Penjajahan Inggris di Indonesia terjadi pada tahun 1811-1816. Penjajahan Inggris di Indonesia dimulai setelah disepakatinya Kapitulasi Tuntang yang berisikan seluruh jajahan Belanda di Hindia-Belanda jatuh ke tangan Inggris. Inggris kemudian menjadikan Hindia-Belanda sebagai bagian dari jajahannya di India.
Gubernur Jenderal East India Company (EIC), Lord Minto yang berkedudukan di Kalkuta (India) kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur (wakil gubernur) untuk Hindia-Belanda. Raffles didampingi oleh suatu badan penasihat yang disebut Advisory Council. Tugas utama Raffles adalah mengatur pemerintahan dan meningkatkan perdagangan serta keuangan.
Kebijakan Penjajahan Inggris di Indonesia
Landasan penjajahan Inggris di Indonesia itu ditentukan oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang diterapkan oleh Inggris di India. Pada prinsipnya, Thomas Stamford Raffles ingin menciptakan suatu ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang telah lebih dahulu diterapkan oleh VOC dalam upaya menjalin kerjasama dengan para raja dan bupati.
Secara konkret Raffles ingin menghapus segala bentuk penyerahan wajib dan pekerjaan rodi yang dilakukan pada masa VOC. Di mana hal ini selalu dibebankan kepada rakyat, khususnya kepada para petani. kepada para petani inilah Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha.
Thomas Stamford Raffles nampak dipengaruhi oleh cita-cita dari Revolusi Prancis mengenai “Kebebasan, persamaan dan persaudaraan” bagi setiap warga negara, walaupun Raffles tentu juga menyadari dalam kehidupan masyarakat kolonial yang ada di Jawa, sangatlah tidak mungkin menerapkan sepenuhnya cita-cita tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini Raffles memiliki pandangan yang memiliki banyak kemiripan dengan pandangan Dirk van Hogendorp.
Dirk van Hogendorp menarik suatu kesimpulan dari pengamatannya di Indonesia bahwa sistem feoral yang terdapat di Indonesia pada waktu itu dan yang telah berhasil dimanfaatkan oleh VOC adalah mematikan segala daya usaha rakyat Indonesia. Oleh karena itu, Dirk van Hogendorp menganjurkan agar kekuasaan, khususnya hak kuasa atas tanah para bupati atas rakyat harus dibatasi.
Sebagaimana telah diketahui bahwa untuk mencapai tujuannya dalam memperoleh hasil-hasil bumi Indonesia, VOC telah memanfaatkan raja-raja dan para bupati sebagai alat dalam kebijakan monopoli VOC di Indonesia, terutama di Jawa. Sebagai pengganti sistem paksa yang berlaku pada waktu itu, Dirk van Hogendorp menganjurkan agar para petani diberi kebebasan penuh dalam menentukan tanaman-tanaman apa saja yang hendak ditanam oleh mereka maupun dalam menentukan bagaimana hasil panen mereka hendak dipergunakan. Pada masa kekuasaan VOC, kebebasan petani ini tidak ada.
Thomas Stamford Raffles sangat menentang sistem VOC karena keyakinan-keyakinan politiknya, yakni politik liberal, maupun karena berpendapat bahwa sistem eksplotasi seperti yang telah dipraktikkan oleh VOC tidak menguntungkan. Apa yang dihendakinya sebagai pengganti sistem VOC adalah suatu sistem pertanian yang atas kehendak sendiri menanam tanaman dagangan (cash corps) yang dapat diekspor ke luar negeri. Dalam hal ini, pemerintah kolonial hanya berkewajiban untuk menciptakan segala pasar yang diperlukan untuk memberikan rangsangan keoada petani untuk menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
Sebagai usaha untuk menegakkan suatu kebijakan kolonial yang baru, Thomas Stamford Raffles ingin berlandaskan pada tiga asas;
- Segala bentuk dan penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman yang hendak ditanam tanpa unsur paksaan apapun juga;
- Peran para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian yang terintegrasi dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan asas-asas pemerintahan di negeri Barat. Secara konkret, hal ini berarti bahwa para bupati dan kepala-kepala pemerintahan pada tingkat rendahan harus memusatkan perhatiannya kepada proyek-proyek pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk;
- Beradasarkan pada anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (land-rent) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. Sewa tanah inilah selanjutnya yang dijadikan sebagai dasar kebijakan ekonomi pemerintah Inggris di Indonesia dan kemudian kebijakan ini dilanjutkan oleh pemerintah Belanda sampai dengan tahun 1830.
