Model-Model Eksplanasi Sejarah – Eksplanasi sejarah adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum yang tepat atau yang disebut juga dengan general statements. Melalui proses inilah peristiwa sejarah dapat dimengerti atau dipahami. Model-model eksplanasi sejarah antara lain adalah: kausalitas, hermeneutika, Covering Law Model, Analogi dan motivasi. Di dalam artikel ini akan dijelaskan model-model eksplanasi sejarah.
Deskripsi Dan Eksplanasi
Seringkali penggunaan biasa istilah-istilah deskripsi dan eksplanasi disamakan saja karena dianggap sinonim meskipun keduanya sebenarnya dapat dibedakan. Fakta sejarah merupakan deskripsi mengenai masa lalu. Sebagai contoh “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diucapkan oleh Soekarno di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10 pagi.” Ini merupakan deskripsi fakta yang menyebutkan apa (proklamasi kemerdekaan), siapa (Soekarno), di mana (Jakarta), kapan (17 Agustus 1945 pukul 10 pagi). Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan-pertanyaan deskriptif dan jawaban-jawaban yang diberikan juga hanya bersifat faktual.
Sebenarnya para sejarawan tidak puas dan berhenti pada pertanyaan-pertanyaan deskriptif dan jawaban faktual saja. Mereka ingin mengetahui lebih jauh dan lebih lanjut lagi mengenai hal-hal yang berada dibalik fakta-fakta itu dengan mengajukan pertanyaan mengapa atau bagaimana proklamasi kemerdekaan itu diucapkan. Pertanyaan bagaimana dan mengapa adalah pertanyaan analisis-kritis yang menuntut jawaban-jawaban yang analitis-kritis pula yang akhirnya bermuara pada suatu penjelasan atau keterangan sintesis sejarah. Jawaban-jawaban faktual meskipun juga perlu tetapi sejarah itu sendiri melainkan masih merupakan kronik (chronicle). Adapun sejarah yang “sebenarnya” atau “asli” (history propper) ialah jika dapat menjelaskan atau memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa.
Sejarah adalah keterangan, penjelasan, atau eksplanasi dari masa lalu. Mengapa atau bagaimana proklamasi kemerdekaan Indonesia diucapkan (why-how); Mengapa Soekarno yang mengucapkan (why-who), bukan Mohammad Hatta atau wakil para pemuda atau seluruh bangsa Indonesia; Mengapa Proklamasi itu tanggal 17 Agustus 1945 (why-when), bukan sebelum atau sesudahnya; mengapa di Jakarta (why-where), bukan di Surabaya, Padang, Medan, Balikpapan atau Makassar. Jadi semuanya menuntut keterangan, penjelasan, eksplanasi yang apabila ditulis dapat menghasilkan sebuah buku yang tebal, sedangkan jawaban-jawaban faktual tidak lebih panjang dari pertanyaan-pertanyaan deskriptif.
Perlu diketahui, tanpa deskripsi-deskripsi faktual mustahil pula membuat sebuah eksplanasi sejarah, sebab eksplanasi tanpa fakta-fakta hanyalah sebuah fantasi. Hubungan antara keduanya ibarat bahan-bahan bangunan dan gedung bangunan itu sendiri. Semen, pasir, batu bata, kayu, beton, dan sebagainya diumpamakan sebagai deskripsi fakta sedangkan eksplanasi sejarah adalah sebuah gedung yang dibangun dengan bahan-bahan bangunan.
Model-Model Eksplanasi Sejarah
Adapun beberapa model eksplanasi sejarah antara lain; kausalitas, covering law model, hermeneutika, analogi, dan motivasi. Di bawah ini adalah penjelasan singkat model-model eksplanasi sejarah tersebut.
Kausalitas Dalam Eksplanasi Sejarah
Menurut para ahli filsafat sejarah masalah kausalitas adalah bagian dari masalah eksplanasi sejarah yang luas dan mendalam serta semuanya merupakan masalah metodologis. Kajian sejarah merupakan bahasan tentang sebab-sebab dari suatu peristiwa yang terjadi sehingga hampir merupakan aksioma bahwa segala sesuatu mempunyai sebab- sebab. Dengan kata lain bahwa setiap fenomena merupakan akibat (consequence) dari sebab sebelumnya (antecendent cause).
Kausalitas dalam sejarah adalah suatu rangkaian peristiwa yang mendahului dan peristiwa yang menyusul. Konsep kausalitas telah memasuki kisah sedemikian rupa tanpa kausalitas penulisan sejarah mungkin merupakan katalogus atau kronologi. Akan tetapi, penelitian “sebab” dalam sejarah harus di tempatkan berdasarkan dua pembatasan yang di tentukan saja, yaitu :
1) Batas jangkauan masa lampau yang di alamnya akan di cari interelasi anteseden atau yang mendahului;
2) Batas jumlah factor yang berpengaruh yang di anggap tetap kotan dan karenanya tidak diperiksa.
