Pemberontakan Panthay 1855-1873

Pemberontakan Panthay

Pemberontakan Panthay – Pemberontakan Panthay adalah pemberontakan yang dilakukan oleh muslim Cina etnis Hui di Yunnan. Pemberontakan Panthay dilatari oleh kondisi sosial dan ekonomi pada masa Perang Candu telah menyebabkan krisis yang terjadi di dalam masyarakat sehingga menimbulkan pemberontakan. Krisis ekonomi, sosial, bencana alam, kelaparan dan Perang Candu pada tahun 1840-1860 menyebabkan para petani terpaksa meninggalkan tanahnya.

Di dalam artikel ini akan dijelaskan secara singkat tentang Pemberontakan Panthay yang terjadi pada masa kekuasaan Dinasti Qing di Cina. Pemberontakan Panthay sendiri sepanjang tahun 1855-1873 telah menyebabkan kira-kira 2.000.000 orang tewas yang diantaranya terdiri dari tentara Dinasti Qing, tentara Pemberontakan Panthay dan juga warga sipil.

Latar Belakang Pemberontakan Panthay

Kondisi yang memprihatinkan pasca Perang Candu diperparah dengan adanya korupsi berupa penggelapan dana bantuan kepada rakyat oleh pejabat kekaisaran yang memang sering terjadi sejak permulaan tahun 1800-an, serta ganti rugi yang terdapat dalam perjanjian dengan bangsa barat setelah Perang Candu yang dibebankan kepada rakyat. Perang Candu semakin memperburuk kondisi petani yang berakibat pada meningkatnya angka kemiskinan dan seringkali menyebabkan pula perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain. Maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabat kekaisaran baik, pejabat yang berada di pusat maupun di daerah telah meningkatkan angka kejahatan dan mendorong terjadinya pemberontakan.

Pemberontakan Panthay adalah Pemberontakan yang dilakukan oleh muslim Cina etnis Hui di Yunnan. Pemberontakan Panthay terjadi selama delapan belas tahun tepatnya pada tahun 1855-1873. Istilah “Panthay” tidak dikenal oleh seluruh masyarakat muslim Yunnan karena istilah ini digunakan oleh bangsa Barat dalam menyebut muslim Cina, kemungkinan istilah itu berasal dari Burma pa-ti untuk menyebut seorang muslim yang kemudian secara keliru digunakan oleh Inggris yang pertama kali memiliki kontak dengan muslim yunnan di Burma pada pertengahan abad ke-19.

Walaupun begitu, belum ada kepastian mengenai asal kata “Panthay” dengan jelas, dikatakan bahwa kata “Panthay” berasal dari kata “Parsi” atau “Farsi” namun sebagian lagi mengatakan bahwa asal kata “Panthay” berasal dari bahasa Burma yakni “Puthee” atau”Pathi” yang merupakan istilah dalam menyebut muslim, Orang Panthay sendiri menyebut diri mereka “Hui-hui” atau “Hui-tzu” istilah sederhana untuk menyebut muslim.

Pada abad ke-18 terjadi peningkatan populasi Han di China, kebanyakan dari mereka hidup miskin menyebabkan adanya perpindahan penduduk ke wilayah yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan. Mereka memilih Yunnan sebagai tujuan karena wilayahnya yang subur dapat memperbesar peluang untuk mencari pekerjaan sehingga kemudian mereka tersebar di seluruh Cina bahkan mengambil pekerjaan milik masyarakat setempat sehingga menimbulkan konflik.

Imigran Han pada masa ini menduduki wilayah non-Han secara illegal bahkan mengambil alih tambang produktif sehingga masuknya orang Han ini menyebabkan terjadinya konflik antara kelompok pendatang baru dengan penduduk lokal, antara Hui dan Han mendominasi Yunnan dengan berada dalam bidang pekerjaan yang sama setelah adanya konflik diantara keduanya pihak pemerintah Qing lebih memilih untuk mendukung orang Han. Yunnan merupakan salah satu wilayah dengan kekayaan alam dalam bidang mineral dan logam dan pada abad ke-19 pendapatan Yunnan kebanyakan berasal dari penjualan opium.