- Sistem sewa tanah yang kemudian dikenal dengan nama landelijk stelsel bukan saja diharapkan dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada para petani dan merangsang juga arus pendapatan negara yang mantap.
Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung konsekuensi-konsekuensi yang jauh sekali atas hubungan antara pemerintah kolonial di satu pihak dan rakyat Indonesia dengan penguasa-penguasanya di lain pihak. Perubahan yang dipertimbangkan itu dapat dikatakan revolusioner karena mengandung perubahan asasi, yaitu dihilangkannya unsur paksaan atas rakyat dan digantikan dengan suatu sistem di mana hubungan ekonomi antara pemerintah di satu pihak dan rakyat di lain pihak didasarkan atas kontrak yang diadakan oleh kedua belah pihak secara sukarela.
Jadi, perubahan ini pada dasarnya bukan merupakan perubahan ekonomi semata, melainkan lebih penting lagi, yaitu perubahan sosial-budaya yang menggantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal sebelumnya. Dengan demikian, dasar-dasar kehidupan masyarakat seperti yang dikenal di negara-negara Barat. Demikian pula ekonomi masyarakat Jawa yang tradisional dan feodal itu hendak digantikan dengan sistem ekonomi yang didasarkan atas lalu lintas pertukaran yang bebas.
Kebijakan Raffles Di Indonesia
Selama penjajhan Inggris di Indonesia terdapat beberapa kebijakan yang diberlakukan oleh Thomas Stamford Raffles diantaranya terlihat dalam kebijakan di bidang pemerintahan dan ekonomi. Tidak kalah pentingnya juga Thomas Stamford Raffles juga mengembangkan ilmu pengetahuan di Indonesia. Berikut ini adalah kebijakan Raffles yang mewakili kebijakan penjajahan Inggris di Indonesia;
Kebijakan Raffles Di Bidang Pemerintahan
Langkah-langkah yang diambil oleh Thomas Stamford Raffles dalam bidang pemerintahan antara lain sebagai berikut;
- Pulau Jawa dibagi menjadi enam belas karesidenan;
- Masing-masing karesidenan mempunyai badan pengadilan;
- Para bupati dijadikan pegawai pemerintah sehingga mereka mendapat gaji dan bukan lagi memiliki tanah dengan segala hasilnya;
- Menghapuskan perbudakan.
Kebijakan Raffles Di Bidang Pengetahuan
Di dalam bidang pengetahuan, Raffles menetapkan kebijakan berupa;
- Mengundang ahli pengetahuan dari luar negeri untuk mengadakan berbagai penelitian ilmiah di Indonesia sehingga menghasilkan buku History of The East Indian Archipelago.
- Raffles bersama Arnoldi berhasil menemukan bunga bangkai sebagai bunga raksasa dan terbesar di dunia. Bunga tersebut diberinya nama ilmiah Rafflesia Arnoldi.
- Raffles menulis buku History of Java dan merintis pembangunan Kebun Raya Bogor sebagai kebun biologi yang mengoleksi berbagai jenis tanaman di Hindia-belanda bahkan dari beberapa penjuru dunia.
