Pembentukan Alat Pertahanan Dan Keamanan Negara Indonesia

Pembentukan alat pertahanan dan keamanan negara Indonesia pertama kali dibahas pada Sidang PPKI kedua 19 Agustus 1945. Sedangkan pada sidang ketiga PPKI 22 Agustus 1945 disepakati Pembentukan alat pertahanan dan keamanan negara Indonesia. Penyusunan kekuatan pertahanan dan keamanan ini bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman dan serangan yang dilakukan oleh negara luar. 

PPKI kemudian mengambil keputusan untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Keputusan ini merupakan keputusan yang telah dibahas sebelumnya dalam Sidang PPKI kedua 19 Agustus 1945. BKR bertugas untuk menjaga keamanan umum di daerah-daerah di bawah koordinasi Komite Nasional Indonesia setempat.

Dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR)

Latar Belakang Terbentuknya Badan Keamanan Rakyat 

Pembentukan Badan Keamanan Rakyat diumumkan oleh Presiden Soekarno tanggal 23 Agustus 1945. Presiden Soekarno menyerukan agar para bekas tentara PETA, Heiho dan pemuda-pemuda yang berasal dari laskar-laskar pendukung militer dan organisasi kepemudaan untuk memasuki BKR sambil menunggu dibentuknya tentara kebangsaan. Berdasarkan pada hasil sidang rapat PPKI 19 Agustus 1945 dan Dekrit Presiden Soekarno, maka di daerah-daerah mulai dibentuk BKR. 

Keputusan Soekarno dan para tokoh nasional untuk membentuk BKR dan bukan membentuk tentara nasional dipengaruhi oleh kekhawatiran bahwa Sekutu akan melalukan penyerangan terhadap republik. Sebab mereka memahami bahwa situasi Indonesia masih belum memiliki kemampuan militer yang dinilai cukup apabila terjadi penyerangan dan harus melakukan perlawanan.

Tokoh-tokoh nasional ingin menunjukkan pada dunia internasional bahwa apabila dikemudian hari sebuah organisasi ketentaraan akan didirikan, maka tentara itu bukanlah penerus organisasi paramiliter PETA dan Heiho yang telah dibentuk Jepang untuk melawan Sekutu. Namun, merupakan suatu organisasi ketentaraan yang berasal dari prajurit-prajurit Indonesia yang pernah mendapatkan pendidikan dan pelatihan saat menjadi Anggota PETA atau pun anggota Heiho.

Selain itu, ada pertimbangan lainnya bahwa pemerintah Indonesia ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pemerintah Indonesia menganut politik yang “cinta damai” dan juga menunjukkan bawah Indonesia yang berada di bawah pimpinan Soekarno dan Hatta bukan republik fasis sebagaimana yang dituduhkan oleh Belanda.

Pembentukan tentara nasional tentu akan mengundang reaksi dari berbagai pihak termasuk pasukan Jepang dan Sekutu yang akan mendarat di Indonesia, padahal kekuatan militer nasional diperkirakan belum mampu menghadapi kedua kekuatan itu. Jadi, keputusan pembentukan BKR adalah keputusan yang paling tepat apabila menimbang beberapa hal itu.

Proses Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR)

Setelah diajukan usulan membentuk tentara kebangsaan pada sidang PPKI kedua 19 Agustus 1945, meskipun ditangguhkan pembentukannya. Pada 20 Agustus 1945 dibentuklah Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). BPKKP mula-mula bernama Badan Pembantu Prajurit (BPP) yang kemudian berubah menjadi Badan Pembantu Pembelaan. Badan ini sebenarnya telah dibentuk oleh pemerintah militerisme Jepang untuk memelihara kesejahteraan anggota tentara PETA dan Heiho. Namun, setelah PETA dan Heiho dibubarkan pada 18 Agustus 1945, maka tugas untuk menampung mantan anggota PETA dan Heiho ditangani oleh BPKKP.

