Noto Soeroto
Noto Soeroto – Perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda, kerap kali menggunakan metode-metode yang beranekaragam. Noto Soeroto (1888-1951) seorang tokoh perjuangan Indonesia yang terilhami oleh sentuhan-sentuhan pemikiran Mahatma Gandhi dan Rabindranath Tagore dengan mengimitasikan metode perjuangan yang dapat dianggap kedua tokoh ini sebagai ‘guru’nya dengan penuh harap dapat ia terapkan di Hindia-Belanda.
Akan tetapi kiprah Noto Soeroto sebagai aktor dalam perhelatan dunia perpolitikan di Indonesia harus tergusur oleh zaman yang seolah tidak mengizinkannya hadir. Dikalahkan oleh zaman yang tidak mendukungnya, atau dikalahkan oleh para ‘pesaing’ pemikirannya yang berjiwa revolusioner radikal yang telah menancapkan hegemoni pemikirannya terlebih dahulu dibandingkan Noto Soeroto. Dan, lebih menekankan kepada aspek realitas politik dan pemikiran Noto Soeroto tidak realistis? Atau hanya sebuah ramalan dengan ketidakpastian yang dikerubuti oleh asap kabut tebal bermekaran di benak pikiran?. Di dalam artikel ini akan dijelaskan tentang gagasan dan pemikiran Noto Soeroto bagi pergerakan nasional Indonesia.
Dasar Pemikiran Noto Soeroto
Noto Soeroto yang diilhami oleh Tagore dengan serangkaian pemikirannya mencoba untuk mensintesakan Barat dan Timur. Tagore juga mencoba untuk memperjuangkan hubungan yang harmonis antara Timur dan Barat serta bertindak sebagai penengah antara keduanya. Idealisme Noto Soeroto tentang pembentukan Rijkseenheid membayangkan suatu kehidupan harmonis antara bangsa-bangsa, bangsa Belanda dan bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam suku bangsa. Sebagaimana halnya dengan Tagore, dalam pertikaian politik ini Noto Soeroto juga bertindak sebagai penengah antara bangsa Indonesia dan Belanda melalui pola pendekatan yang humanistis.
Mahatma Gandhi dengan segenap popularitasnya yang telah berhasil memperjuangkan India dengan nilai-nilai kemanusiaan, Revolusi dengan caranya sendiri. Revolusi dengan membuang segala nafsu yang buruk dan jahat seperti iri hati, dengki, benci dan terutama kekerasan. Dengan demikian, maka perjuangannya meliputi perjuangan untuk membebaskan segenap umat manusia lahir dan batin dari segala macam penindasan, dengan hanya taat dan mengakui satu kekuasaan dan satu undang-undang, ialah kekuasaan serta undang-undang kasih sayang.
Artikel-artikel Noto Soeroto serta pidato-pidatonya yang menyangkut persoalan politik antara Belanda dan Indonesia selalu diselimuti dan dihiasi dengan kata ‘cinta’ dan ‘kemanusiaan’ yang diilhami oleh semangat Gandhi yaitu menggunakan prinsip-prinsip kasih sayang dan non-violence. Jiwa dan semangat Gandhi dan Tagore yang dihayati dan coba diimplementasikan oleh Noto Soeroto dalam mengongkretkan idealisme penyatuan kedua bangsa, yakni Belanda dan Indonesia. Noto Soeroto tidak dapat melihat sikap kolonial yang karena superioritas mereka dalam penguasaan di bidang teknologi dan ekonomi menguasai bangsa lain.
Menurut Noto Soeroto, hal ini merupakan bahaya yang dapat mengancam umat manusia. Anjurannya kepada bangsa Barat ialah: menyerahkan kembali kemerdekaan kepada bangsa TImur, tidak memandang rendah dan meremehkan bangsa kulit berwarna serta dengan kesombongan beranggapan bahwa dengan solidaritas bangsa Barat, dengan kekuatan senjatanya, mereka dapat menjajah bangsa Timur untuk selamanya.
Seperti juga yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, Noto Soeroto juga mengatakan bahwa adalah perbuatan tak bersusila untuk menjajah suatu bangsa demi keuntungan sendiri. Bahkan sebaliknya, justru menjadi kewajiban bangsa yang memerintahlah untuk berusaha agar bangsa yang diperintahnya mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri sampai pada tingkat kemajuan yang sama dengan dirinya.