Konflik antara Han dan Hui yang ada di Yunnan sebenarnya disebabkan oleh karena adanya persaingan ekonomi di antara kedua suku itu dan ditambah dengan adanya penindasan serta pembantaian terhadap suku Hui yang mana pembantaian itu didukung oleh Dinasti Qing. Salah satu alasan terjadinya Pemberontakan Panthay karena adanya pembantaian Kunming pada tahun 1856 yang sebelumnya pembantaian itu pun juga terjadi pada peristiwa pembantaian Mianning tahun 1839 dan pembantaian Baoshan tahun 1845 di mana peristiwa-peristiwa itu telah menyebabkan sekitar 4000-8000 orang Hui terbunuh.

Baca Juga  Kerajaan Sriwijaya (Abad Ke-7 - 14 M)

Pada pertengahan abad ke-19 terdapat upaya yang dilakukan oleh Kekaisaran Manchu (Qing) untuk melakukan unifikasi Tiongkok. Usaha unifikasi Tiongkok menyebabkan adanya penindasan yang dilakukan terhadap orang-orang Panthay sehingga menimbulkan adanya perlawanan yang dilakukan oleh orang Panthay untuk dapat terbebas dari penindasan yang dilakukan oleh Kekaisaran Dinasti Qing. Yunnan sendiri merupakan wilayah yang subur dan kaya karena didukung oleh hasil pertambangan.

Sebagai bentuk perlawanan yang dilakukan oleh orang Panthay adalah dengan membunuh pengawas yang ada di distrik pertambangan dan kemudian perlawanan itu menyebar dengan cepat. Seorang Gubernul Jendral Manchu Shuxing’a yang kurang menyukai orang muslim membantu pembunuhan bagi setiap orang yang berbuat kerusuhan pada 2 Oktober 1845 oleh kelompok organisasi rahasia Han, dikatakan bahwa hal ini merupakan salah satu usaha Han untuk merealisasikan sikap Anti-Hui.

Di mana hal ini terjadi sebagai akibat dari masa pemerintahan Dinasti Yuan telah menjadikan suku Hui yang terkesan ekslusif dan diistimewakan sehingga orang Han beranggapan bahwa orang Hui adalah suku penindas. Adanya kerjasama antara pemerintah gubernur Yunnan dengan suku Han adalah dengan melakukan pembersihan di wilayah Baoshan dengan menangkap dan membunuh komunitas muslim baik pria, wanita dan anak-anak, mereka juga melakukan perusakan dan pembakaran terhadap masjid-masjid yang ada hingga melakukan provokasi untuk melakukan pemusnahan suku Hui selama tiga hari tiga malam di mana aksi pembantaian ini dikenal dengan nama pembantaian Baoshan.

Pemberontakan Panthay Dan Kekaisaran Pingnan Guo

Di Beijing, menanggapi kasus ini menyatakan bahwa peristiwa Baoshan itu adalah sebuah pemberontakan yang dikategorikan ke dalam konflik Han-Hui. Konflik ini terjadi dapat dikatakan karena masalah perekonomian dimana antara suku Han dan suku Hui yang memiliki posisi yang sama dalam perekonomian sehingga dengan adanya pemusnahan Hui diharapkan Han dapat memiliki posisi ekonomi yang kuat dan mendapat kesejahteraan.

Memasuki tahun 1855 terjadi perselisihan hak milik atas berbagai tambang antara suku Hui dengan suku Han. Suku Hui mulai bangkit dan melakukan perlawanan terhadap aksi pemerasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh Kekaisaran Dinasti Qing. Selama periode ini suku Han mulai mengarah pada pembersihan terhadap suku Panthay yang kaya dan kembali melakukan provokasi anti-Hui sebagaimana yang telah dilakukan pada tahun 1845 dan mulai menghancurkan masjid-masjid.