Di dalam Sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta, PPKI menetapkan aturan bagi pembentukan Badan Keamanan Rakyat;

  1. Badan Keamanan Rakyat memiliki tugas pemeliharaan keamanan bersama-sama dengan rakyat dan jawatan-jawatan negeri yang bersangkutan;
  2. Badan Keamanan Rakyat merupakan suatu bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang yang didirikan dari pusat sampai ke daerah-daerah;
  3. Pekerjaan Badan Keamanan Rakyat harus dilakukan dengan sukarela.

Setelah Dekrit Presiden 22 Agustus dan diumumkan pembentukan BKR pada 23 Agustus 1945, maka BKR langsung masuk menjadi bagian dari BPKKP. Berita pembentukan BPKKP dan BKR dimuat dan disebarkan melalui harian Soeara Asia pada 25 Agustus 1945. Di wilayah Jawa dan Sumatra mulai menyambut pernyataan itu dengan membentuk badan-badan perjuangan. BKR yang telah dibentuk ini kemudian bekerja dibawah naungan Komite Nasional Indonesia setempat. 

Pembentukan BKR bertujuan sebagai wadah yang menampung organisasi-organisasi pembelaan negara. Perlu dicatat di sini bahwa BKR bukanlah tentara, hanya sebuah korps pejuang bersenjata, hanya badan perjuangan rakyat yang bertugas menjamin keamanan umum. Badan Keamanan Rakyat ini dibentuk hanya untuk menjaga keamanan dan ketertiban di daerah masing-masing. 

Anggota BKR mencakup eks-PETA (Pembela Tanah Air), Heiho, Keisatsutai (polisi), Seinendan, Keibodan, KNIL dan laskar-laskar. BKR yang akan ditempatkan di bawah arahan KNIP akan dibentuk di semua daerah-daerah yang juga diawasi oleh KNID. Di daerah-daerah di mana pemuda-pemuda dari beragam latar belakang mulai bergabung ke dalam BKR. 

Perwira-perwira BKR yang berasal dari anggota paramiliter bentukan Jepang maupun sejak zaman Hindia-Belanda dengan cepat merasa keterikatan mereka dengan pemerintah dan tentu disiplin mereka dalam organisasi ketentaraan akan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi kelaskaran yang bersikap menolak dileburkan ke dalam BKR dan biasanya juga enggan menerima perintah dari pemerintah.

Setelah seruan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno bagi para pemuda untuk bekerja dalam BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil sebagai prajurit tentara kebangsaan jika datang saatnya nanti. Dalam tempo singkat kurang dari dua minggu, BKR-BKR di daerah mulai menjelma menjadi sebuah badan revolusi-revolusi daerah, baik itu melakukan perebutan kekuasaan atau sekedar melakukan pelucutan senjata tentara Jepang. Di dalam proses perebutan kekuasaan itu tidak jarang pula tentara PETA dan Heiho harus berhadapan dengan tentara Jepang dan bekas pelatihnya dulu.

Baca Juga  Kerajaan Sriwijaya (Abad Ke-7 - 14 M)

Di Jakarta dibentuk BKR Pusat yang berada di bawah pimpinan Mr. Kasman Singodimedjo, mantan Daidancho (komandan batalyon) PETA di Jakarta. Setelah Kasman Singodimedjo diangkat sebagai Ketua KNIP pada 29 Agustus 1945, kedudukannya sebagai Ketua Umum BKR diangkat Kaprawi, mantan Daidancho PETA Sukabumi, sedangkan Sutaklasana dan Latief Hendradiningrat diangkat sebagai Ketua I dan II. BKR Pusat ini dimaksudkan sebagai koordinator dan pengendali BKR-BKR di daerah. Selain BKR Pusat, di Jakarta terbentuk pula BKR Jakarta di bawah pimpinan Mufraeni Mukmin.