Keberatan Atas Kemerdekaan Indonesia Yang Prematur
Berdasarkan pada ide Noto Soeroto, sebenarnya tidak berkeberatan atas kemerdekaan Indonesia. Hanya saja untuk sampai pada kemerdekaan haruskah rakyat di pimpin melalui jalan kekerasan dan kebencian? Menurut Noto Soeroto dengan mengobarkan kebencian, menyebarkan rasa kemarahan kepada penjajah dan mengelu-elukan revolusi, para pemimpin hanya menggiring rakyat yang kurang kritis ke meja penjagalan.
Semua struktur politik menggunakan kekerasan, tetapi berbeda dalam cara di mana dan hingga sejauh mana mereka menggunakan atau mengancam menggunakannya terhadap organisasi politik lain. Struktur politik, dalam hal ini salah satunya terkait mengenai perubahan yang mencolok dalam birokrasi, terutama semenjak emansipasi politik kaum borjuasi yang merubah haluan politik negara dan bangsa abad ke-19 yang menjalankan kekuasaan politik atas dasar kepentingan ekonomi dalam meraup keuntungan sebesar-besarnya. Demikian kata Cecil Rhodes, Ekspansi semata-mata hanya demi ekspansi.
Dengan emansipasi politik kaum borjuasi dan keikutsertaan mereka dalam kebijakan politik birokrasi telah merubah arah dan memperkuat semangat yang telah dibangun atas dasar merkantilisme abad ke-16. Imperialisme, begitu gaung yang terdengar sepanjang dua abad di dunia telah melakukan penyebaran kekuasaan komunitas politik yang sebenarnya tidak hanya didasarkan pada landasan ekonomis, tetapi prestise pun menjadi alasan utama. Dalam hal ini, Belanda telah berhasil melakukan penetrasi politik dan ekspansi ekonominya di Indonesia.
Berdasarkan semangat yang telah dibangun didasarkan atas kepentingan pribadi, maka tentu Belanda tidak akan pernah sedikitpun memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Cinta dan kemanusiaan itu hanya omong kosong belaka dengan penuh harap bahwa Belanda akan memberikan kemerdekaan dan membimbing Indonesia menuju perkembangan hingga setara dengan Belanda.
Ide-ide Noto Soeroto mengenai cinta dan kemanusiaan tidak akan pernah terwujud. Shang Yang seorang filsuf Legalis Tiongkok mengatakan, bahwa manusia itu sama maka harus ada hukum yang keras untuk mengatur mereka, jika tidak maka mereka akan saling memerangi demi meraih kekuasaan. Shang Yang mencoba untuk memberikan usulan adanya hukum objektif yang dapat mengatur semua manusia. Perihal mengenai hukum objektif hanya sebuah utopia yang tidak akan pernah terwujud. Hukum hanya diatur oleh yang berkuasa dan didasari atas dasar membentuk sebuah peraturan yang dikatakan objektif tetapi dapat menguntungkan mereka sebagai pemilik hukum yakni pihak yang berkuasa.
Konteks perseteruan kepentingan antara Indonesia dan Belanda untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dan hukum pun diperhatikan oleh Noto Soeroto dengan ketidaksetujuannya terhadap gerakan yang dilakukan oleh para pemimpin nasional dengan menggiring rakyat ke arah meja penjagalan. Noto Soeroto menghendaki bahwa arah revolusi Indonesia bersifat kooperatif dan harus ada kerjasama antara dua pihak menuju kemerdekaan Indonesia yang bermartabat, setara dengan bangsa Barat.
Kekecewaan Pergerakan Nasional Indonesia
Ide-ide Noto Soeroto tidak mampu melakukan penetrasi secara lebih mendalam pada zaman yang tidak mendukungnya. Periode Radikal, begitu sebutannya untuk arah pergerakan Indonesia di tahun 1930-an setelah ’fase kekecewaan’ yang telah coba dilakukan pada fase awal abad ke-20 terutama memasuki tahun 1910-an dan terakhir fase ‘coba-coba radikal’ tahun 1926 yang dimotori oleh organisasi politik PKI yang membuat pemerintah Belanda semakin represif terhadap organisasi-organisasi pribumi.
Perilaku Belanda terhadap organisasi politik yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri membuat perubahan arah pergerakan ke arah yang secara jelas radikal, menentang kebijakan politik pemerintah kolonial dan tidak lagi hanya bergerak dibidang sosial dan budaya, hal yang sebagian besar dilakukan pada fase awal pergerakan, tetapi arah pergerakan sudah terfokuskan ke arah politik demi Indonesia Merdeka.
