara di bawah Pompeius Strabo (ayah dari Pompeius) dan menunjukkan kemampuannya di pengadilan di dalam pembelaannya untuk Quintius pada tahun 81 SM. Disusul dengan kesuksesannya dalam pembelaannya kepada Sextus Roscius yang terkait tuduhan pembunuhan keluarga pada tahun 80 SM atau 79 SM, kemampuan Cicero semakin dipercaya oleh publik, terutama dalam bidang hukum. Cicero kemudian bekerja sebagai petugas pemerintahan (kuestor) yang berkantor di Sisilia Barat. Kemudian Cicero berganti tugas menjadi pretor.
Sebagai seorang pretor (satu tingkat di bawah konsul), Cicero menyuarakan pidato politiknya pertama kali pada tahun 66 SM dalam rangka melawan Catullus dan kepemimpinan Optimates yang merupakan tokoh konservatif di dalam dewan senat Kekaisaran Romawi, Cicero berunding dengan perintah Pompeius dalam rangka melawan Mithradates, raja Pontus. Kedekatan Cicero dengan Pompeius menimbulkan kebencian dari Marcus Licinius Crassus, namun justru menjadikannya semakin populer sehingga pada tahun 63 SM sehingga Cicero diangkat sebagai seorang konsul.
Karir Cicero semakin meningkat setelah berhasil menggagalkan konspirasi yang dilakukan oleh kelompok Lucius Sergius Catilina yang berusaha untuk menggulingkan Republik Romawi dengan maksud menggantinya dengan sistem aristokrasi.
Setelah Julius Caesar meninggal pada tahun 44 SM, Cicero memihak Octavianus melawan Antonius dengan pidato-pidatonya yang tajam, antara lain pidato-pidato itu adalah “Phillipacea”. Setelah terbentuk sebuah pemerintahan dengan tiga orang kuat (Julius Caesar, Pompeius, dan Crassus) di dalamnya yang dijuluki triumvirs, pemerintahan Romawi cenderung mengarah pada perebutan kekuasaan antar-pribadi.
Secara pribadi, Cicero lebih dekat kepada Pompeius yang didasari oleh persahabatan dan kesamaan prinsip dalam menegakkan gagasan sistem republik. Meski demikian, Cicero mencoba menengahi perseteruan antara ketiga orang tersebut, terutama antara pihak Pompeius dan Caesar yang sering berselisih dengan Crassus.
Setelah Pompeius meninggal dunia pada tahun 48 SM, Cicero kemudian menentang cara pemerintahan Caesar yang menurut Cicero cenderung ke arah pemerintahan yang tirani. Cicero pergi ke Roma, Italia atas pengampunan Caesar karena tindakan perlawanannya. Cicero tetap berpegang teguh pada prinsip moral untuk tidak mendukung pemerintahan tirani. Oleh karena itu Cicero memilih jalan menulis secara dialogis terhadap diri sendiri yang gelisah untuk menunjukkan keteguhan sikapnya.
Cicero tidak dapat lagi memberikan ide-idenya kepada Romawi karena Caesar menduduki tahta hingga 10 tahun berikutnya. Walaupun demikian, Cicero terus menulis dan berorasi dalam rangka untuk mengecam pemerintah. Setelah terbunuhnya Caesar pada tanggal 17 Maret 44 SM dalam sebuah konspirasi yang tidak melibatkan Cicero, Cicero kembali aktif dalam politik. Hingga pada tahun 43 SM, Cicero berselisih dengan Markus Aemilius Lepidus dan Antonius, Cicero akhirnya dituntut agar dibunuh dengan cara dipenggal. Walapun Cicero melarikan diri dari tuntutan itu, namun Cicero terbunuh di dalam pelariannya.
Karya-Karya dan Pemikiran Cicero
Cicero merupakan pembaru bahasa Latin terbesar di zamannya. Karya filsafatnya sangat terkenal dan berpengaruh, di antaranya adalah yang tertuang dalam pidato-pidatonya yang berjumlah 57 tulisan, selain 17 fragmen lain. Kemudian karya-karya filsafat, retorika, dan surat-surat tercatat berjumlah ± 800 buah dan tersimpan baik hingga saat ini. Pada Juli 43 SM, lebih dari 900 tulisan berhasil diselamatkan, dimana 835 diantaranya ditulis oleh Cicero sendiri, 416 diantara tulisan itu dialamatkan kepada sahabatnya, seorang ksatria bernama Pomponius Atticus, dan 419 lainnya kepada 94 orang lain, yang ditujukan baik untuk kerabat maupun kenalannya.