Para pemuda bekas Kaigun Heiho, karyawan Jawa Unko Kaisha serta para siswa dan guru-guru Sekolah Tinggi Pelayaran membentuk BKR Laut di daerah-daerah pelabuhan. Di Jakarta terbentuk BKR Laut di bawah pimpinan M. Pardi, dibantu antara lain oleh R. E. Martadinata. BKR Laut Pusat ini mengeluarkan instruksi-instruksi dan mengirim utusan ke daerah-daerah pelabuhan sehingga di tempat-tempat tersebut terbentuk pula BKR Laut. 

Di Jawa, misalnya terbentuk BKR Laut di Banten, Tegal, Semarang, dan Pasuruan; sedangkan di Sumatra terbentuk BKR Laut di Palembang, Tanjung Karang, Sibolga, Belawan (Medan) dan Pariaman. Sementara itu, para pemuda di sekitar pangkalan udara membentuk BKR Udara, antara lain di Bugis (Makassar), Maospati (Madiun), Kali Banteng (Semarang), Cibeureum (Tasikmalaya), dan Cililitan (Jakarta), serta beberapa tempat di Sumatra.

Pada bulan September 1945 tokoh-tokoh BKR Pusat dan beberapa mantan tentara PETA menghubungi para bekas perwira Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) yang ada di Jakarta. Mereka bersama-sama menghadap Menteri Penerangan, Amir Syarifuddin dengan tujuan mendesak Presiden Soekarno agar segera dibentuk tentara reguler. Amir Syarifuddin meminta jaminan dari para bekas perwira KNIL bahwa mereka akan berdiri di belakang perjuangan bangsa dengan segala macam konsekuensinya.

pembentukan alat pertahanan dan keamanan

Di dalam upaya memperoleh jaminan itu, bekas perwira KNIL, Didi Kartasasmita mendapatkan tugas dari Menteri Penerangan, Amir Syarifuddin untuk menghubungi rekan-rekannya di kota-kota lain. Di Yogyakarta, Didi Kartasasmita mendapat jaminan dari bekas Mayor KNIL, Urip Sumahardjo yang oleh para bekas perwira KNIL dan perwira lainnya dianggap sesepuh dan paling senior dan harus dihormati. Di Bandung, Didi Kartasasmita menemui lulusan Corps Opleiding Reserve Officieren, antara lain A. H. Nasution yang juga memberikan jaminan dukungannya. Akhirnya, para bekas KNIL ini mengeluarkan pernyataan bersama bahwa mereka tidak terikat lagi dengan sumpah sebagai KNIL dan siap membantu perjuangan.

Sebagian para pemuda Indonesia merasa tidak puas dengan pembentukan BKR. Para pemuda di Jakarta yang pada masa pemerintahan militerisme Jepang telah membentuk kelompok-kelompok politik yang besar peranannya dalam mencetuskan proklamasi menginginkan segera dibentuknya tentara nasional. Setelah usul mereka mengenai sesegera mungkin pembentukan tentara nasional mendapatkan penolakan dari Presiden dan Wakil Presiden, akhirnya menempuh jalan lain. Para pemuda kemudian membentuk badan-badan perjuangan yang kemudian menyatukan diri dalam sebuah Komite van Aksi, yang bermarkas di Jalan Menteng 31 di bawah pimpinan Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, Maruto Nitimihardjo, dan lain-lain. 

Badan-badan perjuangan yang bernaung di bawah Komite van Aksi adalah Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Rakyat Indonesia (BARA), dan Barisan Buruh Indonesia (BBI). Badan-badan perjuangan lainnya kemudian dibentuk di seluruh Jawa seperti Barisan Banteng, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Hizbullah, Sabilillah, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Di samping itu, terdapat pula badan perjuangan yang bersifat khusus seperti kesatuan-kesatuan pelajar (Tentara Pelajar (TP), Tentara Pelajar Genie (TPG), dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP)).

