Pendidikan Zaman Kerajaan Islam
Pendidikan zaman kerajaan Islam dilakukan antara lain melalui lembaga pendidikan yang dikenal dengan pesantren. Namun, informasi tentang asal-usul lembaga ini sangat sedikit bahkan tidak diketahui secara pasti kapan lembaga tersebut mulai didirikan. Ada yang berpendapat bahwa pesantren merupakan kelanjutan dari lembaga serupa yang pernah ada pada masa pra-Islam. Pesantren lebih mirip dengan lembaga pendidikan Hindu dibandingkan dengan lembaga pendidikan Arab.
Lembaga pesantren secara tipikal dipengaruhi oleh lembaga pendidikan yang berasal dari India. Pesantren telah lebih dahulu ada daripada Islam itu sendiri. Saat ini lembaga semacam itu tidak dijumpai di negara-negara Islam lain, padahal ia masih beroperasi di India yang sebagian besar beragama Hindu dan Burma serta Thailand yang beragama Buddha.
Beberapa Pendidikan Zaman Kerajaan Islam
Di Jawa sendiri sebelum kedatangan Islam telah banyak berkembang tempat-tempat pertapaan pra-Islam yang masih bertahan beberapa waktu setelah Jawa diislamkan, bahkan tempat pertapaan yang baru terus didirikan. Namun, tidak jelas apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan tempat ajaran agama Islam berlangsung.
Pada tahun 1819 pemerintah Kolonial Hindia-Belanda melakukan survei tentang lembaga pendidikan yang terkesan pada tahun itu lembaga pendidikan berupa pesantren belum ada di seluruh Jawa. Lembaga-lembaga pendidikan yang mirip pesantren terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun dan Ponorogo. Di daerah lain tidak terdapat pendidikan resmi lama sekali, kecuali pendidikan informal yang diberikan di rumah-rumah pribadi dan masjid.
Pesantren tertua yang dapat diketahui tahun brdirinya adalah pesantren Tegalsari, di Ponorogo. Pesantren ini didirikan oleh Sultan Paku Buwono II pada tahun 1742 sebagai tanda terima kasih kepada Kyai Hasan Besari. Paku Buwono II juga membangun masjid dan asrama untuk para santri. Meskipun tidak ada bukti yang jelas adanya pesantren sebelum berdirinya pesantren Telagasari, tidak berarti tidak ada santri yang tinggal sekian lama di tmpat guru untuk memperdalam agama Islam waktu itu. Zainal Abidin, raja Ternate yang pertama menganut Islam dikabarkan belajar agama Islam di Giri, mungkin dengan Prabu Satmata, yang disebut sebagai raja-ulama pertama di Giri.
Di dalam Serat Centhini juga diceritakan tentang seorang tokoh yang bernama Danadarma. Ia mengaku telah belajar selama tiga tahun di Karang, Banten, di bawah bimbingan Syekh Kadir Jalena. Jayengresmi alias Amongraga, belajar di paguron (perguruan) Karang, di bawah bimbingan seorang guru dari Arab bernama Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Karang. Dari Karang, kemudian ia pergi ke paguron besar lain di desa Jawa Timur, Wanamarta, yang dipimpin oleh Ki Baji Pantura, di masa dia menunjukkan penguasaannya yang sangat mendalam atas kitab-kitab ortodoks.
Kurangnya informasi mengenai asal-usul pesantren menyebabkan sulitnya mengetahui sistem pendidikan di lembaga ini sebelum abad ke-18. Meskipun demikan, sistem pengajaran pesantren-pesantren pada masa-masa selanjutnya dapat memberikan gambaran akan sistem pendidikan yang terjadi sebelum abad ke-18. Metode pengajaran yang lazim dipergunakan oleh pesantren-pesantren dan tetap bertahan tanpa variasi atau perubahan adalah metode yang disebut dengan sorogan dan bandongan atau weton.
Metode Pengajaran Dalam Pendidikan Zaman Kerajaan Islam
Dalam pengajaran menggunakan metode sorogan, santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kiai membacakan pelajaran yang berbahasa Arab kalimat demi kalimat kemudian menerjemahkannya dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan memberi catatan pada kitabnya, untuk mengesahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiai.
Istilah sorogan tersebut berasal dari kata sorog (Jawa) yang berarti menyodorkan. Sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kiai atau pembantunya. Sistem sorogan ini sangat efektif bagi seorang santri untuk mencapai cita-citanya menjadi seorang alim. Sistem ini juga memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai materi pelajaran.
Metode bandongan adalah metode kuliah. Dengan metode ini para santri mengikuti pelajarang dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Metode ini juga disebut metode weton. Istilah weton ini berasal dari kata wektu (Jawa) yang berarti ‘waktu’, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan/atau sesudah melakukan shalat fardhu.
Dalam pengajaran yang memakai cara sorogan dan bandongan ini tidak ada pengulangan pengajaran ataupun pertanyaan yang diajukan oleh kedua belah pihak, dan setiap pelajaran dimulai dengan bab baru. Semua pelajaran ini diberikan oleh kiai atuau pembantunya yang disebut badal (pengganti) atau qari’ (pembaca) yang terdiri dari santri senior. Kenaikan tingkat ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari.
Sementara itu, evaluasi dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan, apakah ia cukup menguasai bahan lalu dan mampu mengikuti pengajian kitab berikutnya. Dalam mengikuti pelajaran, santri mempunyai kebiasaan penuh, baik dalam kehadiran, pemilihan pelajaran, tingkat pelajaran, dan sikapnya dalam mengikuti pelajaran. Masa belajar tidak ditentukan dan waktu tamat tidak dibatasi. Santri yang telah merasa puas akan meninggalkan pesantren dan pulang ke masyarakat atau pergi ke pesantren lain untuk mencari keahlian tertentu.
Pengajaran di pesantren hampir seluruhnya dilakukan dengan pembacaan kitab. Sungguhpun secara pasti tidak diketahui kitab-kita yang dibaca di pesantren-pesantren sebelum abad ke-18, sejumlah kitab klasik berbahasa Arab yang sudah dikenal abad ke-16 tentu dibaca dan dipelajari.
Serat Centhini memberikan banyak informasi mengenai kitab-kitab yang dipelajari di pesantren. Dalam diskusi antara Jayangresmi dan tokoh-tokoh lain dalam Serat Centhini disebutkan 20 kitab yang berbeda, 6 diantaranya adalah kitab tentang fiqh; termasuk al-Taqrib fi al-Fiqh karya Abu Syuja’ al-asfahani dan kitab al-Idhah fi al-Fiqh yang pengarangnya tidak diketahui.
Kemudian ada 9 kitab akidah (termasuk kitab pengantar karya al-Samargandi dan dua karya al-Sanusi yang terkenal dengan komentar-komentarnya), 2 kitab tafsir (Jalalain dan Baidhawi) dan 3 kitab tasawuf (termasuk Ihya’ Ulm al-Din karya al-Ghazali dan al-Insan al-Kamil karya ‘Abd al-Karim al-Jililli, sebuah kajian sistematis tentang metafisika wandat al-wujud karya Ibn al-‘Arab.
Daftar Bacaan
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2011. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam. Jakarta: Balai Pustaka