Niskala Wastu Kancana adalah putra dari Prabu Linggabuana yang gugur di medan Bubat pada tahun 1357 M. Niskala Wastu Kancana luput dari tragedi yang menimpa keluarganya oleh karena Niskala Wastu Kancana tidak ikut serta di dalam rombongan Prabu Linggabuana yan g hendak mengantarkan puterinya yang bernama Dyah Pitaloka ke Majapahit untuk menikah dengan Prabu Hayam Wuruk.
Niskala Wastu Kancana
Ketika tragedi Bubat terjadi pada tahun 1357 M, Niskala Wastu Kancana masih berusia 9 tahun, sehingga ia tidak diikutsertakan di dalam rombongan. Niskala Wastu Kancana tetap berada di istana Kawali diasuh dan didampingi oleh pamannya, sekaligus sebagai mangkubumi, patih, dan wakil Prabu Linggabuana, yaitu Bunisora. Setelah Prabu Linggabuana dinyatakan gugur dalam medan Bubat, Bunisora yang diangkat sebagai raja Kerajaan Sunda secara sementara untuk menunggu Niskala Wastu Kancana dewasa.
Pada tahun 1368 M, di usia 20 tahun Niskala Wastu Kancana memperistri Lara Sakti (Ratna Sarkati) yang masih berusia 19 tahun. Ratna Sarkati adalah puteri seorang resi yang berasal dari Sumatera Selatan yang bernama Resi Susuk Lampung. Melalui pernikahannya dengan Ratna Sarkati, Niskala Wastu Kancana memperoleh seorang putera yang bernama Haliwungan yang lahir pada tahun 1369 M.
Pada tahun 1371 M, di saat berusia 22 tahun, Niskala Wastu Kancana memperistri sepupunya, Dewi Mayangsari, anak dari Prabu Bunisora, pamannya sendiri yang masih berusia 17 tahun. Pernikahan ini adalah permintaan dari Prabu Bunisora sendiri. Setelah pernikahan Niskala Wastu Kancana dengan Dewi Mayangsari, di tahun yang sama Prabu Bunisora wafat. Wafatnya Prabu Bunisora menyebabkan takhta Kerajaan Sunda diserahkan kepada Niskala Wastu Kancana.
Niskala Wastu Kancana dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Sunda pada usia 23 tahun dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau dikenal juga dengan gelar Praburesi Buanatunggaldewata. Niskala Wastu Kancana memerintah Kerajaan Sunda selama 103 tahun (1371-1475 M).
Masa Pemerintahan Niskala Wastu Kancana di Kerajaan Sunda
Sejak masa pemerintahan Prabu Linggadewata, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda telah berpindah dari Pakuan ke Kawali. Hingga masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda tetap berada di Kawali. Pada masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana aktivitas perekonomian Kerajaan Sunda dalam perdagangan berpusat pada dua pelabuhan, yaitu pelabuhan Karawang dan Cirebon.
Peran pelabuhan Cirebon bagi Kerajaan Sunda sangat penting terutama pada saat ibukota Kerajaan Sunda berpusat di Kawali. Pelabuhan Cirebon sendiri dikuasai oleh syahbandar yang berasal dari kalangan kerajaan sendiri, sehingga dengan cepat Cirebon berubah menjadi pelabuhan utama bagi Kerajaan Sunda. Pada masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana, Cirebon kedatangan Syekh Datuk Kahfi yang melakukan penyebaran ajaran agama Islam. Syekh Datuk Kahfi dikenal juga dengan nama Syekh Nur Jati. Dengan kedatangan Syekh Datuk Kahfi, Cirebon secara bertahap telah berubah menjadi pusat penyebaran agama Islam di Tanah Sunda.
Pelabuhan lainnya yang berperan penting dalam aktivitas perdagangan bagi Kerajaan Sunda selain pelabuhan Cirebon adalah Pelabuhan Karawang. Pelabuhan Karawang memiliki letak yang cukup strategis oleh karena dilalui oleh aliran Sundai Citarum. Selain Pelabuhan Cirebon yang mendapatkan kunjungan Syekh Datuk Kahfi, Pelabuhan Karawang juga kedatangan penyiar ajaran agama Islam lainnya, yaitu Syekh Quro.
Prasasti Kawali
Prabu Niskala wastukancana adalah salah seorang raja sunda yang banyak meninggalkan prasasti, diantaranya ditemukan di situs Astana Gede kawali. Situs ini terletak di dusun Indrayasa Desa kawali. Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh seorang letnan gubernur jendral Inggris, Thomas Stamford Raffles pada tahun 1817 M.
Bunyi dari prasasti Kawali tersebut, sebagai berikut:
“Nihan tanpa Kawali ma siya mulia tanpa bhagya parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan surawisesa nu marigi saliling dayeuh nu najur sagala desa aya ma nu pandeuri pakena gawe rahhayu pakeun heubeul jaya dina buana.”
(“Yang bertapa di kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Wastu yang bertahta di kota Kawali, yang memperindah Keraton Surawisesa yang membuat parit (pertahanan) sekeliling ibukota, yang mensejahterakan (memajukan pertanian) seluruh negeri. Semoga mereka yang dikemudian, membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang.”)
Prabu Niskala Wastu Kancana memiliki beberapa orang anak;
- Haliwungan/Susuk Tunggal (dari Ratna Sarkati);
- Ningrat Kancana (dari Mayangsari);
- Ki Gedeng Sindang Kasih (dari Mayangsari);
- Surawijaya Sakti/ Ki Gedeng Singapura (dari Mayangsari);
- Ki Gedeng Tapa (dari Mayangsari).
Prabu Niskala Wastu Kancana sejak masih hidup telah lebih dahulu membagi wilayah Kerajaan Sunda kepada kedua putranya, yakni Haliwungan atau Susuk Tunggal yang berkuasa atas wilayah sebelah barat Sungai Citarum dengan keraton di Pakuan, sedangkan Ningrat Kancana berkuasa atas wilayah sebelah timur Sungai Citarum dengan keraton di Kawali.
Pada tahun 1475 M, Niskala Wastu Kancana wafat pada usia 127 tahun. Sebagai penggantinya, Niskala Wastu Kancana telah menunjuk Haliwungan atau Susuk Tunggal sebagai penggantinya sebagai raja Kerajaan Sunda.
Daftar Bacaan
- Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 4 Parwa 2
- Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara Sarga 3 Parwa 2
- Atja & Ekajati, E.S. 1989. Carita Parahiyangan “karya tim pimpinan pangeran wangsakerta”. Bandung: Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Danasasmita, S. 1983. Sejarah Bogor. Bogor: Paguyuban Pasundan Cabang Kodya Bogor.
- Ekajati, Edi S. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Groeneveldt. W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.
- Iskandar, Yoseph.1997. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa).Bandung: Geger Sunten
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.