Pembentukan badan-badan perjuangan juga terjadi di Sumatra, Sulawesi dan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Di Aceh dibentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) di bawah pimpinan Sjamaun Gaharu dan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang kemudian menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) di bawah pimpinan A. Hasymi. Di Medan terbentuk Barisan Pemudan Indonesia (BPI) di bawah pimpinan Ahmad Taher, sedangkan di Padang dibentuk Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) di bawah pimpinan Ismail Lengah.

Sementara itu, Barisan Pelopor yang dibentuk pada masa pemerintahan militerisme Jepang, pada bulan September menyatakan diri bernaung di bawah KNI. Di Sulawesi Selatan dibentuk Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI) di bawah pimpinan Manai Sophiaan serta kelompok Angkatan Muda Republik Indonesia, Pemuda Merah Putih, dan Penunjang Republik Indonesia (PRI). 

Dari Badan Keamanan menjadi Tentara Kebangsaan

Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, bukan berarti Indonesia benar-benar lepas dari gangguan dan ancaman asing. Setelah bulan-bulan awal euforia kemerdekaan dan kebijakan untuk menunda pembentukan tentara nasional, ancaman mulai berdatangan. Terutama Belanda yang berupaya menanamkan kembali pengaruhnya di Indonesia. Ancaman yang dilakukan Belanda semakin memberatkan republik yang baru terbentuk itu ketika Belanda dibantu oleh Sekutu yang merupakan negara-negara pemenang Perang Dunia II. NICA (Netherlands Indies Civiele Administration) yang membonceng tentara Sekutu ke Indonesia telah menyebabkan terjadinya pertempuran di berbagai wilayah di Indonesia.

Baca Juga  Sejarah dan Kisah Cleopatra Ratu Terakhir Mesir (70-30 SM)

BKR yang semula mampu untuk mengurusi pelucutan senjata Jepang nampaknya dinilai sudah tidak mampu untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. BKR sendiri pun dalam keorganisasian sangatlah otonom oleh karena berada di bawah KNID. Sehingga pusat akan sulit untuk mengontrol dan memperhitungkan kekuatan masing-masing BKR daerah. Sehingga perlu dibentuk suatu organisasi ketentaraan yang terpusat dalam satu komando untuk memudahkan segala macam urusan kemiliteran.

Menghadapi situasi yang semakin genting dan kesimpang-siuran status ketentaraan di dalam BKR maka pemerintah memanggil Urip Sumohardjo dari Yogyakarta ke Jakarta dan diberi tugas menyusun tentara kebangsaan di mana Urip Sumohardjo sendirilah yang dijadikan sebagai kepala staf dari tentara kebangsaan itu. Pada tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang menyatakan berdirinya tentara nasional yang disebut Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sejak saat itulah BKR berubah nama menjadi TKR. 

Di dalam maklumat itu juga menjelaskan bahwa unsur-unsur dari tentara itu sendiri mayoritas adalah mantan PETA dan KNIL. Selain PETA dan KNIL juga terdapat organisasi kepemudaan dan laskar-laskar yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. 

Tentara Keamanan Rakyat (TKR)

Setelah TKR dibentuk pada 5 Oktober 1945, Balai Penerangan Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat menyatakan bahwa TKR tidaklah dijadikan alat dalam melakukan perampasan hak-hak orang lain, tidak digunakan untuk melakukan angkara murka, tetapi di bentuk menjamin keamanan dan ketentraman negara. Disini rakyat harus merasa dilindungi dan dibela kehidupannya. TKR bukanlah suatu tentara yang menindas rakyat, tetapi sebaliknya, ia merupakan sebuah sarana yang juga membangkitkan semangat rakyat guna pembangunan negara Republik Indonesia.