Beberapa surat sisanya tidak dapat dilacak, termasuk salah satunya adalah suratnya kepada Pompeius yang disebutkan di dalam Pro Sulla dan Pro Plancio yang merupakan surat berisi konspirasi Lucius Sergius Catilina. Selain itu terdapat empat koleksi surat-surat Cicero yang dialamatkan kepada Atticus dalam 16 buku, kepada kenalan dan saudaranya yang berjumlah 16 buku, kepada Brutus yang berjumlah 3 buku, dan kepada saudaranya berjudul Ad Quintum Fratem.
Selain karya-karya tentang filsafat dan tulisan yang terkait politik, sebagai seorang penyair, Cicero menerbitkan puisi-puisi berbahasa Latin, di antaranya adalah: epos berjudul de Consulatu Suo dan de Temproribus Suis, merupakan tulisan yang digunakannya untuk mengkritik tradisi penyembahan masyarakat Romawi kuno pada zamannya.
Cicero sendiri menolak jika dikaitkan sebagai salah satu tokoh dari salah satu aliran-aliran seni kala itu, entah sebagai seniman dalam kelompok orang-orang Asia yang rata-rata kaya dan tampil berlebihan, atau seperti kelompok-kelompok yang diwakili oleh Quintus Hortensius, maupun mereka yang menyebut diri sebagai Atticist, misalnya Julius Caesar dan Brutus.
Adapun karya bergenre humor yang ditulis Cicero yang memuat prinsip-prinsip Stoanya berjudul Pro Murena, yang merupakan sebuah karya yang mendiskreditkan Cato yang berpihak kepada para pengacara yang menyerang Clodia. Karya Cicero itu termuat dalam pidato berjudul Pro Caelio yang dibawakan Cicero pada 4 April 56 SM.
Cicero mengklaim bahwa dirinya adalah seorang filsuf dari Akademi (Platonis). Namun pernyataan tersebut diragukan oleh banyak pihak terkait karya-karya Cicero yang kontradiktif dan tidak murni. Dalam hal etika, Cicero cenderung menggunakan prinsip dogmatis Stoa yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Socrates. Di dalam beragama, Cicero dapat dikatakan nyaris agnostik, walaupun dia memiliki pengalaman religius yang cukup mendalam, yaitu ketika ia berkunjung ke Eleusis, pada saat kematian saudarinya, Tullia pada tahun 45 SM.
Sebagai seorang penulis, Cicero memposisikan diri sebagai seorang ateis, kecuali di dalam karyanya yang berjudul Somnium Scipionis (mimpi-mimpi Scipio) yang berisi luapan perasaan religius, tepatnya terdapat pada bagian akhir dari de Republica.
Sebagai filsuf, Cicero mulai menulis karya-karya filsafatnya memasuki tahun 54 SM. Karya awal Cicero berjudul de Republica dan karyanya yang kemudian yaitu de Legibus selesai pada tahun 52 SM. Tulisan tersebut berisi tafsiran tentang sejarah Romawi yang diteropong dengan sudut pandang teori politik Yunani.
Dalam kondisi politik yang semrawut dan yang membuat setiap orang menderita, yaitu ketika perang sipil terjadi, perang yang juga merenggut nyawa saudari tercintanya), Cicero mencurahkan seluruh energinya demi menghibur diri atas duka yang ia alami dengan aktivitas menulis secara radikal. Banyak karya yang ia selesaikan selama dua tahun masa kehilangan tersebut, di antaranya ialah:
(1) de Academia;
(2) de Fibinus;
(3) de Tusculan Disputations;
(4) de Natura Deorum;
(5) de Divinatione;
(6) de Fato;
(7) de Officiis; dan
(8) de Amicitia.
Cicero tidak pernah mengklaim bahwa tulisan-tulisannya merupakan tulisan otentik dari dirinya kecuali karyanya yang berjudul de Officiis. Di dalam suratnya kepada Atticus, ia mengatakan;
“Karya-karyaku merupakan transkrip, aku secara sederhana hanya menyumbang kata-kata, dan aku mencukupkan diri dengan hal itu.”
Tujuan Cicero membuat karya-karya itu adalah untuk menyediakan ensiklopedi filsafat bagi Romawi, negara yang ia cintai. Bentuk tulisan yang Cicero gunakan merupakan dialog dengan gaya yang lebih dekat kepada ciri pemikiran Aristoteles daripada Plato.
Cicero adalah orang yang cerdas dalam menggunakan nalarnya. Cicero bahkan mampu memakai peristiwa-peristiwa dalam hidupnya sebagai pemacu karya-karya filsafatnya. Bukan hanya alasan-alasan pribadi yang membuat Cicero merampungkan sejumlah karya, namun kutipan dari de Natura berikut memperlihatkan keprihatinannya yang lain;
“Jika ada yang terheran-heran mengapa Aku mempercayakan setiap refleksi menjadi tulisan pada tahap hidup saya ini, Aku dapat menjawabnya secara sederhana. Tanpa aktivitas publik yang aku tanggung (jabatan atau tugas resmi kemasyarakatan), dan dalam situasi politik diktatorial yang tak terelakkan, Aku berpikir bahwa tindakan patriotisme dengan menjelaskan secara rinci filsafat kepada para sesama warga negara sebagai tindakan evaluasi yang sungguh-sungguh kepada negara terhormat dan suci, yaitu demi sebuah ekspresi subjek (warga negara) yang luhur melalui literatur Latin.”
Di akhir masa kehidupannya, Cicero di dalam bidang etika mengkritik tradisi doktrin Epikuros, Stoa, dan Peripatetik (pengikut Aristoteles) dalam karya On Ends, yang bicara tentang pandangan mereka terhadap kematian, penderitaan, dan emosi yang tidak masuk akal. Kemudian di dalam pandangannya mengenai kebahagiaan, Cicero menulisnya di dalam karya yang berjudul Tusculan Disputations. Pada masa akhir hidupnya di dalam karya On Duties, Cicero berlandaskan pada prinsip Stoa. Pada akhirnya, Cicero berseberangan dengan pandangan filsafat Epikureanisme.
Pemikiran Cicero tentang menjadi seorang negarawan yang baik dapat terlihat di dalam orasi-orasinya yang tidak berpusat hanya pada sekadar pengetahuan berpidato, melainkan tentang bagaimana menjadi seorang orator yang mampu memberikan rasa aman kepada rakyat, dan melalui orasinya ia dapat mempersatukan rakyat.
Oleh karena itu, karya orasi de Oratore yang mementingkan karakter seorang pejabat kemudian menjadi landasan gagasan de Re Publica, dan de Legibus yang berbicara banyak tentang tugas seorang negarawan sejati. Dialog yang terdapat di dalam karya itu merepresentasikan Phillipus sebagai pencemooh otoritas senat dan tanggung jawab atas apa yang terjadi selama perang sipil. Perang yang terjadi sekitar puluhan tahun kemudian.
Menurut Cicero, pidato harus didedikasikan sebagai alat untuk pelayanan publik. Cicero memang sebagai seorang negarawan yang sangat berbakti, di dalam de Re Publica, kata Cicero kepada saudaranya, adalah “tentang kondisi terbaik dari sebuah kota adalah kondisi warga negara yang baik”. Cicero banyak sekali bicara tentang hal-hal yang berkaitan tentang demokrasi, keadilan rakyat, hukum alam sebagai acuan perilaku kepentingan manusia. Cicero menyatakan bahwa etika warga negara sama pentingnya dengan sistem politik. Kelangsungan sistem politik akan tergantung pada etika politik: negarawan memelihara kota dengan keputusan yang bijaksana dan memberikan contoh moral.
Bagi Cicero, menjadi negarawan yang patriotis adalah segala-galanya, bahkan ganjarannya adalah surga. Bagi Cicero, tugas politik adalah hal yang suci, yang dibebankan Tuhan kepada manusia, seperti ditulis Cicero dalam dialog kepada Scipo Africanus, kakeknya;
“Ketahuilah Africanus, jalan masuk ke surga terbuka bagi orang yang berjasa kepada negaranya, meskipun sejak anak-anak aku mengikuti jejakmu dan ayahku sehingga tidak jauh dari kemasyuranmu, kini ketika ganjaran besar terungkap padaku, aku akan terus berjuang dengan keras.”