Sebuah dilema revolusi, Noto Soeroto tidak mendapatkan tempat bagi pemikirannya untuk berkembang dan hanya menjadi seorang ‘pelawak’ dalam sebuah panggung drama politik bangsa dimana pemikirannya yang berdasarkan konsep keseimbangan antara cinta, kasih dan kemanusiaan tersingkirkan. Ide politik kerjasama yang diutarakan Noto Soeroto mendapat tanggapan yang bernada negatif dan skeptis.. Menurut kaum nasionalis massa tidak merindukan perenungan kebijaksanaan, tetapi pada politik yang riil. Ironi bagi Noto Soeroto, kekecewaannya dan pemikirannya yang tidak didengarkan hanya didendangkan dalam lantunan dendang Wayang Leideren.
Selain dari kegagalan implementasi pemikirannya, Noto Soeroto ibarat sebagai seorang ‘peramal’ di tengah kekecewaannya kepada kaum nasionalis untuk kemerdekaan Indonesia jika tidak mengikuti caranya. Bagi Noto Soeroto, Kemerdekaan hendaknya dipakai akal budi dalam mengekang kebencian serta kemarahan hati.
Hendaknya diusahakan kesejahteraan hidup rakyat yang lebih baik, suatu kehidupan yang terjamin daripada kemerdekaan yang terlalu dini. Dalam keadaan semacam ini, menurut Noto Soeroto, yang diperlukan ialah kepala dingin dan tangan yang kuat, di samping itu hati yang besar serta penuh cinta kasih. Tetapi yang paling utama ialah suatu idealisme yang tinggi, Idealisme untuk bangsa Belanda dan Indonesia ialah, agar tidak mencari apa yang menceraikan tetapi justru mencari apa yang menyatukan, bukan memperdalam garis pemisah antara penjajah dan yang dijajah, tetapi mengusahakan ‘kesatuan dan keanekaragaman’.
Kaum nasionalis Indonesia, menurut Noto Soeroto bukanlah ideal yang membawa penjiwaan seperti kata mereka, tetapi lebih merupakan judi dengan jiwa rakyat sebagai taruhannya. Memang Idealisme yang terkandung di dalamnya tinggi dan luhur, tetapi kelihatannya seakan-akan tiada jalan lain yang dapat ditempuh selain Medan Kuruksetra. Haruskah rakyat ikut dipertaruhkan untuk membela kepentingan para pemimpin yang sedang bertarung memperjuangkan kehormatan sebagai pahlawan?.
Disela dendang wayang Leideren Noto Soeroto memperingatkan bahwa kemerdekaan yang yang dibawa oleh kaum nasionalis akan membawa kehancuran bagi negeri dan bangsanya akibat kenekatan melepaskan diri dari kolonial Belanda mengingat faktor-faktor belum adanya persatuan di antara suku-suku bangsa di Indonesia serta masih lemahnya Indonesia dalam bidang ekonomi, sosial dan belum adanya pengalaman dalam bidang politik.
Melanjutkan Perjuangan Idealisme
Dalam perjuangan idealisme yang tiada putus, Noto Soeroto memberikan serangkaian penjelasan, nasehat, dan terutama peringatan akan akibat buruk yang dapat timbul. Tetapi semua ini tidak juga dapat meyakinkan atau melumerkan semangat kaum nasionalis yang menyala-nyala. Sebaliknya, peringatannya hanya memancing lebih banyak permusuhan, bukan saja dari pihak Indonesia tetapi juga dari pihak Belanda, karena pihak ini juga tidak luput dari pembeberan kesalahan-kesalahan mereka dalam pertikaian politik kolonial.
Noto Soeroto meyakini bahwa pemikirannya kelak akan dipikirkan dan digunakan ketika dengung revolusi sudah tidak lagi riuh rendah bergemuruh di negeri ini, ketika orang-orang yang haus kekuasaan dengan gaung revolusi sudah terlihat kebobrokannya maka disaat itulah pemikirannya akan digunakan. Nasib yang menerpa Noto Soeroto dapat dikatakan sebagai “Cinta dan Kemanusiaan yang Gagal, Dilema Revolusi dan Sebentuk Hasrat Kekuasaan dalam Ramalan”. Kegagalan cinta dan kemanusiaan yang gagal sebagai motif mencapai kemerdekaan harus dikalahkan oleh motif revolusi kaum nasionalis ketika Indonesia dilanda dilema arah revolusi.