Pembentukan TKR segera diikuti oleh perintah dari KNIP sebagai organisasi yang membawahi BKR, pada 9 Oktober 1945 untuk menyatukan eks-PETA, Heiho dan laskar-laskar maka dilakukan mobilisasi ke dalam TKR.  Pada 14 Oktober 1945 para eks-KNIL mengeluarkan sebuah maklumat yang menyatakan kesanggupannya untuk memperkuat Republik Indonesia.

Dalam sidang kabinet tanggal 15 Oktober 1945 ditetapkan Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal dengan tugas pertamanya membentuk Markas Besar Tertinggi (MBT) TKR dengan beberapa kota yang dapat dijadikan sebagai pilihan yakni di Purwekerto, Purwakarta, Magelang dan Yogyakarta. Urip Sumoharjo kemudian memilih Yogyakarta sebagai MBT TKR dan segera berangkat ke Yogyakarta beserta para pemimpin BKR Pusat dan beberapa perwira eks-KNIL. Di Yogyakarta inilah Urip Sumoharjo mulai merancang dan menyusun TKR sebagai sebuah organisasi kemiliteran yang profesional, dan bukan lagi menjadi sebuah badan keamanan belaka.

Pada tanggal 20 Oktober 1945 Kementerian Keamanan Rakyat mengumumkan struktur organisasi TKR;

  1. Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat ad interim diangkat Moh. Suljoadikusumo;
  2. Supriyadi sebagai Pimpinan Tertinggi TKR
  3. Urip Sumohardjo sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal.

Dengan dasar Maklumat Pemerintah itu, segera dibentuk Markas Tinggi TKR oleh Urip Sumohardjo di Yogyakarta. Di Pulau Jawa kemudian dibentuk 10 divisi dan di Sumatra terbentuk 6 divisi.

Berkembangnya kekuatan pertahanan dan keamanan yang begitu cepat, memerlukan satu pemimpin yang kuat dan berwibawa untuk mengatasi segala persoalan akibat dari pengembangan tersebut. Supriyadi yang telah ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi TKR ternyata tidak pernah bertugas dan keberadaannya masih tetap dipertanyakan. Sehingga, pada bulan November 1945, atas prakarsa MBT TKR, diadakan pemilihan pemimpin tertinggi TKR yang baru di Yogyakarta. 

Para panglima setiap divisi TKR beserta para komandan Resimen TKR yang ada di Jawa diundang untuk melaksanakan konferensi di Yogyakarta memberikan suaranya guna memilih Panglima Besar TKR. Di dalam pemilihan itu terdapat dua nama yang diajukan untuk mengisi posisi Panglima TKR, yaitu Urip Sumohardjo dan Soedirman. Di dalam pemilihan pimpinan TKR itu Sudirman yang dipilih sebagai Panglima TKR. 

Sudirman dipilih oleh karena wakil-wakil itu sebagian besar merupakan eks-PETA dan hanya sebagian yang merupakan eks-KNIL. Perlu diketahui bahwa Urip Sumohardjo adalah eks-KNIL, sedangkan Sudirman eks-PETA. Jadi tidak mengherankan apabila Soedirman-lah yang mendapatkan posisi sebagai Panglima TKR. Selain karena mayoritas pemilih berasal dari eks-PETA, Soedirman juga dianggap berhasil dalam pertempuran-pertempuran awal dalam mempertahankan Indonesia dan berhasil mengakomodasi penyerahan senjata tentara Jepang.

Sementara itu, kekuatan di luar TKR, yaitu badan-badan perjuangan, pada tanggal 10 November 1945 mengadakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia di Yogyakarta. Kongres dipimpin oleh Chairul Saleh dan Sukarni, yang dihadiri oleh 332 utusan dari 30 organisasi pemuda seluruh Indonesia.