Model kausalitas berupaya menjelaskan peristiwa sejarah dengan merangkaikan berbagai fakta dalam sintesis hubungan sebab akibat (cause-effect). Hukum sebab akibat (law of causation) menunjukkan bahwa setiap fenomena merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Kajian sejarah adalah kajian tentang sebab-sebab dari suatu peristiwa terjadi sehingga hampir merupakan aksioma atau kebenaran umum. Dalam perkembangannya, hukum jausalitas dianggap ketinggalan karena memiliki tendensi deterministik. Alternatif terhadap hukum kausalitas adalah pendekatan fungsional.
Penjelasan dalam hukum kausalitas dimulai dengan mencari sejumlah sebab untuk peristiwa yang sama. Sebab-sebab yang banyak tersebut disebut kemajemukan sebab (multiplicity of causes). Dalam konteks ini, setiap sebab memiliki kedudukan sama penting. Langkah selanjutnya adalah menganalisis sebab-sebab untuk kemudian mendapatkan penyebab utama (the ultimate cause), sebab dari semua sebab (cause of all causes).
Kaitannya dengan kemajemukan sebab, muncul persoalan determinisme dalam sejarah (determinism in history) dan kebetulan dalam sejarah (chance in history). Ahli filsafat G.W.F. Hegel dianggap sebagai peletak dasar filsafat sejarah determinisme. Kritik terhadap determinisme adalah dianggap mengabaikan kemauan bebas (free will) manusia. Determinisme dianggap bertentangan dengan adanya penyebab majemuk atau multikausal.
Sementara itu, kebetulan sejarah menganggap pertemuan atau benturan antar sebab dalam peristiwa sejarah sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan yang kemudian mengubah jalannya sejarah. Teori kebetulan mendapat kritik karena dianggap melebih-lebihkan. Penganut teori ini dianggap malas melakukan penelitian, kemalasan inteletual (intellectual laziness) atau vitalitas yang rendah (low intellectual vitality).
Dalam melakukan rekonstruksi sejarah, tidak semua fakta otomatis menjadi fakta sejarah. Fakta-fakta masa lalu baru menjadi fakta sejarah jika sejarawan memilihnya karena dianggap mempunyai hubungan (relevansi) dan berarti (signifikansi) dengan apa yang diteliti. Hal yang sama juga berlaku bagi penganut multikausal dalam peristiwa sejarah. Susunan sebab-sebab, signifikansi serta relevansi antar satu sebab atau serangkaian sebab dengan yang lainnya merupakan esensi penafsiran sejarah.
Covering Law Model (CLM) Dalam Eksplanasi Sejarah
Sebagian besar ahli filsafat sejarah analitis mencoba memaksakan pengetahuan sejarah ke dalam suatu formula hukum umum (general law), suatu pernyataan dari bentuk kondisi universal yang sanggup dikonfirmasi atau dibantah berdasarkan bukti-bukti empiris yang sesuai. Penganut CLM berpendapat bahwa setiap penjelasan dalam sejarah harus dapat diterangkan oleh hukum umum (general law) atau hipotesis universal (universal hypothesis) atau hipotesis dari bentuk universal (hypothesis of universal form).
Menurut teori CLM, tidak ada perbedaan metodologis antara ilmu alam dengan sejarah. Penjelasan sejarah diperoleh dengan menempatkan peristiwa-peristiwa itu di bawah hipotesis, teori, atau hukum umum. Penjelasan diperoleh dengan cara mendeduksikannya dari pernyataan-pernyataan tentang hukum-hukum umum dan kondisi-kondisi awal.
Hermeneutika Dalam Eksplanasi Sejarah
Hermeneutika bertolak dari tradisi-tradisi relativisme (humaniora), yaitu berbuat dengan mencapai tujuan tertentu (intensionalisme) dengan tokoh-tokoh seperti Dilthey, Croce, dan Collingwood, yang berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya lebih sesuai dengan bentuk kajian ideorafik (kekhususan, partikularistik)daripada kajian nomotetik, (keumuman, generalistik). Tradisi hermeneutika yang menjadi pembela utama pendekatan interpretif (interpretive approach) menolak kemungkinan suatu unifikasi (atas dasar-dasar empiris aau realis) antara ilmu alam dan kajian –kajian menenai perbuatan (action), sejarah, dan masyarakat. Hermeneutika menekankan secara tegas perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan.
Hermeneutika boleh dibilang menjadi semacam antitesis terhadap teori CLM. Hermeneutika menekankan secara jelas antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan. Penganut hermeneutika berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya bisa diterangkan dengan kajian edografik (kekhusunan, partikularistik) daripada nomotetik (keumuman, generalistik).
Pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks-teks dari masa lalu dan penjelasan pelaku sejarah. Sejarawan mencoba menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati atau dengan empati, menempatkan dirinya dalam alam pemikiran pelaku sejarah. Hermeneutika mencoba memasuki diri pelaku dan berupaya memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat pelaku sejarah. Ada semacam dialog batin antara batin sejarawan yang menggunakan pengalaman hidupnya sendiri dengan sumber-sumber sejarah yang digunakan.
Model Analogi
Analogi merupakan salah satu alat dalam eksplanasi sejarah yang juga sangat berguna. Adapun urgensi analogi antara lain:
1) Dapat menjadi semacam ornament dalam artikulasi ide- ide.
2) Cara kerja analogi dapat berlangsung kedalam (internal) maupun keluar (eksternal).
3) Dapat memacu sesuatu argumen yang masuk akal.
4) Dapat memberikan saran dan membujuk,
5) Memberikan informasi dan ilustrasi , mengomunikasikan dan menjelaskan.
6) Meupakan alat pedagogis yang serbaguna dan dan efektif.
7) Alat eksplanasi dalam pengajaran sejarah dan guna memperindah tulisan.
Masih terjadi perdebatan di antara para pakar tentang analogi sebagai eksplanasi sejarah. Namun bagi penganutnya, analogi merupakan alat eksplanasi yang sangat berguna. Analogi berperan penting dalam proses kreativitas intelektual. Analogi dapat berperan ke dalam maupun ke luar. Ke dalam, analogi dapat meningkatkan suatu yang tidak disadari atan inferensi awal ke tingkat rasionalitas dalam pikiran . Keluar, analogi bekerja sebagai wahana mengalihkan pikiran seseorang kepada orang lain.
Meskipun demikian, penggunaan analogi dalam eksplanasi sejarah berpotensi menimbulkan kekeliruan. Karena itu, para sejarawan dituntut lebih selektif dalam menggunakannya. Analogi, meskipun suatu alat untuk menjelaskan peristiwa sejarah, kedudukannya hanya alat bantu (auxiliary) dalam pembuktian.
Analogi juga berkaitan dengan metafora. Sejarawan yang menggunakan metafora dalam penjelasannya kerap menggunakan analogi. Beberapa contoh metafora sejarah antara lain:
1) Machiavellian, diambil dari nama Niccolo Machiavelli untuk menggambarkan doktrin politik seseorang yang menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan politiknnya;
2) Cut the Gordian Knot, dari nama Raja Gordius dari Phrygia kuno untuk menggambarkan penggunaan cara-cara drastis tanpa bersusah payah;
3) Pyrrhic victiry, dari nama raja Pyrrhus dari Epirus untuk menggambarkan sebuah kondisi di mana kemenangan perang diperoleh dengan kerugian besar. Sejarawan menggunakan istilah ini untuk menggambarkan perjuangan seseorang untuk mendapatkan sesuatu dengan kerja keras sampai kehabisan daya;
4) Carthaginian Peace, dari nama Kartago di Afrika Utara. Penghancuran Kartago yang dilakukan Romawi untuk menghindari kebangkitan sebuah kekuatan. Sejarawan menggunakan metafora ini untuk menggambarkan politik bumi hangus sebagai reaksi atas kekhawatiran munculnya kekuatan lain.
Model Motivasi
Eksplanasi model motivasi dibagi atas dua bagian diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Bentuk eksplanasi kausal, di mana akibat merupakan suatu perbuatan yang inteligen, sedangkan sebab merupakan pikiran di belakang perbuatan itu;
2) Bentuk tingkah laku yang berpola.
Pada dasarnya, model ini menekankan penggunaan pendekatan psikohistori yang berpijak pada teori psikoanalisis dari Sigmund Freud. Kelemahan pendekatan ini terletak pada keterbatasan- keterbatasan metode psikoanalisis sendiri, selain prosedur historiografis yang kurang memadai.
Daftar Bacaan
- Berkhoefer, Robert F. Jr. 1969. A Behavioral Approach to Historical Analysis. London: Collier Macmillan Publisher.
- Carr, E. H. 1985. What is History?. Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books.
- Fischer, David Hackett. 1970. Historians’ Fallacies. Toward a logic of Historical Thought. New York & Evanston: Harper & Row Publisher.
- Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.