Sebaliknya kekalahan itu membuat Noto Soeroto seolah meramalkan masa depan Indonesia yang terbentuk dari kemerdekaan yang terlalu dini karena dicapai oleh sebentuk hasrat kekuasaan tanpa kemampuan dan kemapanan Indonesia untuk merdeka membawa negara kepada perpecahan antar suku, kemiskinan, ketidakmapanan, hanya egoisitas setara dengan bangsa lain dengan kemampuan yang tidak setara perlahan akan menggerogoti bangsa Indonesia dari dalam.
Apakah ramalan Noto Soeroto itu benar terjadi? Ketika Indonesia merdeka, Indonesia harus menghadapi serangkaian serangan dan perpecahan internal yang tiada henti; PRRI dan PERMESTA, DI/TII, RMS, sampai gerakan kedaerahan yang lebih baru, misalnya, GAM dan OPM. Hal itu merupakan bentuk perpecahan internal yang disebabkan oleh kemerdekaan Indonesia yang didapatkan secara terlalu dini, ketidakmapanan perekonomian, belum memiliki pengalaman di bidang politik, tentu sebelumnya dibentuk oleh semangat revolusi, kebencian antara sesama, dan tidak mementingkan cinta dan kemanusiaan, ketika terjadi suatu perbedaan, tidak akan pernah diselesaikan dengan damai dan tanpa kekerasan.
Apakah situasi terancamnya integrasi Indonesia semenjak kemerdekaannya merupakan ramalan Noto Soeroto dan ibarat sebuah ‘kutukan’ bagi bangsa yang tidak ingin mendengarkan saran-sarannya menuju kemerdekaan yang ‘sesungguhnya’ dan tidak hanya sekedar kata ‘merdeka’ serta didasari pada kesejahteraan rakyat yang semu? Itu hanya melahirkan pemimpin dengan ketamakan dan perilaku yang mengorbankan rakyat demi kepentingan pribadi, mengejar eksistensi, haus kekuasaan dan kekayaan.
Apakah serangkaian peristiwa dan realita politik hari ini merupakan ramalan Noto Soeroto yang benar terjadi? Atau hanya sekedar ‘kebetulan’ belaka dalam realitas politik?. Noto Soeroto yang sadar bahwa suaranya pada waktu itu belum akan didengar karena di tengah gemuruhnya topan badai orang tidak mudah mendengarkan suara-suara peringatan. Tapi nanti setelah angin rebut dan badai huru-hara teduh dan reda, perkataannya akan timbul kembali dan berkembang di dalam pikiran serta perbuatan orang yang datang kelak di kemudian hari seperti yang ia lantunkan secara tersirat dalam simbolisme dendang Wayang Leideren;
Luistert naar mij, volkeren der eilanden!In den Lichtenden morgen, die aan uw einderte stralen begint, in uw schooner droomen enin uwen drang naar daden hoort gij het luideruischen van mijn machtige wieken, want ik bende vogel Garoeda, die zijn vleugelen uitslaat hoog boven uw eilanden
(Dengarkan daku, hai rakyat kepulauan! Di pagi yang cerah yang menyingsing di kakilangit, dalam mimpimu indah dan dalam keninginanmu bertindak, kau dengar desir sayapku yang kuat,karena akulah garuda yang mengepakkan sayapnya tinggi di atas kepulauanmu).
Noto Soeroto yakin bahwa dunia ide tidak akan pernah lenyap. Di dalam dunia ini di tengah-tengah ketidakadilan, kebencian dan ketamakan, pikiran keadilan akan bersemayam dalam hati manusia. Diramalkannya bahwa akan datang masanya bangsa-bangsa hidup penuh persaudaraan di bawah naungan sayap kerajaan cinta kasih, kebenaran dan keadilan. Akankah ramalan Noto Soeroto terwujud? Apakah benar pemikirannya akan dipakai oleh bangsa Indonesia? kita saksikan pembabakan-pembabakan realitas politik yang akan datang.
Daftar Bacaan
- Kerdijk, Rosa M.T. 2002. Wayang-Liederen : Biografi Politik Budaya Noto Soeroto. Depok: Komunitas Bambu