Di dalam kongres ini lahir dua kekuatan yang saling bersaing yaitu kelompok Chairul Saleh dan kelompok Soemarsono. Meskipun terbagi menjadi dua kekuatan, mereka tetap berhasil membentuk Badan Kongres Pemuda Indonesia (BKMI). Perkembangan selanjutnya badan-badan perjuangan ini ditampung di dalam wadah Biro Perjuangan dalam Kementerian Pertahanan. Baik anggota BKR maupun badan-badan perjuangan ini menganggap dirinya adalah pejuang.

Pada tanggal 18 Desember 1945 Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal. Sedangkan Urip Sumohardjo tetap menduduki jabatan lamanya sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal. Terpilihnya Sudirman merupakan titik tolak perkembangan organisasi kekuatan pertahanan keamanan. Sudirman kemudian berbagi tugas dengan Urip Sumohardjo di mana Sudirman mengurusi hal-hal yang bersifat persatuan tentara dan politis, sedangkan Urip Sumohardjo menjabat sebagai Kepala Staf TKR yang bertugas pada masalah teknis dan organisasi.

Baca Juga  Candi Muara Takus: Jejak Kemegahan Kerajaan Sriwijaya di Riau

Menjadi Tentara Nasional

Pada tanggal 25 Januari 1946 TKR berubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) di mana Soedirman berpendapat bahwa TRI adalah tentara nasional dan tentara rakyat yang percaya pada kekuatan sendiri, tanpa mengharap bantuan dari luar negeri. Tentara Indonesia lahir bukan karena dibentuk oleh pemerintah, para pejuang awal kemerdekaan ini membentuk dan mempersenjatai dirinya sendiri dan mengadakan koordinasi selama masa revolusi.

TKR yang telah berdiri pada 5 Oktober 1945 itu diubah namanya menjadi TRI pada 25 Januari 1946 dan Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan dekritnya tentang perubahan TKR menjadi TRI. Pada tanggal 23 Februari 1946, pemerintah kemudian menetapkan penyempurnaan organisasi ketentaraan dengan membentuk Panitia Penyelenggaraan Organisasi Tentara yang dipimpin oleh Letjen. Urip Sumoharjo. Panitia yang dibentuk itu bertugas untuk; 

(1) membentuk kementerian pertahanan;
(2) mencari bentuk ketenaraan;
(3) kekuatan tentara;
(4) organisasi tentara;
(5) menyempurnakan bentuk peralihan dari TKR ke TRI dan menentukan status laskar dan badan perjuangan.

Hasil kerja dari Panitia Penyelenggaraan Organisasi Tentara diumumkan pada 17 Mei 1946 diantaranya;

  1. Organisasi Markas Besar TRI; Jendral R. Sudirman sebagai Panglima Besar TRI dan Kepala Markas Besar adalah Letjen. Urip Sumohardjo. Panglima Besar membawahi divisi-divisi TRI. Jumlah divisi yang ada di Jawa dari 10 menjadi 7 divisi dan 3 brigade di Jawa Barat serta 3 Divisi di Sumatra. 
  2. Di Kementrian Pertahanan dibentuk Direktorat Jenderal Bagian Militer, dibawah pimpinan seorang direktur Jenderal, Mayor Jenderal Sudibejo.
  3. Badan pejuangan dan laskar-laskar yang tidak mau menggabungkan diri pada TRI, TRI diberi wadah satu biro tersendiri dalam Kementrian Pertahanan yang diberi nama Biro Perjuangan.Mereka menganggap setiap warga negara berhak untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Bahkan mereka berpendapat bahwa laskar lebih berhak hidup karena langsung bersumber pada rakyat, sementara TKR dinilainya hanya menjadi alat pemerintah (negara) yang dikendalikan oleh sejumlah partai tertentu.