Kebijakan Raffles Di Bidang Ekonomi
Di dalam bidang perdagangan-keuangan, Thomas Stamford Raffles mengambil langkah-langkah sebagai berikut;
- Penghapusan segala bentuk penyerahan wajib dan kerja paksa/rodi;
- Pemberian kebebasan dalam usaha perdagangan dengan memberi kesempatan rakyat untuk ikut serta dalam perdagangan. Rakyat diberi kebebasan untuk menanam tanaman-tanaman yang laku di pasaran internasional;
- Pelaksanaan monopoli garam;
- Penjualan tanah kepada pihak swasta dan melanjutkan usaha penanaman kopi;
- Penciptaan sistem sewa tanah atau landrente. Dasar hukum yang digunakan adalah bahwa pemerintahan Inggris berkuasa atas semua tanah sehingga semua penduduk yang menempati tanah wajib membayar pajak. Aturan yang ditetapkan adalah sebagai berikut;
a. Tanah pertanian di bagi dalam tiga kelas (menurut kesuburan tanah). Kelas I untuk tanah subur, kelas II untuk tanah setengah subur, dan Kelas III untuk tanah yang kurang subur;
b. Tanah kelas I dikenakan pajak ½ dari hasil panen, kelas II 2/5, dan kelas III dibebani 1/3;
c. Pajak tanah dipungut secara perorangan bukan kelompok;
d. Pemungutan pajak dilakukan secara langsung oleh pemerintah, bukan melalui system borong/koleksi seperti sebelumnya;
Sistem landrente ini diberlakukan terhadap daerah-daerah di Pulau Jawa, kecuali daerah-daerah sekitar Batavia dan Parahyangan. Hal itu disebabkan daerah-daerah Batavia pada umumnya telah menjadi milik pihak swasta dan daerah-daerah sekitar Parahyangan merupakan daerah wajib taaman kopi (preanger stelsel).
Pelaksanaan Sistem Sewa Tanah di Indonesia
Perlu diketahui bahwa sistem sewa tanah tidak meliputi seluruh Pulau Jawa. Di daerah sekitar Batavia dan daerah Priangan, sistem sewa tanah tidak diadakan karena di diwilayah sekitar Batavia ini umumnya tanah-tanah dimiliki oleh swasta dengan status tanah partikelir, sedangkan di wilayah Priangan, pemerintah kolonial amat berkeberatan menghapus sitem tanah paksa kopi (preanger stelsel) yang memberikan keuntungan sangat besar.
Jelaslah kiranya bahwa pemerintah kolonial tidak bersedia untuk menerapkan asas-asas liberal secara konsisten jika hal ini mengandung kerugian yang besar. Oleh karena itu, daerah Priangan tidak pernah mengenal suatu fase menengah yang agak bebas di antara dua masa yang dicirikan oleh unsur paksaan dalam kehidupan ekonomi, seperti yang telah dialami oleh daerah-daerah lain di Jawa, melainkan terus-menerus hanya mengenal sistem tradisional dan feodal sampai tahun 1870.
Oleh karena Raffles hanya berkuasa dalam waktu yang singkat di Jawa, hanya lima tahun (1811-1816) dan terbatasnya pegawai-pegawai yang cakap serta dana yang juga terbatas, tidak mengherankan Raffles pada akhirnya tidak sanggup untuk melaksanakan berbagai peraturan yang berkaitan dengan sistem sewa tanah itu. Meskipun demikian, gagasan-gagasannya mengenai kebijakan ekonomi kolonial yang baru, terutama yang berkaitan dengan sewa tanah, sangat memberikan pengaruh bagi pandangan pejabat-pejabat pemerintah Belanda yang pada tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan politik atas Pulau Jawa dari tangan Inggris.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila kebijakan Thomas Stamford Raffles pada umumnya dilanjutkan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru, pertama-tama di bawah Komisaris Jenderal Elout, Busykes dan van der Capellen pada tahun 1816-1819. Kebijakan ini pun juga tetap diberlakukan ketika van der Capellen menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada 1819-1826 maupun pada masa Komisari Jenderal du Bus de Gisignies (1826-1830).
Sistem sewa tanah dihapuskan dengan kedatangan Gubernur Jenderal van den Bosch pada tahun 1830 yang berupaya untuk menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan efisien dibandingkan yang pernah dilakukan oleh VOC. Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung tiga aspek, yaitu penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan atas dasar prinsip Barat, pelaksanaan pemungutan sistem sewa dan penanaman tanaman dagang untuk diekspor. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai pelaksanaan dari ketiga aspek dasar dari sistem sewa tanah yang diberlakukan oleh Inggris di Indonesia;
Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Modern (Berdasarkan Prinsip Barat)
Menurut Raffles yang dimaksud dengan pemerintahan dengan prinsip modern atau Barat adalah dengan penggantian pemerintahan-pemerintahan tidak langsung yang dahulu diselenggarakan melalui raja-raja dan kepala-kepala tradisional dengan suatu pemerintahan yang langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala-kepala daerah dihilangkan. Fungsi-fungsi tradisional yang dijalankan oleh mereka pada waktu itu, sekarang dilakukan oleh pegawai-pegawai Eropa, yang jumlahnya bertambah banyak.
Selain itu, Raffles juga mengadakan fungsi asisten residen yang bertugas untuk mendampingi dan mengawasi para bupati dan “pengawas penghasilan yang diperoleh dari tanah” atau yang disebut dengan opzieners der landelijke inkomsten yang kemudian disebut dengan pengawas pamong praja (controleur van het Binnelands Beestur).
Dengan semakin bertambahnya pengaruh pejabat-pejabat yang berasal dari bangsa Eropa, pengaruh para bupati pribumi semakin berkurang. Bahkan diantara para pejabat-pejabat Eropa muncul pemikiran untuk menghilangkan sama sekali jabatan bupati. Sehingga tidak mengherankan jika perkembangan ini sangat menggelisahkan para bupati, yang sebelum masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles mempunyai kekuasaan dan gengsi sosial yang amat besar.
Pada waktu van der Capellen menerima jabatan sebagai Gubernur Jenderal dalam pemerintahan kolonial Belanda yang telah dipulihkan pada tahun 1816, pengaruh bupati sudah sangat berkurang dibandingkan dengan pengaruh para bupati pada masa VOC. Namun, van der Capellen menyadari bahwa mereka mempunyai pengaruh tradisional yang besar atas rakyat dan van der Capellen sendiri menyadari bahwa para pejabat-pejabat Eropa tidak dapat menggantikan kedudukan sosial para bupati dalam masyarakat Jawa.
Oleh karena itu, van der Capellen menempuh kebijakan yang menghormati kedudukan sosial para bupati dan berusaha pula menggunakan pengaruh dan kekuasaan mereka untuk tujuan-tujuan pemerintah kolonial. Meskipun demikian, tidak dapat dihindarkan bahwa secara lambat-laun kekuasaan efektif telah bergeser dari para bupati ke pejabat-pejabat bangsa Eropa.
Kenyataan ini terlihat dalam hubungan kekuasaan para bupati atas tanah. Bukan saja atas tanah yang para bupati peroleh, melainkan menurut kebiasaan adat mereka dan juga pekerjaan rodi dari penduduk yang tinggal di atas tanah. Di bawah pimpinan Raffles, kebiasaan ini dihapus dan para bupati kemudian diberi gaji dalam bentuk uang untuk jasa-jasa mereka pada pemerintah kolonial. Dengan putusnya hubungan antara bupati dan tanah, lenyap pula kewajiban rakyat untuk melakukan penyerahan wajib dan pekerjaan rodi untuk para bupati.
Dalam menilai keberhasilan perubahan yang dilakukan dalam kedudukan para bupati, dapat dikatakan bahwa secara marginal memang terjadi pembatasan dalam kekuasaan para bupati. Hal ini misalnya secara jelas dapat terlihat dari beberapa pengaduan yang telah dilakukan oleh rakyat kepada kepala-kepala mereka jika mereka mengalami apa yang mereka rasakan sebagai tindakan sewenang-wenang.
Akan tetapi, pada umumnya kebiasaan-kebiasaan yang tradisional maupun penghormatan yang tradisional dari rakyat terhadap kepala-kepala mereka tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan keputusan-keputusan orang-orang asing, meskipun orang-orang asing ini mempunyai kekuasaan politik yang efektif. Hal ini dapat terlihat dalam kewajiban rakyat untuk melakukan kerja paksa atau rodi untuk kepala-kepala mereka. Meskipun pemerintah kolonial secara resmi telah menghapus kebiasaan kerja rodi ini, namun nyata kebiasaan ini tetap diteruskan.
Pelaksanaan Pemungutan Sewa Tanah
Selama masa kekuasaan VOC, “pajak” berupa beras yang harus dibayar oleh rakyat Jawa kepada VOC ditetapkan secara kolektif untuk seluruh desa. Dalam mengatur pungutan wajib ini, para kepala desa oleh VOC diberikan kebebasan penuh untuk menetapkan jumlah-jumlah yang harus dibayar oleh setiap petani. Sehingga kebijakan ini seringkali dilakukan secara sewenang-wenang yang sering merugikan rakyat. Thomas Stamford Raffles sangat menentang kebijakan yang dilakukan pada masa VOC ini.
Raffles meyakini bahwa penduduk Pulau Jawa harus dapat menikmati kepastian hukum dengan menetapkan pajak berdasarkan perseorangan. Peraturan mengenai penetapan pajak tanah yang harus dibayar oleh perseorangan dan bukan lagi oleh desa sebagai keseluruhan mulai dikeluarkan pada tahun 1814. Daerah pertama yang diberlakukan kebijakan ini adalah Banten.
Tidak lama kemudian, pelaksanaan pemungutan pajak secara perseorangan mengalami banyak kesulitan. Salah satu faktor penting dalam hal ini adalah tidak tersedianya bahan-bahan keterangan yang baik dan dapat dipercayai untuk penetapan jumlah pajak yang harus dibaya oleh tiap-tiap orang. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa penetapan pajak dilakukan dengan tepat sehingga sering memperberat beban pajak untuk rakyat, bukan meringankan beban pajak seperti yang diinginkan oleh Raffles.
Kesulitan-kesulitan ini mengakibatkan dalam tahun 1816, sewaktu kekuasaan atas Pulau Jawa telah dikembalikan kepada Belanda, para komisaris jenderal menghapus penetapan pajak secara perseorangan dan kembali lagi ke penetapan pajak secara kolektif untuk tiap-tiap desa sebagai keseluruhan. Sehingga dengan penggunaan prosedur pemungutan pajak dengan cara ini, penetapan pajak secara sewenang-wenang muncul kembali, walaupun tidak separah yang terjadi pada masa VOC.
Hal terakhir dari pelaksanaan sistem sewa tanah adalah dengan melakukan promosi dan sosialisasi penanaman tanaman perdagangan untuk ekspor. Pada umumnya, kegiatan ini telah mengalami kegagalan. Penanaman kopi misalnya, yang pada awal abad ke-19 merupakan tanaman perdagangan terpenting di Jawa, di bawah sistem sewa tanah telah mengalami banyak kemunduran. Hal ini pun juga terjadi pada komoditi tanaman lain terutama adalah gula.
Salah satu sebab kegagalan ini adalah kurangnya pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas sehingga sering kali penjualan tanaman ini diserahkan kepada kepala-kepala desa mereka. Hal ini mengakibatkan kepala-kepala desa sering menipu petani itu sendiri atau si pembeli sehingga pada akhirnya pemerintah kolonial secara terpaksa ikut campur tangan lagi dengan kembali mengadakan penanaman paksa bagi tanaman-tanaman perdagangan.
Kegagalan Kebijakan Raffles di Indonesia
Gagasan sistem sewa tanah ini di dalam pelaksanaannya membawa akibat yang lebih baik. Unsur paksaan diganti dengan unsur sukarela dan hubungan perjanjian atau kontrak. Namun, upaya Raffles dalam penerapan sistem pajak tanah mengalami kegagalan karena:
(1) Sulit menentukan besar kecilnya pajak bagi pemilik tanah, karena tidak semua rakyat mempunyai tanah yang sama;
(2) Sulit untuk menentukan luas sempitnya dan tingkat kesuburan tanah.
(3) Keterbatasan pegawai-pegawai Raffles;
(4) Masyarakat sebagian besar belum mengenal sistem uang.
Perlu dipahami bahwa sebab utama dari gagalnya kebijakan Raffles di Indonesia adalah dengan mengesampingkan para bupati dan kepala-kepala desa tidak berhasil. Sehingga dengan terpaksa struktur feodal yang berlaku di masyarakat tradisional Jawa, khususnya gengsi sosial yang dimiliki para bupati dan kepala-kepala desa, perlu dimobilisasi lagi oleh pemerintah kolonial jika mereka mau mencapai tujuan mereka untuk mendorong penduduk menanam tanaman perdagangan yang diinginkan. Oleh karena itu, gambaran yang diperoleh mengenai sistem tanah ini tidak merata (uneven). Kadang-kadang di beberapa tempat memang terdapat penanaman secara bebas, tetapi sering penanaman bebas ini hanyalah formalitas belaka.
Sistem sewa tanah memang mengakibatkan lebih meresapnya pengaruh politik maupun pengaruh sosial sampai batas tertentu ke dalam masyarakat Jawa, terutama karena usaha mengesampingkan para bupati untuk langsung berhubungan dengan para petani. Namun, kenyataannya hal ini tidak sepenuhnya berhasil dan bahwa dalam berbagai hal ikatan-ikatan tradisional masih perlu dimanfaatkan. Walaupun para bupati dapat dikesampingkan, hal yang sama tidak dapat dilakukan kepada para kepala desa yang peranannya sangat dibutuhkan untuk pemungutan pajak tanah. Oleh karena itu, usaha sistem sewa tanah untuk mengadakan hubungan langsung dengan para produsen tanaman dagangan itu sendiri tidak berhasil.
Apabila dilihat dari tujuan untuk meningkatkan kemakmuran penduduk di Jawa dan merangsang produksi tanaman dagang, sistem sewa tanah dapat dikatakan telah menemui kegagalan. Usaha-usaha untuk menghapus struktur masyarakat tradisional (feodal) dan memberikan kepastian hukum yang lebih besar kepada penduduk pun tidak berhasil.
Untuk mengetahui sebab-sebab kegagalan ini perlu diketahui lebih jauh pertimbangan-pertimbangan Raffles dalam memperkenalkan sistem sewa tanah di Jawa. Perlu diketahui bahwa Raffles sangat mendasari kebijakannya pada kebijakan kolonial Inggris yang diberlakukan di India. Kesalahan-kesalahan Raffles adalah bahwa Raffles mempersamakan antara India dengan Jawa. Padahal yang sesungguhnya terjadi perbedaan-perbedaan yang sangat besar antara India dan Jawa dalam susunan masyarakat maupundlam tingkat perkembangan ekonomi.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa tingkat perkembangan ekonomi India adalah lebih tinggi daripada di Jawa. Di India penduduk sudah mengenal ekonomi uang sejak abad ke-16. Demikian pula antara berbagai daerah di India terdapat lalu lintas perdagangan yang ramai, yang menunjukkan bahwa desa-desa di India bukan merupakan desa-desa yang hanya mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Bahkan India juga mengenal perdagangan ekspor yang cukup ramai.
Dibandingkan dengan India, gambaran ekonomi Jawa pada awal abad ke-19 masih merupakan gambaran ekonomi menyeluruh. Bahkan sebaliknya hanya berdasarkan yang terlihat, yaitu desa-desa yang pada umumnya hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri tanpa banyak mengadakan perdagangan apalagi perdagangan ekspor.
Berdasarkan keterangan di atas jelas kiranya menunjukkan mengapa kebijakan Raffles menemui kegagalan, meskipun dilanjutkan oleh pemerintah Belanda hingga tahun 1830 kebijakan ini tetap menemui kegagalan. Berbeda dengan rakyat India, penduduk di Jawa tidak dapat menghasilkan tanaman-tanaman untuk diekspor atas usah dan praktik mereka sendiri. Jika mereka tidak mendapat perintah dari atasan mereka, mereka tidak akan menanam tanaman dagangan yang menguntungkan sekalipun, tetapi hanya tanaman makanan. Hal ini sesuai dengan sifat ekonomi desa di Jawa yang bersifat memenuhi kebutuhan sendiri (self-sufficient).
Berakhirnya Penjajahan Inggris Di Indonesia
Situasi Hindia-belanda tidak dapat terlepas dari situasi di Eropa. Setelah Negara koalisi berhasil mengalahkan Prancis (Napoleon Bonaparte) dalam Battle of the Nation di Leipzig (1813). Kemudian Negara-negara Eropa mengadakan kongres di Wina. Berdasarkan Kongres Wina tahun 1814, Belanda kembali menjadi Negara merdeka. Pada tahun 1814 juga terjadi perundingan perdamaian antara Inggris dengan Belanda.
Perundingan itu menghasilkan Konvensi London atau Perjanjian London, yang berisi;
(1) Hindia-Belanda dikembalikan kepada Belanda;
(2) Jajahan Belanda seperti Sailan, Kaap Koloni, dan Guyana tetap di tangan Inggris;
(3) Cochin, di Pantai Malabar diambil alih oleh Inggris, sedangkan Bangka diserahkan kepada Belanda sebagai gantinya.
Dengan adanya penyerahan daerah kekuasaan di antara Belanda dan inggris dilaksanakan pada tahun 1816, maka secara resmi pada tahun 1816 Hindia-Belanda kembali dikuasai oleh Kerajaan Belanda.