Pemberontakan Panthay sesungguhnya bukanlah suatu gerakan yang murni bersifat religius, sebab orang-orang Panthay yang muslim mendapatkan bantuan dari orang-orang Shan yang non-muslim dalam pemberontakan itu. Sedangkan di sisi lain di dalam tentara Kekaisaran Dinasti Qing juga terdapat orang-orang muslim yang secara loyal membantu Dinasti Qing untuk menumpas pemberontakan.

Perselisihan keduanya membawa tragedi Pembantaian Kunming 1856 terjadi setelah Kekaisaran Qing berhasil menduduki wilayah Kunming, ibu kota barat daya di Yunnan pada tahun 1856 sebagai bagian dari rencana unifikasi Tiongkok. Pada tahun 1856 yang bertepatan dengan Perang Candu II didirikan kesultanan muslim di daerah Yunnan yang berbatasan dengan Burma dipimpin oleh seorang sultan yang bernama Du Wenxiu yang oleh orang barat dikenal dengan nama Sultan Suleiman. Mereka berusaha merebut daerah-daerah bagian Tiongkok yang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Dinasti Qing.

pembrontakan panthay

Setelah kejadian di Kunming 1856, Pemberontakan Panthay mulai melakukan serangan balasan yang dipicu oleh para pekerja Panthay di tambang perak di Desa Lin’an, Yunnan. Gubernur Yunnan segera meminta bantuan kepada pusat di Beijing, oleh karena permasalahan yang banyak dihadapi oleh kekaisaran, bantuan itu terlambat dan menyebabkan pemberontakan mulai meluas di Yunnan. Pasukan Kekaisaran Qing yang tersedia di Yunnan berusaha untuk memadamkan Pemberontakan Panthay, namun tidak berhasil. Yang terjadi justru pasukan pemberontak mulai berhasil menguasai kota-kota dan desa-desa di provinsi Yunnan.

Baca Juga  Rakeyan Watuageng (942-954)

Pada tahun 1857 pasukan pemberontak berhasil menaklukan kota Dali yang menjadi ibukota pendirian kesultanan Yunnan yang dikenal dengan sebutan Pingnan Guo. Kerajaan Pingnan Guo berdiri pada 23 Oktober 1856 dengan Du Wenxiu atau dikenal dengan nama Sadik atau sering disebut sebagai Suleiman sebagai rajanya. Suleiman berpacu pada Al-Qur’an dalam membuat kebijakan yang sesuai dengan syariat dan hukum Islam. Kerajaan pingnan Guo dibawah pimpinan Sultan Suleiman dapat berlangsug selama delapan belas tahun.

Kota Dali kemudian menjadi pusat pergerakan dari Pemberontakan Panthay dan menyatakan diri sebagai kesatuan politik yang terlepas dari Kekaisaran Dinasti Qing. Kesultanan yang dibangun oleh Du Wenxiu dengan gelar Suleiman ini mengikuti gaya ‘Timur Tengah’. Pemerintahan juga dibentuk di beberapa kota di perbatasan Burma, seperti di Momein (Tengyueh).

Pada awalnya Du Wenxiu tidak mengarahkan pemberontakannya untuk melawan suku Han, tetapi mengarahkan tujuan perlawanannya kepada Dinasti Qing dan untuk menghancurkan pemerintahan Dinasti Manchu itu. Selama pemberontakan ini Du Wenxiu menginginkan Manchu diusir dari Tiongkok dan sebab itu meminta suku Han untuk membantu gerakan Du Wenxiu. Pasukan Du Wenxiu juga banyak diantaranya terdiri dari tentara non-muslim, termasuk ada suku Han di antaranya, Li, Bai dan Hani.