BKR yang kemudian menjadi TKR dan TRI, menganggap dirinya sebagai pejuang bersenjata yang juga aktif dalam bidang sosial politik, antara lain dalam KNI dan pemerintah, sedangkan badan-badan perjuangan menganggap diri mereka pejuang di bidang sosial-politik, juga aktif di dalam pertahanan negara. Oleh sebab itu, sebagai upaya untuk mengantisipasi pertentangan yang ada Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Mei 1947 untuk membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Kedua kelompok pejuang ini kemudian diintegrasikan menjadi Tentara Nasional Indonesia pada bulan Juni 1947, yaitu tentara yang bukan semata-mata sebagai alat negara atau pemerintah, melainkan alat rakyat, alat “revolusi”, dan alat bangsa Indonesia. Pada pertengahan tahun 1947, alat pertahanan dan keamanan berhasil dikonsolidasikan dan sekaligus diintegrasikan. 

Pada 7 Juni 1947 Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden yang berisi;

  1. Mulai tanggal 3 Juni 1947 disahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dinyatakan semua laskar serta badan perjuangan secara serentak dimasukan kedalam TNI;
  2. Pemimpin TNI dipegang oleh pucuk pimpinan TNI yang merupakan pimpinan kolektif yang terdiri atas kepala dan anggotanya. Kepala pucuk pimpinan: Panglima Besar Angkatan Perang yakni Sudirman. Anggota-anggota: Urip Sumoharjo, Mohammad Nazir, Suryadi Suryadarma, Sutomo (Bung Tomo), Ir. Sakirman dan Joko Sujono. Tugas pucuk pimpinan adalah melaksanakan tugas operasional dan menyempurnakan organisasi.

Setelah dikeluarkannya Penetapan Presiden secara bertahap laskar-laskar diintegrasikan ke dalam Tentara Nasional Indonesia.

Lahirnya Kepolisian Negara Sebagai Alat Pertahanan

Alat pertahanan dan keamanan lainnya ialah Kepolisian Negara. Berbeda dengan PETA dan Heiho, kesatuan-kesatuan polisi tidak dibubarkan oleh Jepang. Senjata mereka pun tidak dilucuti. Kesatuan-kesatuan inilah yang ditransformasikan menjadi Kepolisian Negara. Pada tanggal 29 September 1945, R. S. Soekanto Tjokrodiatmodjo diangkat sebagai Kepala Kepolisian negara. 

Pada mulanya kepolisian ditempatkan dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara (DKN) dan hanya mengurus hal-hal yang bersifat administratif, sedangkan yang berhubungan dengan operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Barulah pada 1 Juli 1946 Kepolisian Negara dipisahkan dari Departemen Dalam Negeri dan ditempatkan langsung di bawah Perdana Menteri.

Ketika baru pertama diresmikan, kepolisian berkedudukan di Jakarta, namun setelah Kementrian Dalam Negeri dipindahkan ke Purwokerto, Kepolisian Negara juga dipindahkan ke Purwokerto. Di Purwokerto inilah dimulai usaha pembinaan kepolisian. Di Jawa dibentuk tiga daerah kepolisian yang kemudian menjadi dua, yakni Penilik Kepolisian Jawa Timur berkedudukan di Blitar dan Penilik Kepolisian di Jawa Tengah yang berkedudukan di Magelang serta di Sumatra dibentuk juga cabang Kepolisian. 

Di samping menata organisasi, dibentuk pula pasukan khusus, yakni Mobiele Brigade (Mobbrig) yang pada tahun 1950-an berganti nama menjadi Brigade Mobil (Brimob). Pada waktu Belanda melancarkan Agresi Militer I, Kepolisian Negara dimiliterisasi dan ditempatkan teknis di bawah komando militer setempat. Setelah Purwokerto diduduki Belanda, kedudukan pusat Kepolisian Negara dipindahkan ke Yogyakarta.

Daftar Bacaan

  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Beri Dukungan

Beri dukungan untuk website ini karena segala bentuk dukungan akan sangat berharga buat website ini untuk semakin berkembang. Bagi Anda yang ingin memberikan dukungan dapat mengklik salah satu logo di bawah ini:

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca