Meganthropus Paleojavanicus adalah salah satu manusia purba tertua di Indonesia. Fosil Meganthropus palaeojavanicus adalah fosil hominidae yang paling primitif yang pernah ditemukan di Indonesia. Meganthropus adalah genus kera yang diperkirakan hidup dari zaman Pleistosen di Indonesia. Hal ini diketahui dari serangkaian pecahan besar rahang dan tengkorak bersama dengan beberapa gigi yang ditemukan di situs Sangiran Jawa Tengah, Indonesia. Genus ini mempunyai sejarah taksonomi yang panjang dan berbelit-belit.
Jenis manusia purba ini diperkirakan sebagai manusia tertua yang hidup di Jawa. Diperkirakan Meganthropus hidup sekitar 2 juta – 1 juta tahun yang lalu, bertepatan dengan masa Pleistosen Bawah. Fosil ini disebut dengan nama Meganthropus palaeojavanicus, yang berarti manusia bertubuh besar dan tertua dari Jawa.
Penemuan Fosil Meganthropus Palaeojavanicus
Jumlah fosil yang diduga merupakan fosil dari Meganthropus palaeojavanicus ditemukan relatif kecil di Indonesia. Di bawah ini akan diberikan penjelasan mengenai beberapa temuan fosil yang telah berhasil ditemukan:
Meganthropus A
Fosil Meganthropus ini ditemukan di Indonesia oleh Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald pada tahun 1941 di Sangiran. Fosil yang ditemukan di Sangiran ini adalah berupa Fragmen rahang berukuran besar. Setelah penemuan fosil ini, Ralph von Koenigswald ditangkap oleh tentara Jepang yang sedang menyerbu masuk ke Indonesia. Namun, Koenigswald berhasil mengirimkan cetakan rahangnya ke Franz Weidenreich. Weidenrich sendiri terkejut dengan ukuran rahang spesimen ini yang memiliki ketinggian rahang sama dengan gorila, namun dengan bentuk yang berbeda.
Franz Weidenreich memperkiraan ukuran tubuh dari hominid ini adalah 2/3 dari ukuran Gigantopithecus, yang dua kali lebih besar dari gorila, sehingga tingginya sekitar 8 kaki (2,44 m) dan kira-kira memiliki bobot sekitar 400 hingga 600 pon (181 – 272 kg) jika diukur dengan proporsi yang sama dengan manusia berbadan tegap atau hominid tegak.
Meganthropus B
Pada tahun 1953 Marks menemukan pecahan rahang lainnya di situs yang sama dengan penemuan awal oleh Ralph von Koenigswald. Ukuran dan bentuknya hampir sama dengan rahang bawah aslinya, namun juga mengalami kerusakan parah. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh tim Jepang/Indonesia memperbaiki fosil tersebut. Hasil dari pengamatan yang dilakukan, diperkirakan spesimen ini menunjukkan ciri dewasa. Namun hasil rekonstruksi dan pengamatan dari fosil tersebut ternyata menghasilkan ukuran yang lebih kecil dari spesimen Homo erectus. Anehnya, spesimen tersebut mempertahankan beberapa ciri unik yang ditemukan pada mandibula dari fosil Meganthropus A. Dan yang mana ciri mandibula tidak ditemukan pada Homo erectus. Sehingga dengan demikian belum ada perkiraan ukuran lebih lanjut yang berhasil dibuat.
Meganthropus C
Fragmen rahang ini ditemukan pada tahun 1979, dan memiliki beberapa ciri yang sama dengan temuan mandibula pada fosil Meganthropus B. Sama seperti Meganthropus B, fosil ini pun belum direkonstruksi lebih lanjut.
Meganthropus D
Pada tahun 1993, Sartono berhasil menemukan kembali fosil di situs yang sama dengan penemuan fosil-fosil sebelumnya. Fosil yang ditemukan oleh Sartono ini memiliki mandibula dan ramus. Berdasarkan temuan ini Sartono memperkirakan bahwa fosil berumur antara 1,4 dan 0,9 juta tahun yang lalu. Fosil yang ditemukan oleh Sartono memiliki bagian ramus yang rusak parah, namun fragmen mandibula tampak relatif tidak terluka, meski detail giginya telah hilang. Fosil yang ditemukan oleh Sartono ini sedikit lebih kecil dari Meganthropus A namun, memiliki bentuk yang sangat mirip. Sartono, Tyler, dan Krantz sepakat bahwa Meganthropus A dan D kemungkinan besar merupakan representasi dari spesies yang sama.
Meganthropus I
Tyler menggambarkan spesimen ini sebagai tengkorak yang hampir lengkap tetapi hancur dalam batas ukuran yang diduga Meganthropus palaeojavanicus dan juga di luar batas ukuran yang dianggap sebagai Homo erectus. Spesimen yang ditemukan oleh Tyler ini tidak biasa karena memiliki punggung temporal ganda (puncak sagital), yang hampir bertemu di bagian atas tengkorak, dan punggung nukal yang sangat menebal.