Du Wenxiu juga menyerukan persatuan antara muslim Hui dan Han dan mengharapkan tidak ada permusuhan diantara mereka. Du Wenxiu menyatakan bahwa tujuan dari gerakannya adalah untuk mengusir Manchu, mempersatukan Tiongkok, dan mengusir para pengkhianat. Du Wenxiu tidak menyalahkan suku Han, tetapi menyalahkan sistem yang dibuat oleh Dinasti Qing, yang merupakan orang asing di Tiongkok dan telah mengasingkan orang-orang Han (mayoritas) dari minoritas lainnya yang ada di Tiongkok. Du Wenxiu juga menyerukan untuk pengusiran secara total bagi bangsa Manchu dari seluruh Tiongkok dan menginginkan Tiongkok dipimpin kembali oleh orang Tiongkok, bukan orang asing.

Pemberontakan Panthay berbarengan dengan pemberontakan Taiping yang mana konsentrasi pasukan Kekaisaran Dinasti Qing menjadi terpecah. Di sisi lain, Kekaisaran Dinasti Qing juga harus berhadapan dengan bangsa Barat dalam Perang Candu II yang menyebabkan Du Wenxiu semakin leluasa untuk menyebarkan pengaruhnya di selatan Tiongkok. Hal ini terlihat pada tahun 1868 pasukan Du Wenxiu telah berjumlah 360.000 orang dan berhasil menguasai 53 kota dan ratusan desa di selatan Tiongkok. Putra angkat Du Wenxiu, Pangeran Hassan dikirimkan ke Inggris dan Turki untuk meminta bantuan.

Akhir Pemberontakan Panthay

Kesultanan Pingnan Guo mulai mengalami penurunan ketika Kekaisaran Dinasti Qing mulai berhasil menyusun kekuatannya kembali pasca Perang Candu II dan setelah pemberontakan Taiping ditumpas. Pada tahun 1871 Kekaisaran Dinasti Qing mulai mengarahkan tentaranya untuk melakukan kampanye menumpas Pemberontakan Panthay. Pasukan Dinasti Qing mulai diarahkan secara reguler menuju kantong-kantong kekuatan dari Pemberontakan Panthay dan mulai berhasil mengambil alih beberapa desa dan kota yang sebelumnya dikuasai oleh pemberontak.

Sultan Suleiman yang telah memprediksikan kondisi yang ada di Yunnan pada saat itu, memerintahkan anak angkatnya yang bernama pangeran Hassan pada tahun 1872 untuk melakukan misi untuk meminta bantuan militer Inggris dengan balasan adanya pengakuan kedaulatan Ratu Victoria oleh Kesultanan Pingnan Guo. Sultan Suleiman menganggap bahwa hanya dengan intervensi dari Inggris, Kesultanan Pingnan Guo dapat diselamatkan. Tentara Kekaisaran Dinasti Qing mulai merebut beberapa kota penting di Yunnan; antara lain Qujing, Tucheng, Zhenxiong dan Chengjiang.

Baca Juga  Gagasan-Gagasan Baru Fungsi Negara Jajahan Abad ke-20

Akhir dari peperangan antara Pingnan Guo dan Kekaisaran Qing terjadi pada 26 Desember 1872 saat pasukan kekaisaran Qing berhasil mengepung Dali, ibukota Pingnan Guo. Pengepungan terhadap Dali disebabkan oleh adanya pemberontakan Taiping dimana setelah peristiwa pemberontakan Taiping tersebut membuat kekaisaran Qing menjadi lebih waspada terhadap adanya usaha pemberontakan sehingga segera melakukan penekanan di wilayah yang teridentifikasi ingin melakukan pemberontakan dan salah satunya adalah Kesultanan Pingnan Guo.

Meskipun Sultan Suleiman telah mengirimkan anaknya, Pangeran Hassan pada tahun 1872 untuk meminta bantuan kepada Inggris, akan tetapi, permintaan Sultan Suleiman ditolak oleh Inggris yang menolak ikut campur secara militer terhadap situasi yang ada di Yunnan. Selain itu, dengan memberikan bantuan kepada Kesultanan Pingnan Guo dapat merusak hubungan Inggris dengan Cina yang telah disepakati setelah Perang Candu II. Karena misinya gagal, Pangeran Hassan harus segera kembali ke Kesultanan Pingnan Guo di mana pada awal Januari 1873 ibukota Dali telah berhasil diduduki kembali oleh Kekaisaran Dinasti Qing. Dalam pertempuran di Dali ini, meskipun telah dibantu oleh artileri Prancis, Kekaisaran Dinasti Qing telah kehilangan 20.000 tentaranya.