Berdasarkan pernyataan itu, Cicero nampaknya mengeksploitasi doktrin Plato tentang keabadian jiwa untuk memperkuat cita-citanya akan pengabdian patriotis, tidak perlu risau jika seseorang mati demi kepentingan negara, sebab yang mati hanya tubuh, sedangkan jiwanya tetap abadi.
Karya Cicero yang membawa pengaruh terlama dan terpenting adalah de Officiis, yaitu tulisan dengan semangat Stoa, yang banyak membahas tentang perhatiannya sepanjang periode krisis personal manusia dan krisis politik. Menurut Cicero, bahaya bagi masyarakat adalah jika ambisi pribadi sangat mendominasi kehidupan mereka. Dalam hal ini, manusia perlu menyadari bahwa sebuah pelayanan publik akan terlaksana dengan baik jika kepentingan pribadi ditekan sedemikian rupa sehingga kepentingan publik menjadi yang utama.
Tulisan terkenal Cicero yang berjudul de Officiis memuat semangat Stoa tentang etika katekontik, yaitu tindakan yang tepat dan terbaik didasari kesadaran terdalam manusia akan tugas kebaikan yang melekat padanya dalam menunaikan tanggung jawab diri demi kebaikan masyarakat. Terdapat tugas sosial yang melekat dalam setiap warga negara. Dalam peristiwa konflik, Cicero menetapkan sebuah prosedur;
“Orang yang mengambil sesuatu dari orang lain dan meningkatkan keuntungannya sendiri dengan mengorbankan keuntungan orang lain lebih buruk daripada kematian, daripada kemiskinan, daripada penderitaan yang mungkin menimpa tubuh atau hak milik eksternal lainnya. Alam dengan hukumnya menetapkan bahwa seorang manusia harus bersedia mempertimbangkan kepentingan orang lain, siapapun ia, dengan alasan mendasar yakni karena ia adalah manusia.”
Cicero pun menanggapi warisan dari tradisi Romawi kuno tentang kemiliteran, dan warisan Yunani yang mengatakan bahwa doxa (kejayaan dan opini) adalah berbahaya dan tidak berharga, Cicero mengakomodasi keduanya dengan berkata:
“Jiwa besar tampak dalam dua hal sikap: tidak memperdulikan hal-hal eksternal (kekayaan, nama baik, prestise jabatan), dalam keyakinan bahwa orang seharusnya tidak memuji, memilih, dan mengejar apa pun kecuali kehormatan dan seharusnya tidak tunduk kepada manusia, hasutan jiwa atau kekayaan.”
Menurut Cicero, manusia memiliki emosi yang baik atau bebas dari hasrat personal (eupatheia), Cicero menyebut constatiae (bahasa lain dari konstitusi) yang mengatakan bahwa negara yang kukuh tidak boleh dikendalikan perilaku manusia yang berhasrat berlebih-lebihan. Sepanjang ada nafsu, selalu ada keinginan yang berlebihan; sejauh ada ketakutan selalu ada alasan untuk menghindar; dan sejauh ada kesenangan, selalu ada kegembiraan.
Namun kumpulan perasaan itu hanya dapat dimengerti oleh para sophis (orang yang berlaku bijaksana), yang hanya punya nalar yang lurus. Menurut orang bijaksana, tidak ada dorongan yang dapat dibenarkan benar dari penderitaan mental, misalnya orang yang menderita sekalipun tidak dibenarkan mencuri. Seorang bijak harus menerima segala peristiwa tak terelakkan pada dirinya, dan tidak ada yang buruk secara moral dalam menyediakan sebuah sebab bagi tekanan yang ada dalam diri manusia. Jadi persoalan manusia terhadap segala dorongan atau impuls bukan pada hal di luar diri, melainkan dalam dirinya sendiri. Itu mengapa, ajaran tentang moral dalam Stoa yang dianut oleh Cicero menduduki posisi paling penting dan merupakan tindakan yang luhur.
Daftar Bacaan
- Everitt, Anthony. 2001. Cicero: the life and times of Rome’s greatest politician. New York: Random House.
- Gruen, Erich S. 1974. The Last Generation of the Roman Republic. University of California Press.
- Rawson, Elizabeth. 1972. “Cicero the Historian and Cicero the Antiquarian”. Journal of Roman Studies. 62: 33–45.
- Stockton, David. 1971. Cicero: a political biography. Oxford University Press.
- Wiedemann, Thomas E. J. 1994. Cicero and the end of the Roman Republic. London: Bristol Classical Press.