Meganthropus II
Pada tahun 1982, Sartono menemukan fragmen tengkorak yang selanjutnya berhasil dia deskripsikan. Fosil tengkorak ini lebih dalam, berkubah lebih rendah, dan lebih lebar dari spesimen mana pun yang ditemukan sebelumnya. Ia memiliki puncak sagital ganda atau punggung temporal ganda yang sama dengan kapasitas tengkorak sekitar 800–1000cc. Seperti kebanyakan fosil, fosil ini pun ditemukan dalam kondisi rusak berat, namun mengingat kelengkapan tengkorak, kemungkinan kesalahan dalam rekonstruksi sangat kecil.
Meganthropus III
Fosil ini sebenaranya adalah fosil yang dianggap memiliki hubungan cukup lemah apabila dikaitkan dengan spesimen Meganthropus palaeojavanicus. Fosil Ini adalah bagian posterior tengkorak hominid dengan berukuran sekitar 10 hingga 7 cm.
Rahang bawah Meganthropus palaeojavanicus mempunyai batang yang sangat tegap dan geraham yang besar-besar. Pada permukaan kunyah tajuknya terdapat banyak kerut, tetapi bentuk giginya adalah hominid. Otot-otot kunyah Meganthropus palaeojavanicus niscaya sangat kukuh, oleh karena itu mukanya diperkirakan masif dengan tulang pipi tebal, tonjolan kening yang mencolok, dan tonjolan belakang kepala yang tajam serta tempat perletakan yang besar bagi otot-otot tengkuk yang kuat, dagu tidak ada pada diri Meganthropus. Perawakannya kira-kira juga tegap. Melihat giginya, makanannya diperkirakan terutama tumbuh-tumbuhan.
Sukar menempatkan dengan pasti kedudukan Meganthropus palaeojavanicus dalam evolusi manusia dan hubungannya dengan Pithecantropus. Hal ini dikarenakan temuan-temuan Meganthropus masih sangat sedikit. Sebagian ahli menggolongkan ke dalam Pithecantrophus atau Homo, jika genus-genus ini digabungkan.
Dalam hal ini, ada yang menggolongkannya sebagai Homo habilis, Homo palaeojavanicus, Homo erectus, atau Homo sapiens erectus; tetapi ada ahli yang menganggapnya sebagai Australopithecus. Barangkali jika rahang bawah Meganthropus ditemukan bersama rahang atas atau tengkoraknya, barulah persoalan ini dapat dipecahkan.
Ciri-Ciri Meganthropus palaeojavanicus
Di bawah ini merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh Meganthropus palaeojavanicus:
- Fosil Meganthrophus palaeojavanicus yang ditemukan berupa fragmen rahang bawah yang sangat besar, massif dan bentuknya sangat primitif, dan memiliki beberapa geraham.
- Meganthrophus palaeojavanicus tidak memiliki tulang dagu, sementara tonjolan keningnya sangat mencolok dan tonjolan belakang kepala yang tajam, serta otot-otot tengkuk yang kuat.
- Meganthrophus palaeojavanicus merupakan pemakan tumbuh-tumbuhan. Pada rahang dan geraham-gerahamnya ditemukan beberapa ciri manusia dan kera, tetapi sudah lebih condong kepada ciri manusia jika dibandingkan dengan kera.
- Meganthrophus palaeojavanicus merupakan pendukung kebudayaan Paleolithikum di Indonesia dengan kehidupannya sebagai masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan.
Daftar Bacaan
- Kaifu, Y.; et al. 2005. “Taxonomic affinities and evolutionary history of the Early Pleistocene hominids of Java: dentognathic evidence”. American Journal of Physical Anthropology. 128 (4): 709–726.
- Koenigswald, G. H. R. 1973. “Australopithecus, Meganthropus and Ramapithecus”. Journal of Human Evolution. 2 (6): 487–491.
- Kramer, A.; Konigsberg, L. W. 1994. “The phyletic position of Sangiran 6 as determined by multivariate analysis”. Courier Forschungsinstitut Senckenberg. 171: 105–114.
- Krantz, G. S. 1975. “An explanation for the diastema of Javan erectus Skull IV”. In: Paleoanthropology, Morphology and Paleoecology. La Hague: Mouton.
- Orban-Segebarth, R.; Procureur, F. 1983. “Tooth size of Meganthropus palaeojavanicus”. Journal of Human Evolution. 12 (8): 711–720.
- Robinson, J T. 1953. “Meganthropus, australopithecines and hominids”. American Journal of Physical Anthropology. 11 (1): 1–38.
- Tyler, D. E. 2001. “Meganthropus cranial fossils from Java”, Human Evolution, 16 (2): 81–101.
- Kramer, Andrew. 1994. “A critical analysis of claims for the existence of Southeast Asian australopithecines”. Journal of Human Evolution. 26 (1): 3–21.