Pada awal Januari 1873 setelah penaklukan Dali terdapat banyak versi tentang nasib dari Sultan Suleiman. di bawah ini akan dijelaskan beberapa versi itu;

  1. Setelah Dali berhasil direbut kembali oleh kekaisaran Qing membuat Du Wenxiu atau Suleiman membuat keputusan agar warganya dapat selamat dari kekejaman kekaisaran Qing. Du Wenxiu akhirnya menyerahkan diri kepada Kaisar Dinasti Qing dengan harapan warganya dapat selamat dari pembunuhan. Sampai pada akhir kematiannya terjadi Du Wenxiu dipaksa untuk mengonsumsi opium dalam jumlah yang tidak wajar sehingga menyebabkan overdosis. Mayat Du Wenxiu dikirim ke kekaisaran Qing, dan tiga hari setelah kematiannya, pasukan Qing melakukan pembantaian terhadap etnis Hui di Yunnan.
  2. Setelah Dali dikepung oleh Dinasti Qing dan mulai masuk ke kota Dali, Sultan Suleiman yang menanggap bahwa musuh yang dihadapinya tidak mungkin berbelas kasih, ia mencoba bunuh diri dengan cara menenggak racun. Ketika racun itu sudah diminumnya dan belum bereaksi apapun terhadapnya, seorang tentara Qing memenggal kepalanya. Kepalanya kemudian diawetkan dengan madu dan kemudian dikirim ke istana kekaisaran di Beijing sebagai lambang kemenangan.
  3. Pada saat pengepungan Kota Dali, Sultan Suleiman merasa putus asa untuk kemudian membunuh semua keluarganya terlebih dahulu dan kemudian memutuskan untuk bunuh diri dengan menenggak racun yang telah ia persiapkan.

Sisa-sisa pasukan Pemberontakan Panthay yang terpencar tetap melakukan perlawanan terhadap Dinasti Qing setelah jatuhnya Dali. Oleh sebab itu, Setelah kematian Sultan Suleiman pasukan Qing diperintahkan untuk melakukan pembantaian dan pembersihan terhadap suku Hui dengan memotong telinga dari orang Hui yang terisi penuh pada 24 keranjang dimana diperkirakan akibat pembantaian itu sekitar 50.000 orang dibunuh. Kekalahan Kesultanan Pingnan Guo di Yunnan terhadap Kekaisaran Dinasti Qing membuat adanya pembantaian besar-besaran yang dilakukan kepada muslim Yunnan.

Pada bulan Mei 1873 pasukan Dinasti Qing mulai mengepun pusat pemerintahan Pemberontakan Panthay di Momein yang berbatasan dengan Burma. Kota itu dihancurkan dan Gubernur Tasakon ditangkap dan dieksekusi atas perintah kekaisaran. Setelah jatuhnya Momein, pembantaian terus dilanjutkan dan banyak sisa-sisa pengikut Pemberontakan Panthay melarikan diri. Pembersihan terhadap Pemberontakan Panthay ini setidaknya telah menyebabkan kematian hingga 1.000.000 orang di Yunnan. Banyak dari mereka yang berhasil lolos dari pembantaian melarikan diri ke daerah Burma. Di Burma sekitar tahun 1875 mereka membangun kota Panglong yang secara ekslusif berisikan orang-orang Panthay yang kini memilih hidup sebagai seorang pedagang, penambang maupun sebagai penyelundup dan tentara bayaran.

error: Content is protected !!

Eksplorasi konten lain dari Abhiseva.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca